Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten Kota di Jawa Barat
STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA
DI JAWA BARAT
KAHFI HERIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul : “Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Februari 2009
Kahfi Heriyanto
NRP H251064015
(3)
ii
ABSTRACT
KAHFI HERIYANTO. The Strategy of Regency/Municipality Economic Development of West Java Province. Guided by NUNUNG NURYARTONO and DEDI BUDIMAN HAKIM.
The study is carried out to identify income disparities among regencies/municipalities of West Java Province and the influencing factors to formulate economic development strategy and program. Calculated Theil index disparity based on Bakorwil group and rich-poor area incomes, which is further decomposed into disparity indexes between and within groups, it is known that the disparities of incomes between regency/municipality groups are larger than those within groups. The percentage of Theil index shows the disparity among Bakorwil groups during 1995-2006 is 97.1% on average, the aggregate of disparity within the Bakorwil groups: Purwakarta, Bogor, Priangan, and Cirebon is 2.9%. The theil index of rich-poor area groups is 98.8% on average, and the aggregate of disparity within rich-poor groups is 1.21%. The high level of disparity among Bakorwil groups is influenced by industrialization and agglomeration stimulating the centralization of economic activities in certain regency/municipality. Thus, disparity among rich-poor area groups shows that economic development opportunity and the availability of infrastructures and facilities have been the magnet for more economic activities. The estimation results of panel data regression model using fixed-effect method, demonstrates that the factors of inflation, local development expenditures, and
investment give positive impacts to the income disparities among
regencies/municipalities. Inflation plays its role as economic stimulator. The significant impact of local expenditures for development are improving private investment and fulfillment of community basic needs. Inadequate and uneven investments among regencies/municipalities have given impact to the income disparities among regencies/municipalities. Centralization of economic activities has stimulated rapid growth and development of regency/municipality. It is expected that regencies/municipalities with low rate income and left behind in development would be in convergence process heading for deterioration of disparity, when the even distribution of regency/municipality income takes place. Selected strategies to be formulated are inflation control, increase of local development expenditures, and investment development through spatial dimension approach and cooperation among regencies/municipalities.
Keywords: income disparity, theil index, inflation, local development expenditures, investment, panel data regression model, convergence.
(4)
iii
RINGKASAN
KAHFI HERIYANTO. Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan DEDI BUDIMAN HAKIM.
Potensi daerah dan kekayaan alam Jawa Barat dilihat sebagai keunggulan komparatif bagi daerah, namun di sisi lain berbagai kendala seperti kualitas sumber daya manusia dan sumber modal dalam rangka memanfaatkan potensi tersebut masih dihadapi penentu kebijakan baik di tingkat provinsi maupun di tingkat daerah kabupaten/kota. Akibatnya kondisi ekonomi antar kabupaten/kota secara umum belum mencapai tingkat pemerataan pendapatan yang sama dan cenderung terdapat kesenjangan. Bertolak dari hal tersebut kajian ini akan membahas permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat serta strategi yang dapat dirumuskan dalam rangka peningkatan kinerja pembangunan kabupaten/kota. Kajian bertujuan untuk mengetahui bagaimana kesenjangan kondisi kesenjangan pendapatan, identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya dan usulan strategi pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat. Sehingga, akan dapat membantu pemerintah daerah dalam rangka pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan daerahnya.
Untuk mengukur besarnya kesenjangan pendapatan, digunakan Indeks Theil
sebagai alat analisis mengukur entropi dari ketidakmerataan. Theil’s Coefficient of
Concentration telah menjadi indeks yang sangat popular untuk menganalisa distribusi spasial. Indeks ketimpangan entropi theil mengukur ketimpangan secara rinci dalam sub unit geografis yang lebih kecil, yang berguna untuk mengetahui kecenderungan konsentrasi geografis. Untuk mengukur kondisi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat maka dihitung kesenjangan antar kelompok/group dan dalam kelompok/group yang dalam kajian ini mendekomposisi Jawa Barat menjadi 2 kelompok besar yaitu kelompok Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) dan kelompok daerah kaya-miskin. Hubungan
kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya dibentuk dalam suatu model regresi data panel.
Persentase Koefisien Theil antar kelompok Bakorwil terhadap total disparitas di Jawa Barat dari Tahun 1995 hingga 2006 adalah tinggi yaitu berkisar antara 96,2% hingga 97,6% dengan rata-rata 97,1%. Sedangkan sisanya sebesar 2,9% merupakan agregat disparitas dalam 4 kelompok Bakorwil (Bakorwil Purwakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon). Hal ini menunjukan bahwa disparitas yang besar justru terjadi antar kelompok Bakorwil, bukan di dalam kelompok Bakorwil. Maknanya adalah bahwa terjadi peningkatan PDRB per kapita tiap tahunnya di masing-masing kabupaten/kota yang bila dikelompokan berdasarkan kelompok Bakorwil perbedaan pencapaian PDRB per kapita tersebut relatif besar antar Bakorwil. Kondisi tersebut adalah karena adanya proses industrialisasi yang mendorong pemusatan kegiatan ekonomi yang dipengaruhi oleh ketersediaan modal dan tenaga kerja yang tidak merata dan adanya aglomerasi di dalam satu kelompok wilayah yang tidak sama dengan kelompok wilayah lainnya. Hasil perhitungan indeks Theil terhadap kelompok daerah kaya-miskin menunjukan bahwa persentase koefisien antara kelompok daerah kaya-miskin terhadap total disparitas Jawa Barat dari tahun 1995-2006 adalah relatif tinggi, yaitu berkisar antara 97,84%-99,24%
(5)
iv dengan rata-rata 98,80%. Sedangkan sisanya sebesar 1,21% merupakan agregat dalam kelompok daerah kaya dan miskin. Hal ini menunjukan bahwa peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur dan regulasi yang terdapat di suatu kabupaten/kota kaya telah menarik lebih banyak aktivitas ekonomi. Sehingga, menjadikan kabupaten/kota tersebut lebih berkembang dan mempunyai pendapatan yang tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota yang tergolong memiliki fasilitas infrastruktur dan regulasi yang kurang mendukung
Analisis statistik terhadap hubungan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota dengan faktor-faktor : inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, dan investasi menunjukan bahwa inflasi dan investasi swasta tidak secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota, dan variabel pengeluaran pembangunan pemerintah secara nyata mempengaruhi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota, hal ini memperkuat uji serempak terhadap model bahwa variabel inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, dan investasi secara bersama-sama mempengaruhi variabel Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota. Hasil estimasi parameter model regresi data panel memperlihatkan bahwa sekitar 64,5% variasi disparitas pendapatan dapat dijelaskan oleh variasi inflasi, pengeluaran pembangunan Pemda, dan investasi swasta. Sedangkan, 35,5% variasi disparitas pendapatan dapat dijelaskan oleh faktor lain. Peningkatan dari tiap variabel penjelas mempengaruhi pergerakan disparitas pendapatan. Hubungan positif dari masing-masing koefisien tersebut, yaitu : setiap kenaikan 1% inflasi akan menaikan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota
sebesar 0,0008 dengan asumsi variabel lain ceteris paribus, bila terjadi kenaikan 1%
pengeluaran pembangunan pemerintah daerah maka akan menaikan disparitas
sebesar 0,0244 diasumsikan variabel lain ceteris paribus, dan kenaikan 1% investasi
swasta akan menaikan disparitas pendapatan sebesar 0,0012 dengan asumsi variabel lain ceteris paribus.
Inflasi mempengaruhi upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Jawa Barat. Pengaruh inflasi yang tidak nyata terhadap kesenjangan pendapatan memperlihatkan peranan inflasi di Jawa Barat yang bergerak lambat, sehingga menjadi stimulator dan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pembangunan pemerintah menjadi pendorong pembangunan kabupaten/kota dan mempunyai efek pada peningkatan penanaman modal swasta di kabupaten/kota yang bersangkutan dan terpenuhinya pasokan kebutuhan pokok masyarakat. Dengan adanya penstabil otomatis maka dapat mengurangi konjungtur perekonomian. Demikian halnya dengan kondisi disparitas pendapatan yang terjadi pada perekonomian antar kabupaten/kota di Jawa Barat, di mana dengan pengeluaran pembangunan akan berpengaruh menciptakan kestabilan melalui kegiatan yang diperuntukkan menciptakan
infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, seperti :
pembangunan/pemeliharaan jalan, jembatan, rumah sakit, Puskesmas, dan sekolahan, guna memberikan akses dan dukungan peningkatan perekonomian. Untuk itu perlu diupayakan agar Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat merealokasi anggaran pembangunan dari bidang di luar pendidikan dan kesehatan ke sektor pembangunan infrastruktur yang akan memperbaiki akses bagi masyarakat hingga akhirnya berkontribusi positif meningkatkan pendapatan kabupaten/kota. Realokasi anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan,
(6)
v satunya dapat ditempuh dengan merealokasi belanja aparatur pemerintah dan pengawasan.
Perumusan strategi dan program dalam rangka mengatasi permasalahan kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat menggunakan metode kerangka logis, yaitu melalui proses identifikasi-identifikasi yang melibatkan keterwakilan kepentingan-kepentingan dari para pemangku kepentingan di daerah. Berbagai macam kepentingan yang muncul dalam proses identifikasi tersebut diselaraskan hingga tersusun aspek-aspek kegiatan yang terpadu dan melibatkan kerjasama antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Strategi yang diusulkan bertujuan untuk meningkatkan pembangunan perekonomian sehingga dapat menekan tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Strategi-strtaegi tersebut adalah : strategi pengendalian inflasi, strategi peningkatan alokasi dana pembangunan, dan strategi peningkatan investasi swasta. Implementasi strategi menjadi program diwujudkan melalui jalinan kerjasama dengan melihat aspek spasial kabupaten/kota yang menjadi pusat aktivitas perekonomian. Sehingga penjabaran kegiatan diarahkan pada kerjasama antar kabupaten/kota yang akan menjadikan beban lebih ringan dan tercapainya skala pembangunan yang lebih besar. Sehingga proses konvergensi sebagai upaya daerah yang memiliki perekonomian rendah untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah yang sudah maju/tinggi dapat terwujud.
Kata Kunci : disparitas pendapatan, indeks theil, inflasi, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah, investasi, model regresi data panel, konvergensi.
(7)
vi © Hak cipta milik IPB milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(8)
vii
STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA
DI JAWA BARAT
KAHFI HERIYANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Magister Manajeman Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(9)
viii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir : Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec.
(10)
ix
Judul Tesis : Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota
di Jawa Barat
Nama : Kahfi Heriyanto
NRP : H251064015
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.AEc
K e t u a A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Manajemen Pembangunan Daerah
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
(11)
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulisan panjatkan kepada Allah SWT, shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam kajian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2008 ini ialah kesenjangan pendapatan antar daerah, dengan judul Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Bapak Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.AEc selaku pembimbing, Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor beserta segenap tim sekretariat dan pengajar yang telah mencurahkan ilmu dan pengetahuan, Dr. Komara Djaja beserta jajarannya di Setmenko Bidang Perekonomian yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi, Para pegawai di Bagian Perpustakaan Badan Pusat Statistik dan Subbagian pengkajian peraturan pada Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua di Tegal dan Sungai Penuh, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2009
(12)
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 4 Agustus 1976 dari ayah Ali Muchson dan ibu Ismiati Nurhikmah. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Tahun 1994 Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Palembang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk STAN-Prodip Keuangan dengan Jurusan Kebendaharaan Negara. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada STIA-LAN Bandung jurusan Administrasi Negara pada Tahun 1998.
Pada tahun 1997 sebagai Pegawai Negeri Sipil, penulis ditempatkan pada Pusat Pengolahan Data dan Informasi Anggaran Departemen Keuangan. Tahun 2006 penulis alih tugas ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Pelaksana Tugas Kepala Subbagian Hubungan Media Biro Persidangan dan Humas, dan pada tahun 2008 dimutasikan ke Biro Perencanaan sebagai Pelaksana Tugas Kepala Subbagian Evaluasi Kinerja sampai sekarang.
(13)
xii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR GAMBAR ………...…... DAFTAR TABEL ……….…. DAFTAR LAMPIRAN ……….…… I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……… 1.2 Perumusan Masalah ……….. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi ……….... 2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Masalah Kemiskinan ………. 2.3 Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi ………... 2.4 Disparitas Pendapatan ……….. 2.5 Inflasi ……… 2.6 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah ………….………. 2.7 Investasi ………..………... 2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu ………...
2.8.1 Penelitian mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional ………... 2.8.2 Penelitian mengenai Ketimpangan Regional dan Krisis Ekonomi ... III. METODE KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran ………..………. 3.2 Lokasi Dan Waktu Kajian ……….. 3.3 Model Pengumpulan Data ………. 3.4 Model Analisis Data ……… 3.4.1 Analisis Indeks Kesenjangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota …. 3.4.2 Analisis Model regresi Data Panel ……… 3.5 Metode Perancangan Strategi dan Program ……… IV. KONDISI UMUM WILAYAH
4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi ………... 4.2 Kependudukan dan Sumber Daya Manusia ………. 4.3 Sarana Perhubungan Wilayah ……..………. 4.4 Sosial Ekonomi ………. 4.5 Potensi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pembangunan
Ekonomi Regional (Kabupaten/Kota di Jawa Barat) ………... 4.5.1 Inflasi Regional ………. 4.5.2 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
di Jawa Barat ………... 4.5.3 Investasi ………...
xiv xv xvi 1 2 4 5 7 10 12 12 14 15 16 16 17 19 20 21 21 22 24 27 29 29 32 32 36 36 37 38
(14)
xiii V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Wilayah Jawa Barat ….. 5.1.1 Kelompok Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil)
Provinsi Jawa Barat ……… 5.1.2 Kelompok Daerah Kaya dan Miskin Provinsi Jawa Barat ………… 5.2 Model Estimasi Tingkat Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota …
5.2.1 Uji Stasioner Data ………...
5.2.2 Uji Pemilihan Model, Uji Serentak (Uji F), Uji Individual (Uji t) …….
5.2.3 Interpretasi Model Regresi ……… 5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Perekonomian
Regional (Kabupaten/Kota di Jawa Barat) ….………. 5.3.2 Inflasi Regional ……… 5.3.3 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah ……… 5.3.4 Investasi Swasta ………. VI. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM
6.1 Perancangan Strategi dan Program dengan Logical Framework
Approach (LFA) ………. 6.2 Perumusan Strategi Peningkatan Perekonomian Kabupaten/Kota
di Jawa Barat .……….. 6.2.1 Startegi Pengendalian Inflasi ……… 6.2.2 Strategi Peningkatan Alokasi Dana Pembangunan ……….. 6.2.3 Strategi Peningkatan Investasi Swasta ………... 6.3 Perencanaan Program Peningkatan Perekonomian Kabupaten/Kota
di Jawa Barat ………... 6.3.1 Program Pemantauan dan Evaluasi Inflasi ……… 6.3.2 Program Kerjasama antar Kabupatten/Kota di Jawa Barat ………. 6.3.3 Program Peningkatan Investasi Swasta ………. VII.KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ……… 7.2 Implikasi Kebijakan ……….. 7.2 Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ………. LAMPIRAN ……… 40 40 44 49 49 50 51 53 53 56 59 62 64 64 65 66 66 67 68 69 70 71 72 73 75
(15)
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perbedaan Pencapaian Tingkat Perekonomian Regional Kabupaten/Kota
di Jawa Barat (berdasarkan PDRB per Kapita Tahun 2005) ……….… 2 Hubungan beberapa Komponen PDRB Provinsi Jawa Barat
Tahun 2002-2006 (berdasarkan Angka Pertumbuhan) ………. 3 Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pembangunan Ekonomi
Kabupaten/Kota di Jawa Barat ………....
4 Proses Pelaksanaan Metode Logical Framework Approach ………... 5 Perkembangan Jumlah Penduduk Jawa Barat Tahun 2002-2007 ……...….. 6 Perkembangan Inflasi Regional (Kabupaten/Kota di Jawa Barat)
Tahun 2002-2006 (%) ……….... 7 Tren Indeks Kesenjangan dalam Kelompok berdasarkan
kelompok Bakorwil Provinsi Jawa Barat Tahun 1995–2006 .……… 8 Tren Kesenjangan dalam Kelompok atas Kelompok Daerah Kaya & Miskin
Jawa Barat Tahun 1995–2006 ……..………... 9 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan rata-rata
PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1997 ……….. 10 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan rata-rata
PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2006 ……….. 11 Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar berdasarkan rata-rata
PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kurun Waktu 2001-2006 …..
12 Tren laju Inflasi beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat mewakili Region terdekat ………. 13 Rata-rata Proporsi Pengeluaran Pembangunan terhadap PDRB Pemda
Kab/Kota di Jawa Barat Periode 1995-2006 ……… 14 Perancangan Strategi dan Program Peningkatan Perekonomian Regional
(Kabupaten/Kota) Jawa Barat ……… 2
3
14 21 24
30
37
39
43
43
45
48
51
(16)
xv
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Rasio Jumlah Anak Usia Sekolah dengan Jumlah Sekolah di Jawa Barat
Tahun 2007 ………. 2 Kontribusi Sektor-Sektor Lapangan Usaha terhadap Perekonomian
Jawa Barat Tahun 2006-2007 ……… 3 Jumlah Tenaga Kerja dan Sektor Pekerjaan di Jawa Barat
Tahun 2003, 2005, dan 2007 ……….……… 4 Porsi Belanja Pembangunan terhadap Total Pengeluaran Pemerintah
Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2004-2006 ……….……….. 5 Nilai Investasi Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2003-2006 ……… 6 Koefisien Theil Kelompok Wilayah di Jawa Barat Tahun 1995-2006 ……..… 7 Koefisien Theil Kelompok Daerah Kaya & Miskin di Jawa Barat
Tahun 1995-2006 ………. 8 Hasil Uji Secara Individual (uji t) ……… 9 Hasil Pendugaan Parameter Model Disparitas ………... 10 Pergeseran Pola Perekonomian Kabupaten/Kota di Jabar
(perbandingan Tahun 1997 dengan 2006) ……… 11 Perbandingan persentse Dana Pembangunan dalam rangka Kebijakan
Pertumbuhan dan Pemerataan Perekonomian ……… 25
27
28
32 33 35
38 41 41
44
(17)
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Berlaku
Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (Rp000.000) ... 2 Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (jiwa) .. 3 Data Inflasi Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (%) ……….. 4 Jumlah Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (Rp000.000)….……… 5 Jumlah Investasi Swasta (PMA & PMDN) Kabupaten/Kota
di Jawa Barat Tahun 1995-2006 (Rp000.000) ….……… 6 a. Hasil Perhitungan Indeks Entropi Theil Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Tahun 1995-2006 (Kelompok/Group Bakorwil)……… b. Hasil Perhitungan Indeks Entropi Theil Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Tahun 1995-2006 (Kelompok/Group Kaya-Miskin)……….. 7 Output EViews 5 Model Regresi Data Panel Pendekatan Fixed Effect ……..
8 Logical Framework Matrix Perencanaan Kegiatan Peningkatan
Pembangunan Perekonomian Regional (Kabupaten/Kota) Jawa Barat …… 75 76 77
78
79
80 81 82
(18)
1
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pembangunan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan yang dilaksanakan melalui serangkaian program dan kebijakan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Di tingkat daerah, pembangunan ekonomi merupakan suatu proses antara Pemerintah Daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya yang ada. Pemerintah Daerah dengan sektor swasta membentuk pola kemitraan yang menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi (Arsyad,1999).
Tambunan (2001) menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan (dekade 1980 hingga 1990) terjadi perbedaan laju pertumbuhan ekonomi regional yang cukup besar antardaerah sehingga mengakibatkan disparitas dalam distribusi perekonomian antardaerah. Kemudian ketika faktor-faktor produksi di daerah semakin dioptimalkan maka perbedaan laju pertumbuhan output antar daerah cenderung menurun. Sehingga terjadi pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di setiap daerah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan PDRB dan ukuran kesenjangan atau disparitas perekonomian merupakan fungsi dari waktu. Hipotesa Kuznet yang dikenal dengan hipotesa U terbalik (inverted U hypothesis Kuznets) menunjukan bahwa tingkat kesenjangan dan pertumbuhan pendapatan (PDRB) mempunyai hubungan yang berbentuk U terbalik seiring dengan waktu yang berjalan (Todaro,2003).
Pembangunan Jawa Barat yang berkesinambungan telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Hasil-hasil pembangunan yang dirasakan masyarakat merupakan agregat pembangunan dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat yang tidak terlepas dari kerja keras secara bersama-sama antar komponen pemerintah dan masyarakat. Potensi daerah dan kekayaan alam Jawa Barat dilihat sebagai keunggulan komparatif bagi daerah, namun di sisi lain berbagai kendala seperti kualitas sumber daya manusia dan sumber modal dalam rangka memanfaatkan potensi tersebut masih dihadapi penentu kebijakan baik di tingkat provinsi maupun di tingkat daerah kabupaten/kota. Akibatnya kondisi
(19)
2 ekonomi antar kabupaten/kota secara umum belum mencapai tingkat pemerataan pendapatan yang sama dan cenderung terdapat kesenjangan.
Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat haruslah menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. Isu kesenjangan perekonomian (pendapatan) antardaerah berkaitan erat dengan usaha pertumbuhan ekonomi dan harmonisasi sosial. Bila antar kabupaten/kota terjadi tingkat pendapatan tertentu yang menunjukan kenaikan kesenjangan maka akan berimplikasi pada kondisi kesejahteraan dan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu kabupaten/kota. Dari uraian di atas menghantarkan kajian pada pokok permasalahan yang berupaya menguraikan kesenjangan pendapatan diukur dari PDRB antar kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta merumuskan strategi dan program sebagai jawaban atas permasalahan tersebut.
I.2 Perumusan Masalah
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2005 menunjukan bahwa tingkat perekonomian 25 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat bervariasi. Variasi tersebut direpresentasikan dengan angka PDRB perkapita tanpa industri minyak dan gas menurut harga berlaku 25 kabupaten/kota yang berbeda-beda. Gambar 1 menunjukan titik-titik sebaran besarnya PDRB perkapita yang dicapai tiap-tiap kabupaten/kota di Jawa Barat pada Tahun 2005.
Sumber: BPS diolah.
Gambar 1 Perbedaan Pencapaian Tingkat Perekonomian Regional Kabupaten/Kota di Jawa Barat (berdasarkan PDRB per Kapita Tahun 2005).
(20)
3 PDRB perkapita tertinggi dicapai oleh Kabupaten Bekasi sebesar Rp28.238.536,64, selanjutnya adalah Kota Cirebon dengan PDRB perkapita sebesar Rp22.084.719,29, Kota Bandung sebesar Rp15.240.205,35. Besarnya PDRB perkapita terendah dicapai oleh Kabupaten Majalangka yaitu Rp4.297.550,38, Kabupaten Kuningan yaitu Rp4.373.069,19, dan Kabupaten Tasikmalaya yaitu Rp4.479.931,47. Terdapat range yang cukup jauh antara Kabupaten dengan PDRB perkapita terendah dengan Kabupaten dengan PDRB perkapita tertinggi yaitu Rp28.238.536,64 – Rp4.297.550,38. Hal ini mengindikasikan terdapat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Indikasi kesenjangan tersebut menjadi rumusan masalah pertama dalam kajian ini, yaitu “bagaimanakah tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat?”
Dalam kajian ini kesenjangan pendapatan antar daerah dilihat dari sudut pandang Jumlah PDRB dari tahun ke tahun masing-masing kabupaten/kota. PDRB merupakan agregat makro dari struktur/komposisi permintaan atau penggunaan akhir komponen konsumsi, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, dan permintaan luar negeri (ekspor dan impor). Hubungan komponen-komponen tersebut adalah positif, artinya bila komponen-komponen PDRB tersebut naik atau meningkat maka PDRB akan mengalami peningkatan. Sesuai dengan lingkup kajian, gambar 2 menunjukan hubungan komponen investasi, pengeluaran pembangunan pemerintah, dan inflasi, serta PDRB di Provinsi Jawa Barat.
Sumber: BPS, diolah.
Gambar 2 Hubungan Beberapa Komponen PDRBProvinsi Jawa Barat (PDRB menurut harga konstan 2000).
(21)
4 Dari Gambar 2 menunjukan bahwa turun naiknya PDRB Jawa Barat selaras dengan pergerakan turun naiknya investasi swasta, pengeluaran pembangunan, dan inflasi. Pada Tahun 2002 pertumbuhan PDRB sebesar 5,3,%, investasi sebesar 182%, pengeluaran pembangunan sebesar 41%, dan inflasi sebesar 8,8%. Tahun berikutnya komponen-komponen tersebut mengalami penurunan yaitu: investasi sebesar -32%, pengeluaran pembangunan -9%, dan inflasi sebesar 5,1%, penurunan berimbas kepada pertumbuhan PDRB yang menurun sebesar 11,2%. Pada tahun-tahun berikutnya komponen-komponen investasi, pengeluaran pembangunan, dan inflasi meningkat, seperti Tahun 2005 investasi meningkat dibanding Tahun 2003 dan 2004 sebesar 92%, demikian juga dengan pengeluaran pembangunan dan inflasi yang masing-masing sebesar 21% dan 14,4%. Implikasinya terjadi pada peningkatan PDRB tahun 2005 sebesar 6%. Pada Tahun 2006 trennya menurun menjadi: investasi -25%, pengeluaran pembangunan 12%, inflasi 11,5%, dan tingkat pertumbuhan PDRB sebesar 6,14%. Selanjutnya, atas dasar fakta hubungan komponen-komponen tersebut, dan melihat bahwa PDRB merupakan pendapatan atau jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh sektor/lapangan usaha maka sebagai rumusan masalah kedua adalah “faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat?”
Gambaran disparitas dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dalam merencanakan pembangunan daerah untuk menentukan prioritas, khususnya dalam era otonomi saat ini dimana pemerintah kabupaten/kota diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan arah kebijakan pembangunan agar mencapai peningkatan perekonomian dan diharapkan kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota semakin rendah. Dari rumusan permasalahan kedua di atas akan diperoleh suatu model yang berguna dalam penentuan strategi peningkatan perekonomian. Melalui intepretasi model maka sebagai rumusan permasalahan ketiga, adalah “strategi apa yang ditempuh untuk meningkatan perekonomian guna mengurangi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Kajian
Melalui pendalaman pembahasan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota beserta faktor-faktornya guna peningkatan perekonomian
(22)
5 kabupaten/kota di Jawa Barat, maka dari hasil kajian diharapkan akan tercapai tujuan-tujuan antara lain:
1. Menganalisis disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat.
3. Merekomendasikan kebijakan strategis regional bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam lingkup variabel kajian guna meningkatkan perekonomian regional (di Jawa Barat).
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini meliputi dua hal pokok yaitu:
1. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan disparitas pendapatan antar daerah dapat dijadikan dasar sebagai salah satu pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah.
2. Menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah
Kabupaten/Kota di Jawa Barat maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam penanganan masalah, penentuan kebijakan, dan pelaksanaan program pembangunan terkait dengan usaha-usaha peningkatan kinerja perekonomian daerah.
(23)
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat menjadi meningkat. Kemampuan suatu Negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat dari suatu periode ke periode berikut lainnya. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Perkembangan atau pertambahan barang modal dan teknologi diperoleh dari adanya investasi. Di samping itu pertambahan tenaga kerja diakibatkan perkembangan penduduk seiring pengalaman kerja dan pendidikan yang menambah keterampilan mereka.
Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB). Komponen-komponen dalam PDB dikelompokkan menjadi konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor neto (NX) (Mankiw, 2003). Terdapat dua cara dalam melihat statistik PDB, yaitu: PDB sebagai pendapatan total dari setiap orang dalam perekonomian, dan PDB sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa dalam perekonomian.
Studi teori pertumbuhan dapat dicatat dalam dua periode studi yang dilakukan secara intensif. Periode pertama pada akhir tahun 1950-an sampai 1960-an yang menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik. Periode kedua dilakukan ada akhir tahun 1980-an sampai 1990-an yang menghasilkan teori pertumbuhan endogen atau teori pertumbuhan baru yang merupakan pengembangan dari teori pertumbuhan klasik. Teori pertumbuhan ini menolak asumsi model klasik tentang perubahan teknologi yang berasal dari luar (eksogen). Teori pertumbuhan endogen memberikan penjelasan yang lebih lengkap tentang proses inovasi teknologi dan memiliki bidang yang luas (Mankiw, 2003).
Menurut Todaro (2003) terdapat tiga komponen pertumbuhan ekonomi, yaitu: akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan, apabila
(24)
7 tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Ekonom Perroux dengan teori kutub pertumbuhannya menekankan bahwa berapa lokasi yang merupakan pusat perekonomian terjadi pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda-beda (Perroux, 1988).
2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Masalah Kemiskinan
Masalah kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan sampai sekarang tetap menjadi pembahasan terutama di negara-negara berkembang. Dampak dari pembangunan ekonomi terhadap golongan miskin masih menjadi perdebatan. Sebagian berasumsi bahwa meningkatnya pendapatan per kapita akibat pembangunan akan menjadikan setiap orang lebih sejahtera. Apabila sekelompok masyarakat belum memperoleh manfaat, hal itu hanya masalah waktu sampai manfaat pembangunan tersebut betul-betul menetes kepada mereka. Namun sebaliknya pihak lain tetap meragukan apakah dampak pembangunan betul-betul dapat dinikmati oleh kelompok miskin.
Aliran ekonomi klasik yang berpegang pada konsep keseimbangan alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas, dimana harga menjadi acuan dalam proses pertukaran. Perbedaan kondisi antarsektor akan menyebabkan pertukaran dan alokasi sumberdaya secara efisien tanpa ada campur tangan pemerintah (konsep pasar bebas) hingga mencapai kondisi pareto optimal. Pertukaran tersebut pada hakekatnya merupakan proses pembangunan (Djojohadikusumo, 1994). Ketidakmerataan pendapatan akan muncul pada awalnya dan akan menghilang setelah dicapai hasil pembangunan. Ada dua alasan meningkatnya ketidakmerataan pendapatan pada awal pertumbuhan. Pertama, kontribusi pemilik kapital meningkat pada saat peran sektor modern meningkat sehingga meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dan buruh. Kedua, kesenjangan distribusi buruh sendiri juga meningkat dengan bertambahnya tenaga kerja (namun masih dalam jumlah yang masih sedikit) yang pindah dari tingkat upah sektor subsisten ke tingkat upah sektor modern yang lebih tinggi. Namun, ketidakmerataan tersebut berubah manakala seluruh surplus tenaga kerja diserap oleh sektor modern yang menyebabkan tenaga kerja berubah menjadi faktor produksi yang langka. Tingkat upah kemudian meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat ketidakmerataan sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan. Setiap orang akan memperoleh manfaat apabila mereka menunggu proses pembangunan tersebut
(25)
8 berlangsung sampai selesai. Peningkatan sementara dalam ketidakmerataan pendapatan hanya merupakan biaya untuk memperoleh manfaat proses pembangunan tersebut. Tanpa adanya campur tangan pemerintah pemerataan akan terjadi dengan sendirinya pada saat negara telah mencapai tingkat pembangunan dan pendapatan per kapita yang tinggi.
Aliran Strukturalis memandang pembangunan ekonomi sebagai transisi yang ditandai oleh suatu transformasi yang mengandung perubahan mendasar pada ekonomi yang disebut sebagai perubahan struktural. Perubahan struktural tersebut merupakan masa ketidakseimbangan yang dapat menyebabkan kesenjangan penyesuaian yang panjang (Djojohadikusumo, 1994). Aliran Strukturalis skeptis terhadap efektifitas mekanisme kekuatan harga dan meyakini bahwa perencanaan dan kontrol pemerintah dapat menanggulangi kegagalan pasar. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi negara-negara kurang maju tidak dapat diserahkan kepada mekanisme kekuatan pasar, tetapi pemerintah harus mengambil peranan aktif dengan menjalankan kebijakan untuk menanggulangi ketimpangan yang melekat pada keadaan ketidakseimbangan tersebut agar sistem pasar dan perkembangan harga dapat berjalan secara memadai Berbeda dengan aliran Klasik yang percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi dengan sendirinya dengan meningkatnya pendapatan per kapita, aliran Strukturalis menganggap bahwa masalah distribusi pendapatan dan pemerataan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah. Dalam hal ini terdapat dua pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu Aliran Ekstrim (radikal) Kanan atau aliran yang menganut faham Kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan (“grow first, then redistribute”) dan Aliran Ekstrim Kiri atau aliran yang menganut faham Sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan (“redistribute first, then grow”). Sebagai alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan (“redistribution with growth/RWG”) yang dikembangkan oleh Bank Dunia (Djojohadikusumo, 1994) . Sasaran pembangunan ekonomi bagi Aliran Ekstrim Kanan bukan mengarah pada pemerataan yang lebih besar melalui mekanisme trickle-down, tetapi melalui pemusatan pendapatan pada masyarakat yang telah kaya. Produksi diatur secara efisien, kemudian baru diredistribusi untuk memperoleh distribusi pendapatan yang diinginkan melalui transfer atau pajak yang diyakini tidak akan mendistorsi ekonomi. Namun, aliran
(26)
9 ini telah gagal. Contoh empiris kegagalan tersebut adalah kebijakan pembangunan ekonomi di Brazil, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat sangat cepat namun disertai dengan tingkat ketidakmerataan sangat tinggi dan perkembangan pengurangan tingkat kemiskinan yang sangat lambat. Pemilikan aset sangat terkonsentrasi, akses terhadap pendidikan sangat tidak merata, pembangunan industri maupun pertanian diutamakan pada skala usaha besar dan teknologi padat kapital. Sebaliknya Aliran Ekstrim Kiri memiliki kebijakan
“redistribute first, then grow”. Pemerintah mengambil alih pemilik modal dan
pemilik tanah dengan membagikan aset mereka ke produsen skala kecil, yang seringkali melalui sistem pemilikan bersama. Kebijakan tersebut membawa dua dampak terhadap distribusi pendapatan. Pertama, dampak secara langsung, yaitu tingkat kemerataan pendapatan akan segera meningkat secara nyata. Kedua adalah dampak dalam jangka panjang. Apabila usaha-usaha berskala lebih kecil dan melalui pemilikan bersama tersebut dapat menghasilkan keuntungan besar dan dikelola secara efisien dan produktif, maka efek redistribusi tersebut akan meningkat. Namun apabila tidak dikelola secara produktif, pemilik awal akan kehilangan aset mereka dan pemilik baru tidak akan memperoleh manfaat secara proporsional. Negara yang termasuk dalam aliran ini adalah negara-negara Uni Soviet dan Republik Rakyat China (RRC). Kebijakan pembangunan berbasis industri yang dilakukan Uni Soviet adalah mengambil alih kekayaan yang seharusnya menjadi hak masyarakat secara umum, terutama petani, dan menekan konsumsi yang hasilnya diinvestasikan kembali ke sektor produktif. Dengan kebijakan tersebut, ketidakmerataan pendapatan masyarakat memang mengecil karena hasil pendapatan diambil oleh pemerintah. Strategi mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan dewasa ini mengalami pergeseran paradigma, karena dua aliran ekstrim yang telah diuraikan diatas kurang disukai. Di banyak negara penganut Aliran Ekstrim Kanan, meskipun terjadi pertumbuhan pesat, masalah kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga masih menjadi masalah besar. Argumen bahwa ketimpangan pendapatan merupakan kondisi sementara yang tak terelakkan guna mencapai akumulasi kapital, memang memungkinkan terakumulasinya tabungan dan investasi yang lebih besar sehingga menciptakan laju pertumbuhan yang lebih cepat dan pada akhirnya menciptakan pendapatan nasional dan pendapatan per kapita tinggi untuk diredistribusikan ke masyarakat melalui program-program perpajakan dan subsidi. Namun bila waktu distribusi
(27)
10 tiba, setiap usaha pendistribusian kembali pendapatan akan menurunkan laju pertumbuhan secara tajam. Karena perlambatan dianggap negatif, maka saat pendistribusian terpaksa ditunda dan terjadi penundaan secara terus menerus. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi akan terus melaju sementara ketimpangan pendapatan tidak membaik. Sementara negara-negara penganut aliran ekstrim kiri pada umumnya mengalami tingkat pertumbuhan yang rendah, karena setiap usaha redistribusi akan menurunkan stok modal yang pada akhirnya menurunkan laju pertumbuhan. Oleh karena itu, harus ada cara bagaimana manfaat pertumbuhan ekonomi dapat didistribusikan, sehingga distribusi pendapatan meningkat sepanjang waktu dengan meningkatnya pertumbuhan. Konsep tersebut dikembangkan oleh World Bank, dinamakan redistribusi dengan pertumbuhan atau “redistribution with growth/ RWG”
(Chenery, 1974). Hanya melalui peningkatan GNP akan ada sesuatu yang berarti untuk bisa didistribusikan. Distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan, melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan. Ide dasar dari RWG adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan.
2.3 Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi
Ekonomika regional berusaha untuk manjawab pertanyaan terjadinya aktivitas ekonomi yang cenderung terkonsentrasi secara geografis di beberapa tempat saja. Minimalisasi biaya transpor atau biaya produksi menjadi suatu sebab munculnya pengelompokan atau kluster (Isard, 1956). Pendekatan interdependensi lokal (location interdependence) merupakan jawaban atas keterbatasan mekanisme persaingan sempurna. Pendekatan ini mencoba menerangkan bahwa pilihan lokasi adalah upaya perusahaan untuk menguasai pasar melalui maksimisasi penjualan dan penerimaan (Ohta dan Thisse, 1993). Selanjutnya, menurut Greenhut bahwa faktor lokasi dikelompokkan menjadi: permintaan, biaya, dan murni pertimbangan pribadi (Greenhut, 1955). Konsentrasi ekonomi akan membawa pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda bagi lokasi tertentu.
Pertumbuhan regional merupakan studi yang dianggap menarik karena merupakan unit yang sudah mempunyai bentuk perekonomian terbuka yang
(28)
11 dipengaruhi pula oleh faktor non ekonomi, misalnya: keragaman suku, budaya, dan sistem politik. Pertumbuhan ekonomi regional merupakan upaya untuk memacu perkembangan ekonomi dengan arah mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian hidup suatu wilayah. Dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi regional dapat menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan sumber daya yang ada dapat optimal mendukung peningkatan kehidupan masyarakat. Optimalisasi berarti tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek dan kondisi wilayah. Dalam konsep pertumbuhan ekonomi regional dibutuhkan strategi kebijakan pemerintah agar mekanisme pasar tidak menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan dan masyarakat miskin. Kebijakan tersebut meliputi upaya pengembangan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi infrastruktur, potensi kawasan dan daya dukung lainnya.
Pertumbuhan ekonomi regional yang didekati dengan hipotesa konvergensi dapat dibagi dalam dua pendekatan, yaitu konvergensi absolut
(absolute convergence) berdasarkan teori pertumbuhan neoklasik dan
konvergensi kondisional (conditional convergence) yang berdasarkan pada teori pertumbuhan endogenous (Wibisono,2003). Konvergensi kondisional diartikan sebagai konvergensi yang terjadi pada daerah dalam satu negara, yang walaupun terjadi perbedaan dalam teknologi, preferensi dan intuisi antar daerah, namun perbedaan tersebut relatif lebih kecil dibanding dengan perbedaan antar negara (bersifat lebih homogenitas daerah-daerah dalam satu negara). Konvergensi kondisional adalah konvergensi yang melihat perilaku dan karakteristik antar negara atau antar daerah dalam satu negara. Menurut Wibisono (2003) bahwa dengan melakukan tes hipotesis konvergensi kondisional maka akan mendapatkan manfaat yang lebih besar, yaitu dalam jangka panjang dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional dengan cara memasukkan variable-variabel terpilih yang dianggap mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional ke dalam suatu model persamaan. Konvergensi dikatakan sebagai suatu cara dari daerah yang memiliki perekonomian rendah untuk mengejar ketertinggalannya dari daerah yang sudah maju/tinggi.
(29)
12 2.4 Disparitas Pendapatan
Menurut Williamson (1965) di dalam Kuncoro (2004) menyebutkan bahwa proses konvergensi regional terkait dengan proses pembangunan dengan memandang bahwa disparitas pendapatan regional akan memudar setelah melalui tiga fase pembangunan, tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity). Hal ini didukung dengan pendapat Akita dan Lukman (1995) yang menemukan bahwa disparitas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita mengalami penurunan yang berkesinambungan antara tahun 1975-1992. Namun, Garcia dan Soelistianingsih (1998) mengemukaan bahwa antara 1975-1993 terdapat tendensi penurunan disparitas walaupun sempat terhenti pada tahun 1983.
Wibisono (2003) menemukan bahwa pada tahun 1975 hingga 1980-an kesenjangan antar propinsi di Indonesia terlihat menurun dengan cepat. Tren penurunan disparitas mengalami stagnasi pada periode 1985-1997, dan indeks kembali naik pada tahun 1997-1998. Nampak bahwa pada dekade 1970-an hingga 1980-an terjadi penurunan disparitas yang cepat. Pada pertengahan tahun 1980-an hingga tahun 1990-an terjadi perlambatan penurunan disparitas. Indeks kesenjangan antar daerah mengalami kenaikan pada saat perekonomian mengalami gunjangan eksternal.
2.5 Inflasi
Inflasi adalah kenaikan tingkat harga secara umum dan merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak luas terhadap perekonomian, termasuk pertumbuhan ekonomi. Mankiw (2003) menyatakan bahwa tingkat inflasi adalah perubahan persentase dalam tingkat harga. Melihat bahwa faktor-faktor produksi dan fungsi produksi telah menentukan PDB riil, maka perubahan PDB nominal mencerminkan perubahan tingkat harga. Sehingga muncul apa yang disebut dengan Deflator PDB yang mencerminkan apa yang terjadi pada seluruh tingkat harga dalam perekonomian.
Penggolongan inflasi, menurut Boediono (1985) berdasarkan lajunya per tahun dibagi menjadi: (1) inflasi ringan (dibawah 10% setahun), (2) inflasi sedang (10%-30% setahun), (3) inflasi berat (30%-100% setahun), dan (4) hiperinflasi (lebih 100% setahun). Sukirno (1994) menggolongkan inflasi berdasarkan penyebabnya menjadi 2 macam, yaitu inflasi tarikan permintaan (demand pull
(30)
13 yaitu inflasi yang timbul karena adanya permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat dimana permintaan masyarakat ini tidak bisa diimbangi dengan tersedianya barang yang disediakan oleh perekonomian, sehingga mendorong kenaikan harga-harga. Pada Kondisi seperti ini, perusahaan-perusahaan akan beroperasi pada kapasitas yang maksimal sehingga berdampak positif dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya inflasi desakan biaya adalah inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya produksi. Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka menghadapi ancaman resiko pengurangan permintaan atas barang-barang yang diproduksi tersebut. Tindakan ini akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat ke atas sehingga mengakibatkan harga-harga naik tetapi outputnya justru menurun dan berdampak negatif.
Menurut laporan Bank Indonesia Tahun 2001, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia antara lain:
1. Meningkatnya Kegiatan Ekonomi
Meningkatnya kegiatan ekonomi mendorong peningkatan permintaan agregat tetapi tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran agregat.
2. Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan
Kebijakan pemerintah menaikkan harga barang dan jasa seperti BBM, listrik, air minum dan rokok serta menaikkan upah minimum tenaga kerja swasta dan gaji pegawai negeri akan memberikan tambahan inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen).
3. Melemahnya Nilai Tukar Rupiah
Pengaruh kuat depresiasi nilai tukar rupiah dari hasil penelitian Bank Indonesia, antara lain:
a) perilaku harga cenderung mudah meningkat karena pengaruh melemahnya nilai tukar rupiah.
b) perilaku harga cenderung sulit untuk turun apabila nilai tukar rupiah menguat.
4. Tingginya ekspektasi inflasi masyarakat
Tingginya inflasi IHK tidak lepas dari pengaruh ekspektasi inflasi oleh produsen dan pedagang serta konsumen. Tingginya ekspektasi inflasi pada produsen dan pedagang terutama dipengaruhi oleh tingginya inflasi tahun sebelumnya. Sedangkan ekspektasi para konsumen terutama dipengaruhi
(31)
14 oleh ekspektasi kenaikan harga barang-barang yang dikendalikan pemerintah dan ekspektasi nilai tukar rupiah.
Tingkat inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase sebuah indeks harga. Indeks harga tersebut diantaranya:
1. Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa.
2. Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
Menurut Mankiw (2003) terdapat beberapa perbedaan di antara dua ukuran tersebut. Deflator PDB mengukur harga seluruh barang dan jasa yang diproduksi, meliputi barang dan jasa yang diproduksi secara domestik, dan mengagregatkan berbagai tingkat harga (memungkinkan kelompok barang berubah setiap saat bila komposisi PDB berubah). Sedangkan, CPI hanya mengukur harga barang dan jasa yang dibeli konsumen, dan menggunakan timbangan tetap terhadap harga barang-barang yang berbeda (dihitung dengan menggunakan sekelompok barang tetap).
2.6 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah
Pemerintah tidak hanya berperan menyusun regulasi untuk mengatur kehidupan bernegara namun juga melaksanakan kegiatan ekonomi melalui instrumen belanja pemerintah. Dewasa ini peran pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih sangat dibutuhkan seperti penyelenggaran pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan penyediaan infrastruktur. Kegiatan tersebut tertuang dalam APBD yang digunakan untuk keperluan belanja rutin pegawai dan keperluan pembiayaan pembangunan. Pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Peran yang dimiliki oleh pemerintah ini digunakan terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatan pelayanan yang tidak dapat dilakukan oleh pihak swasta. Jumlah pengeluaran pemerintah ini merupakan salah satu komponen penting dari PDRB.
Anaman (2004) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya bila terlalu boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara mandiri. Tetapi
(32)
15 pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Belanja pembangunan pemerintah meliputi seluruh pengeluaran yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Belanja Pembangunan dirinci atas belanja modal aset tetap/fisik, dan belanja modal aset lainnya/non-fisik.
2.7 Investasi
Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa tabungan domestik, tenaga kerja, teknologi, dan sebagainya. Faktor eksternal bisa berupa investasi dari luar daerah dan ekspor ke luar daerah. Investasi merupakan prasyarat bagi peningkatan produksi. Investasi merupakan unsur PDB yang paling sering berubah. Bila selama resesi pengeluaran atas barang dan jasa turun, maka penurunan tersebut terkait dengan turunnya pengeluaran investasi (Mankiw, 2003). Investasi atau dikenal juga dengan penanaman modal merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu kegiatan pembangunan, sebab dengan penanaman modal dapat mengubah sumber daya manusia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata. Melalui penanaman modal akan dihasilkan barang dan jasa, memperluas kesempatan berusaha, melaksanakan alih teknologi yang bermuara pada pengentasan kemiskinan dan memperkecil kesenjangan pendapatan antar daerah.
Otonomi daerah telah ditanggapi oleh pemerintah daerah dengan berbagai cara. Berdasarkan alasan untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD), Pemda menerapkan beberapa pungutan, pajak, sumbangan sukarela, dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada investor dan kegiatan bisnisnya. Penerapan tersebut mengakibatkan distorsi perdagangan dan tidak sesuai dengan semangat UU No.32/2004, dan menyebabkan kekhawatiran pihak investor. Dalam menetapkan peraturan terdapat lemahnya perencanaan dan koordinasi peraturan perundangan, baik pada tingkat vertikal (antara pemerintah pusat-provinsi-kabupaten/kota) maupun pada tingkat horizontal (antar kementerian dan badan/instansi lainnya). Akibatnya, muncul peraturan dan kebijakan daerah yang dibuat berdasarkan fanatisme kedaerahan yang dapat mempengaruhi kinerja dan produktifitas kegiatan investasi.
(33)
16 2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.8.1 Penelitian Mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional
Dalam penelitiannya, Kuncoro (2004) mengambil judul “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan antar Kecamatan: Kasus Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah”. Penelitian ini menggunakan alat analisis indeks ketimpangan regional yaitu tipologi daerah, indeks Williamson, indeks entropi Theil, hipotesis Kuznets dan korelasi Pearson. Dalam penelitiannya dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa dalam periode pengamatan 1993-2000, terjadi
kecenderungan peningkatan ketimpangan, baik di analisis dengan indeks Williamson maupun dengan indeks entropy Theil. Ketimpangan antar kecamatan yang terjadi di Kabupaten Banyumas dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2000 cenderung meningkat. Dimana yang menyebabkan ketimpangan ini salah satunya adalah disebabkan oleh aktivitas ekonomi secara spasial.
Berdasarkan tipologi daerah menurut pertumbuhan dan pendapatan per kapita, daerah/kecamatan di Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok:
1. Daerah/kecamatan yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high
income): Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Ajibarang, Sokaraja, Purwokerto
Selatan, Purwokerto Barat, Purwokerto Timur.
2. Daerah/kecamatan maju tapi tertekan (high income but low growth): Kecamatan Wangon, Somagede, dan Baturaden.
3. Daerah/kecamatan yang berkembang cepat (high growth but low income): Kecamatan Kebasen, Purwojati, Cilongok, Karanglewas, dan Purwokerto Utara.
4. Daerah/kecamatan yang relatif tertinggal (low growth and low income): Kecamatan Lumbir, Jatilawang, Ralawon, Kemranjen, Sumpih, Tambak, Patikraja, Gumelar, Pekuncen, Kedungbanten, dan Sumbang.
Dalam penelitian ini hipotesis kurva U-terbaliknya Kuznets dapat dikatakan berlaku di Kabupaten Banyumas. Hal ini berarti bahwa, pada masa awal pertumbuhan ketimpangan memburuk dan pada tahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun.
(34)
17 2.8.2 Penelitian Mengenai Ketimpangan Regional dan Krisis Ekonomi
Dalam penelitiannya yang berjudul “Regional of Inequality in Indonesia
and The Initial Impact of The Economic Crisis”, Akita dan Alisyahbana (2002)
mengukur ketimpangan dengan menggunakan indeks entropi Theil berdasarkan pada district-level GDP dan data populasi pada periode 1993-1998. Total kesenjangan pendapatan regional meningkat secara signifikan pada periode 1993-1997 yaitu dari 0,262-0,287. Selama itu pula Indonesia mencapai angka pertumbuhan rata-rata pertahun lebih dari 7%. Sehingga, kesenjangan dalam propinsi memainkan peran yang semakin penting di dalam penentuan total kesenjangan pendapatan regional, atau mencapai kira-kira setengah dari seluruh kesenjangan pendapatan regional pada tahun 1997. Kesenjangan antar propinsi dan antar daerah memberi konstribusi secara berturut-turut sebesar 43,1% dan 7,2%. Akan tetapi akan sangat menyesatkan jika meningkatnya atau berkurangnya kesenjangan regional hanya didasarkan pada data propinsi, khususnya pada saat ekonomi berkembang dengan sangat cepat dan mengalami perubahan struktural yang signifikan.
Dilihat dari segi GDP per kapita, krisis ekonomi menyebabkan ekonomi Indonesia kembali ke level di tahun 1995. Tetapi dampaknya sangat berbeda antara propinsi dan kabupaten, namun demikian total kesenjangan pendapatan regional, seperti diukur menggunakan data tingkat kabupaten, turun ke 0,266 pada tahun 1998 yang sesuai dengan level pada tahun 1993-1994. Daerah Jawa-Bali memainkan peran yang menyolok dalam penurunan ini. DKI Jakarta merupakan provinsi yang terkena implikasi terparah di Indonesia. Dikarenakan adanya ketergantungan pada sektor-sektor penghasil non-migas, keuangan dan konstruksi, yang berdampak tidak menguntungkan terhadap adanya krisis. GDP per kapita DKI Jakarta turun sampai hampir 20%, kembali pada tingkat terendah pada tahun 1993. Ekonomi propinsi-propinsi Jawa lainnya juga menyusut secara signifikan, tetapi dampaknya tidak separah di Jakarta. Sebagai akibatnya, jurang pemisah GDP per kapita antara DKI Jakarta dan provinsi-provinsi Jawa-Bali lainnya menjadi menyempit.
Selain pulau Jawa-Bali, Sumatra juga mengalami penurunan GDP per kapita sebesar 7% sebagai akibat adanya krisis. Akan tetapi krisis ekonomi tidak begitu berpengaruh yang sangat kuat terhadap Kalimantan dan Sulawesi. Dampak krisis ekonomi muncul secara tidak proposional dalam area-area
(35)
18 perkotaan di Jawa-Bali. Di DKI Jakarta dan Jawa Barat, serta kabupaten-kabupaten Jabotabek sangat terpengaruh, dengan pengecualian Jakarta Pusat, semuanya mencatat penurunan 20% atau lebih dalam GDP per kapita. Akibatnya kesenjangan dalam propinsi untuk propinsi Jawa Barat mengalami penurunan. Begitu juga di Jawa Tengah dan di Jawa Timur, hal ini disebabkan karena penurunan yang sangat tinggi GDP per kapita di kota-kota utama propinsi.
(36)
19
III. METODE KAJIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Kebijakan ekonomi disusun dengan menggunakan berbagai macam indikator makro, seperti PDRB beserta komponen-komponennya, inflasi, pertumbuhan penduduk, nilai tukar rupiah, harga dasar minyak, dan lain–lain yang sesuai dengan sifatnya ditujukan untuk memberikan “warning”. Penggunaan indikator makro ke dalam bentuk perencanaan program yang lebih spesifik bertujuan agar dapat mengidentifikasi pencapaian pertumbuhan perekonomian. PDRB dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian suatu daerah.
Pengeluaran pemerintah daerah dan investasi swasta adalah komponen yang diperhitungkan dalam PDRB. Kedua komponen tersebut memberikan nilai tambah pada kegiatan ekonomi daerah. Inflasi yang dilihat sebagai perubahan PDRB nominal, menunjukan adanya perubahan seluruh tingkat harga dalam perekonomian daerah. Komponen-komponen dalam PDRB menunjukan kemampuan pengelolaan unit ekonomi di suatu daerah yang berdampak pada kemakmuran masyarakat di daerah tersebut, oleh sebab itu angka PDRB digunakan sebagai alat pembanding tingkat kemakmuran antar daerah. Dalam pengertian lain, PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Oleh karena itu, nilai PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat tergantung pada potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia dan teknologi (faktor produksi) di daerah tersebut. Kondisi terbatasnya sumberdaya alam dan penyediaan faktor-faktor produksi tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah. Ditinjau dari aspek spasial, analisis antar region menurut kabupaten/kota akan memberikan gambaran perbedaan pola tentang hasil–hasil pembangunan ekonomi antar suatu kabupaten/kota. Akibat perbedaan tersebut dapat menyebabkan kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota. Untuk itu, diperlukan strategi dan program yang berorientasi pada kondisi daerah disekitarnya. Strategi dan program tersebut adalah upaya pemerintah menuju peningkatan pembangunan agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Berdasarkan Hubungan variabel-vaiabel tersebut di atas, maka kerangka pemikiran kajian tentang strategi pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Jawa
(37)
20
Pembangunan Ekonomi (Pertumbuhan Ekonomi)
Disparitas Pendapatan
Inflasi
Rancangan Strategi & Program
Perencanaan Pembangunan Daerah/Regional
Pengeluaran Pemb.Pemda
Investasi Swasta
PDRB
Barat berdasarkan pendekatan disparitas pendapatan antar kabupaten/kota dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
3.2 Lokasi dan Waktu Kajian
Kontribusi ekonomi Jawa Barat terhadap perekonomian Nasional rata-rata, selama tahun 2004-2006, adalah 13,8%. Kontribusi ini terbilang besar bila dibandingkan dengan provinsi lainnya. Fakta ini menggambarkan Jawa Barat mempunyai potensi ekonomi yang dapat terus dikembangkan dan diolah secara lebih baik lagi. Kedekatan dengan pasar, ketersediaan bahan baku dan ketersediaan faktor produksi lainnya merupakan potensi sumber daya dan nilai tambah bagi Jawa Barat. Selain menjadi lokasi penting bagi aktivitas ekonomi Nasional, Jawa Barat juga merupakan pasar yang luar biasa besar. Jumlah
(38)
21 penduduk dengan dipadukan tingginya aktivitas ekonomi dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi bagi Jawa Barat di masa mendatang.
Namun demikian, pada analisis tingkat regional (Kabupaten dan Kota) cenderung terjadi perbedaan tingkat perekonomian yang dipengaruhi berbagai faktor, misalnya jumlah penduduk, kekayaan alam, kedekatan dengan kota pusat-pusat pertumbuhan, aksesibilitas dan kondisi geografis. Disparitas yang terlalu lebar memang sepantasnya dikurangi sebagai wujud dari pemerataan kesejahteraan antar kabupaten/kota. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka Jawa Barat penulis pilih sebagai lokasi kajian dengan estimasi waktu 3 bulan dari bulan September hingga November 2008.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, BPS Provinsi Jawa Barat, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumen. Dari pengumpulan data sekunder tersebut maka diperoleh dua jenis data, yaitu data antar waktu (time series) dan data antar individu (cross section).
Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu kabupaten/kota yang terdiri dari data 12 tahun yaitu tahun 1995-2006. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu (kabupaten/kota), dalam kajian ini terdiri dari 25 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data PDRB kabupaten/kota tanpa minyak dan gas berdasarkan harga berlaku, angka inflasi, angka pengeluaran pembangunan pemerintah dalam APBD dan angka investasi swasta kabupaten/kota di Jawa Barat. Sehingga, jumlah observasi terdiri atas deret waktu t>1 dan jumlah observasi deret lintang n>1, dengan t adalah tahun 1995-2006 (12 tahun) dan n adalah jumlah kabupaten/kota, yaitu 25 kabupaten/kota.
3.4 Metode Analisis Data
Dalam kajian ini digunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis diskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat berdasarkan hasil perhitungan indeks kesenjangan. Analisis kuantitatif yaitu analisis model regresi untuk mengetahui
(39)
22 faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan antar kabupaten/kota yang kemudian digunakan untuk menyusun strategi pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat.
3.4.1 Analisis Indeks Kesenjangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota Untuk mengukur besarnya kesenjangan pendapatan sesuai dengan tujuan pertama kajian, digunakan Indeks Theil sebagai alat analisis mengukur entropi atau ketidakteraturan dari ketidakmerataan (Etharina, 2005). Theil’s
Coefficient of Concentration telah menjadi indeks yang sangat popular untuk
menganalisis distribusi spasial dan memiliki keunggulan dibanding dengan indeks kesenjangan lainnya. Indeks ketimpangan entropi theil mengukur ketimpangan secara rinci dalam sub unit geografis yang lebih kecil, yang berguna untuk mengetahui kecenderungan konsentrasi geografis.
Wibisono (2003) menyatakan bahwa Indeks Theil mempunyai beberapa keunggulan yaitu: independen terhadap jumlah daerah-daerah sehingga dapat digunakan sebagai pembanding disparitas dari sistem regional yang berbeda-beda, dan dapat didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra kelompok daerah menjadi disparitas between dan disparitas within wilayah kelompok atau group.
Menurut Kuncoro (2004) ukuran Indeks Theil tidak memiliki batas atas atau batas bawah, apabila semakin besar maka semakin timpang dan semakin kecil maka semakin merata. Untuk pendapatan perkapita yang merata sempurna, Indeks Theil diberi bobot nilai nol (Wibisono, 203). Rumus indeks entropi Theil adalah sebagai berikut (Ying, 2000 dalam Kuncoro, 2004):
Dimana:
Itheil = Indeks entropi Theil;
yj = PDRB per kapita di kabupaten/kota j;
Y = rata-rata PDRB per kapita Jawa Barat; xj = jumlah penduduk di kabupaten/Kota j;
X = jumlah penduduk Jawa Barat.
Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana kondisi kesenjangan di provinsi Jawa Barat maka dihitung kesenjangan antar kelompok/group dan dalam kelompok/group, dengan rumus sebagai berikut:
(40)
23
Dimana:
Ibetween = kesenjangan antar group (between-region inequality);
Iwithin = kesenjangan dalam group (within-region inequality);
Yi = jumlah pangsa PDRB masing-masing group ( Yj/Y tiap group);
Xi = jumlah pangsa penduduk masing-masing group ( Xj/X tiap group);
Koefisien theil dapat diinterpretasikan sebagai logaritma dari rata-rata geometri tertimbang dari pendapatan per kapita kabupaten/kota yang dideflasikan dengan rata-rata provinsi.
Langkah mendekomposisi disparitas pendapatan di Jawa Barat dengan Indeks Theil dalam kajian ini menggunakan pengelompokan kabupaten/kota. Pengelompokan yang digunakan adalah terdiri dari: (1) kelompok kewilayahan, dan (2) kelompok daerah kaya dan miskin. Mengacu pada Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor 68 Tahun 2000 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Unit Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Provinsi Jawa Barat, pembagian kabupaten/kota kedalam kelompok Bakorwil adalah sebagai berikut: a. Bakorwil Purwakarta terdiri dari: Kabupaten Purwakarta, Subang, Karawang,
Bekasi; dan Kota Bekasi.
b. Bakorwil Bogor terdiri dari: Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur; Kota Bogor, Sukabumi, dan Depok.
c. Bakorwil Priangan terdiri dari: Kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis; Kota Bandung, Tasikmalaya, Cimahi dan Banjar. d. Bakorwil Cirebon terdiri dari: Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka,
Kuningan; dan Kota Cirebon.
Selanjutnya, pembagian kelompok kaya dan miskin adalah merujuk pada Etharina (2005), yaitu bahwa batasan daerah kaya dan miskin adalah dengan membandingkan rata-rata pendapatan per kapita daerah kabupaten/kota dengan rata-rata pendapatan per kapita propinsi pada kurun waktu yang sama, sehingga: (i) Kabupaten/kota yang masuk dalam Kelompok Kaya, bila rata-rata PDRB per
kapitanya > rata-rata PDRB perkapita propinsi;
(ii) Kabupaten/kota yang masuk dalam Kelompok Miskin, bila rata-rata PDRB per kapitanya rata-rata PDRB perkapita propinsi.
(41)
24 Hasil pembagian kelompok daerah kaya dan miskin adalah sebagai berikut: a. Kelompok Kaya: Kabupaten Bogor, Bandung, Bekasi, Purwakarta, Karawang;
Kota Bandung, Cirebon, Bekasi, dan Cimahi.
b. Kelompok Miskin: Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang; Kota Bogor, Sukabumi, Depok, Tasikmalaya, dan Banjar.
3.4.2 Analisis Model Regresi Data Panel
Tujuan kedua kajian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan antar kabupaten/kota yang kemudian digunakan untuk menyusun strategi pembangunan ekonomi sebagai upaya memperkecil atau bahkan menghilangkan kesenjangan pendapatan yang ada. Untuk menganalisis hubungan faktor-faktor tersebut dengan disparitas pendapatan maka dibangun suatu model ekonometrika. Model tersebut adalah Model Regresi Data Panel. Data Panel adalah gabungan dari data time series
dan data cross section. Pada data panel, nilai satu variabel atau lebih
dikumpulkan untuk beberapa unit sampel pada suatu periode waktu (Gujarati, 2002). Beberapa keuntungan menggunakan data panel antara lain adalah: (1) dapat memberikan jumlah pengamatan yang besar, meningkatkan degree of
freedom (derajat kebebasan), data memiliki variabilitas yang besar dan
mengurangi kolinieritas antara variabel penjelas, dimana dapat menghasilkan estimasi ekonometri yang efisien, (2) data panel dapat memberikan informasi lebih banyak yang tidak dapat diberikan hanya oleh data cross section atau time
series saja, (3) data panel dapat memberikan penyelesaian yang lebih baik
dalam inferensi perubahan dinamis dibanding data cross section.
Model yang dapat digunakan untuk menganalisis data panel, menurut Widarjono (2005) adalah:
1. Fixed effect model, dengan kemungkinan-kemungkinan antara lain:
- diasumsikan intersep dan slope tetap sepanjang waktu dan individu, dan perbedaan intersep dan slope dijelaskan oleh residual
- diasumsikan slope tetap tetapi intersep berbeda antar individu
- diasumsikan slope tetap tetapi intersep berbeda baik antar waktu maupun antar individu
- diasumsikan intersep dan slope berbeda antar individu
(42)
25 Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diakomodir dalam perbedaan intersepnya. Dalam mengestimasi model ini digunakan teknik variabel dummy atau disebut Least Square Dummy Variable (LSDV).
2. Random effect model, melihat bahwa residualnya mungkin berhubungan
antar waktu dan individu. Pada model ini intersep diasumsikan random. Widarjono (2005) menyatakan bahwa model ini berguna jika sampel yang dipilih adalah random dan merupakan wakil dari populasi. Metode yang tepat untuk mengestimasi model ini adalah Generalized Least Square (GLS), karena model ini terdapat korelasi antar residual sehingga metode Ordinary
Least Squares (OLS) tidak dapat digunakan untuk mengestimasi secara
efisien.
Analisis kuantitatif dalam kajian ini adalah merupakan intepretasi dari model regresi panel yang menunjukan pola hubungan antar variabel. Berdasarkan hubungan PDRB = C + I + G + NX, dan hasil Indeks Disparitas yang merupakan geometri dari PDRB, serta inflasi dilihat sebagai perubahan PDRB nominal yang mencerminkan perubahan tingkat harga, maka diasumsikan komponen-komponen tersebut membentuk atau mempengaruhi disparitas pendapatan antar kabupaten/kota. Dari asumsi tersebut, hipotesis yang dapat dirumuskan terkait dengan variabel-variabel kajian adalah sebagai berikut: 1. Diduga Inflasi berpengaruh secara positif terhadap disparitas pendapatan. 2. Diduga Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah berpengaruh secara
positif terhadap disparitas pendapatan.
3. Diduga Investasi Swasta berpengaruh secara positif terhadap disparitas pendapatan.
Dari asumsi dan hipotesis tersebut hubungan disparitas dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat diformulasikan sebagai berikut:
Disparitas = f(Inflasi,Pemb,Investasi) Dalam bentuk persamaan adalah:
Disparitasit = o + 1 Inflasiit + 2 LnPembit + 3 LnInvestasiit + t
dimana:
Disparitas = Kesenjangan Pendapatan
0, 1, 2, 3 = Koefisien regresi
Inflasi = Angka Inflasi (%)
(43)
26 Investasi = Jumlah Investasi Swasta (Rp)
i = Kabupaten/Kota (1,2,…,n)
t = Waktu (1,2,…,n)
t = Error Term
Sebelum dilakukan analisis terhadap model regresi, dilakukan beberapa prosedur uji, yaitu:
a. Untuk melihat apakah data bersifat stasioner atau tidak, guna menghindari terjadinya regresi lancung dan autokorelasi dilakukan uji akar unit.
b. Untuk menentukan jenis model yang akan digunakan, maka dilakukan uji
Hausmann agar terpilih model yang paling baik dalam mengestimasi
disparitas pendapatan antar kabupaten/kota. Penilaian uji ini adalah menggunakan nilai Chi-Square (χ2) dengan kriteria apabila χ2hitung>χ2tabel
maka model yang digunakan adalah fixed effect. Selain itu, menurut Wooldridge (2000) dalam Widarjono (2005) berpendapat jika tidak dapat diputuskan apakah data yang diperoleh acak dan berasal dari populasi yang besar, pilihan model fixed effect adalah lebih tepat.
c. Untuk melihat hubungan atau pengaruh antara variabel independen secara serempak dan individual terhadap variabel dependen maka dilakukan uji F
dan uji t pada derajat kepercayaan ( ) sebesar 10%. Hipotesis uji t yang
digunakan adalah sebagai berikut:
H0 : i =0, maka variabel independen tidak secara nyata mempengaruhi
variabel dependen.
H1 : i 0, maka variabel independen secara nyata mempengaruhi
variabel dependen.
Kriteria hasil pengujian adalah: H0 diterima (tidak signifikan) jika thitung < ttabel
H0 ditolak (signifikan) jika thitung > ttabel
Selanjutnya, dari hasil analisis kuantitatif model, maka sesuai dengan tujuan ketiga, disusun perumusan startegi dan program untuk membantu Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dalam menentukan langkah dan arah kebijakan strategis. Hasil pendugaan parameter model akan memberikan gambaran elastisitas variabel-variabel kajian guna perumusan strategi dan program peningkatan pembangunan ekonomi regional yang lebih baik.
(1)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 01/20/09 Time: 22:02
Sample: 1995 2006 Included observations: 12 Cross-sections included: 25
Total pool (balanced) observations: 300
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.152028 0.014874 10.22137 0.0000
INFLASI? 0.000833 0.001192 0.699294 0.4850
GPEMB? 0.024439 0.004250 5.750027 0.0000
INV? 0.001228 0.001125 1.090882 0.2763
Fixed Effects (Cross) Fixed Effects (Period)
_KABBOGOR--C -0.124784 1995--C -0.129573
_KABSUKABUMI--C 0.361474 1996--C -0.112632
_KABCIANJUR--C -0.165309 1997--C 0.070166
_KABBANDUNG--C 0.878633 1998--C 0.094151
_KABGARUT--C 0.502679 1999--C 0.014218
_KABTASIKMALAYA--C -0.192110 2000--C -0.004891
_KABCIAMIS--C -0.166889 2001--C -0.032285
_KABKUNINGAN--C -0.154952 2002--C -0.039111
_KABCIREBON--C 0.355039 2003--C 0.042317
_KABMAJALENGKA--C -0.173875 2004--C 0.021830
_KABSUMEDANG--C -0.161355 2005--C 0.028005
_KABINDRAMAYU--C -0.154916 2006--C 0.047806
_KABSUBANG--C -0.191512
_KABPURWAKARTA--C -0.108521
_KABKARAWANG--C -0.171690
_KABBEKASI--C -0.062309
_KOTABOGOR--C -0.478297
_KOTASUKABUMI--C 1.438784
_KOTABANDUNG--C -0.146868
_KOTACIREBON--C -0.068700
_KOTABEKASI--C -0.730295
_KOTADEPOK--C -0.211253
_KOTACIMAHI--C -0.283826
_KOTATASIKMALAYA--C 0.155719
_KOTABANJAR--C 0.055132
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
Period fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.645226 Mean dependent var 0.286620
Adjusted R-squared 0.593573 S.D. dependent var 0.677121
S.E. of regression 0.431675 Sum squared resid 48.63568
F-statistic 12.49159 Durbin-Watson stat 1.777084
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.531373 Mean dependent var 0.198010
(2)
Dependent Variable: THEIL?
Method: Pooled EGLS (Period weights) Date: 02/18/09 Time: 13:58
Sample: 1995 2006 Included observations: 12 Cross-sections included: 5
Total pool (balanced) observations: 60
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.457114 0.024162 18.91876 0.0000
INFLASI? 0.003368 0.001929 1.745385 0.0884
GPEMB? 0.055338 0.044993 1.229935 0.2257
INVESTASI? -0.001015 0.001694 -0.598824 0.5526
Fixed Effects (Cross)
_KABSUBANG--C -0.465465
_KABPURWAKARTA--C 0.075181
_KABKARAWANG--C -0.508275
_KABBEKASI--C 0.672469
_KOTABEKASI--C 0.226091
Fixed Effects (Period)
1995--C 0.052687
1996--C 0.116118
1997--C 0.065768
1998--C -0.301957
1999--C -0.052309
2000--C 0.085695
2001--C -0.099732
2002--C -0.068410
2003--C -0.012709
2004--C -0.008336
2005--C -0.032816
2006--C 0.256002
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
Period fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.974904 Mean dependent var 1.085660
Adjusted R-squared 0.963886 S.D. dependent var 1.281059
S.E. of regression 0.243447 Sum squared resid 2.429932
F-statistic 88.48498 Durbin-Watson stat 1.280476
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.818190 Mean dependent var 0.495495
(3)
Dependent Variable: THEIL?
Method: Pooled EGLS (Period weights) Date: 02/18/09 Time: 14:06
Sample: 1995 2006 Included observations: 12 Cross-sections included: 6
Total pool (balanced) observations: 72
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.364176 0.021421 17.00106 0.0000
INFLASI? 0.004081 0.001647 2.476898 0.0165
GPEMB? 0.045872 0.040350 1.136863 0.2608
INVESTASI? -0.001435 0.001370 -1.047144 0.2999
Fixed Effects (Cross)
_KABBOGOR--C -0.380341
_KABSUKABUMI--C 0.159235
_KABCIANJUR--C -0.423891
_KOTABOGOR--C 0.765544
_KOTASUKABUMI--C 0.309943
_KOTADEPOK--C -0.430489
Fixed Effects (Period)
1995--C 0.055074
1996--C 0.110670
1997--C 0.062769
1998--C -0.335552
1999--C -0.023299
2000--C 0.088478
2001--C -0.076764
2002--C -0.032742
2003--C -0.004917
2004--C -0.031732
2005--C -0.020928
2006--C 0.208944
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
Period fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.976429 Mean dependent var 0.876148
Adjusted R-squared 0.967817 S.D. dependent var 1.243712
S.E. of regression 0.223119 Sum squared resid 2.588664
F-statistic 113.3739 Durbin-Watson stat 1.476890
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.837623 Mean dependent var 0.410041
(4)
Dependent Variable: THEIL?
Method: Pooled EGLS (Period weights) Date: 02/18/09 Time: 14:22
Sample: 1995 2006 Included observations: 12 Cross-sections included: 8
Total pool (balanced) observations: 96
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.290762 0.018809 15.45881 0.0000
INFLASI? 0.001528 0.001615 0.946051 0.3472
GPEMB? 0.023406 0.033996 0.688498 0.4933
INVESTASI? -0.000933 0.001111 -0.840262 0.4035
Fixed Effects (Cross)
_KABBANDUNG--C -0.272384
_KABGARUT--C 0.265924
_KABTASIKMALAYA--C -0.315982
_KABCIAMIS--C 0.840696
_KABSUMEDANG--C 0.418804
_KOTABANDUNG--C -0.324001
_KOTACIMAHI--C -0.318537
_KOTABANJAR--C -0.294521
Fixed Effects (Period)
1995--C 0.030838
1996--C 0.078833
1997--C 0.038435
1998--C -0.179619
1999--C -0.054713
2000--C 0.095807
2001--C -0.067596
2002--C -0.028290
2003--C 0.000498
2004--C -0.045577
2005--C -0.008768
2006--C 0.140151
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
Period fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.971632 Mean dependent var 0.601081
Adjusted R-squared 0.963582 S.D. dependent var 1.042645
S.E. of regression 0.198972 Sum squared resid 2.929664
F-statistic 120.6961 Durbin-Watson stat 1.386347
Prob(F-statistic) 0.000000
(5)
Dependent Variable: THEIL?
Method: Pooled EGLS (Period weights) Date: 02/18/09 Time: 14:27
Sample: 1996 2006 Included observations: 11 Cross-sections included: 5
Total pool (balanced) observations: 55
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.506629 0.028520 17.76396 0.0000
INFLASI? -0.003000 0.001060 -2.830523 0.0075
GPEMB? -0.021960 0.049378 -0.444734 0.6591
INVESTASI? -0.001574 0.004426 -0.355596 0.7242
Fixed Effects (Cross)
_KABKUNINGAN--C -0.415549
_KABCIREBON--C 0.054425
_KABMAJALENGKA--C -0.361216
_KABINDRAMAYU--C 0.254992
_KOTACIREBON--C 0.467349
Fixed Effects (Period)
1996--C -0.213822
1997--C -0.052421
1998--C -0.172222
1999--C 0.413485
2000--C 0.056824
2001--C 0.170455
2002--C -0.020304
2003--C -0.060130
2004--C -0.082593
2005--C -0.029817
2006--C -0.009455
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
Period fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.865788 Mean dependent var 0.729056
Adjusted R-squared 0.804123 S.D. dependent var 0.830467
S.E. of regression 0.367548 Sum squared resid 4.998395
F-statistic 14.04015 Durbin-Watson stat 0.981848
(6)
LPE Kab/Kota yang meningkat dari tahun sebelumnya
Data BPS Indeks Kesenjangan yang makin mendekati 0 Koefisien Entropi Theil
Inflasi Terkendali Angka inflasi yang wajar Data BI, BPS Gejolak Inflasi tidak tinggi
Terpenuhinya dana Pengeluaran Pemb. Realokasi dan Keterkaitan belanja dengan
kabupaten/kota lain Data APBD Kab/Kota
Terlaksananya Proyek Prioritas memenuhi kebutuhan dasar masyarakat & investor Penanaman Modal oleh Investor Angka PMDN & PMA Data BKPM dan BKPMD Peyerapan tenaga kerja dan distribusi
kepemilikan modal Terbentuknya TPID kecukupan pasokan kebutuhan masyarakat,
kelancaran distribusi barang/jasa, minimalisasi gangguan harga dan pemahaman masyarakat (sosialisasi)
Data BI & SKPD Kab/Kota Koordinasi dalam pelaksanaan tugas tim harus solid
Terbentuknya BKD Perjanjian Kerjasama Data SKPD Kab/Kota Penentuan mitra kerjasama dan objek
kerjasama yang memihak masyarakat Terpetakan potensi, sinkronisasi peraturan, dan
terlaksananya pelayanan prima
Peta investasi, kemudahan penanaman modal, dan pengurusan dokumen
Data BKPMD dan SKPD Kab/Kota
Objek investasi harus jelas, berorientasi melayani investor/masyarakat
ACTIVITIES : Pengendalian Inflasi Kerjasama antar Daerah
Promosi, Deregulasi dan Debirokratisasi Bidang Investasi
Personil : Pegawai Pemda, KBI Bandung/Tasikmalaya/Cirebon - Dana : Alokasi honorarium, sosialisasi, survei - Material : Bahan pelaksanaan tugas, peraturan, laporan-laporan, studi banding/kajian - Waktu : selama tahun anggaran (tiap tahun) Peningkatan pembangunan Ekonomi dan
Rendahnya Kesenjangan Pendapatan Kab/Kota di Jabar
PDRB Kab/Kota Meningkat GOAL :
PURPOSE :
OUTPUTS :