53 program terhadap seluruh kabupatenkota dengan pendekatan dimensi spasial
menuju proses konvergensi agar kesenjangan pendapatan antar kabupatenkota makin memudar. Masing-masing kabupatenkota di Jawa Barat dapat
mengaplikasikan rumusan startegi dan program melalui upaya koordinasi dan kerja sama dengan kabupatenkota tetangganya.
5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Perekonomian Regional KabupatenKota di Jawa Barat
5.3.1 Inflasi Regional
Tanda positif pada koefisien variabel bebas inflasi hasil regresi menunjukan bahwa terjadi hubungan positif antara harga-harga dengan kondisi
ekonomi makro kabupatenkota yang dalam hal ini terkait erat dengan PDRB kabupatenkota tersebut . Pada tahun-tahun krisis ekonomi melanda, inflasi yang
tinggi memiliki efek negatif bagi perekonomian sebab inflasi tersebut akan mengganggu mobilisasi dana domestik dan tingkat investasi kabupatenkota.
Prospek pembangunan ekonomi kabupatenKota di Jawa Barat akan memburuk jika terjadi inflasi yang tinggi dan tidak dikendalikan, sebab akan mengurangi
investasi produktif, mengurangi ekspor dan menaikan impor barang sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi. Secara umum rumah tangga dan
perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi yang tinggi dan tidak dapat diprediksi.
Inflasi mempengaruhi upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari perbedaan pencapaian pendapatan PDRB tiap kabupatenkota.
Pengaruh inflasi yang tidak nyata terhadap kesenjangan pendapatan memperlihatkan peranan inflasi di Jawa Barat yang bergerak lambat, sehingga
menjadi stimulator dan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu jika terjadi kenaikan harga-harga maka tidak segera diikuti oleh
kenaikan sektor lain seperti upah, sewa, dan lain-lain, sehingga akan menambah keuntungan pada kegiatan usaha. Pertambahan keuntungan akan mendorong
investasi yang pada tahap berikutnya akan memberikan tambahan pada upahsewa dan mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi kabupatenkota.
Dari telaahan terhadap data inflasi, selama periode 1995-2006 rata-rata inflasi Jabar adalah 12,7 dengan rata-rata laju peningkatan 0,81 per tahun.
Kabupatenkota yang mempunyai rata-rata laju peningkatan inflasi yang tertinggi adalah Kota Banjar 3,75 dan yang terendah adalah Kota Cirebon 0,03.
54 Secara lokasi Kota Banjar mempunyai kendala aksesibilitas yang mempengaruhi
kemudahan dan ketersediaan pemenuhan kebutuhan, secara dimensi spasial jarak Kota Banjar relatif jauh dengan KabupatenKota pusat aktivitas ekonomi
misalnya: Bandung dan Cirebon. Pemenuhan permintaan atas barang dan jasa sangat mempengaruhi laju inflasi suatu kabupatenkota. Ketersediaan barang
dan jasa didukung oleh adanya sarana infastruktur dan perhubungan yang cukup serta berjalannya proses produksi. Mengingat bahwa inflasi adalah sesuatu yang
Mudah berubah-ubah sesuai kondisi maka tetap perlu adanya upaya pengendalian inflasi kabupatenkota di Jawa Barat agar tetap bergerak lambat.
Dari hasil studi kepustakaan terhadap laporan Bank Indonesia Bandung 2005, peningkatan inflasi yang sangat tajam terjadi pada tahun 1998 sebagai
akibat terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 2005 kenaikan inflasi yang cukup tinggi dipengaruhi oleh kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan,
sebagai akibat kenaikan harga BBM yang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selanjutnya, selama tahun 2002-2006 inflasi kelompok makanan
jadi, minuman, rokok, dan tembakau serta kelompok bahan makanan merupakan tertinggi kedua dan ketiga. Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena bahan
makanan dan makanan jadi adalah kebutuhan primer masyarakat. Kelompok berikutnya yang merupakan bagian dalam pembentukan inflasi di Jawa Barat
secara berurutan adalah kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan, kelompok pendidikan,kelompok sandang, dan kelompok kesehatan. Gambar 12
adalah tren laju inflasi beberapa kabupatenkota yang mewakili Bakorwil. Terjadi pola yang sama pada tahun 1998 dan 2005.
Sumber: BPS Pusat, diolah.
Gambar 12 Tren laju Inflasi beberapa KabupatenKota di Jawa Barat Tahun 1995-2006.
In fl
a si
55 Salah satu karakteristik utama perkembangan inflasi regional Jawa Barat
adalah besarnya faktor musiman, seperti: masa panen raya, tahun ajaran baru, dan hari raya keagamaan. Faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap
pergerakan harga. Faktor musiman tersebut adalah: i Periode setelah musim panen raya padi yang menyebabkan pasokan beras
meningkat, selalu diikuti dengan penurunan harga beras. Karena tingginya nilai konsumsi beras terhadap total konsumsi masyarakat, maka
perkembangan harga sangat sensitif terhadap fluktuasi harga beras. Masa panen raya di Jawa Barat terjadi dua kali dalam setahun, yaitu yang pertama
pada sekitar bulan Maret-April musim panen rendeng, sementara masa panen kedua yang tidak sebesar panen pertama terjadi pada bulan Juli-
Agustus musim panen gadu. Pada kedua periode tersebut terlihat bahwa inflasi kelompok bahan makanan dan inflasi secara umum di Jawa Barat
relatif rendah. Namun, jadwal panen tersebut dapat berubah karena perubahan pergantian musim. Contohnya, pada tahun 2003, musim panen
rendeng yang seharusnya Februari-Maret 2003 mundur menjadi April-Mei 2003, yang selanjutnya akan mempengaruhi musim tanam selanjutnya
musim tanam gadu. ii Masa tahun ajaran baru, yaitu mulai pertengahan tahun hingga bulan
September setiap tahunnya, inflasi kelompok pendidikan mengalami inflasi tertinggi di Jawa Barat. Pada periode tersebut, lembaga-lembaga pendidikan
menetapkan tarif baru sehingga mendorong terjadinya inflasi kelompok pendidikan. Di samping itu, tahun ajaran baru juga mendorong inflasi
kelompok sandang, karena meningkatnya permintaan terhadap pakaian seragam sekolah.
iii Faktor musiman yang paling besar pengaruhnya terhadap inflasi adalah hari raya keagamaan, khususnya hari raya Idul Fitri, natal, dan tahun baru. Laju
inflasi menunjukkan peningkatan signifikan pada masa menjelang Idul Fitri Bulan Ramadhan hingga sekitar sebulan setelahnya, karena kenaikan
harga terjadi pada berbagai komoditas, terutama pada kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, dan kelompok sandang.
iv Faktor musiman lainnya yang cukup besar terhadap inflasi di Jawa Barat, di samping hari raya adalah musim liburan, khususnya liburan sekolah. Karena
lokasi geografis Jawa Barat yang berdekatan dengan Jakarta dan merupakan daerah perlintasan dari wilayah Jawa bagian timur menuju Jakarta, masa
56 liburan mendorong tingkat kunjungan wisatawan domestik ke Jawa Barat,
khususnya Kota Bandung paling besar dalam pembentukan inflasi di Jawa Barat. Tujuan kunjungan sebagian besar wisatawan tersebut adalah wisata
kuliner berbelanja makanan dan fashion berbelanja di factory outlet serta wisata alam. Hal tersebut meningkatkan permintaan semu semu, karena
banyak didorong oleh permintaan masyarakat luar Bandung terhadap beberapa jenis barang dan jasa, seperti makanan jadi, sandang, dan jasa
transportasi. Faktor lain yang cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan inflasi
di Jawa Barat adalah faktor ekspektasi pelaku ekonomi, baik produsen, pedagang, maupun konsumen. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bank
Indonesia Bandung bekerja sama dengan ISEI Cabang Bandung, ekspektasi inflasi membentuk 50-75 inflasi di Jawa Barat. Isurumor yang berkembang di
masyarakat cukup berpengaruh membentuk perilaku atau respon masyarakat terhadap harga. Pengalaman menunjukkan bahwa jika beredar informasi tentang
rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM menaikkan harga BBM dan gaji pegawai pada beberapa bulan yang akan datang, produsen dan pedagang
menaikkan harga barang lebih awal sebelum kebijakan diberlakukan. Sebagai contoh kejadian kenaikan harga jual eceran rokok pada bulan Maret 2006,
padahal kenaikan tersebut diresmikan pemerintah baru pada bulan April 2006. Sementara itu, dampak ekspektasi terhadap perilaku konsumen justru
menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Contohnya pada saat beredarnya isu kelangkaan suatu barang, seperti minyak tanah pada tahun 2007 terkait dengan
program konversi minyak tanah ke gas, masyarakat beramai-ramai memborong barang tersebut karena khawatir tidak dapat memperoleh barang tersebut sama
sekali pada saatnya nanti. Sehingga pada akhirnya justru perilaku konsumen itu yang menyebabkan terjadinya kelangkaan dan naiknya harga barang.
5.3.2 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah