PAKAR 3 Bu Yuli
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
s w
Kerjasama Komersial
e Inovasi
dan Teknologi w
e CR
0,034482759
IV.4. Perbandingan berpasangan antar inisiatif dalam tujuan strategis peningkatan jumlah tenaga kerja terspesialisasi
PAKAR 1 Pak Uhendi
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
s vs
e CR
0,051724138 PAKAR
2 Bu Hani
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
w s
e CR
0,034482759 PAKAR
3 Bu Yuli
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
Kerjasama Komersial
w e
Inovasi dan Teknologi
vs s
e CR
0,051724138
IV.5. Perbandingan berpasangan antar inisiatif dalam tujuan strategis peningkatan kemampuan inovasi dan teknologi
PAKAR 1 Pak Uhendi
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
Kerjasama Komersial
w e
Inovasi dan Teknologi
vs s
e CR
0,051724138 PAKAR
2 Bu Hani
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial w
e s
Inovasi dan Teknologi
e CR
0,034482759 PAKAR
3 Bu Yuli
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
s vs
e CR
0,051724138
IV.6. Perbandingan berpasangan antar inisiatif dalam tujuan strategis peningkatan konsumsi karet alam
PAKAR 1 Pak Uhendi
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
Kerjasama Komersial
w e
Inovasi dan Teknologi
s w
e CR
0,034482759
PAKAR 2 Bu Hani
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
s vs
e CR
0,051724138 PAKAR
3 Bu Yuli
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
s Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
w vs
e CR
0,051724138 IV.7. Perbandingan berpasangan antar inisiatif dalam tujuan strategis penurunan
biaya
PAKAR 1 Pak Uhendi
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
s Kerjasama
Komersial w
e vs
Inovasi dan Teknologi
e CR
0,051724138 PAKAR
2 Bu Hani
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial w
e s
Inovasi dan Teknologi
e CR
0,034482759
PAKAR 3 Bu Yuli
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial w
e s
Inovasi dan Teknologi
e CR
0,034482759 IV.8. Perbandingan berpasangan antar inisiatif dalam tujuan strategis peningkatan
jumlah jumlah kerjasama
PAKAR 1 Pak Uhendi
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
Kerjasama Komersial
w e
Inovasi dan Teknologi
s w
e CR
0,034482759 PAKAR
2 Bu Hani
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
w s
e CR
0,034482759 PAKAR
3 Bu Yuli
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
s Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
w vs
e CR
0,051724138
IV.9. Perbandingan berpasangan antar inisiatif dalam tujuan strategis peningkatan jumlah anggota klaster aktif
PAKAR 1 Pak Uhendi
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
s vs
e CR
0,051724138 PAKAR
2 Bu Hani
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
w Kerjasama
Komersial w
e s
Inovasi dan Teknologi
e CR
0,034482759 PAKAR
3 Bu Yuli
Alternatif Pengembangan
Bisnis Kerjasama
Komersial Inovasi
dan Teknologi Pengembangan
Bisnis e
s Kerjasama
Komersial e
Inovasi dan Teknologi
w vs
e CR
0,051724138 Keterangan
:
e Sama
Penting equally
w Sedikit
lebih penting moderatly
s
Jelas Lebih penting
vs Sangat
jelas lebih penting VS
a
Mutlak Lebih Penting extremely
prefered
Lampiran 3 Contoh Perhitungan FAHP Perbandingan Berpasangan Antar Perspektif untuk Perusahaan
Pakar1 Kinerja Perusahaan
bawah tengah atas Kinerja Perusahaan
1 1
1 Hasil SosialEkonomi
0,142857143 0,2
0,333333333 Efisiensi Kolektif
0,2 0,333333333
1 Modal Sosial
0,142857143 0,2
0,333333333 Hasil SosialEkonomi
bawah tengah
atas Kinerja Perusahaan
3 5
7 Hasil SosialEkonomi
1 1
1 Efisiensi Kolektif
1 3
5 Modal Sosial
0,2 0,333333333
1 Efisiensi Kolektif
bawah tengah atas Kinerja Perusahaan
1 3
5 Hasil SosialEkonomi
0,2 0,333333
1 Efisiensi Kolektif
1 1
1 Modal Sosial
0,14285714 0,2
0,333333 Modal Sosial
bawah tengah atas Kinerja Perusahaan
3 5
7 Hasil SosialEkonomi
1 3
5 Efisiensi Kolektif
3 5
7 Modal Sosial
1 1
1 Pakar 2
Kinerja Perusahaan bawah tengah atas
Kinerja Perusahaan 1
1 1
Hasil SosialEkonomi 0,111111111
0,111111111 0,142857143
Efisiensi Kolektif 0,111111111
0,142857143 0,2
Modal Sosial 0,111111111
0,111111111 0,142857143
Hasil SosialEkonomi bawah tengah atas
Kinerja Perusahaan 7
9 9
Hasil SosialEkonomi 1
1 1
Efisiensi Kolektif 1
3 5
Modal Sosial 0,2
0,333333 1
Efisiensi Kolektif bawah tengah atas
Kinerja Perusahaan 5
7 9
Hasil SosialEkonomi 0,2
0,333333 1
Efisiensi Kolektif 1
1 1
Modal Sosial 0,2
0,333333 1
Modal Sosial bawah tengah atas
Kinerja Perusahaan 7
9 9
Hasil SosialEkonomi 1
3 5
Efisiensi Kolektif 1
3 5
Modal Sosial 1
1 1
Pakar 3 Kinerja Perusahaan
bawah tengah atas Kinerja Perusahaan
1 1
1 Hasil SosialEkonomi
0,142857143 0,2
0,333333333 Efisiensi Kolektif
0,2 0,333333333
1 Modal Sosial
0,142857143 0,2
0,333333333 Hasil SosialEkonomi
bawah tengah atas Kinerja Perusahaan
3 5
7 Hasil SosialEkonomi
1 1
1 Efisiensi Kolektif
1 3
5 Modal Sosial
0,2 0,333333
1
Efisiensi Kolektif bawah tengah Atas
Kinerja Perusahaan 1
3 5
Hasil SosialEkonomi 0,2
0,333333 1
Efisiensi Kolektif 1
1 1
Modal Sosial 0,2
0,333333 1
Modal Sosial bawah tengah atas
Kinerja Perusahaan 3
5 7
Hasil SosialEkonomi 1
3 5
Efisiensi Kolektif 1
3 5
Modal Sosial 1
1 1
Gabungan Pakar
Kriteria Geomean Gabungan Pakar
Bawah Tengah
Atas Kinerja Perusahaan
2,28 3,48
4,33 Hasil SosialEkonomi
0,4 0,64
1,06 Efisiensi Kolektif
0,7 1,28
2,01 Modal Sosial
0,26 0,35
0,65 3,64
5,75 8,05
Kriteria Normalisasi Crisp
Norm Crisp
Bawah Tengah
Atas Kinerja Perusahaan
0,283229814 0,605217391
1,18956 0,67080626
0,580 Hasil SosialEkonomi
0,049689441 0,111304348
0,291209 0,14087673
0,120 Efisiensi Kolektif
0,086956522 0,222608696 0,552198 0,27109293 0,230
Modal Sosial 0,032298137
0,060869565 0,178571
0,08315217 0,070
1,16592809
Lampiran 4. Kuesioner Pemilihan Strategi Manajemen Pengetahuan
Nama : ..................................................
Jabatan : .................................................. Institusi : ..................................................
Petunjuk pengisian Kuesioner : Petunjuk pengisian :
1. Berilah tanda silang x pada label yang sesuai dengan arti penilaian sebagai berikut :
Label Keterangan
E Sama penting equally
W Sedikit lebih penting moderatly
S Jelas lebih penting strongly
VS Sangat jelas lebih penting very strongly
A Mutlak lebih penting extremly preferred
6. Penilaian dilakukan dengan perbandingan berpasangan yaitu membandingkan kriteria
penilaian sebelah kiri atau kolom sama penting E ke kiri dengan penilaian sebelah kanan.
7. Kolom penilaian sebelah kiri digunakan jika kriteria sebelah kiri mempunyai pengaruh
atau kepentingan yang lebih tinggi, sebaliknya kolom penilaian sebelah kanan digunakan jika kriteria sebelah kanan mempunyai pengaruh atau kepentingan lebih
tinggi.
8. Usahakan penilaian BapakIbu konsisten. Misalnya anda menyatakan A lebih penting
dari pada B, dan B lebih penting dari pada C, maka penilaian anda konsisten jika menyatakan A lebih penting daripada C.
9.
Kriteria dan alternatif yang dibandingkan dapat dilihat pada gambar di bawah.
I. Perbandingan berpasangan antar kriteria
Berilah tanda silang pada huruf yang sesuai dalam kolom Penilaian.
II.
Perbandingan berpasangan antar alternatif strategis dalam kriteria dukungan pemerintah
Berilah tanda silang pada huruf yang sesuai dalam kolom Penilaian.
III. Perbandingan berpasangan antar alternatif strategis dalam kriteria komunikasi
Berilah tanda silang pada huruf yang sesuai dalam kolom Penilaian.
IV. Perbandingan berpasangan antar alternatif strategis dalam kriteria budaya dan
orang
Kriteria Penilaian Kriteria
Dukungan pemerintah A VS S W
E W S VS
A Komunikasi Dukungan pemerintah
A VS S W E
W S VS A Budaya
dan Orang
Dukungan pemerintah A VS S W
E W S VS
A Waktu Dukungan pemerintah
A VS S W E
W S VS A Biaya
Komunikasi A VS S W E
W S VS A Budaya
dan Orang
Komunikasi A VS S W E
W S VS A Waktu
Komunikasi A VS S W E
W S VS A Biaya
Budaya dan Orang A VS S W
E W S VS
A Waktu Budaya dan Orang
A VS S W E
W S VS A Biaya
Waktu A VS S W E
W S VS A Biaya
Kriteria Penilaian Kriteria
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Personalisasi
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Personalisasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Kriteria Penilaian Kriteria
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Personalisasi
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Personalisasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Berilah tanda silang pada huruf yang sesuai dalam kolom Penilaian.
V. Perbandingan berpasangan antar alternatif strategis dalam kriteria waktu
Berilah tanda silang pada huruf yang sesuai dalam kolom Penilaian.
VI. Perbandingan berpasangan antar alternatif strategis dalam kriteria biaya
Berilah tanda silang pada huruf yang sesuai dalam kolom Penilaian.
Kriteria Penilaian Kriteria
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Personalisasi
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Personalisasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Kriteria Penilaian Kriteria
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Personalisasi
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Personalisasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Kriteria Penilaian Kriteria
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Personalisasi
Kodifikasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Personalisasi A VS S W E
W S VS A Kombinasi
Lampiran 5 Contoh Data Hasil Perbandingan Berpasangan Kuesioner Strategi Manajemen Pengetahuan
I. Perbandingan berpasangan antar kriteria
Kriteria Dukungan
Pemerintah Komunikasi
Budaya dan
Orang Waktu
Biaya Dukungan
Pemerintah e
w s
w Komunikasi
e s
w Budaya
dan Orang w
s e
s s
Waktu e
Biaya w
e CR
0,088709677 VII.
Perbandingan berpasangan antar alternatif strategis dalam kriteria dukungan pemerintah
Alternatif Kodifikasi
Personalisasi Kombinasi
Kodifikasi e
w Personalisasi
e Kombinasi
w s
e
Lampiran 6 Data Penilaian Analisis Kesenjangan Pengetahuan
Tingkat Kondisi Area Pengetahuan Saat Ini
Responden 1 Responden 2
Responden 3 Responden 4
Sedang Sedang
Lemah Sedang
Kuat Sedang
Sedang Sedang
Sedang Kuat
Sedang Kuat
Kuat Kuat
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Kuat
Sedang Kuat
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Lemah Kuat
Sedang Sedang
Sedang Kuat
Kuat Sedang
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Lemah Kuat
Sedang Sedang
Lemah Sedang
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Kuat
Sedang Sedang
Lemah Kuat
Kuat Sedang
Sedang Kuat
Sedang Sedang
Lemah Kuat
Kuat Sedang
Lemah Sedang
Responden 1
Responden 2
Responden 3
Responden 4
Average 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,05
0,25 0,45
0,3 0,5
0,7 0,24
0,44 0,64
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,36 0,56
0,76 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,95 0,43
0,63 0,83
0,55 0,75
0,95 0,55
0,75 0,95
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,43 0,63
0,83 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,55
0,75 0,95
0,3 0,5
0,7 0,55
0,75 0,95
0,43 0,63
0,83 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,05 0,25
0,45 0,55
0,75 0,95
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,95 0,36
0,56 0,76
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,36 0,56
0,76 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,05
0,25 0,45
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,05 0,25
0,45 0,3
0,5 0,7
0,24 0,44
0,64 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,55
0,75 0,95
0,36 0,56
0,76 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,05
0,25 0,45
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,55
0,75 0,95
0,43 0,63
0,83 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,05
0,25 0,45
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,05 0,25
0,45 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7
Data Tingkat Kepentingan Kebutuhan Area Pengetahuan
Responden 1 Responden 2
Responden 3 Responden 4
Sangat Penting Sangat Penting
Penting Sangat Penting
Sangat Penting Penting
Penting Cukup
Penting Penting Penting Sangat
Penting Sangat Penting
Sangat Penting Penting
Sangat Penting Sangat Penting
Penting Cukup
Cukup Cukup Penting Cukup Cukup
Penting Penting Penting penting Cukup Cukup
Penting penting
Penting Penting Cukup Cukup Sangat Penting
Sangat Penting Cukup
Sangat Penting Cukup Penting Cukup Cukup
Penting Cukup Cukup Cukup Cukup Penting
Penting Sangat
Penting Sangat Penting
Sangat Penting Penting
Sangat Penting Cukup Cukup Cukup Cukup
Cukup Penting Cukup Cukup Penting Cukup Cukup Cukup
Sangat Penting Sangat Penting
Penting Sangat Penting
Responden 1
Responden 2
Responden 3
Responden 4
Average 0,8
1 1
0,8 1
1 0,55
0,75 0,95
0,8 1
1 0,74
0,94 0,99
0,8 1
1 0,55
0,75 0,95
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,9 0,55
0,75 0,95
0,55 0,75
0,95 0,55
0,75 0,95
0,8 1
1 0,61
0,81 0,96
0,8 1
1 0,8
1 1
0,55 0,75
0,95 0,8
1 1
0,74 0,94
0,99 0,8
1 1
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,49
0,69 0,84
0,3 0,5
0,7 0,55
0,75 0,95
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,36 0,56
0,76 0,55
0,75 0,95
0,55 0,75
0,95 0,55
0,75 0,95
0,55 0,75
0,95 0,55
0,75 0,95
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,95 0,55
0,75 0,95
0,43 0,63
0,83 0,55
0,75 0,95
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,43
0,63 0,83
0,8 1
1 0,8
1 1
0,3 0,5
0,7 0,8
1 1
0,68 0,88
0,93 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,36
0,56 0,76
0,55 0,75
0,95 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,36 0,56
0,76 0,3
0,5 0,7
0,55 0,75
0,95 0,55
0,75 0,95
0,8 1
1 0,55
0,75 0,9
0,8 1
1 0,8
1 1
0,55 0,75
0,95 0,8
1 1
0,74 0,94
0,99 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,55
0,75 0,95
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,36 0,56
0,76 0,55
0,75 0,95
0,3 0,5
0,7 0,3
0,5 0,7
0,3 0,5
0,7 0,36
0,56 0,76
0,8 1
1 0,8
1 1
0,55 0,75
0,95 0,8
1 1
0,74 0,94
0,99
Lampiran 7 Rule dalam FFMEA dan contoh perhitungan defuzzifikasi 1.
If severity is VL and occurrence is VL and detection is VL then FPRN is VL. 2.
If severity is VL and occurrence is VL and detection is L then FRPN is VL. 3.
If severity is VL and occurrence is VL and detection is M then FRPN is VL. 4.
If severity is VL and occurrence is VL and detection is H then FRPN is VL - L. 5.
If severity is VL and occurrence is VL and detection is VH then FPRN is VL - L. 6.
If severity is VL and occurrence is L and detection is VL then FRPN is VL. 7.
If severity is VL and occurrence is L and detection is L then FRPN is VL - L. 8.
If severity is VL and occurrence is L and detection is M then FRPN is VL - L. 9.
If severity is VL and occurrence is L and detection is H then FRPN is L. 10.
If severity is VL and occurrence is L and detection is VH then FRPN is L. 11.
If severity is VL and occurrence is M and detection is VL then FRPN is VL. 12.
If severity is VL and occurrence is M and detection is L then FRPN is VL - L. 13.
If severity is VL and occurrence is M and detection is M then FRPN is L. 14.
If severity is VL and occurrence is M and detection is H then FRPN is L. 15.
If severity is VL and occurrence is M and detection is VH then FRPN is L. 16.
If severity is VL and occurrence is H and detection is VL then FRPN is VL - L. 17.
If severity is VL and occurrence is H and detection is L then FRPN is L. 18.
If severity is VL and occurrence is H and detection is M then FRPN is L. 19.
If severity is VL and occurrence is H and detection is H then FRPN is L - M. 20.
If severity is VL and occurrence is H and detection is V H then FRPN is L - M. 21.
If severity is VL and occurrence is VH and detection is VL then FRPN is VL - L. 22.
If severity is VL and occurrence is VH and detection is L then FRPN is L. 23.
If severity is VL and occurrence is VH and detection is M then FRPN is L. 24.
If severity is VL and occurrence is VH and detection is H then FRPN is L - M. 25.
If severity is VL and occurrence is VH and detection is very H then FRPN is M. 26.
If severity is L and occurrence is VL and detection is VL then FRPN is L. 27.
If severity is L and occurrence is VL and detection is L then FRPN is L. 28.
If severity is L and occurrence is VL and detection is M then FRPN is L. 29.
If severity is L and occurrence is VL and detection is H then FRPN is L - M. 30.
If severity is L and occurrence is VL and detection is very H then FRPN is L - M.
31. If severity is L and occurrence is L and detection is VL then FRPN is L.
32. If severity is L and occurrence is L and detection is L then FRPN is L - M.
33. If severity is L and occurrence is L and detection is M then FRPN is L - M.
34. If severity is L and occurrence is L and detection is H then FRPN is M.
35. If severity is L and occurrence is L and detection is very H then FRPN is M.
36. If severity is L and occurrence is M and detection is VL then FRPN is L.
37. If severity is L and occurrence is M and detection is L then FRPN is L - M.
38. If severity is L and occurrence is M and detection is M then FRPN is M.
39. If severity is L and occurrence is M and detection is H then FRPN is M.
40. If severity is L and occurrence is M and detection is very H then FRPN is M.
41. If severity is L and occurrence is H and detection is VL then FRPN is L - M.
42. If severity is L and occurrence is H and detection is L then FRPN is M.
43. If severity is L and occurrence is H and detection is M then FRPN is M.
44. If severity is L and occurrence is H and detection is H then FRPN is M - H.
45. If severity is L and occurrence is H and detection is very H then FRPN is M - H.
46. If severity is L and occurrence is VH and detection is VL then FRPN is L - M.
47. If severity is L and occurrence is VH and detection is L then FRPN is M.
48. If severity is L and occurrence is VH and detection is M then FRPN is M.
49. If severity is L and occurrence is VH and detection is H then FRPN is M - H.
50. If severity is L and occurrence is VH and detection is very H then FRPN is H.
51. If severity is M and occurrence is VL and detection is VL then FRPN is M.
52. If severity is M and occurrence is VL and detection is L then FRPN is M.
53. If severity is M and occurrence is VL and detection is M then FRPN is M.
54. If severity is M and occurrence is VL and detection is H then FRPN is M - H.
55. If severity is M and occurrence is VL and detection is very H then FRPN is M - H.
56. If severity is M and occurrence is L and detection is VL then FRPN is M.
57. If severity is M and occurrence is L and detection is L then FRPN is M-H.
58. If severity is M and occurrence is L and detection is M then FRPN is M-H.
59. If severity is M and occurrence is L and detection is H then FRPN is H.
60. If severity is M and occurrence is L and detection is very H then FRPN is H.
61. If severity is M and occurrence is M and detection is VL then FRPN is M.
62. If severity is M and occurrence is M and detection is L then FRPN is M - H.
63. If severity is M and occurrence is M and detection is M then FRPN is H.
64. If severity is M and occurrence is M and detection is H then FRPN is H.
65. If severity is M and occurrence is M and detection is very H then FRPN is H.
66. If severity is M and occurrence is H and detection is VL then FRPN is M - H.
67. If severity is M and occurrence is H and detection is L then FRPN is H.
68. If severity is M and occurrence is H and detection is M then FRPN is H.
69. If severity is M and occurrence is H and detection is H then FRPN is H - VH.
70. If severity is M and occurrence is H and detection is very H then FRPN is H -
VH. 71.
If severity is M and occurrence is VH and detection is VL then FRPN is M - H. 72.
If severity is M and occurrence is VH and detection is L then FRPN is H. 73.
If severity is M and occurrence is VH and detection is M then FRPN is H. 74.
If severity is M and occurrence is VH and detection is H then FRPN is H - VH. 75.
If severity is M and occurrence is VH and detection is very H then FRPN is VH. 76.
If severity is H and occurrence is VL and detection is VL then FRPN is H. 77.
If severity is H and occurrence is VL and detection is L then FRPN is H. 78.
If severity is H and occurrence is VL and detection is M then FRPN is H. 79.
If severity is H and occurrence is VL and detection is H then FRPN is H - VH. 80.
If severity is H and occurrence is VL and detection is VH then FRPN is H - VH. 81.
If severity is H and occurrence is L and detection is VL then FRPN is H. 82.
If severity is H and occurrence is L and detection is L then FRPN is H-VH. 83.
If severity is H and occurrence is L and detection is M then FRPN is H - VH. 84.
If severity is H and occurrence is L and detection is H then FRPN is VH. 85.
If severity is H and occurrence is L and detection is VH then FRPN is VH. 86.
If severity is H and occurrence is M and detection is VL then FRPN is H. 87.
If severity is H and occurrence is M and detection is L then FRPN is H - VH. 88.
If severity is H and occurrence is M and detection is M then FRPN is VH. 89.
If severity is H and occurrence is M and detection is H then FRPN is VH. 90.
If severity is H and occurrence is M and detection is VH then FRPN is VH. 91.
If severity is H and occurrence is H and detection is VL then FRPN is H - VH.
92. If severity is H and occurrence is H and detection is L then FRPN is VH.
93. If severity is H and occurrence is H and detection is M then FRPN is VH.
94. If severity is H and occurrence is H and detection is H then FRPN is VH.
95. If severity is H and occurrence is H and detection is VH then FRPN is VH.
96. If severity is H and occurrence is VH and detection is VL then FRPN is H - VH.
97. If severity is H and occurrence is VH and detection is L then FRPN is VH.
98. If severity is H and occurrence is VH and detection is M then FRPN is VH.
99. If severity is H and occurrence is VH and detection is H then FRPN is VH.
100. If severity is H and occurrence is VH and detection is very H then FRPN is VH.
101. If severity is VH and occurrence is VL and detection is VL then FRPN is VH.
102. If severity is VH and occurrence is VL and detection is L then FRPN is VH.
103. If severity is VH and occurrence is VL and detection is M then FRPN is VH.
104. If severity is VH and occurrence is VL and detection is H then FRPN is VH.
105. If severity is VH and occurrence is VL and detection is VH then FRPN is VH.
106. If severity is VH and occurrence is L and detection is VL then FRPN is VH.
107. If severity is VH and occurrence is L and detection is L then FRPN is VH.
108. If severity is VH and occurrence is L and detection is M then FRPN is VH.
109. If severity is VH and occurrence is L and detection is H then FRPN is VH.
110. If severity is VH and occurrence is L and detection is very H then FRPN is VH.
111. If severity is VH and occurrence is M and detection is VL then FRPN is VH.
112. If severity is VH and occurrence is M and detection is L then FRPN is VH.
113. If severity is VH and occurrence is M and detection is M then FRPN is VH.
114. If severity is VH and occurrence is M and detection is H then FRPN is VH.
115. If severity is VH and occurrence is M and detection is VH then FRPN is VH.
116. If severity is VH and occurrence is H and detection is VL then FRPN is VH.
117. If severity is VH and occurrence is H and detection is L then FRPN is VH.
118. If severity is VH and occurrence is H and detection is M then FRPN is VH.
119. If severity is VH and occurrence is H and detection is H then FRPN is VH.
120. If severity is VH and occurrence is H and detection is VH then FRPN is VH.
121. If severity is VH and occurrence is VH and detection is VL then FRPN is VH.
122. If severity is VH and occurrence is VH and detection is L then FRPN is VH.
123. If severity is VH and occurrence is VH and detection is M then FRPN is VH.
124. If severity is VH and occurrence is VH and detection is H then FRPN is VH.
125. If severity is VH and occurrence is VH and detection is VH then FRPN is VH.
Contoh perhitungan manual untuk input S = 6, O = 5, dan D = 3 Evaluasi aturan :
α1 = min
αS VL [6] , αO VL [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α2
= min αS VL [6] , αO VL [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0,75 = 0
α3 = min
αS VL [6] , αO VL [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0 α4 =
min αS VL [6] , αO VL [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α5 = min
αS VL [6] , αO VL [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α6 =
min αS VL [6] , αO L [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0; 0 = 0
α7 = min
αS VL [6] , αO L [5] , αD L [3] = min 0 ; 0; 0,75 = 0 α8 =
min αS VL [6] , αO L [5] , αD M [3] = min 0 ; 0; 0,25 = 0
α9 = min
αS VL [6] , αO L [5] , αD H [3] = min 0 ;0; 0 = 0 α10 =
min αS VL [6] , αO L [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0; 0 = 0
α11 = min
αS VL [6] , αO M [5] , αD VL [3] = min 0 ; 1 ; 0 = 0 α12 =
min αS VL [6] , αO M [5] , αD L [3] = min 0 ; 1; 0.75 = 0
α13 = min
αS VL [6] , αO M [5] , αD M [3] = min 0 ; 1; 0,25 = 0 α14 =
min αS VL [6] , αO M [5] , αD H [3] = min 0 ; 1; 0 = 0
α15 = min
αS VL [6] , αO M [5] , αD VH [3] = min 0 ; 1; 0 = 0 α16 =
min αS VL [6] , αO H [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α17 = min
αS VL [6] , αO H [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0.75 = 0 α18 =
min αS VL [6] , αO H [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0
α19 = min
αS VL [6] , αO H [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α20 =
min αS VL [6] , αO H [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α21 = min
αS VL [6] , αO VH [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α22 =
min αS VL [6] , αO VH [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0.75 = 0
α23 = min
αS VL [6] , αO VH [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0 α24 =
min αS VL [6] , αO VH [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α25 = min
αS VL [6] , αO VH [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α26 = min
αS L [6] , αO VL [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α27 =
min αS L [6] , αO VL [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0.75 = 0
α28 = min
αS L [6] , αO VL [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0 α29 =
min αS L [6] , αO VL [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α30 = min
αS L [6] , αO VL [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α31 =
min αS L [6] , αO L [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0; 0 = 0
α32 = min
αS L [6] , αO L [5] , αD L [3] = min 0 ; 0; 0.75 = 0 α33 =
min αS L [6] , αO L [5] , αD M [3] = min 0 ; 0; 0,25 = 0
α34 = min
αS L [6] , αO L [5] , αD H [3] = min 0 ; 0; 0 = 0 α35 =
min αS L [6] , αO L [5] , αD VH [3] = min 0 0; 0 = 0
α36 = min
αS L [6] , αO M [5] , αD VL [3] = min 0 ; 1 ; 0 = 0 α37 =
min αS L [6] , αO M [5] , αD L [3] = min 0 ; 1; 0,75 = 0
α38 = min
αS L [6] , αO M [5] , αD M [3] = min 0 ; 1; 0,25 = 0 α39 =
min αS L [6] , αO M [5] , αD H [3] = min 0 ; 1; 0 = 0
α40 = min
αS L [6] , αO M [5] , αD VH [3] = min 0 ; 1; 0 = 0 α41 =
min αS L [6] , αO H [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α42 = min
αS L [6] , αO H [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0,75 = 0 α43 =
min αS L [6] , αO H [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0
α44 = min
αS L [6] , αO H [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α45 =
min αS L [6] , αO H [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α46 = min
αS L [6] , αO VH [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α47 =
min αS L [6] , αO VH [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0,75 = 0
α48 = min
αS L [6] , αO VH [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0 α49 =
min αS L [6] , αO VH [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α50 = min
αS L [6] , αO VH [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α51 =
min αS M [6] , αO VL [5] , αD VL [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0
α52 = min
αS M [6] , αO VL [5] , αD L [3] = min 0,75 ; 0 ; 0,75 = 0 α53 =
min αS M [6] , αO VL [5] , αD M [3] = min 0,75 ; 0 ; 0,25 = 0
α54 = min
αS M [6] , αO VL [5] , αD H [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0 α55 =
min αS M [6] , αO VL [5] , αD VH [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0
α56 = min
αS M [6] , αO L [5] , αD VL [3] = min 0,75 ; 0; 0 = 0
α57 = min
αS M [6] , αO L [5] , αD L [3] = min 0,75 ; 0; 0,75 = 0 α58 =
min αS M [6] , αO L [5] , αD M [3] = min 0,75 ; 0; 0,25 = 0
α59 = min
αS M [6] , αO L [5] , αD H [3] = min 0,75 ; 0; 0 = 0 α60 =
min αS M [6] , αO L [5] , αD VH [3] = min 0,75 ; 0; 0 = 0
α61 = min
αS M [6] , αO M [5] , αD VL [3] = min 0,75 ; 1; 0 = 0 α62 =
min αS M [6] , αO M [5] , αD L [3] = min 0,75 ; 1; 0,75 = 0,75
α63 = min
αS M [6] , αO M [5] , αD M [3] = min 0,75 ; 1; 0,25 = 0,25 α64 =
min αS M [6] , αO M [5] , αD H [3] = min 0,75 ; 1; 0 = 0
α65 = min
αS M [6] , αO M [5] , αD VL [3] = min 0,75 ; 1; 0 = 0 α66 =
min αS M [6] , αO H [5] , αD VL [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0
α67 = min
αS M [6] , αO H [5] , αD L [3] = min 0,75 ; 0 ; 0,75 = 0 α68 =
min αS M [6] , αO H [5] , αD M [3] = min 0,75 ; 0 ; 0,25 = 0
α69 = min
αS M [6] , αO H [5] , αD H [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0 α70 =
min αS M [6] , αO H [5] , αD VH [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0
α71 = min
αS M [6] , αO VH [5] , αD VL [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0 α72 =
min αS M [6] , αO VH [5] , αD L [3] = min 0,75 ; 0 ; 0,75 = 0
α73 = min
αS M [6] , αO VH [5] , αD M [3] = min 0,75 ; 0 ; 0,25 = 0 α74 =
min αS M [6] , αO VH [5] , αD H [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0
α75 = min
αS M [6] , αO VH [5] , αD VH [3] = min 0,75 ; 0 ; 0 = 0 α76 =
min αS H [6] , αO VL [5] , αD VL [3] = min 0,25 ; 0 ; 0 = 0
α77 = min
αS H [6] , αO VL [5] , αD L [3] = min 0,25 ; 0 ; 0,75 = 0 α78 =
min αS H [6] , αO VL [5] , αD M [3] = min 0,25 ; 0 ; 0,25 = 0
α79 = min
αS H [6] , αO VL [5] , αD H [3] = min 0,25; 0 ; 0 = 0 α80 =
min αS H [6] , αO VL [5] , αD VH [3] = min 0,25; 0 ; 0 = 0
α81 = min
αS H [6] , αO L [5] , αD VL [3] = min 0,25 ; 0 ; 0 = 0 α82 =
min αS H [6] , αO L [5] , αD L [3] = min 0,25 ; 0; 0,75 = 0
α83 = min
αS H [6] , αO L [5] , αD M [3] = min 0,25 ; 0; 0,25 = 0 α84 =
min αS H [6] , αO L [5] , αD H [3] = min 0,25 ; 0; 0 = 0
α85 = min
αS H [6] , αO L [5], αD VH [3] = min 0,25 ; 0; 0 = 0 α86 =
min αS H [6] , αO M [5] , αD VL [3] = min 0,25 ; 1 ; 0 = 0
α87 = min
αS H [6] , αO M [5] , αD L [3] = min 0,25 ; 1; 0,75 = 0,25
α88 = min
αS H [6] , αO M [5] , αD M [3] = min 0,25 ; 1; 0,25 = 0,25 α89 = min αS H [6] , αO M [5] , αD H [3] = min 0,25 ; 1; 0 = 0
α90 = min αS H [6] , αO M [5] , αD VH [3] = min 0,25 ; 1; 0 = 0 α91 = min αS H [6] , αO H [5] , αD VL [3] = min 0,25 ; 0 ; 0 = 0
α92 = min αS H [6] , αO H [5] , αD L [3] = min 0,25 ; 0 ; 0,75 = 0 α93 = min αS H [6] , αO H [5] , αD M [3] = min 0,25 ; 0 ; 0,25 = 0
α94 = min αS H [6] , αO H [5] , αD H [3] = min 0,25 ; 0 ; 0 = 0 α95 = min αS H [6] , αO H [5] , αD VH [3] = min 0,25 ; 0 ; 0 = 0
α96 = min αS H [6] , αO VH [5] , αD VL [3] = min 0,25 ; 0 ; 0 = 0 α97 =
min αS H [6] , αO VH [5] , αD L [3] = min 0,25 ; 0 ; 0,75 = 0
α98 = min αS H [6] , αO VH [5] , αD M [3] = min 0,25 ; 0 ; 0,25 = 0 α99 = min αS H [6] , αO VH [5] , αD H [3] = min 0,25 ; 0 ; 0 = 0
α100 = min
αS H [6] , αO VH [5] , αD VH [3] = min 0,25 ; 0 ; 0 = 0 α101 =
min αS VH [6] , αO VL [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α102 = min
αS VH [6] , αO VL [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0,75 = 0 α103 =
min αS VH [6] , αO VL [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0
α104 = min
αS VH[6] , αO VL [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α105 =
min αS VH[6] , αO VL [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α106 = min
αS VH [6] , αO L [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0; 0 = 0 α107 =
min αS VH [6] , αO L [5] , αD L [3] = min 0 ; 0; 0,75 = 0
α108 = min
αS VH [6] , αO L [5] , αD M [3] = min 0 ; 0; 0,25 = 0 α109 =
min αS VH [6] , αO L [5] , αD H [3] = min 0 ; 0; 0 = 0
α110 = min
αS VH [6] , αO L [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0; 0 = 0 α111 =
min αS VH [6], αO M [5] , αD VL [3] = min 0 ; 1 ; 0 = 0
α112 = min
αS VH [6] , αO M [5] , αD L [3] = min 0 ; 1; 0,75 = 0 α113 =
min αS VH [6] , αO M [5] , αD M [3] = min 0 ; 1; 0,25 = 0
α114 = min
αS VH [6] , αO M [5] , αD H [3] = min 0 ; 1; 0 = 0 α115 =
min αS VH [6] , αO M [5] , αD VH [3] = min 0 ; 1; 0 = 0
α116 = min
αS VH [6] , αO H [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α117 =
min αS VH [6] , αO H [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0,75 = 0
α118 = min
αS VH [6] , αO H [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0
α119 = min
αS VH [6] , αO H [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α120 =
min αS VH [6] , αO H [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α121 = min
αS VH [6] , αO VH [5] , αD VL [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0 α122 =
min αS VH [6] , αO VH [5] , αD L [3] = min 0 ; 0 ; 0,75 = 0
α123 = min
αS VH [6] , αO VH [5] , αD M [3] = min 0 ; 0 ; 0,25 = 0 α124 =
min αS VH[6] , αO VH [5] , αD H [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
α125 = min
αS VH [6] , αO VH [5] , αD VH [3] = min 0 ; 0 ; 0 = 0
Aplikasi Fungsi Implikasi: • Aturan ke-1
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-2
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-3
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-4
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-5
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-6
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-7
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-8
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-9
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-10
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-11
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-12
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-13
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-14
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-15
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-16
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0
• Aturan ke-17 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-18
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-19
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-20
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-21
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-22
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-23
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-24
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-25
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-26
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-27
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-28
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-29
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-30
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-31
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-32
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-33
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-34
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-35
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-36
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-37
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-38
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-39
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-40
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-41
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-42
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0
• Aturan ke-43 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-44
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-45
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-46
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-47
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-48
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-49
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-50
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-51
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-52
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-53
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-54
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-55
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-56
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-57
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-58
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-59
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-60
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-61
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-62
Pada saat
µ
FRPN
Moderate-High [x] = 0.75, maka nilai x dapat ditentukan sebagai berikut.
¾ 0.75 = x-300 100 x = 375
¾ 0.75 = 500-x 100 x = 425
; sehingga
; x ≤ 300 atau x ≥ 500
µ
FRPN 62
[ X] = x-300 100 ; 300 x
≤ 375 0.75
; 375 x ≤ 425
500-x 100 ; 425 x ≤ 500
• Aturan ke-63 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 Pada saat
µ
FRPN
High [x] = 0.25, maka nilai x dapat ditentukan sebagai berikut. ¾ 0.25 = x-400 100
x = 425 ¾ 0.25 = 700-x 200
x = 650 ; sehingga
; x ≤ 400 atau x ≥ 700
µ
FRPN 63
[ X] = x-400 500-400
; 400 ≤ x ≤ 425
0,25 ;
425 ≤ x ≤ 650
700-x 700-500 ; 650
≤ x ≤ 700 • Aturan ke-64
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-65
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-66
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-67
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-68
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-69
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-70
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-71
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-72
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-73
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-74
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-75
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-76
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0
• Aturan ke-77 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-78
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-79
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-80
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-81
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-82
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-83
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-84
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-85
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-86
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-87
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 Pada saat
µ
FRPN
High [x] = 0.25, maka nilai x dapat ditentukan sebagai berikut. ¾ 0.25 = x-500 200
x = 550 ¾ 0.25 = 900-x 200
x = 850 ; sehingga
; x ≤ 500 atau x ≥ 900
µ
FRPN 87
[ X] = x-500 700-500
; 500 ≤ x ≤ 550
0,25 ;
550 ≤ x ≤ 850
900-x 900-700 ; 850
≤ x ≤ 900
• Aturan ke-88 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 Pada saat
µ
FRPN
Very High [x] = 0.25, maka nilai x dapat ditentukan sebagai berikut.
¾ 0.25 = x-700 200 x = 750
; sehingga
0 ; x
≤ 700
µ
FRPN 88
[ X] = x-700 900-700
; 700 ≤ x ≤ 750
0,25 ;
900 ≤ x ≤ 1000
; x ≥ 1000
• Aturan ke-89 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-90
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-91
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-92
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-93
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-94
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-95
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-96
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-97
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-98
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-99
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-100 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-101 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-102
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-103
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-104
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-105
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-106
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-107
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-108
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-109
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-110 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0
• Aturan ke-111 : Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-112
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-113
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-114
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-115
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-116
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-117
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-118
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-119
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-120
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-121
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-122
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-123
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-124
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0 • Aturan ke-125
: Tidak terdapat daerah hasil implikasi karena
µ
FRPN
= 0
Komposisi semua output
Komposisi semua output yang memiliki daerah implikasi yaitu output aturan ke-62, aturan ke-63, aturan ke-87 dan aturan ke-88 dilakukan dengan menggunakan metode
MAX. Adapun gambar komposisi semua output sebagai berikut. Adapun proses defuzzifikasi akan dilakukan dengan metode centroid. Untuk
menentukan nilai crips, dilakukan dengan membagi solusi daerah fuzzy menjadi 4 bagian dengan luas masing-masing yaitu A1, A2, A3, dan A4. Sedangkan momen terhadap nilai
keanggotaan masing-masing yaitu M1, M2, M3, dan M4. Adapun cara perhitungan dengan metode centroid sebagai berikut.
Gambar Solusi Daerah Fuzzy
Perhitungan Momen : Perhitungan Luas :
M1 =
∫
−
375 300
2 01
. xdx
x = 9843,75
A1 = 75 0,75 2 = 28,125 M2 =
∫
425 375
75 .
xdx = 15000 A2 = 50 0,75 = 37,5
M3 =
∫
−
475 425
01 .
5 xdx
x = 11145,83
A3 = 0,75+0,25 50 2 = 25 M4 =
∫
1000 475
25 .
xdx = 96796,88 A4 = 525 0,25 = 131,25
Menghitung titik pusat : x =
25 ,
131 25
5 ,
37 125
, 28
88 ,
96796 83
, 11145
15000 75
, 9843
+ +
+ +
+ +
= 88
, 221
46 ,
132786 = 598,48
≈ 598 Dapat dilihat dari perhitungan di atas bahwa dengan nilai input S = 6, O = 5 dan D
= 3 dan dihitung dengan menggunakan metode MAMDANI maka akan diperoleh FRPN sebesar 601Hasil dari perhitungan manual ini memberikan hasil yang mirip dengan hasil
perhitungan dengan menggunakan software MATLAB 2008a yaitu 598.
Lampiran 8 Petunjuk Penggunaan Sistem Pendukung Keputusan Model Strategi Pengetahuan untuk Klaster Industri Barang Jadi Lateks
A. Deskripsi Singkat Model
Model sistem pendukung keputusan SPK strategi pengetahuan diimplementasikan dalam suatu model berbasis komputer. Pengguna baik dari kalangan industri, pemerintah
maupun lembaga pendukung lembaga penelitian dapat menggunakan model ini untuk tujuan menyusun strategi pengetahuan guna pengembangan suatu klaster industri. Sistem
ini terdiri atas 5 model yaitu model pemilihan strategi pengembangan klaster dan area pengetahuan terkait, model analisis kesenjangan pengetahuan dan area pengetahuan kunci,
model pemilihan strategi manajemen pengetahuan, model kodifikasi pengetahuan disain proses, dan model kodifikasi pengetahuan kegagalan proses.
Sistem pendukung keputusan dirancang menggunakan Visual Basic for Applications
VBA sebagai bahasa pemrograman untuk produk-produk Microsoft Office Office, termasuk spreadsheet Microsoft Excel Excel. Paket program ini memiliki
beberapa fasilitas seperti basis data, pemodelan, analisis data, dan antarmuka yang diperlukan untuk mengembangkan SPK.
B. Kebutuhan Perangkat Lunak
Perangkat lunak tersusun atas beberapa file macro excel. Tujuan pembuatan Macro adalah agar semua perintah yang pengguna berikan akan direkam oleh aplikasi Excel
dengan bahasa Visual Basic dan ditampilkan pada program bantu Microsoft Visual Basic Editor. Macro akan memungkinkan untuk merekam dan mengotomasi prosedur,
menjalankan berulang-ulang dengan menekan tombol tertentu yang dirancang. Penjelasan masing-masing macro adalah sebagai berikut :
FAHP Inisiatif Klaster.xlsm File macro ini dirancang dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan pengguna
dalam hal pemilihan strategi pengembangan klaster dan area pengetahuan terkait. Teknik yang digunakan adalah fuzzy analytical hierarchy process. File dapat merekam pendapat
tiga orang responden ahli mengenai perbandingan berpasangan antar kriteria dan alternatif untuk kemudian dihitung nilai bobotnya. File ini juga sekaligus induk dari seluruh file
macro yang dirancang dalam arti seluruh file macro lainnya diakses melalui layar antar muka yang dibangun dalam file ini.
Kmgap.xlsm File macro ini dirancang dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan pengguna
dalam melakukan analisis kesenjangan pengetahuan serta menentukan area pengetahuan kunci. Teknik yang digunakan adalah fuzzy average dan fuzzy inference system dengan
metode Sugeno. File ini merupakan integrasi antara Microsoft Excel, Visual Basic dan MATLAB. File dapat merekam dan mengolah pendapat dari empat orang responden ahli
Fahpskm.xlsm File macro ini dirancang dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan pengguna
dalam hal pemilihan strategi manajemen pengetahuan guna memperkecil kesenjangan pengetahuan yang terjadi. Teknik yang digunakan adalah fuzzy analytical hierarchy
process . File dapat merekam dan mengolah pendapat tiga orang responden ahli mengenai
perbandingan berpasangan antar kriteria dan alternatif untuk kemudian dihitung nilai bobotnya.
Fqfdgloves.xlsm File marcro ini dirancang dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan pengguna
dalam hal kodifikasi pengetahuan disain proses serta menentukan prioritas proses untuk dilanjutkan dengan pembentukan taksonomi dan peta pengetahuan. Teknik yang digunakan
dalam penentuan bobot proses adalah fuzzy quality function deployment. Fmea.xlsm
File macro excel ini dirancang dengan maksud memenuhi kebutuhan pengguna dalam kodifikasi pengetahuan proses serta menentukan tingkat resiko kegagalan proses.
Teknik yang digunakan adalah fuzzy failure mode and effect analysis. File ini merupakan integrasi antara Microsoft Excel, Visual Basic dan MATLAB.
Glove.rul File ini merupakan program sistem pakar yang dimakudkan untuk memenuhi
kebutuhan pengguna dalam mendiagnosis penyebab kegagalan proses dalam pembuatan sarung tangan lateks serta mengetahui cara penanganan kegagalan proses. File dirancang
menggunakan perangkat lunak winexys.
C. Petunjuk Instalasi
Instalasi program dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Letakkan seluruh file macro dalam satu folder 2.
Letakkan folder macro tersebut dan winexys dalam folder C:\ 3.
Jalankan aplikasi Ms Excel 4.
Jalankan file induk FAHP Inisiatif Klaster.xlsm 5.
Klik options, pilih enable this content dan tekan ok 6.
Piih menu Add-Ins, lalu preference, klik pilihan start matlab 7.
Jalankan file macro lainnya satu per satu serta pilih enable this content dan tekan ok
D. Petunjuk Pengoperasian
Sistem pendukung keputusan strategi pengetahuan dapat dijalankan dari file excel dengan nama FAHP Inisiatif Klaster. Pilih menu utama view macro dan lalu pilih
mymacro seperti dapat dilihat pada Gambar 8.1.
Gambar 8.1 Menjalankan file macro FAHP inisiatif klaster
Setelah perintah run dijalankan maka akan muncul tampilan seperti dapat dilihat pada Gambar 8.2. Terdapat enam sub model yang disediakan oleh SPK Strategi
Pengetahuan.
Gambar 8.2 Tampilan utama SPK Strategi Pengetahuan
Strategi Pengembangan Klaster
Menu pertama merupakan pendukung keputusan pemilihan strategi pengembangan klaster. Gambar 8.3 memperlihatkan tampilan bila kita menekan menu tersebut.
Gambar 8.3 Pilihan perbandingan berpasangan pada hirarki keputusan pemilihan strategi pengembangan klaster
Gambar 8.4 Tampilan layar input perbandingan berpasangan antar aktor dalam strategi pengembangan klaster
Gambar 8.4 memperlihat layar input perbandingan berpasangan antar aktor dalam strategi pengembangan klaster. Setiap perbandingan berpasangan dinilai menggunakan
skala linguistik sama penting atau equally e, sedikit lebih penting atau weakly preferred w, jelas lebih penting atau strongly s, sangat jelas lebih penting atau very strongly vs
dan mutlak lebih penting atau absolutely preferred a. Program juga dapat langsung menghitung nilai consistency ratio bila tombol submit ditekan.
Perbandingan berpasangan dapat dilakukan pada masing-masing level dan terakhir adalah perbandingan berpasangan antar inisiatif strategi klaster seperti dapat dilihat pada
Gambar 8.5
Gambar 8.5 Tampilan layar input perbandingan berpasangan antar strategi inisiatif klaster
Gambar 8.6 memperlihatkan tampilan output dari FAHP inisiatif klaster untuk bobot perspektif pada masing-masing aktor. Sedangkan tampilan ouput setiap tujuan
strategis untuk masing-masing perspektif dapat dilihat pada Gambar 8.7.
Gambar 8.6 Tampilan layar output bobot aktor dan perspektif klaster
Gambar 8.7 Tampilan layar output bobot tujuan strategis pada masing-masing perspektif
Tampilan output untuk alternatif strategi pengembangan klaster untuk masing- masing tujuan strategis dapat dilihat pada Gambar 8.8.
Gambar 8.8 Tampilan layar output bobot alternatif inisiatif strategi klaster pada masing- masing tujuan strategis
Analisis Kesenjangan Pengetahuan
Menu kedua dapat ditampilkan dengan menekan kotak yang bertuliskan analisis kesenjangan pengetahuan pada layar utama. Menu ini dalah pendukung keputusan dalam
analisis kesenjangan pengetahuan serta area pengetahuan kunci.
Gambar 8.9 Tampilan input penilaian setiap area pengetahuan
Gambar 8.9 memperlihat tampilan input penilaian tingkat kebutuhan pengetahuan serta kondisi penguasaan area pengetahuan saat ini. Program dapat memfasilitasi penilaian
dari empat orang responden ahli. Hasil rata-rata fuzzy untuk seluruh responden dan nilai skor pada matriks kesenjangan pengetahuan dapat dilihat pada Gambar 8.10. Skor
didapatkan dengan menu excel link yang menggabungkan perintah excel dengan matlab dengan rangkaian perintah sebagai berikut.
=MLPutMatrixsi;faverage =MLPutMatrixk;kepentingan
=MLEvalStringval=fuzzyKnGapk,si =MLGetMatrix val; F3
=fkngapfaverage;kepentingan;F3
Gambar 8.10 Tampilan output rata-rata fuzzy setiap area pengetahuan dan skornya dalam matriks kesenjangan pengetahuan
Pemilihan Strategi Manajemen Pengetahuan
Menu ketiga dapat dijalankan dengan menekan tombol atau kotak yang bertuliskan strategi manajemen pengetahuan pada layar utama. Gambar 8.11 memperlihatkan sub
menu pilihan untuk melakukan perbandingan antar kriteria atau melakukan perbandingan antar strategi manajemen pengetahuan pada masing-masing kriteria. Output dari menu ini
berupa bobot masing-masing kriteria dan strategi dapat dilihat pada Gambar 8.12.
Gambar 8.11 Pilihan perbandingan berpasangan dalam menu pemilihan strategi manajemen pengetahuan
Gambar 8.12 Tampilan ouput bobot strategi manajemen pengetahuan pada masing-masing kriteria
Kodifikasi Pengetahuan Disain Proses
Menu keempat dapat ditampilkan dengan menekan kotak yang bertuliskan kodifikasi pengetahuan disain proses pada layar utama SPK. Tampilan yang muncul adalah
layar input untuk tingkat kepentingan atribut karakteristik teknis produk dan tingkat hubungan antara karakteristik produk dengan karakteristik proses seperti dapat dilihat pada
Gambar 8.13. Input data dapat dilakukan dengan menekan tombol combo box dan klik sesuai pilihan. Output akan diproses bila kotak proses yang terletak pada bagian atas rumah
kualitas tersebut ditekan dan hasilnya akan muncul pada bagian bawah.
Gambar 8.13 Layar input dalam menu kodifikasi pengetahuan disain proses
Kodifikasi Pengetahuan Kegagalan Proses
Menu kelima dapat ditambilkan bila pilihan kodifikasi pengetahuan kegagalan proses pada layar utama ditekan. Terdapat 14 halaman yang berisi keterangan kegagalan
proses yang mungkin terjadi dalam proses produksi sarung tangan lateks, efek kegagalan proses berikut nilai tingkat keparahannya severity, penyebab kegagalan proses berikut
nilai tingkat keseringannya occurance serta tingkat kemampuan mendeteksi munculnya penyebab detectability.
Input penilaian severity s, occurance o dan detectability d dapat dilakukan dengan memasukkan angka dari 1 sd 10 pada kota S, O dan D. Kemudian secara otomatis
program akan menghitung nilai risk priority number RPN konvensional dan juga dengan pendekatan fuzzy atau fuzzy risk priority number FRPN. Perhitungan FRPN dilakukan
dengan mengintegrasikan fungsi Matlab di dalam macro excel.
Gambar 8.14 Tampilan layar input dan ouput dalam FMEA
Lampiran 9 Rule Base Sistem Pakar
Lampiran 10. Validation Tree Sistem Pakar
Lampiran 12 Tabel FMEA
Fungsi Proses Kegagalan pada Proses
Efek dari Kegagalan Proses S
Penyebab Kegagalan Proses O
D Tindakan perbaikan
RPN FRPN
Waktu pemeraman lateks kurang 4
1 Diamkan selama 2-4 hari
24 401
Kurang bahan penstabil 5
3 Penambahan KOH atau laurat sebanyak 1,5 -
2,5 liter dan didiamkan selama 1 malam agar dapat bereaksi
90 601
Lateks berbau busuk atau tidak berwarna putih
Lateks cepat rusak 10
Kebersihan drum tidak terjaga terutama pada drum plastik
2 2
Tingkatkan kebersihan tangki atau gunakan plastik pelindung ke dalam drum
40 883
Lateks bukan berasal dari klon khusus penghasil lateks pekat
2 6
Beli lateks pekat dari pabrik yang berasal dari klon khusus penhasil lateks pekat, misalnya
klon GT1.
84 632
Periksa dengan viskometer atau secara manual celupkan tangan dan
tarik keluar, bila aliran lateks yang jatuh dari tangan deras, berarti
viskositasnya rendah
Lateks terlalu lama diperam 5
3 Lakukan pengenceran dengan air dan KOH
10
105 674
Lateks mengandung banyak sabun
Timbul pinhole atau fisheye pada produk sarung tangan
8 Pemasok memperbanyak sabun
untuk meningkatkan MST 3
4 Campur dengan lateks yang tidak
mengandung banyak sabun. Setiap pemindahan lateks dilakukan sehati-hati
mungkin mempertimbangkan timbulnya buih. Setiap kali penuangan standby harus cukup
agar buih naik ke permukaan. Pembersihan buih harus dilakukan dengan benar. Buih
dikumpulkan terlebih dahulu di tengah, kemudian selanjutnya dipinggirkan.
96 748
Penerimaan bahan kimia
Umur bahan kimia sudah atau mendekati kadaluarsa
Tampilan produk buruk 5
Penyimpanan bahan kimia di gudang pemasok terlalu lama
2 1
Kembalikan ke pemasok 10
300
Pemasukkan bahan tidak sesuai formula
2 6
Pastikan bahwa bahan kimia yang digunakan yaitu Sulphur, ZDEC, ZDBC, ZnO, ZO, TiO2
sesuai ketentuan takaran dan ditimbang dengan timbangan analitis
96 708
Waktu proses terlalu cepat atau tidak sesuai dengan petunjuk
operasi 5
2 Waktu proses minimal 2 hari atau sesuai
dengan petunjuk operasi
80 708
Bola dispersi tidak mencukupi atau bentuknya sudah tidak standar
3 3
Melakukan pemeriksaan berkala terhadap jumlah dan kondisi bola-bola dispersi
72 748
Cara pengisian botol pendispersi perbandingan bahan, batu, dan
udara tidak memenuhi cara yang benar
4 2
Bola-bola harus memenuhi setengah botol dan setelah ditambah bahan kimia dan air
masih menyisakan ruang kosong 13 volume botol
64 708
Fungsi Proses Kegagalan pada Proses
Efek dari Kegagalan Proses S
Penyebab Kegagalan Proses O
D Tindakan perbaikan
RPN FRPN
Pengadukan terlalu cepat 6
2 Pengadukan diperlambat, kontinu dan jangan
sampai menimbulkan busa
108 883
Pemasukkan bahan tidak hati-hati 8
2 Penuangan didekatkan dengan dinding wadah
atau tempelkan ke permukaan lateks
144 883
Lateks kompon kurang homogen
Ketebalan produk sarung tangan bervariasi 5
Waktu pengadukan kurang lama terlebih lagi bila lateks terlalu kental
120 cps 4
3 Lamanya pengadukan campuran lateks 60
dengan stabilizer sebelum ditambahkan dispersi kimia harus mencapai 30 menit.
Sedangkan lamanya pengadukan campuran lateks 60 setelah ditambahkan stabilizer,
dispersi kimia dan wetting agent harus mencapai 30 menit
60 461
Timbul gumpalan-gumpalan kecil
Sarung tangan menjadi kasar 3
Jenis dan jumlah bahan penstabil lateks tidak mencukupi
4 3
Saring dengan saringan stainless 100 mesh 36
356
Pemeraman kompon lateks
Masih terdapat buih pada kompon lateks
Timbul pinhole atau fisheye produk sarung tangan
9 Waktu pemeraman kompon lateks
kurang lama 3
2 Pemeraman kompon lateks dilakukan minimal
selama 2 hari sebelum digunakan dan pembersihan busa dilakukan menggunakan
saringan plastik dengan cara diangkat pelan- pelan
54 883
Viskositas koagulan terlalu rendah
Ketebalan produk sarung tangan bervariasi 7
Dosis bahan koagulan kurang 3
2 Naikkan konsentrasi kalsium nitrat dan
karbonat
42 595
Tingkat pembasahan wetting kurang
Timbul cacat dekok dan kerutan pada produk sarung tangan
7 Masa pemeraman koagulan yang
kurang dan tidak adanya penambahan wetting agent
6 2
Pemeraman koagulan harus mencapai 1 hari 84
632
Lapisan koagulan kurang homogen 2
5 Proses dipping dimulai jika larutan koagulan
sudah stabil 30-60 menit setelah pengaturan koagulan selesai. Selain itu, ratakan lapisan
koagulan pada cetakan dengan spon agar lapisan koagulan merata pada cetakan.
80 708
Cetakan kotor, berminyak, kalis 3
3 Pencucian cetakan harus dilakukan sebersih
mungkin hingga tidak terdapat kotoran papaun pada cetakan. Bila perlu,
menggunakan konsentrasi asam nitrat 1-2 dan temperatur 27-30ºC
72 748
Kurang hati-hati saat mencelupkan cetakan ke dalam lateks dipping
3 3
Lateks harus bebas dari bubble, busa, dan pengotor lainnya. Pengadukan dilakukan
secara perlahan dan gumpalan lateks harus dikeluarkan dari lateks dip
36 404
Lateks mengandung banyak sabun 4
7 Lakukan penyapuan buih setiap kali akan
melakukan pencelupan. Penyapuan busa harus dilakukan dengan benar. Busa
dikumpulkan terlebih dahulu di tengah, kemudian selanjutnya dipinggirkan
112 448
Terdapat kotoran pada cetakan dan lateks
Terdapat kotoran pada sarung tangan 3
Tidak dilakukan penyaringan kompon atau cetakan kurang bersih
3 3
Lakukan proses penyaringan dengan alat penyaring yang terbuat dari kawat stainless
steel dengan mess 100
27 356
Hasil pencelupan tidak rata Ketebalan produk bervariasi
3 Lateks dipping pada bak celup cepat
mengental atau koagulan tidak menempel
5 6
Diambil permukaan yang mengental dan tambah stabilizer kemudian diaduk
90 401
Fungsi Proses Kegagalan pada Proses
Efek dari Kegagalan Proses S
Penyebab Kegagalan Proses O
D Tindakan perbaikan
RPN FRPN
Produk kurang kering Gulungan tidak rapih
5 Pengeringan kurang lama
3 2
Waktu stanby kira-kira 5 menit 30
364
Gulungan kurang padat Gulungan mudah lepas
4 Penggulungan terlalu cepat
3 2
Perbaiki cara penggulungan. Lakukan dengan hati-hati dan tidak terburu-buru.
24 318
Pencucian post leaching
Pencucian kurang bersih Terdapat kotoran pada sarung tangan
4 Pencucian dilakukan dengan
terburu-buru dan kurang bersih 3
3 Rendam dengan air panas 50-60ºC selama 30
menit dan bilas dengan air dingin, kemudian masukkan wet powder dan tumbler.
36 404
Waktu pengovenan terlalu lama 3
2 12
155
Sumber apinya terlalu besar 2
2
8 155
Waktu pengovenan kurang lama 3
2
24 318
Sumber apinya kurang besar 2
2
16 318
Jumlah powder kurang 3
3 Jumlah powder sebaiknya ditambah sesuai
dengan kebutuhan
27 356
Kelalaian operator dalam memberikan powder
2 2
Memberikan pengarahan kepada operator agar dapat memberikan powder secara
merata baik pembedakan kering maupun pembedakan basah
12 258
Kuku operator panjang 2
2 Sebaiknya kuku operator dipotong untuk
menghindari sarung tangan menjadi sobek ketika dilepaskan
12 258
Teknik kurang dikuasai 3
5 Sarung tangan dilepaskan dari bagian dalam
menjadi bagian luar. Menarik sarung tangan dari bagian cuff dan semuanya terbalik. Pakai
sarung tangan katun sehingga kuku tidak kontak langsung dengan karet.
45 356
Jumlah powder kurang 3
2 Jumlah powder sebaiknya ditambah sesuai
dengan kebutuhan
18 258
Tumbling Lengket dan berubah bentuk
Produk sobek 3
Terlalu matang 3
4 Sarung tangan dimasukkan ke dalam tumbler
per 10 kg. Suhu tumbler di-setting 50-70ºC selama 30 menit. Setelah selesai proses
tumbling, sarung tangan dimasukkan ke dalam keranjang
36 356
Pembuatan koagulan
Pencelupan cetakan ke dalam
koagulan Lapisan koagulan tidak rata
pada cetakan Ketebalan produk sarung tangan bervariasi
Dispersi bahan kimia
Hasil dispersi tidak sempurna Produk sarung tangan mudah sobek atau
lengket. Timbul busa pada kompon
lateks Timbul pinhole atau fisheye pada produk
sarung tangan Pengomponan
lateks
Pengovenan Pencelupan ke
dalam kompon lateks
Timbul pinhole atau fisheye pada produk sarung tangan
Pengeringan hasil celup dan bending
Terlalu matang Kurang matang
Timbul bintik-bintik pada bending, warna menjadi coklat, dan susah dilepas dari
cetakan Produk sobek
Timbul buih pada saat pencelupan lateks
Stripping Lengket dan sulit dilepas
Produk sobek Pemberian
powder Powder kurang merata
Produk sulit dilepas dan lengket Penerimaan lateks
Viskositas tinggi 120 cps Timbul pinhole atau fisheye pada produk
sarung tangan. 7
6 Lateks kurang stabil mudah menggupal
dan mudah membentuk lapisan lateks kering permukaan lateks
Waktu kemantapan mekanik kurang 650 detik
Lihat catatan spesifikasi dari pemasok atau gunakan alat ukur
MST mixer dengan 12000 rpm
4 3
Kontrol thermometer thermocouple dan lakukan kalibrasi serta pengovenan dilakukan
selama 1.5-2 jam dengan suhu 85-95ºC
3 4
8 9
8
2 F1
C1 S1
Lampiran 13 Petunjuk Penggunaan Portal Manajemen Pengetahuan Tampilan Awal Sistem
Pada tampilan awal seperti pada Gambar.1 terdapat halaman awal dari portal manajemen pengetahuan. Pada halaman awal ini setiap pengunjung portal di identifikasi
sebaga user tamu guest. User tamu guest diberikan kesempatan untuk mendaftar menjadi anggota portal manajemen pengetahuan. Bagi user yang telah terdaftar dapat
langsung menginput username dan password untuk masuk ke dalam portal.
Gambar 1 Tampilan Awal.
Fasilitas Perpustakaan Bagi User Tamu Guest
Pada portal manajemen pengetahuan setiap pengunjung yang bukan member dapat mengakses fasilitas perpustakaan yang tersedia. Tetapi terdapat fitur dari perpustakaan
yang tidak dapat diakses oleh user tamu.
Gambar 2 Fasilitas Perpustakaan bagi user tamu. Form Registrasi Member
Bagi yang belum terdaftar menjadi member portal manajemen pengetahuan, disediakan form registrasi, form ini berfungsi untuk mengambil input dari biodata user
yang akan mendaftar menjadi member portal manajemen pengetahuan. Setelah mengisi form ini, user mendapatkan hak untuk mengakses secara penuh fasilitas dari portal
manajemen pengetahuan ini.
Gambar 3 Form pendaftaran member.
Halaman Muka Portal Setelah Melakukan Login Sebagai User
Setelah melakukan login, seorang member dari portal manajemen pengetahuan mendapatkan akses terbatas dalam fasilitas serta fitur – fitur yang ada pada portal ini.
Adapun fitur yang disediakan oleh portal manajemen pengetahuan bagi seorang member antara lain :
‐ Perpustakaan Artikel Peta Pengetahuan ‐ Profil Pengguna
‐ Forum ‐ Cari Pakar
‐ My Bookmarks
Fasilitas Perpustakaan Artikel Peta Pengetahuan
Pada menu perpustakaan seorang user yang sudah login sebagai member dapat melakukan beberapa aktivitas, diantaranya adalah :
‐ Melihat artikel ‐ Melihat peta pengetahuan
Gambar 4 Lihat Artikel
Gambar 5 Lihat Peta Pengetahuan Fasilitas Profil Pengguna
Pada menu profil pengguna, seorang member dapat membuat data profil tentang dirinya sesuai dengan informasi yang dibutuhkan yakni :
‐ Nama Lengkap ‐ Perusahaan
‐ Jabatan ‐ Alamat Perusahaan
‐ Kota ‐ No. Telepon
‐ Alamat Email
Gambar 6 Input profil pengguna Disamping member dapat mengelola biodata informasi tentang dirinya, pengguna juga
dapat melakukan perubahan email address serta password untuk login ke dalam sistem portal manajemen pengetahuan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7 Edit e-mail address password
Fasilitas Cari Pakar
Seorang member yang sudah diverifikasi oleh admin dapat menggunakan fitur cari pakar untuk mencari moderator yang juga seorang pakar di dalam bidang klaster industri
barang jadi lateks seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Cari Pakar
Fasilitas Forum
Seorang member sistem portal manajemen pengetahuan dapat ikut serta di dalam forum seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9 Forum Topic
iii
ABSTRACT
DEDY SUGIARTO. Knowledge management model at latex goods industrial cluster in West Java and Banten. Supervised by SYAMSUL MA’ARIF,
MARIMIN, ILLAH SAILAH, SUKARDI, SUHARTO HONGGOKUSUMO.
The objective of this research was to design knowledge management model at latex goods industrial cluster by taking cases in West Java and Banten
Provinces. Latex goods industry in this area is dominated by small and medium enterprises SME that produce latex goods. The common problems for SME
were lack of knowledge, technological skills, equipment, and marketing network, and also limited access to formal training. Fuzzy analytical hierarchy process
technique was used to determine cluster strategy and knowledge management strategy. Knowledge gap analysis with fuzzy logic approach was used to identify
key knowledge areas. Fuzzy average technique and Sugeno fuzzy inference system were used in this knowledge gap model. Fuzzy quality function
deployment FQFD, fuzzy failure mode and effect analysis FFMEA, and expert systems were used to codify key knowledge area for supporting cluster initiative.
The model was packaged in decision support system software. Knowledge management portal was developed using drupal content management system to
support knowledge sharing in cluster.
This research showed that innnovation and technology initiative was the most important initiative for developing latex goods industrial cluster. Therefore,
knowledge about innovation and technology, especially production process design and control, are the related knowledge area that should be managed to develop
cluster. Nine knowledge areas were detected based on fuzzy knowledge gap analysis. They were compound formulation, coagulant formulation, raw material
inspection, dispersion process, dispersion inspection, compound dipping, leaching, vulcanization, and final inspection and failure analysis. Combination of
codification and personalization strategy was the most important knowledge management strategy to support innovation and technology initiative and managed
key knowledge areas. Result from the FQFD analysis showed that process design in compound dipping, vulcanization system, vulcanization process, and latex
concentrate were the key processes in latex dipping in order to meet product technical characteristic. FFMEA analysis showed that latex incoming process and
compounding between latex concentrate and chemical dispersion were the processes with highest fuzzy risk priority number. Knowledge codification media
such as knowledge taxonomy and expert systems were constructed to codify knowledge about latex dipped goods process design and control. Knowledge
management portal was designed for storing and sharing these key knowledge areas.
Keywords :
knowledge management strategy, industrial cluster, fuzzy AHP, fuzzy QFD, fuzzy FMEA, expert systems, latex goods
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori strategi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sumber daya yang tak terlihat intangible resources seperti pengetahuan, keahlian, motivasi, budaya,
teknologi, kompetensi dan kemitraan relationship adalah pendorong yang paling penting untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan dibandingkan
sumber daya yang terlihat tangible resources seperti bahan baku, mesin, tanah, modal dan pabrik Marti, 2004; Abdollahi et al., 2008; Denford dan Chan, 2011.
Di tengah situasi persaingan yang semakin kompetitif ditandai dengan bertambahnya jumlah pemain pasar di tingkat lokal, nasional maupun
internasional serta tuntutan pasar yang semakin tinggi, sebuah perusahaan tidak lagi hanya bisa mengandalkan kepada lokasi yang mudah dicapai, bahan baku
yang mudah didapat atau ketersediaan akses modal, tetapi juga kemampuan untuk bisa menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan inovatif. Untuk itu tentunya
perusahaan harus memiliki sumber daya pengetahuan yang cukup, baik pengetahuan mengenai teknologi proses, pasar dan pemasaran, pengembangan
bisnis maupun area pengetahuan lainnya sesuai kebutuhan perusahaan. Nonaka dan Takeuchi 1995 juga menekankan bahwa saat ini perusahaan yang ingin
sukses adalah mereka yang secara konsisten menciptakan pengetahuan baru, menyebarkannya secara luas dalam organisasi, dan secara cepat mengubahnya
menjadi berbagai teknologi dan produk baru. Konsep penggunaan pengetahuan dalam strategi bersaing memunculkan
teori mengenai strategi pengetahuan yang antara lain dikemukakan oleh Zack 1999. Strategi pengetahuan memberikan pengertian strategi berbasis
pengetahuan, yaitu strategi bersaing yang didasarkan pada modal intelektual dan kapabilitas yang dimiliki perusahaan. Pada saat perusahaan telah mengidentifikasi
strategi bersaing yang akan digunakan maka tindakan harus dilakukan untuk mengelola kesenjangan pengetahuan yang mungkin terjadi untuk melaksanakan
strategi tersebut seperti dengan cara merekrut keahlian tertentu, membangun sistem penyimpanan dokumen on line, membangun komunitas keahlian,
mengakuisisi perusahaan, lisensi teknologi, dan sebagainya. Strategi pengetahuan berorientasi pada apa pengetahuan yang bersifat strategik.
Clarke dan Turner 2004 menyatakan bahwa pandangan mengenai pentingnya strategi pengetahuan untuk meciptakan keunggulan bersaing
perusahaan selama ini lebih banyak dikaitkan dengan teori mengenai pandangan berbasis sumber daya resource based view RBV yang diperkenalkan oleh
Wernerfelt pada tahun 1984. RBV memperkenalkan bahwa keunggulan kompetitif suatu organisasi diturunkan dari sumber daya yang bernilai dan unik
dimana pesaing akan sangat membutuhkan biaya besar untuk menirunya. Dalam literatur manajemen strategik terdapat dua pandangan lain untuk mencapai
keunggulan bersaing yaitu struktur industri atau pandangan berbasis pasar market based view MBV dan pandangan relasional Clarke dan Turner 2004.
Pandangan struktur industri diperkenalkan oleh Porter pada tahun 1980 dan pandangan relasional diperkenalkan oleh Dyer dan Singh pada tahun 1998.
Berbeda dengan RBV yang menetapkan perusahaan sebagai unit utama dalam analisis, pandangan relasional menetapkan jaringan antar perusahaan sebagai unit
analisis Dyer dan Singh 1998. Clarke dan Turner 2004 menekankan perlunya model strategi pengetahuan yang lebih komprehensif dengan melibatkan
pandangan relasional seperti klaster industri. Selain keterkaitan strategi pengetahuan dengan klaster industri,
pengetahuan sebagai salah satu sumber daya tak terlihat semakin menunjukkan posisi strategisnya ditandai dengan kemunculan teori mengenai manajemen
pengetahuan serta berbagai penerapannya di berbagai perusahaan atau organisasi Nonaka dan Takeuchi 1995; Davenport dan Prusak 1998. Cara bagaimana
sumber daya pengetahuan tersebut dikelola merupakan domain dari manajemen pengetahuan Sangkala, 2006.
Beberapa penelitian tentang manajemen pengetahuan yang terkait dengan konsep strategi pengetahuan dan klaster industri telah dilakukan Van Horne et al.
2005, Sureephong 2007, serta Chen and Xiangzhen 2010. Penelitian Van Horne et al. 2005 menghasilkan suatu model manajemen pengetahuan untuk
mengelola pengetahuan pada industri kehutanan di Kanada dengan perguruan tinggi dan pusat penelitian bertindak sebagai aktor utama. Penelitian Sureephong
2007 menghasilkan suatu model sistem manajemen pengetahuan untuk mengelola pengetahuan pemasaran ekspor pada klaster industri keramik skala
kecil dan menengah di Thailand dengan aktor utama adalah asosiasi industri keramik. Penelitian Chen dan Xiangzhen 2010 menghasilkan suatu model sistem
manajemen pengetahuan untuk memajukan kompetensi inti pada klaster industri. Namun demikian model strategi dan manajemen pengetahuan pada beberapa
penelitian terdahulu tersebut belum terkait dengan pemilihan inisiatif strategi pengembangan klaster serta strategi manajemen pengetahuan untuk mendukung
strategi pengembangan klaster. Sebagai obyek dalam penelitian perancangan model manajemen
pengetahuan ini adalah sentra industri barang jadi lateks di Jawa Barat dan Banten. Berdasarkan BPPT 2003 dan Hartarto 2004, sentra industri secara
umum dapat dijadikan pintu masuk dalam pembentukan klaster. Industri barang jadi lateks antara lain terkonsentrasi di propinsi Sumatera Utara yang didominasi
oleh industri sarung tangan berskala besar serta di propinsi Jawa Barat dan Banten yang lebih didominasi oleh industri barang jadi lateks terutama barang celup
berskala kecil dan menengah. Secara umum industri berskala kecil dan menengah ini masih jauh tertinggal dibandingkan industri yang berskala besar dalam hal
pengetahuan, teknologi dan pemasaran terutama untuk ekspor. Dalam rangka pengembangan industri berbasis karet ini, Ridha et al.
2000 juga menekankan bahwa pada era perdagangan bebas, perdagangan industri karet akan sangat ditentukan oleh daya saing mutu dan harga jual
sehingga penguasaan teknologi, kemudahan dalam mendapatkan bahan baku, efisiensi pengolahan serta ketersediaan tenaga ahli akan mendukung industri karet
di dalam negeri menjadi kompetitif di pasar domestik dan dunia. Nelly dan Haris 2010 menekankan pula bahwa dengan meningkatkan pengetahuan dan keahlian
sumber daya manusia dalam hal teknologi, peralatan dan jejaring pemasaran akan dapat meningkatkan pendapatan perusahaan secara signifikan.
Permasalahan lain secara lebih makro dalam sektor agroindustri karet saat ini adalah konsumsi dalam negeri yang hanya sekitar 16 dari total produksi
karet alam nasional seperti dapat dilihat pada Tabel 1 serta ragam produk barang jadi yang masih terbatas, yang didominasi oleh produk berbasis karet remah
crumb rubber
Secara umum karet alam dalam negeri dikonsumsi oleh industri hilir yang berbasiskan pada karet padat dan cair barang jadi lateks baik berskala besar
maupun berskala kecil dan menengah. Nancy et al. 2001 dan Suparto dan Syamsu 2008 menekankan pentingnya mengembangkan industri berbasis lateks
untuk memacu peningkatan konsumsi karet alam dalam negeri mengingat barang jadi lateks merupakan produk yang kandungan karetnya paling tinggi. Barang jadi
lateks sendiri dapat terdiri atas beberapa jenis produk yaitu barang celup lateks seperti sarung tangan, kondom, kateter, komponen spygmomanometer; barang
cetakan seperti karet busa seperti kasur lateks dan bantal lateks serta barang jadi karet cair seperti perekat lateks.
. Karet remah dikemas dengan ukuran dan berat standar yang secara umum dikonsumsi oleh industri barang jadi karet skala besar seperti
industri ban yang memiliki mesin banbury dan kneader. Hal ini menunjukkan masih lemahnya industri hilir karet atau barang jadi karet non ban di Indonesia
dalam menyerap karet alam dalam negeri.
Tabel 1 Produksi dan konsumsi karet alam beberapa negara tahun 2010 IRSG 2010
Negara Produksi
juta ton Konsumsi
juta ton Kons. Thd
Prod. Thailand
3,22 0,41
12,74 Indonesia
2,70 0,43
15,93 Malaysia
0,92 0,50
54,35 India
0,86 1,01
117,44 Vietnam
0,75 Srilanka
0,14 Pendekatan yang dilakukan Pemerintah untuk mengembangkan sektor
industri berbasis karet adalah menggunakan pendekatan klaster industri. Hal ini tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 72005 mengenai
penguatan dan penumbuhan klaster-klaster industri inti, yaitu : 1 Industri makanan dan minuman; 2 Industri pengolahan hasil laut; 3 Industri tekstil dan
produk tekstil; 4 Industri alas kaki; 5 Industri kelapa sawit; 6 Industri barang kayu termasuk rotan dan bambu; 7 Industri karet dan barang karet; 8 Industri
pulp dan kertas; 9 Industri mesin listrik dan peralatan listrik; dan 10 Industri petrokimia.
Beberapa penelitian oleh Albaladejo M 2001, Karaev 2007 dan Zeinalnezhad M et al. 2010 menunjukkan bahwa pendekatan klaster dapat
digunakan meningkatkan daya saing dari industri kecil dan menengah. Namun demikian pengembangan klaster dihadapkan pada suatu permasalahan bagaimana
membangun dan mempertahankan kerjasama antar anggota klaster. Sejalan dengan bergesernya era industri kepada era pengetahuan maka pengembangan
klaster juga perlu mempertimbangkan strategi pengembangan berbasiskan pengetahuan serta kerjasama dalam bentuk berbagi pengetahuan knowledge
sharing antar anggota klaster.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menghasilkan model manajemen pengetahuan untuk pengembangan klaster agroindustri barang jadi lateks di Jawa
Barat dan Banten. Secara rinci tujuan tersebut meliputi : 1 Menghasilkan model pemilihan strategi pengembangan klaster berbasis pengetahuan; 2 Menghasilkan
model analisis kesenjangan pengetahuan dan penentuan area pengetahuan kunci; 3 Menghasilkan model pemilihan strategi manajemen pengetahuan; 4
Menghasilkan model kodifikasi pengetahuan disain proses dari area pengetahuan kunci ; 5 Menghasilkan model kodifikasi pengetahuan kegagalan proses; 6
Menghasilkan rancangan portal manajemen pengetahuan sebagai sarana berbagi pengetahuan
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian difokuskan pada perancangan model sistem pendukung keputusan serta sistem manajemen pengetahuan dengan studi kasus
klaster agroindustri barang jadi lateks di Jawa Barat dan Banten. Konsep manajemen dibatasi pada perumusan strategi pengetahuan berdasarkan pandangan
relasional klaster industri, strategi manajemen pengetahuan, penentuan prioritas kodifikasi pengetahuan, kodifikasi pengetahuan kunci serta portal manajemen
pengetahuan sebagai sarana sarana berbagi pengetahuan antar pelaku klaster. Pemilihan area pengetahuan kunci dilakukan berdasarkan analisis kesenjangan
pengetahuan. Kodifikasi pengetahuan menggunakan beberapa teknik yaitu penyebaran fungsi kualitas quality function deployment, analisis modus
kegagalan dan akibat failure mode and effect analysis, taksonomi pengetahuan, peta pengetahuan dan sistem pakar.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, baik secara akademik maupun praktis, dengan penjelasan sebagai
berikut : 1 Secara akademik hasil penelitian ini berguna bagi peneliti dan peminat ilmu strategi terutama keterkaitan antara strategi dengan manajemen
pengetahuan; 2 Model strategi pengetahuan yang akan dikembangkan diharapkan pula dapat bermanfaat bagi agroindustri barang jadi lateks yang
menggunakan pengetahuan sebagai dasar keunggulan bersaing secara berkelanjutan; 3 Metodologi dan pemodelan yang digunakan serta hasil
penelitian diharapkan akan menjadi referensi bagi peneliti lain dalam mengembangkan model-model manajemen pengetahuan agroindustri barang jadi
lateks; 4 Perangkat lunak sebagai salah satu output dari hasil penelitian ini dapat digunakan oleh berbagai kalangan di dalam proses pengambilan keputusan
formulasi strategi pengetahuan serta pengembangan klaster industri barang jadi lateks.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Manajemen Strategik
Porter 1985 menyatakan strategi adalah mengenai bagaimana mencapai dan mempertahankan posisi industri untuk mempertahankan keunggulan bersaing.
Porter 1998 juga menyatakan strategi sebagai konfigurasi dari berbagai aktivitas yang membedakan suatu perusahaan dengan pesaingnya. David 2004
mendefinisikan strategi sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Kaplan dan Norton 2004 menyatakan strategi menggambarkan
bagaimana organisasi bermaksud untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham, pelanggan dan masyarakat. Sedangkan Zack 1999 menyatakan strategi sebagai
tindakan penyeimbangan antara lingkungan eksternal peluang dan ancaman dan kapabilitas internal perusahaan kekuatan dan kelemahan.
Dalam literatur manajemen strategik terdapat tiga pandangan untuk mencapai keunggulan bersaing yaitu struktur industri atau pandangan berbasis
pasar market based view MBV, pandangan berbasis sumber daya resource based view RBV dan pandangan relasional Clarke dan Turner 2004.
Pandangan aliran MBV, yang sering diasosiasikan dengan pemikiran Michael Porter, selalu mengawali pemikirannya dengan melihat pasarnya lebih dahulu,
dengan melakukan analisis lingkungan eksternal industri menggunakan model Five Force. Fokus penyusunan strategi pada bagaimana mencapai dan
mempertahankan posisi industri untuk mempertahankan keunggulan bersaing Porter 1985. Sementara pendekatan RBV selalu berupaya meletakkan jargon
bersaingnya pada bagaimana menciptakan inovasi masa depan melalui sumber daya yang dimiliki oleh organisasi untuk dapat meningkatkan kapabilitasnya
dalam bersaing melalui pemilihan kompetensi inti Huseini, 1999. RBV memperkenalkan bahwa keunggulan kompetitif suatu organisasi diturunkan dari
sumber daya yang bernilai dan unik dimana pesaing akan sangat membutuhkan biaya besar untuk menirunya.
Pandangan RBV menyarankan perusahaan untuk memposisikan dirinya secara strategik didasarkan pada sumber daya dan kapabilitas yang unik, bernilai
dan sulit ditiru. Sumber daya dan kapabilitas yang digunakan pada banyak produk
yang dihasilkan dan beragam pasar yang dimasuki, lebih merupakan pendorong strategik dibandingkan mentargetkan pada produk tertentu, dan pasar tertentu.
Produk dan pasar dapat pergi, namun sumber daya dan kapabilitas tetap tertinggal dalam perusahaan Zack, 1999.
Sebagai kelanjutan dari pemikiran RBV, teori strategi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sumber daya yang tak terlihat intangible resources seperti
pengetahuan, keahlian, motivasi, budaya, teknologi, kompetensi dan kemitraan relationship adalah pendorong yang paling penting untuk mencapai keunggulan
bersaing yang berkelanjutan dibandingkan sumber daya yang terlihat tangible resources seperti bahan baku, mesin, tanah, modal dan pabrik Marti, 2004.
Sumber daya tak berwujud berkontribusi lebih dari 75 dari nilai pasar suatu organisasi, oleh karena itu formulasi strategi dan eksekusinya perlu
mengeksplisitkan mobilisasi dan penyelarasan dari sumber daya tak berwujud Kaplan dan Norton 2004. Sumber daya jenis ini jauh lebih sulit bagi pesaing
untuk ditiru dimana biasanya melekat dalam keunikan rutinitas organisasi dan praktek yang telah terakumulasi sepanjang waktu Dess 2005.
Pandangan relasional atau inter-firm view dipekernalkan oleh Dyer dan Singh 1998. Berbeda dengan RBV yang menetapkan perusahaan sebagai unit
utama dalam analisis, pandangan relasional menetapkan jaringan antar perusahaan sebagai unit analisis Dyer dan Singh 1998. Globalisasi ekonomi dan cepatnya
kemajuan teknologi telah memaksa perusahaan untuk melihat lebih jauh dari hanya satu industri atau satu perusahaan sebagai sumber keunggulan bersaing.
Kemitraan dengan pemasok, pelanggan, investor, mitra bisnis dan bahkan pesaing menjadi penentu kesuksesan suatu perusahaan di pasar. Kerja sama antar
perusahaan dapat memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif dimana terjadi saling-bagi pegetahuan serta kombinasi dari berbagai sumber daya
dan kapabilitas yang saling melengkapi dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih
menguntungkan. Menurut Clarke dan Turner 2004 implementasi pandangan ini dapat
dilakukan dalam bentuk aliansi strategis atau klaster industri. Wheelen dan Hunger 2004 menyatakan aliansi strategis adalah kemitraan dari dua atau lebih
perusahaan atau unit bisnis untuk mencapai tujuan strategis secara nyata dan saling menguntungkan yang dapat dilakukan dengan konsorsium, joint venture,
perjanjian lisensi atau kemitraan rantai nilai. Sedangkan Porter 1998 mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan
yang saling terhubungkan, pemasok-pemasok, penyedia jasa, perusahaan- perusahaan dalam industri terkait serta institusi lain perguruan tinggi, badan
standarisasi, asosiasi dagang dalam suatu lapangan usaha tertentu yang saling bersaing tetapi juga bekerja sama.
Porter 1990 mengemukakan konsep tentang keunggulan kompetitif dari suatu negara yang erat kaitannya dengan konsep klaster industri. Faktor-faktor
yang mempengaruhi keunggulan kompetitif suatu negara dikemas dalam model Berlian Porter seperti terlihat pada Gambar 1 yaitu :
1. Kondisi faktor, posisi nasional dalam berbagai faktor produksi seperti tenaga kerja terlatih dan infrastuktur yang dibutuhkan untuk bersaing dalam suatu
jenis industri 2. Kondisi permintaan, permintaan pasar terhadap produk industri
3. Industri terkait dan pendukung, ketersediaan atau ketidaktersediaan industri pemasok dan industri terkait yang dapat bersaing secara internasional
4. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Kondisi pemerintah bagaimana perusahaan diciptakan, diorganisasikan dan dikelola dalam persaingan
domestik
FAKTOR KONDISI
STRATEGI PERUSAHAN,
STRUKTUR DAN PERSAINGAN
KONDISI PERMINTAAN PASAR
INDUSTRI PENDUKUNG DAN
INDUSTRI TERKAIT
Gambar 1 Model berlian Porter Porter 1990
a. Faktor Kondisi Faktor-faktor kondisi yang sangat diperlukan dalam menciptakan keunggulan
daya saing industri berupa sumberdaya manusia, infrastruktur, dan permodalan.
- Sumberdaya manusia, dengan berbagai indikator seperti kuantitas, kualitas, dan ketersediaan.
- Infrastruktur, dengan indikator berupa ketersediaan sarana transportasi, sarana komunikasi, dan unit-unit pelayanan teknis.
- Permodalan, indikatornya adalah sumber permodalan. b. Kondisi Permintaan
Porter berpendapat bahwa pengalaman pasar domestik adalah elemen yang penting untuk persaingan produksi. Perusahaan yang berhadapan dengan pasar
domestik diharapkan menawarkan kualitas produk yang tinggi dan lebih memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumennya.
c. Industri Terkait dan Industri Pendukung Porter juga berpendapat bahwa hubungan relasi yang kuat dan industri
pendukung sangat penting dalam persaingan di suatu perusahaan. Disini termasuk pemasok dan industri terkait.
d. Strategi Perusahaan dan Persaingan Pasar Berbagai aspek yang mempengaruhi cara mengorganisasi dan mengelola
perusahaan diantaranya adalah perilaku kewenangan, kemampuan bahasa, nilai interaksi antar personil, norma sosial, serta standar profesional. Pengaruh
yang paling kuat terhadap keunggulan daya saing justru berasal dari persaingan domestik di dalam suatu industri.
2.2 Data, Informasi dan Pengetahuan
Berbagai literatur menjelaskan definisi pengetahuan dan membedakannya dari data dan informasi. Davenport 1998 menjelaskan data sebagai himpunan
diskret, kenyataan obyektif mengenai berbagai peristiwa atau kejadian. Dalam konteks organisasi data lebih digambarkan sebagai catatan terstruktur dari
berbagai transaksi. Sedangkan informasi diartikan sebagai data yang dapat
menjadi berbeda. Informasi dapat mengubah penerima informasi dalam memandang sesuatu. Istilah menginformasikan dapat diartikan sebagai memberi
bentuk. Davenport 1998 mendefinisikan pengetahuan sebagai campuran cair dari
pengalaman, nilai, informasi kontekstual, pandangan pakar dan intuisi yang menyediakan lingkungan dan kerangka untuk mengevaluasi dan menggabungkan
pengalaman baru dan informasi. Berdasarkan definisi ini, pengetahuan adalah campuran dari berbagai elemen yang lebih bersifat cair daripada terstuktur secara
formal. Pengetahuan diturunkan dari informasi, sebagaimana halnya informasi diturunkan dari data. Data tersimpan dalam catatan atau transaksi, informasi
dalam pesan, dan pengetahuan dalam individu atau grup orang-orang yang mengetahui atau kadang-kadang dalam rutinitas organisasi. Pengetahuan dapat
disampaikan dalam media yang terstuktur seperti buku dan dokumen, dan juga kontak antar orang dalam bentuk percakapan atau magang.
Turban 2005 mendefinisikan data sebagai kumpulan fakta, pengukuran, dan statistik, sedangkan informasi adalah data yang diorganisasi atau diproses
tepat waktu kesimpulan dari data ditarik dalam batasan waktu yang dapat diterapkan dan akurat mengenai data asli. Pengetahuan adalah informasi yang
kontekstual, relevan dan dapat dilakukan. Pengetahuan memiliki pengalaman dan reflektif yang kuat yang membuat ia berbeda dari informasi dalam sebuah konteks
yang telah ditentukan. Memiliki pengetahuan menyiratkan bahwa ia dapat dipakai untuk memecahkan masalah, sedangkan memiliki informasi tidak memberikan
arti tambahan yang sama. Kemampuan untuk bertindak adalah bagian integral dari memiliki banyak pengetahuan. Perbedaan kemampuan tersebut berkaitan dengan
perbedaan pengalaman, pelatihan, perspektif dan faktor lainnya Turban, 2005. Hubungan antara data, informasi dan pengetahuan tersajikan pada Gambar 2.
DATA INFORMATION
KNOWLEDGE
Processed Relevant and
actionable
Relevant and actionable
Gambar 2 Keterkaitan data, informasi dan pengetahuan Turban 2005
Sanchez 2004 juga menjelaskan perbedaan data, informasi dan pengetahuan. Data adalah pengamatan mengenai kejadian-kejadian atau entiti,
yang dapat meliputi deskripsi kualitatif maupun pengukuran kuantitatif. Karena data hanyalah pengamatan, ia tidak dapat banyak memberikan arti sampai dengan
data tersebut diinterpretasikan dengan berbagai cara. Informasi diturunkan dari perbandingan data sepanjang waktu atau lintas situasi. Sedangkan pengetahuan
adalah kumpulan kepercayaan atau keyakinan dari seseorang tentang hubungan sebab akibat dari lingkungannya.
Selanjutnya Sanchez 2004 menjelaskan tiga bentuk dari pengetahuan yaitu know-how, know-why dan know-what. Know-how merupakan pengetahuan
praktis yang dapat memungkinkan seseorang untuk mempertahankan sistem atau proses yang telah ada dalam urutan kerja yang baik. Know-why merupakan
pengetahuan teoritis yang memungkinkan seseorang untuk merancang sistem atau proses baru. Sedangkan know-what merupakan pengetahuan strategik dari tujuan
dimana know-how dan know-why yang tersedia dapat diaplikasikan. Menurut Polanyi 1958 dalam Turban 2005 pengetahuan dapat pula
dibagi dua yaitu pengetahuan eksplisit explicit knowledge dan pengetahuan tersembunyi tacit knowledge. Pengetahuan eksplisit adalah kebijakan, petunjuk
prosedural, laporan resmi, laporan, desain produk, strategi, tujuan, misi dan kemampuan inti dari perusahaan dan teknologi informasi insfrastruktur. Ia adalah
pengetahuan yang telah dikodifikasi terdokumentasikan dalam format yang
dapat dibagikan kepada orang lain atau ditransformasi ke dalam suatu proses tanpa menuntut interaksi antar pribadi. Sedangkan pengetahuan tersembunyi
merupakan penyimpanan kumulatif dari pengalaman, peta mental, pengertian yang mendalam insight ketajaman, keahlian, know-how, rahasia perdaganga,
kumpulan ketrampilan, pemahaman dan pembelajaran yang dimiliki organisasi, juga budaya organisasi yang telah melekat di masa lalu. Sebagai contoh
penjelasan bagaimana cara mengendari sebuah sepeda sulit didokumentasi secara eksplisit, dan karena itu tersembunyi Turban, 2005.
Nonaka 1995 juga menjelaskan perbedaan antara pengetahuan tersembunyi dan pengetahuan explisit. Pengetahuan tersembunyi dapat berupa
keahlian atau ketrampilan gerakan tubuh, persepsi individu, pengalaman psikis, perilaku tertentu yang senantiasa dikerjakan rules of thumb dan intuisi.
Pengetahuan tersembunyi ini tidak dapat dengan mudah dibagikan. Sebagai contoh adalah seorang ahli pembuat roti yang dengan pengalaman bertahun-tahun
memiliki keahlian luar biasa dalam membuat roti yang sangat lezat. Tetapi seringkali dia sendiri sulit untuk menerangkan secara spesifik ilmu atau teknik
yang dimilikinya. Sedangkan pengetahuan eksplisit merupakan pengetahuan yang dapat dengan mudah dituliskan dalam kertas, dinyatakan dalam kalimat serta
rumus-rumus, atau dilukiskan dengan gambar serta mudah dibagikan. Melalui proses transformasi pengetahuan misalnya dengan mempelajari pengetahuan
tersembunyi yang dimiliki seseorang secara berulang-ulang maka tersembunyi tersebut dapat berubah menjadi eksplisit, misalnya berupa sebuah produk yang
spesifik, mesin pembuat roti. Zack 1999 menyatakan pengetahuan sebagai salah satu sumber daya tak
berwujud merupakan sumber daya yang paling strategis dan bernilai. Nonaka 1995 juga menekankan tentang pentingnya pengetahuan dengan mengatakan
perusahaan yang sukses adalah mereka yang secara konsisten menciptakan pengetahuan baru, menyebarkannya secara luas dalam organisasi, dan secara cepat
mengubahnya menjadi berbagai teknologi dan produk baru. Zack 1999 menjelaskan mengapa pengetahuan dapat membuat
keunggulan menjadi berkelanjutan, sebagai berikut :
1. Pengetahuan, terutama yang bersifat tersembunyi tacit dan melekat pada rutinitas kompeksitas organisasi dan dikembangkan melalui pengalaman,
cenderung menjadi unik dan sulit ditiru. Tidak seperti banyak sumber daya tradisional lainnya, hal ini tidak begitu mudah dapat dibeli di pasar dalam
bentuk yang sudah siap digunakan. Untuk memperoleh pengetahuan yang sama, pesaing harus memiliki pengalaman yang sama.
2. Semakin perusahaan mengetahui, semakin banyak pula perusahaan akan belajar. Kesempatan belajar yang dimiliki organisasi yang telah memiliki
keunggulan pengetahuan lebih bernilai dibandingkan dengan organisasi lain yang memiliki kesempatan belajar yang sama tetapi dimulai dengan
kurang pengetahuan. 3. Suatu organisasi yang telah mengetahui tentang sesuatu yang unik
membutuhkan pengetahuan baru, menyediakan kesempatan untuk sinergi pengetahuan yang tidak tersedia bagi pesaingnya. Pengetahuan baru yang
terintegrasi dengan pengetahuan yang telah ada dapat berkembang menjadi pandangan yang unik dan pengetahuan yang lebih berharga.
4. Tidak seperti barang-barang fisik tradisional yang bila dikonsumsi akan menyebabkan pengembalian yang menurun sepanjang waktu, pengetahuan
bila digunakan justru akan memberikan pengembalian yang menaik.
2.3 Strategi Pengetahuan
Zack 1999 menjelaskan adanya hubungan antara pengetahuan dan strategi bisnis melalui konsep strategi pengetahuan. Strategi pengetahuan lebih
kepada penyelerasan pengetahuan dengan strategi bisnis. Model strategi pengetahuan dari Zack 1999 disajikan pada Gambar 3.