Latar Belakang Model manajemen pengetahuan pada klaster industri barang jadi lateks di Jawa Barat dan Banten

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teori strategi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sumber daya yang tak terlihat intangible resources seperti pengetahuan, keahlian, motivasi, budaya, teknologi, kompetensi dan kemitraan relationship adalah pendorong yang paling penting untuk mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan dibandingkan sumber daya yang terlihat tangible resources seperti bahan baku, mesin, tanah, modal dan pabrik Marti, 2004; Abdollahi et al., 2008; Denford dan Chan, 2011. Di tengah situasi persaingan yang semakin kompetitif ditandai dengan bertambahnya jumlah pemain pasar di tingkat lokal, nasional maupun internasional serta tuntutan pasar yang semakin tinggi, sebuah perusahaan tidak lagi hanya bisa mengandalkan kepada lokasi yang mudah dicapai, bahan baku yang mudah didapat atau ketersediaan akses modal, tetapi juga kemampuan untuk bisa menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan inovatif. Untuk itu tentunya perusahaan harus memiliki sumber daya pengetahuan yang cukup, baik pengetahuan mengenai teknologi proses, pasar dan pemasaran, pengembangan bisnis maupun area pengetahuan lainnya sesuai kebutuhan perusahaan. Nonaka dan Takeuchi 1995 juga menekankan bahwa saat ini perusahaan yang ingin sukses adalah mereka yang secara konsisten menciptakan pengetahuan baru, menyebarkannya secara luas dalam organisasi, dan secara cepat mengubahnya menjadi berbagai teknologi dan produk baru. Konsep penggunaan pengetahuan dalam strategi bersaing memunculkan teori mengenai strategi pengetahuan yang antara lain dikemukakan oleh Zack 1999. Strategi pengetahuan memberikan pengertian strategi berbasis pengetahuan, yaitu strategi bersaing yang didasarkan pada modal intelektual dan kapabilitas yang dimiliki perusahaan. Pada saat perusahaan telah mengidentifikasi strategi bersaing yang akan digunakan maka tindakan harus dilakukan untuk mengelola kesenjangan pengetahuan yang mungkin terjadi untuk melaksanakan strategi tersebut seperti dengan cara merekrut keahlian tertentu, membangun sistem penyimpanan dokumen on line, membangun komunitas keahlian, mengakuisisi perusahaan, lisensi teknologi, dan sebagainya. Strategi pengetahuan berorientasi pada apa pengetahuan yang bersifat strategik. Clarke dan Turner 2004 menyatakan bahwa pandangan mengenai pentingnya strategi pengetahuan untuk meciptakan keunggulan bersaing perusahaan selama ini lebih banyak dikaitkan dengan teori mengenai pandangan berbasis sumber daya resource based view RBV yang diperkenalkan oleh Wernerfelt pada tahun 1984. RBV memperkenalkan bahwa keunggulan kompetitif suatu organisasi diturunkan dari sumber daya yang bernilai dan unik dimana pesaing akan sangat membutuhkan biaya besar untuk menirunya. Dalam literatur manajemen strategik terdapat dua pandangan lain untuk mencapai keunggulan bersaing yaitu struktur industri atau pandangan berbasis pasar market based view MBV dan pandangan relasional Clarke dan Turner 2004. Pandangan struktur industri diperkenalkan oleh Porter pada tahun 1980 dan pandangan relasional diperkenalkan oleh Dyer dan Singh pada tahun 1998. Berbeda dengan RBV yang menetapkan perusahaan sebagai unit utama dalam analisis, pandangan relasional menetapkan jaringan antar perusahaan sebagai unit analisis Dyer dan Singh 1998. Clarke dan Turner 2004 menekankan perlunya model strategi pengetahuan yang lebih komprehensif dengan melibatkan pandangan relasional seperti klaster industri. Selain keterkaitan strategi pengetahuan dengan klaster industri, pengetahuan sebagai salah satu sumber daya tak terlihat semakin menunjukkan posisi strategisnya ditandai dengan kemunculan teori mengenai manajemen pengetahuan serta berbagai penerapannya di berbagai perusahaan atau organisasi Nonaka dan Takeuchi 1995; Davenport dan Prusak 1998. Cara bagaimana sumber daya pengetahuan tersebut dikelola merupakan domain dari manajemen pengetahuan Sangkala, 2006. Beberapa penelitian tentang manajemen pengetahuan yang terkait dengan konsep strategi pengetahuan dan klaster industri telah dilakukan Van Horne et al. 2005, Sureephong 2007, serta Chen and Xiangzhen 2010. Penelitian Van Horne et al. 2005 menghasilkan suatu model manajemen pengetahuan untuk mengelola pengetahuan pada industri kehutanan di Kanada dengan perguruan tinggi dan pusat penelitian bertindak sebagai aktor utama. Penelitian Sureephong 2007 menghasilkan suatu model sistem manajemen pengetahuan untuk mengelola pengetahuan pemasaran ekspor pada klaster industri keramik skala kecil dan menengah di Thailand dengan aktor utama adalah asosiasi industri keramik. Penelitian Chen dan Xiangzhen 2010 menghasilkan suatu model sistem manajemen pengetahuan untuk memajukan kompetensi inti pada klaster industri. Namun demikian model strategi dan manajemen pengetahuan pada beberapa penelitian terdahulu tersebut belum terkait dengan pemilihan inisiatif strategi pengembangan klaster serta strategi manajemen pengetahuan untuk mendukung strategi pengembangan klaster. Sebagai obyek dalam penelitian perancangan model manajemen pengetahuan ini adalah sentra industri barang jadi lateks di Jawa Barat dan Banten. Berdasarkan BPPT 2003 dan Hartarto 2004, sentra industri secara umum dapat dijadikan pintu masuk dalam pembentukan klaster. Industri barang jadi lateks antara lain terkonsentrasi di propinsi Sumatera Utara yang didominasi oleh industri sarung tangan berskala besar serta di propinsi Jawa Barat dan Banten yang lebih didominasi oleh industri barang jadi lateks terutama barang celup berskala kecil dan menengah. Secara umum industri berskala kecil dan menengah ini masih jauh tertinggal dibandingkan industri yang berskala besar dalam hal pengetahuan, teknologi dan pemasaran terutama untuk ekspor. Dalam rangka pengembangan industri berbasis karet ini, Ridha et al. 2000 juga menekankan bahwa pada era perdagangan bebas, perdagangan industri karet akan sangat ditentukan oleh daya saing mutu dan harga jual sehingga penguasaan teknologi, kemudahan dalam mendapatkan bahan baku, efisiensi pengolahan serta ketersediaan tenaga ahli akan mendukung industri karet di dalam negeri menjadi kompetitif di pasar domestik dan dunia. Nelly dan Haris 2010 menekankan pula bahwa dengan meningkatkan pengetahuan dan keahlian sumber daya manusia dalam hal teknologi, peralatan dan jejaring pemasaran akan dapat meningkatkan pendapatan perusahaan secara signifikan. Permasalahan lain secara lebih makro dalam sektor agroindustri karet saat ini adalah konsumsi dalam negeri yang hanya sekitar 16 dari total produksi karet alam nasional seperti dapat dilihat pada Tabel 1 serta ragam produk barang jadi yang masih terbatas, yang didominasi oleh produk berbasis karet remah crumb rubber Secara umum karet alam dalam negeri dikonsumsi oleh industri hilir yang berbasiskan pada karet padat dan cair barang jadi lateks baik berskala besar maupun berskala kecil dan menengah. Nancy et al. 2001 dan Suparto dan Syamsu 2008 menekankan pentingnya mengembangkan industri berbasis lateks untuk memacu peningkatan konsumsi karet alam dalam negeri mengingat barang jadi lateks merupakan produk yang kandungan karetnya paling tinggi. Barang jadi lateks sendiri dapat terdiri atas beberapa jenis produk yaitu barang celup lateks seperti sarung tangan, kondom, kateter, komponen spygmomanometer; barang cetakan seperti karet busa seperti kasur lateks dan bantal lateks serta barang jadi karet cair seperti perekat lateks. . Karet remah dikemas dengan ukuran dan berat standar yang secara umum dikonsumsi oleh industri barang jadi karet skala besar seperti industri ban yang memiliki mesin banbury dan kneader. Hal ini menunjukkan masih lemahnya industri hilir karet atau barang jadi karet non ban di Indonesia dalam menyerap karet alam dalam negeri. Tabel 1 Produksi dan konsumsi karet alam beberapa negara tahun 2010 IRSG 2010 Negara Produksi juta ton Konsumsi juta ton Kons. Thd Prod. Thailand 3,22 0,41 12,74 Indonesia 2,70 0,43 15,93 Malaysia 0,92 0,50 54,35 India 0,86 1,01 117,44 Vietnam 0,75 Srilanka 0,14 Pendekatan yang dilakukan Pemerintah untuk mengembangkan sektor industri berbasis karet adalah menggunakan pendekatan klaster industri. Hal ini tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 72005 mengenai penguatan dan penumbuhan klaster-klaster industri inti, yaitu : 1 Industri makanan dan minuman; 2 Industri pengolahan hasil laut; 3 Industri tekstil dan produk tekstil; 4 Industri alas kaki; 5 Industri kelapa sawit; 6 Industri barang kayu termasuk rotan dan bambu; 7 Industri karet dan barang karet; 8 Industri pulp dan kertas; 9 Industri mesin listrik dan peralatan listrik; dan 10 Industri petrokimia. Beberapa penelitian oleh Albaladejo M 2001, Karaev 2007 dan Zeinalnezhad M et al. 2010 menunjukkan bahwa pendekatan klaster dapat digunakan meningkatkan daya saing dari industri kecil dan menengah. Namun demikian pengembangan klaster dihadapkan pada suatu permasalahan bagaimana membangun dan mempertahankan kerjasama antar anggota klaster. Sejalan dengan bergesernya era industri kepada era pengetahuan maka pengembangan klaster juga perlu mempertimbangkan strategi pengembangan berbasiskan pengetahuan serta kerjasama dalam bentuk berbagi pengetahuan knowledge sharing antar anggota klaster.

1.2 Tujuan Penelitian