Pendekatan pengelolaan sumberdaya pantaipesisir

29 sumberdaya alam yang sangat besar. Dalam kaitan dengan bentuk negara kepulauan, Indonesia telah merativikasi Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS, 1982 dengan melahirkan UU nomor 17 tahun 1985 dan UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Kedua undang-undang tersebut didalamnya mengatur hukum batas-batas perairan nasional negara kepulauan yang dapat diterima oleh regional maupun dunia internasional.

2.5.1 Pendekatan pengelolaan sumberdaya pantaipesisir

Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Kay dan Alder 1998 menyoroti mengenai tatanan administratif pemerintah dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Dikemukakan bahwa suatu sistem pengelolaan tidak mungkin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila tidak ada administrasi yang bagus di dalamnya, hal ini juga berlaku untuk wilayah pesisir dimana lingkup dan kompleksitas issue melibatkan banyak pelaku. Kepentingan semua pihak yang terlibat dengan wilayah pesisir stakeholder perlu diatur melalui peraturan yang bertanggung jawab sehingga keberlanjutan wilayah pesisir untuk masa mendatang dapat dijaga. Sorensen dan Mc.Creary 1990 menyebutkan faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan dan administrasi untuk wilayah pesisir yaitu : 1 Pemerintah harus memiliki insiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan. 2 Penanganan wilayah pesisir berbeda dengan penanganan proyek harus dilakukan secara terus menerus dan biasanya bertanggung jawab kepada pihak legislatif. 3 Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan 4 Menetapkan tujuan khusus atau issue permasalahan yang harus dipecahkan melaui program-program. 30 5 Memiliki identitas institusional dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasi-organisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi pengelolaan. 6 Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan. Untuk mendukung pernyataan mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan dan administrasi wilayah pesisir yang komplek, Vallega 2001 menyajikan pendekatan berdasarkan kompleksitas dari pengelolaan pesisir seperti Gambar 4 sebagai berikut: Gambar 4 Pendekatan berdasar kompleksitas dalam pengelolaan Vallega, 2001 Sumberdaya pesisir di Teluk Jakarta meliputi: daratan, perairan, perikanan dan sebagian kecil hutan mangrove yang ditujukan untuk konservasi lahan. Saat ini sumberdaya tersebut digunakan untuk beragam fungsi dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan sosial ekonomi. Oleh karenanya pengelolaan sistem penggunaan sumberdaya yang kompleks tersebut membutuhkan pendekatan yang mampu memadukan berbagai kepentingan dan tujuan. Optimalisasi sumberdaya dari perspektif sosial, ekonomi dan lingkungan akan memberikan manfaat bagi 31 generasi kini dan masa depan tanpa merugikan sumberdaya itu sendiri serta menjaga keberlanjutan proses ekologis. Potensi dan permasalahan wilayah pesisir telah banyak dikemukakan oleh para pakar kelautan dan pesisir. Isu–isu permasalahan wilayah pesisir secara global berdasarkan hasil kajian di berbagai wilayah pesisir di dunia dikemukakan oleh Kay 1999. Pokok permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir menurutnya adalah sebagai berikut : pertumbuhan penduduk khususnya di negara miskin dan berkembang, pemanfaatan wilayah pesisir, dampak lingkungan dari kegiatan manusia dan kelemahan administratif. Permasalahan wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Dahuri 2001 merupakan permasalahan umum wilayah pesisir yang banyak dijumpai di Indonesia. Dikemukakan bahwa permasalahan wilayah pesisir meliputi : pencemaran, kerusakan habitat pantai, pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, abrasi pantai, konversi kawasan lindung dan bencana alam. Permasalahan-permasalahan tersebut sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas kegiatan manusia baik yang tinggal dalam kawasan maupun yang berada di luar kawasan. Tata ruang di kawasan Teluk Jakarta menyiratkan bahwa terdapat perbedaan kelas pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut. Berdasarkan kesesuaian kelas tersebut maka zonasi dibuat dalam rangka perbaikan produksi, konservasi dan mempertahankan keseimbangan lingkungan. Adanya aktifitas yang saling terkait dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir menyiratkan bahwa pendekatan sektoral dalam pengelolaan sumberdaya tersebut tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan yang efektif sebaiknya tidak hanya didasarkan pada analisis aktivitas individu dan dampaknya, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak kombinasi dari aktivitas sektoral baik itu terhadap antar sektor maupun terhadap sumberdaya pesisir itu sendiri Hossain dan Lin, 2001. Melalui pendekatan yang terintegrasi, keberlanjutan sumberdaya termasuk sumberdaya pesisir akan lebih terjamin. Pembangunan berkelanjutan sustainable development menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada akhir abad 20 Kay,1999. Kay 1999 memperkenalkan sejumlah prinsip yang mendasari konsep berkelanjutan yaitu: prinsip integritas lingkungan, prinsip efisiensi ekonomi, dan prinsip keadilan sosial. Dari tiga 32 prinsip pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir dapat diuraikan bahwa : 1 Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi instrumen pengambilan keputusan; 2 Keputusan yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat ke depan melalui analisis biaya manfaat; 3 Didalam pembangunan berkelanjutan issue lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan; 4 Dalam pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan sustainability dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah- kaidah pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu Integrated Coastal Zone Management, ICZM. Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidak efektif Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999 Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses interaktif dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya utuk mengejar pertumbuhan ekonomi economic growth jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat stakeholder, dan memelihara daya 33 dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan integration dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: 1 pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah eko-hidrologis yang berlangsung dikawasan pesisir yang dikelola; 2 kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan 3 kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan produk serta jasa di lingkungan pesisir. Wilayah pesisir dan laut sebagai ekosistem yang dinamis memiliki karakteristik yang sangat unik. Hal ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana. Adapun karakteristik biofisik wilayah pesisir adalah : 1 Secara fungsional terdapat keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir, cepat atau lambat, akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan pembangunan industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain di lahan atas suatu daerah aliran sungai DAS tidak dilakukan secara bijaksana, akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut. 2 Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. 3 Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat orang yang memiliki keterampilankeahlian dan kesenangan preference bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendampingan pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal, sangat sukar atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah kesenangan bekerja profesi sekelompok orang yang sudah secara tradisi menekuni suatu bidang pekerjaan. 4 Baik secara biologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur single use adalah sangat rentan terhadap perubahan 34 internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu hamparan pesisir, hanya digunakan untuk satu peruntukkan, seperti tambak, maka akan lebih rentan jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukkan. 5 Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama common property resources yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang open access. Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaks imalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over-eksploration sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang serangkai terjadi di kawasan ini.

2.5.2. Model ekonomi perikanan