PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE KANCING GEMERINCING PADA SISWA KELAS IIIA SD NEGERI 4 WATES KULONPROGO TAHUN AJARAN 2016/2017.

(1)

i

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA

MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE KANCING GEMERINCING PADA SISWA KELAS IIIA

SD NEGERI 4 WATES KULONPROGO TAHUN AJARAN 2016/2017

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Siti Nurjanah NIM 12108244081

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Tidak baik berdiam diri tentang sesuatu yang diketahui dan tidak baik berbicara tentang sesuatu yang tidak diketahui”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Sebagai ungkapan rasa syukur, karya ini penulis persembahkan kepada: 1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan doa dan dorongan. 2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta.


(7)

vii

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA

MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE KANCING GEMERINCING PADA SISWA KELAS IIIA

SD NEGERI 4 WATES KULONPROGO TAHUN AJARAN 2016/2017

Oleh Siti Nurjanah NIM 12108244081

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IIIA SD Negeri 4 Wates dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart. Penelitian dilaksanakan di SD Negeri 4 Wates pada semester ganjil tahun ajaran 2016/2017. Subjek penelitian adalah siswa kelas IIIA SD Negeri 4 Wates dengan jumlah 30 siswa. Objek penelitian yakni keterampilan berbicara siswa. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tes, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IIIA SD Negeri 4 Wates. Peningkatan keterampilan berbicara meliputi peningkatan pada aspek-aspek sebagai berikut; kejelasan lafal ditunjukkan dengan pengucapan yang jelas pada setiap kata, aspek intonasi ditunjukkan dengan penempatan intonasi yang tepat saat berbicara, aspek pemilihan kata ditunjukkan dengan pemilihan kata baku dalam berbicara, aspek kosakata ditunjukkan dengan penggunaan kosakata yang luas, beragam, dan mengucapkannya secara jelas, aspek sikap ditunjukkan dengan sikap siswa yang tenang dan tidak kaku ketika menyampaikan pendapat, aspek keberanian ditunjukkan dengan sikap siswa yang bertambah berani dalam menyampaikan pendapat, dan aspek kelancaran ditunjukkan dengan siswa mampu berbicara dengan lancar saat mengemukakan pendapat. Peningkatan rata-rata keterampilan berbicara siswa pada siklus I sebesar 11,57 dari kondisi awal 59,93 menjadi 71,5. Sedangkan peningkatan pada siklus II sebesar 4.9, dari kondisi awal 71,5 menjadi 76,4.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Peningkatan Keterampilan berbicara melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing pada Siswa Kelas IIIA SD Negeri 4 Wates Kulonprogo”. Skripsi ini ditulis sebagai realitas untuk memenuhi mata kuliah Tugas Akhir Skripsi. Selain itu skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik atas bimbingan, bantuan, serta kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan di UNY.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dan kesempatan untuk melakukan penyusunan skripsi.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

4. Aprilia Tina Lidyasari, M. Pd. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi.

5. Drs. Teguh Riyanta, M. Pd. selaku Kepala SD Negeri 4 Wates Kulonprogo yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut. 6. Utari Budiharti, S. Pd. SD selaku guru kelas IIIA SD Negeri 4 Wates

Kulonprogo yang membantu peneliti selama kegiatan penelitian berlangsung. 7. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan doa dan dorongan.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Batasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Tentang Keterampilan berbicara ... 11


(11)

xi

1. Pengertian Tentang Keterampilan berbicara ... 11

2. Jenis-jenis Berbicara ... 13

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi keterampilan berbicara 16

B. Kajian Tentang Model Pembelajaran Kooperatif ... 24

1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif ... 25

2. Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif ... 26

3. Prinsip Model Pembelajaran Kooperatif ... 29

4. Unsur Pokok Model Pembelajaran Kooperatif ... 36

5. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif ... 41

6. Keterampilan Kooperatif ... 46

C. Kajian Tentang Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing ... 47

1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing ... 47

2. Tahap-tahap Kegiatan Pembelajaran ... 48

3. Kelebihan dan Kekurangan ... 49

D. Kajian tentang Karakteristik Siswa Kelas III SD ... 51

E. Definisi Operasional ... 53

F. Kerangka Pikir ... 54

G. Hipotesis Penelitian ... 57

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 57

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 58

C. Objek dan Subyek Penelitian ... 58

D. Desain Penelitian ... 58

E. Metode Pengumpulan Data ... 62

F. Instrumen Penelitian ... 64

G. Validitas Instrumen ... 68

H. Teknik Analisis Data ... 68


(12)

xii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 70

1. Data Awal Keterampilan berbicara ... 70

2. Deskripsi Pelaksanaan Tindakan Siklus I ... 72

3. Deskripsi Pelaksanaan Tindakan Siklus II ... 101

B. Pembahasan ... 124

C. Keterbatasan Penelitian ... 128

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 129

B. Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 131


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Fase-fase dalam Pembelajaran Kooperatif ... 44 Tabel 2. Kisi-kisi Tes Keterampilan berbicara ... 65 Tabel 3. Lembar Observasi Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran

Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing ... 66 Tabel 4. Lembar Observasi Aktivitas Guru dalam Pembelajaran

Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing ... 67 Tabel 5. Hasil Analisis Nilai Keterampilan Berbicara pada Pra Siklus ... 71 Tabel 6. Presentase Ketuntasan Keterampilan berbicara Siswa Pra Siklus 71 Tabel 7. Hasil Analisis Nilai Keterampilan Berbicara pada Siklus I ... 83 Tabel 8. Presentase Ketuntasan Keterampilan berbicara Siswa pada

Siklus I ... 84 Tabel 9. Perbandingan Hasil Tes Keterampilan berbicara pada

Pra Siklus dan Siklus I ... 85 Tabel 10. Hasil Analisis Nilai Keterampilan Berbicara pada Siklus II ... 111 Tabel 11. Perbandingan Hasil Tes Keterampilan berbicara pada


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir ... 56 Gambar 2. PTK model Kemmis dan Mc Taggart ... 60 Gambar 3. Diagram Batang Peningkatan Keterampilan berbicara Siswa


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Daftar Nama Siswa Kelas IIIA SD N 4 Wates ... 134

Lampiran 2. RPP Siklus I Pertemuan I ... 135

Lampiran 3. RPP Siklus I Pertemuan II ... 145

Lampiran 4. RPP Siklus II Pertemuan I ... 153

Lampiran 5. RPP Siklus II Pertemuan II ... 161

Lampiran 6. Materi Pembelajaran ... 168

Lampiran 7. Lembar Kerja Siswa ... 171

Lampiran 8. Soal Evaluasi ... 174

Lampiran 9. Lembar Penilaian Keterampilan berbicara ... 177

Lampiran 10. Rubrik Penilaian Keterampilan berbicara ... 178

Lampiran 11. Pedoman Observasi Aktivitas Guru ... 181

Lampiran 12. Rubrik Observasi Aktivitas Guru ... 183

Lampiran 13. Pedoman Observasi Aktivitas Siswa ... 192

Lampiran 14. Rubrik Observasi Aktivitas Siswa ... 195

Lampiran 15. Hasil Tes Keterampilan berbicara Pra Siklus ... 202

Lampiran 16. Hasil Tes Keterampilan berbicara Siklus I ... 203

Lampiran 17. Hasil Tes Keterampilan berbicara Siklus II ... 204

Lampiran 18. Hasil Observasi Aktivitas Guru Siklus I Pertemuan I ... 205

Lampiran 19. Hasil Observasi Aktivitas Guru Siklus I Pertemuan II ... 207

Lampiran 20. Hasil Observasi Aktivitas Guru Siklus II Pertemuan I ... 209

Lampiran 21. Hasil Observasi Aktivitas Guru Siklus II Pertemuan II ... 211

Lampiran 22. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus I Pertemuan I ... 213

Lampiran 23. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus I Pertemuan II ... 215

Lampiran 24. Hasil Observasi Aktiviatas Siswa Siklus II Pertemuan I ... 217


(16)

xvi

Lampiran 26. Dokumentasi Kegiatan Siswa ... 221 Lampiran 27. Surat Izin Penelitian ... 224


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia disebut sebagai makhluk sosial. Dalam kesehariannya sebagai makhluk sosial, seseorang berinteraksi dengan orang lain melalui komunikasi. Berkomunikasi dilakukan untuk memberikan informasi, mendapatkan informasi, atau menghibur. Komunikasi dapat berjalan lancar jika seseorang memiliki keterampilan berbicara yang baik. Kegiatan berkomunikasi dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal.

Komunikasi verbal dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai sarana, sedangkan komunikasi non verbal dilakukan dengan menggunakan sarana melalui isyarat, bunyi bel, gambar, dan lain sebagainya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan Setyawan Pujiono (2012: 84) bahwa dalam kesehariannya, seseorang membutuhkan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi. Bentuk komunikasi yang mendominasi adalah komunikasi lisan.

Seseorang penting memiliki keterampilan berbahasa yang baik. Salah satu keterampilan berbahasa yang perlu dimiliki tersebut adalah keterampilan berbicara. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Djago Tarigan (1990: 149) yang menyatakan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai sarana untuk berkomunikasi. Berbicara merupakan salah satu komponen penting yang harus dapat dilakukan oleh manusia agar dapat melakukan komunikasi secara lisan. Melalui berbicara seseorang menyampaikan informasi dengan


(18)

2

ujaran kepada orang lain. Sejalan dengan pendapat tersebut, Setyawan Pujiono (2012: 84) menyatakan bahwa kegiatan berbicara bagi seseorang bermanfaat untuk mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaan kepada orang lain.

Selain itu, seseorang harus memiliki keterampilan berbicara yang baik agar dapat berinteraksi satu sama lain. Sesuai dengan pendapat Izzaty dkk. (2008: 108) yang menyatakan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi terpenting dalam kelompok. Anak belajar bagaimana berbicara dengan baik dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kegiatan berkomunikasi dalam kelompok anak akan belajar bahwa komunikasi yang bermakna tidak dapat dicapai apabila tidak mengerti apa yang dikatakan orang lain. Hal tersebut akan mendorong anak untuk meningkatkan pengetiannnya bahwa keterampilan berbicara didukung oleh pembendaharaan kata yang dimiliki.

Keterampilan berbicara yang baik tidak begitu saja diperoleh oleh seseorang dengan sendirinya. Seseorang mengalami proses pengkayaan (berlatih, diskusi, membaca, dan pengalaman) sebagai bahan referensi. Jika seseorang memiliki semakin banyak pengalaman dan referensi membaca, maka akan semakin menarik pula informasi yang disajikannya saat berbicara. keterampilan berbicara dapat diperoleh melalui pendidikan di Sekolah Dasar. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Henry Guntur Tarigan (1987: 1) bahwa dalam kurikulum di sekolah biasanya


(19)

3

mengajarkan empat keterampilan berbahasa yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis.

Pembelajaran merupakan salah satu unsur pokok dari kegiatan pendidikan. Nasution (Sugihartono, 2012: 80) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik sehingga terjadi proses belajar. Dalam melaksanakan proses pembelajaran terdapat tiga komponen yang saling terkait. Ketiga komponen tersebut adalah perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Oleh karenanya guru harus memiliki kemampuan untuk melakukan tiga komponen tersebut. Sesuai dengan pendapat Gagne (Endang Purwanti, 2008: 11) bahwa dalam kegiatan pembelajaran terdapat tiga kemampuasn yang dituntut dari seorang guru yakni: kemampuan merencanakan materi dan kegiatan belajar mengajar, melaksanakan dan mengelola kegiatan pembelajaran serta menilai hasil belajar siswa.

Keberhasilan pembelajaran, salah satunya tergantung dari apa yang dilakukan guru dalam pembelajaran di kelas. Guru sebagai mediator dan komponen pengajaran memiliki peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan pembelajaran dan sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran. guru diharapkan mampu mengembangkan profesionalisme dalam mengajarkan siswa dalam fungsinya sebagai fasilitator pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang dirancang harus lebih menekankan pada proses daripada hasil, untuk itu dalam pembelajaran


(20)

4

yang harus diprioritaskan adalah aktivitas siswa. pembelajaran di kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain.

Usaha mencapai keberhasilan dalam proses pembelajaran agar sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan dalam pembelajaran, perlu diterapkan model pembelajaran yang tepat memotivasi siswa untuk belajar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ngalimun (2013) yang menyatakan bahwa setiap model pembelajaran dapat mengarahkan guru dalam merancang pembelajaran untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.

Penerapan model pembelajran harus dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa, materi yang disampaikan, serta tujuan yang hendak dicapai. Pada setiap siswa memiliki karakteristik prbadi yang berbeda dengan siswa lain. Karakteristik siswa sekolah dasar pada umumnya masih senang bermain dan susah untuk disuruh tenang. Menurut Izzaty dkk. (2008: 104) masa usia sekolah atau masa sekolah dasar disebut sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6 tahun sampai masuk masa pubertas atau remaja awal yang berkisar pada 11-13 tahun.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di SD Negeri 4 Wates, Kulonprogo pada bulan Juli 2016, saat pembelajaran berlangsung ada siswa yang aktif mengikuti pembelajaran dengan sering mengajukan pertanyaan pada guru, mencatata, dan rajin mengerjakan tugas. Namun banyak pula siswa yang pasif saat pembelajaran, tidak mau bertanya


(21)

5

meskipun ia belum mengerti, dan tidak sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas. Guru telah berusaha melibatkan siswa agar aktif dalam pembelajaran. Guru sudah memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai hal-hal yang belum dipahami, guru juga telah mengadakan tanya jawab terkait materi yang dijarkan. Namun tak banyak siswa yang berbicara untuk bertanya maupun menjawab pertanyaan guru. Hanya sebagian siswa saja yang aktif berbicara.

Untuk meminimalisir kepasifan siswa, guru berinisiatif untuk menempatkan siswa duduk secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 5-6 siswa secara heterogen. Dengan penataan kelas seperti demikian diharapkan siswa dapat berdiskusi dengan teman satu kelompoknya. Selain itu, diharapkan siswa juga dapat terpacu untuk aktif dan berani dalam menyampaikan pendapatnya di depan kelas. Namun, hal tersebut belum cukup untuk membuat siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Sebagian besar siswa masih terlihat pasif dalam pembelajaran. Ada pula beberapa kelompok siswa yang memanfaatkan kelompok belajarnya untuk mmebuat gaduh suasana kelas. Keadaan tersebut menjadikan siswa tidak fokus pada materi pelajaran yang disampaikan guru.

Hasil observasi yang dilakukan, dipertegas dengan hasil wawancara pada guru kelas. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas IIIA SD Negeri 4 Wates, guru mengungkapkan bahwa kemampuan siswa dalam menyampaikan pendapat masih sangat kurang. Terlihat dari kegiatan sisswa pada saat diskusi yang maish pasif dan hanya diam saja.


(22)

6

Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan siswa dalam berbicara masih kurang. Siswa tidak mau ikut berbicara menyampaikan pendapatnya. Banyak siswa yang sebenarnya memiliki gagasan masing-masing namun mereka kesulitan menyampaikannya.

Berdasarkan uraian masalah di atas, pembelajaran yang dilaksanakan menjadi kurang maksimal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka peneliti bermaksud untuk menerapkan suatu model pembelajaran yang dapat mendukung proses pembelajaran agar setiap siswa dapat menggunakan kesempatannya dalam diskusi atau kerja kelompok. Dengan demikian pembelajaran akan lebih menyenangkan juga dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Dengan adanya pemerataan kesempatan dalam diskusi maupun kerja kelompok, maka diharapkan siswa benar-benar dapat membangun sendiri pengetahuannya dengan berdasarkan pada pengalaman-pengalaman yang telah dialaminya selama proses belajar berlangsung.

Bertolak dari kondisi yang telah disebutkan, maka dapat dirancang sebuah pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Peningkatan yang dilakukan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing. Dengan model pembelajaran ini diharapkan siswa akan lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran. Melalui model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing dalam kegiatannya masing-masing anggota kelompok mendapat kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan


(23)

7

pemikiran orang lain. Keunggulan teknik untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Karena dalam kerja kelompok sering ada anggota yang terlalu dominan bicara, sementara anggota lain pasif. Artinya, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok tidak tercapai, karena anggota yang pasif akan terlalu menggantungkan diri pada rekannya yang dominan (Lie, 2005: 54).

Penggunaan model pembelajaran kancing gemerincing akan membuat siswa merasakan suasana yang berbeda ketika sedang belajar. Pembelajaran di dalam kelompok diharapkan tidak lagi hanya didominasi oleh siswa-siswa yang biasanya aktif. Namun, setiap siswa harus aktif, sehingga akan terjadi pemerataan kesempatan di antara siswa. Dengan adanya pemerataan kesempatan bagi siswa untuk berbicara, maka secara alami setiap siswa akan mengalami peningkatan keterampilan berbicara.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai proses kegiatan pembelajaran di kelas III A SD Negeri 4 Wates kabupaten Kulonprogo dengan model kooperatif tipe kancing gemerincing. Hal ini didasari dengan keterampilan berbicara dalam pembelajaran menjadi salah satu aspek yang masuk dalam penilaian dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Dengan latar belakang yang dipaparkan di atas, penulis melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Keterampilan Berbicara melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing pada Siswa Kelas III A SD Negeri 4 Wates, Kulonprogo”.


(24)

8 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dideskripsikan di atas, maka masalah penelitian dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Keterampilan berbicara siswa saat mengemukakan pendapat masih rendah.

2. Siswa kelas IIIA SD Negeri 4 Wates kurang aktif saat pembelajaran berlangsung.

3. Perhatian siswa belum terfokus pada materi yang disampaikan guru. 4. Guru kelas IIIA SD Negeri 4 Wates sudah menerapkan model

pembelajaran kooperaatif, namun pengorganisasiannya belum optimal. 5. Siswa kelas IIIA SD Negeri 4 Wates masih merasa kesulitan dalam

menyampaikan gagasan.

C. Batasan Masalah

Pembatasan masalah dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup permasalahan. Penelitian ini dibatasi pada masalah rendahnya keterampilan berbicara siswa.

D. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah meningkatkan keterampilan berbicara melalui model pembelajaran kooperatif kancing gemerincing pada siswa kelas III A SD Negeri 4 Wates?


(25)

9

2. Seberapa besar peningkatan keterampilan berbicara melalui model kooperatif kancing gemerincing pada siswa kelas III A SD Negeri 4 Wates?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini seperti berikut.

1. Meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara pada pembelajaran di kelas III A SD Negeri 4 Wates melalui model pembelajaran kooperatif kancing gemerincing.

2. Meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas III A SD Negeri 4 Wates melalui model kooperatif kancing gemerincing.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi ilmiah dalam rangka meningkatkan keterampilan berbicara siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing.

2. Manfaat Praktis a. Manfaat Bagi Guru

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan mutu dari proses kegiatan belajar mengajar.


(26)

10

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk memilih metode mengajar yang tepat dalam proses pembelajaran.

3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi mengenai penerapan model pembelajaran sebagai bekal pengetahuan agar guru dapat meningkatkan keterampilan dalam proses pembelajaran, memperbaiki pengelolaan pembelajaran, meningkatkan keberhasilan proses pembelajaran di kelas, serta mengembangkan pembelajaran di Sekolah Dasar.

b. Manfaat Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi pada siswa untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia, meningkatkan minat belajar siswa, dan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa.


(27)

11 BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian tentang Keterampilan Berbicara

1. Pengertian Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang diperlukan dalam komunikasi. Berbicara merupakan kemampuan dalam menyampaikan pendapat melalui bahasa lisan. Melalui berbicara seseorang dapat menyampaikan informasi kepada orang lain melalui ungkapan.

Berbicara adalah kemampuan untuk mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan (Henry Guntur Tarigan, 1987: 15). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Dipodjoyo (Setyawan Pujiono: 84) mengungkapkan bahwa komunikasi lisan merupakan kegiatan individu dalam usaha menyampaikan pesan secara lisan kepada individu lain atau sekelompok orang. Nurjamal (2011:4) mengungkapkan berbicara merupakan kemampuan seseorang untuk mengungkapkan gagasan-pikiran-perasaan seseorang secara lisan kepada orang lain. Maka dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah kemampuan untuk menyampailan pikiran, gagasan, dan perasaan secara lisan kepada individu lain.

Menurut Djago Tarigan (1990: 164) keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang mekanistis. Semakin banyak berlatih berbicara, semakin dikuasai keterampilan berbicara itu. Seseorang tidak


(28)

12

akan langsung terampil berbicara tanpa melalui proses latihan. Disamping itu, Mukhsin Ahmadi (1990: 18) mengungkapkan keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Keterampilan berbicara didasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara secara wajar, jujur, benar, dan bertanggungjawab dengan melenyapkan problema kejiwaan seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan dan berat lidah. Pendapat lain dinyatakan oleh Iskandarwassid dan Sunendar (2009: 241) yang menyatakan bahwa keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan dan keinginan kepada orang lain.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara merupakan keterampilan untuk mengungkapkan pesan, pikiran, perasaan, ide, pengalaman secara lisan kepada orang lain. Melalui berbicara, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara langsung.


(29)

13 2. Jenis-jenis Berbicara

Jenis bicara menurut Haryadi dan Zamzani (1996: 59) dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek, antara lain arah pembicaraan, tujuan pembicaraan, dan suasana.

1) Arah pembicaraan

Berdasarkan arah pembicaraan, berbicara dibedakan menjadi dua yaitu berbicara satu arah (pidato dan ceramah) dan berbicara dua multi arah (diskusi).

2) Tujuan

Berdasarkan aspek tujuan, berbicara dapat dikelompokkan ke dalam berbicara persuasi, argumentasi, agitasi, instruksional, rekreatif.

3) Suasana

Berdasarkan suasana dan sifatnya, berbicara dapat dikelompokkan ke dalam berbicara formal dan nonformal.

Menurut Djado Tarigan (1990: 176), paling sedikit ada lima landasan yang digunakan dalam mengklasifikasikan berbicara. Kelima landasan tersebut adalah situasi, tujuan, metode penyampaian, jumlah penyimak, dan peristwa khusus.

1) Situasi

Aktivitas berbicara selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana, situasi dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat informal atau tal formal.

a) Jenis-jenis berbicara informal meliputi: tukar pengalaman, percakapan, menyampaikan berita, menyampaikan pengumuman, bertelepon, dan memberi petunjuk.

b)Jenis-jenis berbicara formal meliputi: ceramah, perencanaan dan penilaian, interview, prosedur parlementer, dan bercerita.


(30)

14 2) Tujuan

Pada umumnya tujuan orang berbicara adalah untuk menghibur, menginformasikan, menstimulasi, meyakinkan atau menggerakkan pendengarnya. Sejalan dengan tujuan pembicara tersebut, berbicara dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis:

a) Berbicara menghibur. Contohnya lawakan, guyonan dalam ludruk, Srimulat, cerita Kabayan, cerita Abu Nawas.

b) Berbicara menginformasikan. Contohnya pengumuman atau penjelasan suatu cara melakukan suatu hal.

c) Berbicara menstimulasi. Contohnya nasehat guru terhadap siswa, dokter terhadap pasiennya atau ibu terhadap anaknya.

d) Berbicara meyakinkan. Contohnya pidato.

e) Berbicara menggerakkan. Contohnya pidato dengan tujuan mencapai tujuan bersama.

3) Metode Penyampaian

Dalam berbicara, ada empat cara yang bisa digunakan dalam menyampaikan pembicaraan. Keempat cara tersebut adalah penyampaian secara mendadak, penyampaian berdasarkan cacatan kecil, penyampaian berdasarkan hafalan, penyampaian berdasarkan naskah.

a) Berbicara mendadak. Berbicara mendadak terjadi karena seseorang tanpa direncanakan sebelumnya harus berbicara di depan umum. Hal ini dikarenakan tuntutan situasi.


(31)

15

b) Berbicara menggunakan cacatan kecil. Biasanya pembicara menggunakan cacatan kecil dalam kartu yang berisi butir-butir penting sebagai pedoman berbicara. Berdasarkan catatan itu pembicara bercerita panjang lebar mengenai suatu hal.

c) Berbicara berdasarkan hafalan. Pembicara mempersiapkan bahan pembicaraannya dengan cermat dan dituliskannya secara lengkap. Bahan yang sudah ditulis itu dihafalkan kata demi kata, lalu bebricara berdasarkan hasil hafalannya.

d) Berbicara berdasarkan naskah. Pembicara membacakan naskah yang sudah disusun rapi. Berbicara berdasarkan naskah dilaksanakan dalam situasi yang menuntut kepastian, bersifat resmi, dan menyangkut kepentingan umum.

4) Jumlah penyimak

Berbicara selalu melibatkan dua pihak yakni pendengar dan pembicara. Jumlah pendengar dapat bervariasi misalnya satu orang, dua orang atau lebih. Berdasarkan jumlah penyimak, berbicara dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:

a) Berbicara antar pribadi. Berbicara ini terjadi apabila dua pribadi membicarakan, mempercakapkan, merundingkan, atau mendiskusikan sesuatu. Jenis berbicara antar pribadi sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya percakapan antara ayah dan ibu, percakapan antar pasien dan dokter, percakapan


(32)

16

dengan tema, atau diskusi antara dosen pembimbing dengan mahasiswanya.

b) Berbicara dalam kelompok kecil. Berbicara ini terjadi apabila seorang pembicara menghadapi sekelompok kecil pendengar misalnya tiga sampai lima orang. Pembicara dan pendengar dapat bertukar pesan. Berbicara dalam kelompok kecil sering dilakukan dalam praktek pengajaran, penataran atau latihan belajar bahasa. c) Berbicara dalam kelompok besar. Berbicara ini terjadi apabila

seorang pembicara menghadapi pendengar berjumlah besar atau massa.

5) Peristiwa khusus

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering menghadapi berbagai kegiatan. Sebagian dari kegiatan itu dikategorikan sebagai peristiwa khusus, istimewa atau spesifik. Berdasarkan peristiwa khusus itu, berbicara dapat digolongkan menjadi enam jenis yaitu sebagai berikut: a) presentasi, b) penyambutan, c) perpisahan, d) jamuan, e) perkenalan, dan f) nominasi.

Dengan demikian, berbicara dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa aspek, antara lain situasi, tujuan, metode penyampaian, jumlah penyimak dan peristiwa khusus.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan berbicara

Setyawan Pujiono (2012: 87) menyatakan bahwa ada dua faktor penting yang harus diperhatikan. Kedua faktor penting tersebut adalah


(33)

17

faktor yang terkait dengan bahasa yaitu faktor kebahasaan dan faktor yang terkait dengan teknis pelaksanaan penyampaian materi pembicaraan yaitu faktor non-kebahasaan.

1) Faktor kebahasaan

Keefektifan berbicara seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebahasaan yang dikuasainya. Faktor-faktor tersebut antara lain: a) ketepatan ucapan (tata bunyi), b) penempatan tekanan, nada, sendi dan durasi yang sesuai, c) pilihan kata (diksi), dan d) kalimat efektif.

2) Faktor non-kebahasaan

Dalam berbicara, yang termasuk faktor non-kebahasaan adalah: a) sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku, b) kontak mata atau pandangan harus diarahkan kepada audien atau khalayak pendengar, c) gerak-gerik dan mimik yang tepat, d) kenyaringan suara, e) kelancaran, dan f) relevansi atau penalaran.

Menurut Haryadi dan Zamzani (1996: 59) pengajaran berbicara perlu memperhatikan dua faktor yang mendukung arah tercapainya pembicaraan yang efektif, yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan.

1) Faktor kebahasaan

Faktor kebahasaan yang mendukung keefektifan berbicara antara lain: pelafalan bunyi bahasa, penggunaan intonasi,


(34)

18

pemilihan kata dan ungkapan, serta penyusunan kalimat dan paragraf.

2) Faktor non kebahasaan

Faktor non kebahasaan yang mendukung keefektifan berbicara ialah: ketenangan dan kegairahan, keterbukaan, keintiman, isyarat nonverbal dan topik pembicaraan.

Menurut Maidar Arsjad dan Mukti (1991: 17) ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan dalam berbicara, yaitu faktor kebahasaan dan faktor non-kebahasaan.

1) Faktor kebahasaan

Faktor-faktor yang termasuk dalam faktor kebahasaan antara lain: a) ketepatan ucapan, b) penempatan tekanan, nada, sendi dan durasi yang sesuai, c) pilihan kata (diksi), dan d) ketepatan sasaran pembicaraan.

2) Faktor non-kebahasaan

Faktor-faktor yang termasuk dalam faktor non-kebahasaan antara lain: a) sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku, b) pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara, c) kesediaan menghargai pendapat orang lain, d) gerak-gerik dan mimik yang tepat, e) kenyaringan suara, f) kelancaran, g) relevansi/penalaran, dan h) penguasaan topik.

Sejalan dengan pendapat di atas, Sabarti Akhadiah, dkk. (1992: 154) juga membagi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam


(35)

19

keterampilan berbicara menjadi dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek non-kebahasaan.

1) Aspek kebahasaan

Aspek kebahasaan adalah hal utama dalam keterampilan berbicara. Aspek-aspek tersebut antara lain: a) pelafalan bunyi, b) penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi, dan ritme, c) penggunaan kata dan kalimat.

Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing aspek kebahasaan yang mempengaruhi keterampilan berbicara.

a) Pelafalan bunyi

Pada dasarnya setiap orang memiliki latar belakang kebahasaan yang berbeda-beda. Ciri-ciri kedaerahan setiap orang sering kali sulit dihilangkan. Hal tersebut yang membuat pelafalan bunyi bahasa menjadi berbeda-beda pula. Seperti pelafalan /c/ dengan [se], pelafalan /q/ dengan [kiu] mestinya [ki], pelafalan diftong /au/ sebagai /o/, pelafalan diftong /ai/ sebagai /e/ dan pelafalan bunyi bahasa yang lain. Pembicara harus memperhatikan pelafalan bunyi bahasa tersebut dengan tepat.

b) Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi, dan ritme

Tekanan berhubungan dengan keras lemahnya suara, nada berhubungan dengan tinggi rendahnya suara, jangka menyangkut perhentian, ritme berhubungan dengan


(36)

cepat-20

lambatnya berbicara, dan intonasi merupakan perpaduan antara empat hal tersebut. Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi, dan ritme yang sesuai akan menjadi daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan menjadi salah satu faktor penentu dalam keefektifan berbicara. Sebaliknya, apabila penyampaiannya datar saja mungkin timbul kejemuan pada pendengar atau keefektifan berbicara tentu akan berkurang.

c) Penggunaan kata dan kalimat

Penggunaan pemilihan kata yang digunakan pembicara pada waktu mengkomunikasikan sesuatu secara lisan perlu diperhatikan. Pemakaian kata yang kurang tepat atau kurang sesuai untuk menyatakan makna dalam situasi pemakaian tertentu perlu dikoreksi dan dibenarkan. Demikian pula kalimat yang digunakan harus diperhatikan. Pembicara perlu menggunakan struktur kalimat yang benar pada berbagai kesempatan dalam berbicara.

2) Aspek non-kebahasaan

Kefektifan dalam berbicara tidak hanya dilihat dari aspek kebahasaan, namun aspek non-kebahasaan juga ikut mempengaruhi. Aspek non-kebahasaan tersebut antara lain: a) sikap wajar, tenang, dan tidak kaku, b) pandangan yang diarahkan kepada lawa bicara, c) kesediaan menghargai pendapat orang lain, d) kesediaan mengoreksi diri sendiri, e) keberanian mengemukakan


(37)

21

dan mempertahankan pendapat, f) gerak gerik dan mimik yang tepat, g) kenyaringan suara, h) kelancaran, i) penalaran dan relevansi dan j) penguasaan topik.

Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing aspek non-kebahasaan yang mempengaruhi keterampilan berbicara.

a) Sikap wajar, tenang, dan tidak kaku

Dalam berbicara kita harus bersikap wajar, tenang, dan tidak kaku. Bersikap wajar berarti berpenampilan atau berbuat biasa sebagaimana adanya, tanpa berlebihan sesuai dengan keadaan. Sikap yang wajar dapat menarik perhatian pendengar. Sikap yang tenang adalah sikap dengan perasaan hati yang tidak gelisah, tidak gugup, dan tidak tergesa-gesa. Sikap tenang dapat menimbulkan jalan pikiran dan pembicaraan menjadi lebih lancar. Dalam berbicara, pembicara tidak boleh bersikap kaku, tetapi harus bersikap luwes, lemah lembut dan fleksibel. b) Pandangan yang diarahkan kepada lawan bicara

Pada waktu berbicara, pandangan pembicara harus diarahkan kepada lawan bicara, baik dalam pembicaraan perorangan maupun dalam kelompok. Pandangan pembicara yang tidak diarahkan kepada lawan bicara atau memandang ke atas, samping atau menunduk mengakibatkan perhatian pendengar berkurang, karena mungkin merasa tidak atau kurang diperhatikan.


(38)

22

c) Kesediaan menghargai pendapat orang lain

Menghargai pendapat orang lain berarti menghormati atau mengindahkan pikiran atau anggapan orang lain, baik pendapat itu benar maupun salah. Jika pendapat itu benar hendaknya diindahkan dan diperhatikan, karena memang pendapat yang benar itulah yang diperlukan. Seandainya pendapat itu salah pun perlu dihargai, karena itulah kemampuan yang ada padanya.

d) Kesediaan mengoreksi diri sendiri

Mengoreksi diri sendiri berarti memperbaiki kesalahan diri sendiri. Kesediaan memperbaiki diri sendiri adalah suatu sikap yang sangat terpuji. Sikap ini diperlukan dalam berbicara agar diperoleh kebenaran atau kesepakatan yang memang menjadi salah satu tujuan suatu pembicaraan.

e) Keberanian mengemukakan dan mempertahankan pendapat Dalam berbicara, untuk dapat mengemukakan pendapat tentang sesuatu seseorang memerlukan keberanian. Ada seseorang yang tidak dapat berbicara karena memang ia tidak mempunyai pemikiran tentang sesuatu itu. Namun ada juga seseorang yang tidak dapat berbicara padahal ia memiliki pendapat tentang sesuatu, karena ia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya.


(39)

23

f) Gerak gerik dan mimik yang tepat

Gerak gerik dan mimik berfungsi membantu memperjelas atau menghidupkan pembicaraan. Gerak gerik dan mimik yang tepat yaitu gerak yang tidak berlebihan, sehingga tidak mengganggu keefektifan berbicara dan perhatian pendengar.

g) Kenyaringan suara

Tingkat kenyaringan suara hendaknya disesuaikan dengan situasi, tempat, dan jumlah pendengar yang ada. Jangan sampai suara terlalu nyaring atau berteriak-teriak di tempat yang terlalu sempit atau sebaliknya, suara terlalu lemah pada ruangan yang terlalu luas, sehingga suara tidak dapat ditangkap oleh semua pendengar. Kenyaringan suara harus diatur sedemikian rupa sehingga semua pendengar dapat menangkapnya dengan jelas dan juga mengingat kemungkinan adanya gangguan dari luar. h) Kelancaran

Kelancaran seseorang dalam berbicara akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya. Pembicaraan yang terputus-putus atau bahkan diselingi dengan bunyi-bunyi tertentu seperti e…, em…, apa itu…, dapat mengganggu penangkapan isi pembicaraan bagi pendengar. Pembicaraan jangan sampai terlalu cepat agar tidak menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan.


(40)

24 i) Penalaran dan relevansi

Penalaran yaitu pemikiran atau cara berpikir yang logis untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Hal itu menunjukkan bahwa dalam pembicaraan seorang pembicara terdapat urutan dan runtutan pokok-pokok pikiran dengan menggunakan kalimat yang padu sehingga menimbulkan kejelasan arti.

j) Penguasaan topik

Penguasaan topik pembicaraan berarti pemahaman atas suatu pokok pembicaraan. Dengan pemahaman trsebut, seseorang pembicara akan mempunyai kesanggupan untuk mengemukakan topik atau pokok pembicaraan itu kepada pendengar. Penguasaan topik yang baik dapat menimbulkan keberanian dan menunjang kelancaran berbicara.

Berdasarkan kajian mengenai faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara di atas, peneliti menyederhanakan aspek-aspek yang berpengaruh terhadap keterampilan berbicara sebagai berikut; aspek kebahasaan terdiri dari 1) ketepatan lafal, 2) intonasi, 3) pemilihan kosakata, dan 4) kosakata, aspek non kebahasaan terdiri dari sikap dan keberanian.

B. Kajian tentang Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran merupakan cara yang digunakan oleh seorang guru untuk menciptakan pembelajaran yang menarik. Melalui sebuah model


(41)

25

pembelajaran, guru dapat menciptakan pembelajaran yang dapat digunakan mneyesuaikan karakteristik siswa. Dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa, maka diharapkan siswa dapat lebiih antusias dalam mengikuti pembelajaran. Dengan antusias siswa yang baik dalam pembelajaran, maka diharapkan siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik.

1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang terstruktur dan sistematis, dimana kelompok-kelompok kecil bekerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Sejalan dengan pendapat Anita Lie (2007: 12) bahwa pembelajaran kooperaif adalah sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Sementara itu Artzt dan Newman (Trianto, 2010: 56) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggungjawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.

Trianto (2010: 56) menyatakan dalam setiap kelompok dalam kelas kooperatif terdiri dari 4-6 siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, dan satu sama lain saling membantu. Tujuan dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan


(42)

26

kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar.

Davidson dan Kroll (Nur Asma, 2006: 11) mendefinisikan belajar kooperatif sebagai kegiatan yang berlangsung di lingkungan belajar siswa dalam kelompok kecil yang saling berbagi ide-ide. Dalam kelompik-kelompok tersebut siswa saling bekerja secara kolaboratif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam tugas mereka.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dalam kelompok kecil untuk saling bekerjasama dan membantu menyelesaikan suatu tugas untuk mencapai tujuan bersama. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap siswa memiliki tanggung jawab yang sama terhadap pencapaian belajar secara individu maupun kelompok.

2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Slavin (Asis Saefuddin, 2014: 51) menyatakan bahwa fokus kelompok pada pembelajaran kooperatif dapat mengubah norma-norma dalam budaya anak-anak dan membuat prestasi tinggi dalam tugas-tugas belajar akademis lebih dapat diterima. Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut: prestasi akademis, toleransi dan penerimaan terhadap keanekaragaman serta pengembangan keterampilan sosial.


(43)

27

Sejalan dengan pendapat Slavin, Zamroni (Trianto, 2010: 57) mengungkapkan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif adalah untuk mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, penerapan belajar kooperatif diharapkan dapat meningkatkan solidaritas sosial antar siswa.

Johnson & Johnson (Trianto, 2010:57) menyatakan bahwa tujuan utama dari belajar kooperatif adalah untuk meningkatkan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun kelompok. Pendapat ini diperkuat oleh Louisell & Descamps (Trianto, 2010:57) yang mengungkapkan bahwa dengan kondisi siswa yang bekerja di dalam tim, akan memperbaiki hubungan antar siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, serta mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah.

Model pembelajaran kooperatif membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama di antara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar. Model pembelajaran kooperatif mendorong peningkatan kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena siswa dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam menemukan dan merusmuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi pelajaran yang dihadapi (Etin Solihatin dan Raharjo, 2009: 5).


(44)

28

Nur Asma (2006: 12) menyatakan bahwa pengembangan pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencapai hasil belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik, baik kelompok bawah maupun kelompok atas. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor kepada teman sebaya yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu.

Pembelajaran kooperatif mengajarkan penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat sosial, kemampuan maupun ketidakmampuan. Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang memiliki latar belakang dan kondisi berbeda untuk bekerja bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan siswa belajar menghargai satu sama lain.

Tujuan lain dari pembelajaran kooperatif yaitu untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini penting untuk dimiliki di dalam masyarakat, banyak kerja orang dewasa dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dalam masyarakat meskipun beragam budayanya. Sementara itu banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi


(45)

29

ini dibuktikan dengan begitu sering terjadi suatu pertikaian kecil antar individu yang dapat mengakibatkan tindak kekerasan, atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif.

Jadi, tujuan pembelajaran kooperatif tidak hanya untuk mencapai hasil belajar akademik saja. Namun juga untuk mengembangkan sikap saling menerima dan menghargai serta mengajarkan keterampilan sosial bagi siswa.

3. Prinsip Pembelajaran Kooperatif

Menurut Nur Asma (2006: 14) dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif setidaknya terapat lima prinsip yang dianut, yaitu prinsip belajar siswa aktif (student active learning), belajar kerjasama (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, mengajar reaktif (reactive learning) dan pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning). Penjelasan dari masing-masing prinsip dasar model pembelajaran kooperatif tersebut sebagai berikut.

a. Belajar siswa aktif

Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif berpusat pada siswa, aktivitas belajar lebih dominan dilakukan siswa, pengetahuan yang dibangun dan ditemukan adalah dengan belajar bersama-sama dengan anggota kelompok sampai masing-masing siswa memahami materi pembelajaran dan mengakhiri dengan membuat laporan kelompok dan individual. Siswa bekerja


(46)

30

sama, melakukan diskusi, mengemukakan ide masing-masing dan menguji secara bersama-sama. Siswa menggali seluruh informasi yang berkaitan dengan topik yang menjadi bahan kajian kelompok dan mendidkusikan pula dengan kelompok lainnya.

b. Belajar kerjasama

Proses pembelajaran dilalui dengan bekerja sama dalam kelompok untuk membangun pengetahuan yang tengah dipelajari. Prinsip pembelajaran inilah yang melandasi keberhasilan penerapan model pembelajaran kooperatif. Seluruh siswa terlibat secara aktif dalam kelompok untuk melakukan diskusi, memecahkan masalah, dan mengujinya secara bersama-sama sehingga terbentuk pengetahuan baru dari hasil kerjasama mereka. Pengetahuan yang diperoleh melalui penemuan-penemuan dari hasil kerjasama diyakini akan lebih bernilai permanen dalam pemahaman masing-masing siswa.

c. Pembelajaran partisipatorik

Melalui model pembelajaran kooperatif, siswa belajar dengan melakukan sesuatu (learning by doing) secara bersama-sama untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang menjadi tujuan pembelajaran.

d. Reactive teaching

Untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif, guru perlu menerapkan strategi yang tepat agar seluruh siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi siswa dapat dibangkitkan jika


(47)

31

guru mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menarik serta dapat meyakinkan siswa akan manfaat pelajaran untuk masa depan. Apabila guru mengetahui bahwa siswa merasa bosan, maka guru harus segera mencari cara untuk mengantisipasinya.

e. Pembelajaran yang Menyenangkan

Pembelajaran harus berjalan dalam suasana menyenangkan, tidak ada lagi suasana yang menakutkan bagi siswa atau suasana belajar yang tertekan. Model pembelajaran ini tidak akan berjalan secara efektif jika suasana belajar yang ada tidak menyenangkan.

Adapun prinsip-prinsip dasar pembelajaran kooperatif menurut Stahl (Etin Solihatin dan Raharjo, 2009: 7) adalah sebagai berikut:

a. Perumusan tujuan belajar siswa harus jelas

Sebelum menggunakan strategi pembelajaran, tujuan pembelajaran harus dirumuskan dengan jelas dan spesifik. Tujuan tersebut menyangkut apa yang diinginkan guru untuk dilakukan oleh siswa dalam kegiatan belajarnya. Perumusan tujuan harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran. Apakah kegiatan belajar ditekankan pada pemahaman materi pelajaran, sikap, dan proses dalam bekerja sama, ataukah keterampilan tertentu. Tujuan harus dirumuskan dalam bahasa dan konteks kalimat yang mudah dimengerti.


(48)

32

b. Penerimaan yang menyeluruh oleh siswa tentang tujuan belajar

Guru hendaknya mampu mengkondisikan kelas agar siswa menerima tujuan pembelajaran dari sudut kepentingan diri dan kepentingan kelas. Siswa dikondisikan untuk mengetahui dan menerima kenyataan bahwa setiap orang dalam kelompoknya menerima dirinya untuk bekerja sama dalam mempelajari seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan untuk dipelajari. c. Ketergantungan yang bersifat positif

Guru harus merancang struktur kelompok dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan setiap siswa untuk belajar dan mengevaluasi dirinya dan teman kelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan memahami materi pelajaran. Kondisi belajar ini memungkinkan siswa untuk merasa tergantung secara positif pada anggota kelompok lainnya dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru.

d. Interaksi yang bersifat terbuka

Interaksi yang terjadi di dalam kelompok bersifat langsung dan terbuka dalam mendiskusikan materi dan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Suasana belajar seperti ini akan membantu menumbuhkan sikap ketergantungan yang positif dan keterbukaan di kalangan siswa untuk memperoleh keberhasilan dalam belajarnya. Mereka akan saling memberi dan menerima masukan, ide, saran, kritik dari temannya secara positif dan terbuka.


(49)

33 e. Tanggung jawab individu

Keberhasilan belajar dalam model belajar ini dipengaruhi oleh kemampuan individu siswa dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajarinya diantara siswa lainnya. Sehingga secara individual siswa mempunyai dua tanggung jawab, yaitu mengerjakan dan memahami materi atau tugas bagi keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

f. Kelompok bersifat heterogen

Dalam pembentukan kelompok belajar, keanggotaan kelompok harus bersifat heterogen sehingga interaksi kerja sama yang terjadi merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik siswa yang berbeda. Dalam suasana belajar seperti ini akan tumbuh dan berkembang nilai, sikap, moral, dan perilaku siswa. Sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan dan melatih keterampilan dirinya dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis.

g. Interaksi sikap dan perilaku sosial yang positif

Dalam mengerjakan tugas, siswa bekerja dalam kelompok sebagai kelompok kerja sama. Dalam praktiknya siswa tidak bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada anggota kelompok lainnya. Pada kegiatan kerja kelompok, siswa harus belajar bagaimana meningkatkan kemampuan interaksi dalam memimpin,


(50)

34

berdiskusi, bernegosiasi, dan mengklarifikasi berbagai masalah dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok.

h. Tindak lanjut (Follow Up)

Setelah masing-masing kelompok belajar menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, selanjutnya perlu dianalisis bagaimana penampilan dan hasil kerja siswa dalam kelompok belajarnya. Guru harus mengevaluasi dan memberikan berbagai masukan terhadap hasil pekerjaan siswa dan aktivitas mereka selama bekerja dalam kelompok belajar tersebut. Dalam hal ini, guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide dan saran dalam rangka perbaikan belajar dari hasilnya di kemudian hari.

i. Kepuasan dalam belajar

Setiap siswa dan kelompok harus memperoleh waktu yang cukup untuk belajar dalam mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilannya. Apabila siswa tidak memperoleh waktu yang cukup dalam belajar, maka keuntungan yang diperoleh akan sangat terbatas. Oleh karena itu guru hendaknya mampu merancang dan mengalokasikan waktu yang memadai dalam menggunakan model pembelajaran ini.

Menurut Jumanta Hamdayama (2014: 64) terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, seperti dijelaskan sebagai berikut.


(51)

35 a. Prinsip ketergantungan positif

Tugas kelompok dapat terselesaikan dengan adanya kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok yang mempunyai kemampun lebih diharapkan dapat membantu temannya untuk menyelesaikan tugasnya.

b. Tanggung jawab perseorangan

Keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggota, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya.

c. Interaksi tatap muka

Pembelajaran kooperaif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing.

d. Partisipasi dan komunikasi

Pembelajaran kooperaif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Siswa dapat mengembnagkan kemampuan berkomunikasi seperti kemampuan mendengarkan, keterampilan berbicara, cara menyatakan ketidaksetujuan atau cara


(52)

36

menyanggah pendapat orang lain, tidak memojokkan, dan cara menyampaikan gagasan dan ide-ide dengan baik.

Adapun prinsip-prinsip belajar kooperatif menurut Slavin (dalam Trianto, 2010: 61) adalah sebagai berikut:

1. Penghargaan kelompok, apabila kelompok dapat mencapai krieria yang ditentukan.

2. Tanggung jawab individual, berarti sukses atau tidaknya sebuah kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok. Tanggung jawab ini terfokus pada usaha untuk membantu yang lain dan memastikan bahwa setiap anggota kelompok mampu menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.

3. Kesempatan yang sama untuk sukses, berarti bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal ini akan berpengaruh bahwa siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah sama-sama tertantang untuk melakukan yang terbaik untuk kelompok.

4. Unsur Pokok Pembelajaran Kooperatif

Arends (Nur Asma, 2006: 16) berpendapat bahwa unsur-unsur dasar belajar kooperatif adalah sebagai berikut:

a. Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”.

b. Siswa bertanggungjawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.

c. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.

d. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.


(53)

37

e. Siswa akan dikenakan atau akan diberi hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.

f. Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajar.

g. Siswa akan diminta pertanggungjawaban secara individual materi yang dipelajari dalam kelompoknya.

Sementara itu Johnson & Johnson dan Sutton (Trianto, 2010: 60) menyatakan bahwa lima unsur penting dalam belajar kooperatif adalah: a. Saling ketergantungan positif antar siswa

Dalam belajar kooperatif, siswa harus merasa bahwa sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan yang terikat saru sama lain. Siswa akan merasa bahwa ia merupakan bagian dari kelompok yang memiliki andil terhadap kesuksesan kelompoknya.

b. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat

Interaksi antara siswa akan meningkat karena seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling ketergantungan antar anggota kelompok terjadi secara alamiah karena kegagalan seorang anggota kelompok akan berpengaruh pada kesuksesan kelomok. Interaksi saat kerja kelompok terjadi pada hal tukar-menukar ide mengenai masalah yang sedang dipelajari.

c. Tanggungjawab individual

Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa: membantu siswa yang mebutuhkan bantuan, dan siswa tidak bisa sekedar „membonceng‟ pada hasil pekerjaan teman sekelompoknya.


(54)

38

d. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil

Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan membutuhkan keterampilan khusus. Hal ini disebabkan selain siswa dituntut untuk mempelajari materi yang diajarkan, siswa juga dituntut untuk berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya.

e. Proses kelompok

Proses kelompok terjadi jika nggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.

Sedangkan Roger dan David Johnson (Anita Lie, 2007: 31) mengatakan bahwa ada lima unsur dasar yang terdapat dalam struktur pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut:

a. Saling ketergantungan positif

Keberhasilan kelompok merupakan tanggung jawab setiap angggota kelompok, oleh karena itu sesama anggota kelompok harus merasa terikat dan saling tergantung positif.

b. Tanggungjawab perseorangan

Setiap anggota kelompok bertanggungjawab untuk menguasai materi pelajaran karena keberhasilan belajar kelompok ditentukan dari seberapa besar sumbangan hasil belajar secara perseorangan.


(55)

39 c. Tatap muka

Interaksi yang terjadi melalui tatap muka dalam diskusi akan memberikan keuntungan pada semua anggota dalam menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing anggota kelompok.

d. Komunikasi antar anggota

Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan anggota untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka, maka keterampilan berkomunikasi antar anggota kelompok sangatlah penting.

e. Evaluasi proses kelompok

Keberhasilan belajar dalam kelompok ditentukan oleh proses kerja kelompok. Untuk mengetahui keberhasilan proses kerja kelompok dilakukan melalui evaluasi proses kelompok.

Lebih lanjut, Bennet dan Jacobs (Nur Asma, 2006: 17) menjelaskan unsur-unsur yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

a. Saling ketergantungan secara positif

Saling ketergantungan secara positif merupakan perasaan antar kelompok siswa untuk membantu setiap orang dalam kelompok tersebut. Saling ketergantungan secara positif berarti bahwa anggota-anggota kelompok merasakan bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”.


(56)

40 b. Tanggung jawab individu

Satu hal yang sering terjadi pada saat siswa bekerja dalam kelompok adalah adanya beberapa anggota kelompok yang mengakhiri semua pekerjaannya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa siswa mencoba menghindari bekerja atau karena yang lain ingin mengerjakan semua pekerjaan kelompok. Jadi, mendorong setiap anggota kelompok untuk berpartisipasi dan belajar adalah suatu unsur yang sangat ideal.

c. Pengelompokan secara heterogen

Mencampurkan siswa berdasarkan prestasi didorong untuk mempromosikan sistem tutor sebaya, mengelompokkan siswa berprestasi rendah dengan model kebiasaan yang baik, dan memperbaki hubungan antar siswa.

d. Keterampilan-keterampilan kolaboratif

Keterampilan-keterampilan kolaboratif penting dimiliki oleh setiap siswa, tidak hanya untuk memperoleh kesuksesan mencapai prestasi maksimal di sekolah tetapi juga untuk mencapai sukses dalam karir di luar sekolah bersama teman dan keluarga maupun dengan orang lain. Dalam memilih suatu keterampilan kolaboratif, guru hendaknya lebih menekankan pada kesesuaian dengan karakteristik masing-masing pelajaran. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa akan terdapat keterampilan yang sama untuk beberapa pelajaran. e. Pemrosesan interaksi kelompok


(57)

41

Pemrosesan interaksi kelompok membantu kelompok belajar untuk berkolaborasi lebih efektif. Hal ini dapat ditetapkan selama atau di akhir kegiatan. Pemrosesan interaksi kelompok memiliki dua aspek yaitu menjelaskan tentang keberfungsian kelompok dan kelompok akan mendiskusikan apakah interaksi mereka perlu diperbaiki.

f. Interaksi tatap muka (face-to-face interaction)

Siswa akan berinteraksi secara langsung antara satu dengan yang lain selama mereka bekerja. Mereka mungkin berkomunikasi secara verbal atau nonverbal. Interaksi akan terjadi antar siswa. Teknik ini mencirikan interaksi tatap muka yang sekaligus membedakan dengan iklim pembelajaran individualistik.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, unsur-unsur pokok dalam pembelajaran kooperatif antara lain: saling ketergantungan positif, tanggung jawab individu, interaksi tatap muka, keterampilan-keterampilan kolaboratif, pemrosesan interaksi kelompok, dan evaluasi proses kelompok.

5. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif

Langkah-langkah dalam penggunaan model pembelajaran kooperatif secara umum menurut Stahl (Etin Solihatin dan Raharjo, 2009: 10) dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Langkah pertama

Langkah pertama yang dilakukan oleh guru adalah merancang rencana program pembelajaran. Guru mempertimbangkan dan


(58)

42

menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Disamping itu, guru menetapkan sikap dan keterampilan sosial yang diharapkan dikembangkan dan diperlihatkan oleh siswa selaa berlangsungnya pembelajaran. Untuk memulai pembelajaran guru harus menjelaskan tujuan, sikap, dan keterampilan sosial yang ingin dicapai sehingga siswa tahu dan memahami apa yang harus dilakukannya selama proses belajar mengajar berlangsung.

b. Langkah kedua

Dalam aplikasi pembelajaran di kelas, guru merancang lembar observasi yang akan digunakan untuk mengobservasi kegiatan siswa dalam belajar secara bersama dalam kelompok-kelompok kecil. Guru menyajikan materi dengan menjelaskan pokok-pokok materi dengan tujuan siswa mempunyai wawasan dan orientasi yang memadai tentang materi yang diajarkan. Selanjutnya guru menjelaskan tugas yang harus dilakukan oleh siswa dalam kelompoknya masing-masing. Pada saat siswa belajar berkelompok, guru mulai melakukan monitoring dan mengobservasi kegiatan belajar siswa berdasarkan lembar observasi yang telah dirancang sebelumnya.

c. Langkah ketiga

Dalam melakukan observasi terhadap kegiatan siswa, guru mengarahkan dan membimbing siswa baik secara individu maupun kelompok, baik dalam memahami materi maupun mengenai sikap dan perilaku siswa selama kegiatan belajar berlangsung. Pada saat kegiatan


(59)

43

kelompok berlangsung, ketika siswa terlibat dalam diskusi pada masing-masing kelompok, guru secara periodik memberikan layanan kepada siswa baik secara individu maupun secara klasikal.

d. Langkah keempat

Guru memberikan kesempatan kepada siswa dari masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Pada saat diskusi kelas, guru bertindak sebagai moderator. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengoreksi pengertian dan pemahmana siswa terhadap materi atau hasil kerja yang telah ditampilkan. Setelah presentasi berakhir, guru mengajak siswa melakukan refeksi terhadap proses jalannya pembelajaran dengan tujuan untuk memperbaiki kelemahan yang ada atau sikap/perilaku menyimpang yang dilakukan selama pembelajaran.


(60)

44

Aris Shoimin (2014: 46) memaparkan sintak model pembelajaran kooperatif terdiri dari enam fase sebagai berikut.

Tabel 1. Fase-Fase dalam Pembelajaran Kooperatif

Fase Kegiatan Guru

Fase 1: Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase 2: Menyajikan informasi

Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase 3:

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

Fase 4: Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.

Fase 5: Evaluasi Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6: Memberikan

penghargaan

Mempersiapkan cara-cara untuk menghargai, baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Berikut penjelasan mengenai enam fase atau sintak dalam model pembelajaran kooperatif tersebut.

a. Fase pertama

Pada awal pembelajaran guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Guru juga mendorong siswa untuk menemukan dan mengekspresikan ketertarikan mereka terhadap subyek yang akan dipelajari.


(61)

45 b. Fase kedua

Guru menyampaikan informasi, sebab informasi ini merupakan isi akademik.

c. Fase ketiga

Guru mengatur dan membagi siswa ke dalam kelompok heterogen yang terdiri dari 4-5 siswa.

d. Fase keempat

Pada tahap ini guru membimbing siswa saat mereka bekerjasama untuk menyelesaikan tugas. Guru perlu mendampingi tim-tim belajar, mengingatkan tentang tugas-tugas yang dikerjakan siswa dan waktu yang dialokasikan. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, atau pengarahan dalam menyelesaikan tugas. e. Fase kelima

Guru melakukan evaluasi tentang apa yang telah siswa pelajari dengan menggunakan strategi evaluasi yang konsisten dengan tujuan pembelajaran. Evaluasi dapat dilakukan dengan presentasi hasil akhir kerja kelompok.

f. Fase keenam

Guru mempersiapkan penghargaan yang akan diberikan kepada siswa. Penghargaan diberikan untuk usaha-usaha kelompok maupun individu.


(62)

46

Sedangkan langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif menurut Nur Asma (2006: 85) meliputi dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.

a. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan pelaksanaan pembelajaran kooperatif, tugas-tugas yang dilakukan guru adalah sebagai berikut:

1) Menentukan model pembelajaran yang akan digunakan 2) Menentukan materi yang akan diajarkan

3) Membentuk kelompok-kelompok kecil 4) Mengembangkan materi pelajaran

5) Memberikan pemahaman tentang tugas dan peran siswa

6) Menentukan waktu dan tempat yang akan digunakan dalam belajar b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan pembelajaran kooperatif, terdapat beberapa kegiatan yang terjadi dalam kelas seperti berikut:

1) Guru menyajikan materi pembelajaran kooperatif 2) Siswa belajar dalam kelompok

3) Siswa mengerjakan kuis

4) Pemberian pengharagaan kepada siswa yang telah berhasil mengerjakan kuis

6. Keterampilan Kooperatif

Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok. Sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas anggota kelompok selama kegiatan pembelajaran. Keterampilan kooperatif tersebut adalah sebagai berikut (Laundren dalam Nur Asma, 2006: 24): a. Keterampilan tingkat bawah terdiri dari: menggunakan kesepakatan,


(63)

47

dalam kelompok, berada dalam tugas, mendorong partisipasi, mengundang orang lain, menyelesaikan tugas pada waktunya, menghargai perbedaan individu.

b. Keterampilan tingkat menengah terdiri dari: menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima, mendengarkan dengan aktif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan, mengatur dan mengorganisir, menerima tanggung jawab, mengurangi ketegangan.

c. Keterampilan tingkat mahir terdiri dari: mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, berkompromi.

C. Kajian tentang Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing

1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing

Model pembelajaran kooperatif kancing gemerincing dikembangkan oleh Spencer Kagan. Model pembelajaran kooperatif yang dikembangkannya menitikberatkan pada pemerataan kesempatan berpendapat, sehingga setiap siswa akan memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.

Huda (2011: 142) menjelaskan bahwa dalam teknik kancing gemerincing, masing-masing anggota kelompok memiliki kesempatan


(64)

48

untuk memberikan kontribusi dan mendengarkan pandangan anggota lain. Teknik ini memastikan setiap anggota kelompok mendapatkan kesempatan yang sama dalam berkontribusi pada kelompoknya.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Lie (2002:63) yang menyatakan bahwa model kooperatif teknik kancing gemerincing adalah teknik yang didalam pelaksanaannya setiap anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk berkontribusi. Keunggulan dari teknik ini adalah dapat memeratakan kesempatan anggota kelompok untuk berkontribusi. Hal ni didasari oleh kenyataan di lapangan, bahwa sering kali terdapat siswa yang dominan aktif dalam sebuah kelompok yang menyebabkan anggota lainnya memilih pasrah dan pasif.

Sementara itu Isjoni (2010:79) menyatakan teknikkancing gemerincing yang dikembangkan oleh Spencer Kagan ini memungkinkan seluruh peserta didik untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengeluarkan pendapat dan gagasannya kepada orang lain.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing adalah model pembelajaran yang menekankan pada pemerataan kesempatan setiap siswa dalam kelompoknya. Model pembelajaran tipe ini dapat digunakan untuk mengatasi kesenjangan kesempatan antara siswa yang aktif dan pasif. Dengan menggunakan model pembelajaran ini maka tidak aka nada lagi siswa yang dominan aktif dalam kelompok. Setiap


(65)

49

anggota kelompok akan memilliki kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat.

2. Tahap-Tahap Kegiatan Pembelajaran

Anita Lie (2005: 64) mengungkapkan proses pembelajaran menggunakan teknik kancing gemerincing sebagai berikut:

a. Guru menyiapkan satu kotak kecil berisi kancing-kancing (bisa diganti menggunakan benda kecil lainnya, seperti kacang merah, biji kenari, potongan sedotan, dan sebagainya).

b. Sebelum kelompok memulai tugas, setiap siswa mendapatkan dua atau tiga kancing. Penentuan jumlah kancing yang diberikan tergantung dari sukar atau tidaknya tugas yang diberikaan.

c. Setiap siswa mengeluarkan pendapat, ia harus meletakkan kancing yang dimilikinya di tengah-tengah.

d. Siswa yang telah menghabiskan seluruh kancing yang dimilikinya tidak boleh mengeluarkan pendapat sampai semua rekan sekelompoknya juga mengeluarkan pendapat.

e. Jika semua kancing telah selesai namun tugas belum selesai, kelompiok dapat kembali mebagi-bagikan kancing kemudian mengulangi prosedur yang sama.

Sementara itu, Warsono dan Hariyanto (2013: 234) mengungkapkan sintaks dari kancing gemerincing (talking chips) adalah sebagai berikut:

1. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok.

2. Guru menyiapkan keeping-keping bicara berupa sesuatu bentuk yang dapat berupa keeping kertas berbentuk bulat atau berbentuk persegi terbuat dari kardus atau karton manila berwarna-warni yang antara lain berisi tugas untuk :

a. Mengekspresikan keraguan; b. Menjawab pertanyaan; c. Mengajukan pertanyaan; d. Memberikan gagasan;

e. Bertanya untuk karifikasi/ penjelasan; f. Klarifikasi suatu gagasan;

g. Tanggapan terhadap gagasan; h. Membuat ringkasan;

i. Mendorong partisipasi;


(66)

50

3. Guru melakukan presentasi singkat terikat bahan ajar.

4. Siswa dalam kelompok memilih keping bicara. Mereka menempatkan keping bicara tersebut di meja kelompoknya.

5. Salah satu siswa bicara terkait tugas yang diminta dalam keping bicara.

6. Setelah siswa tersebut selesai bicara, siswa yang lain memikirkan cara lain untuk melanjutkan diskusi kemudian angkat bicara terkait tugas yang diarahkan oleh keping bicara.

7. Pada akhir diskusi kelompok, setiap siswa harus sudah menggunakan seluruh keping bicara yang tersedia.

8. Refleksi kelas.

3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kancing Gemerincing

Huda (2011: 142) mengungkapkan kelebihan dari model pembelajaran kooperatif kancing gemerincing yaitu:

1. Kancing gemerincing dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan semua tingkatan kelas

2. Dalam kegiatan, masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk berkontribusi dalam kelompoknya

3. Teknik ini dapat digunakan untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang biasanya mewarnai kerja kelompok

4. Pemerataan tanggung jawab dalam kelompok dapat tercapai

5. Dalam teknik ini dipasatikan setiap siswa memiliki kesempatan untuk berperan serta.

Di sisi lain, Lie (2005: 63) mengungkapkan bahwa keunggulan teknik kancing gemerincing ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Sejalan dengan itu Warsono dan Hariyanto (2013: 234) mengungkapkan dalam aktivitas kancing gemerincing akan mendorong timbulnya partisipasi setara dan keterampilan berwacana dalam kelompok. Dalam kegiatan kancing gemerincing juga menjamin agar setiap siswa berpartisipasi dalam kegiatan kelompoknya.


(67)

51

Sementara itu, Fairul (2008: 26) mengungkapkan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif, yaitu dalam membagi kelas menjadi kelompok-kelompok akan memakan waktu. Kemudian Utomo dan Budiwibowo (2007:135) mengunkapkan bahwa teknik kancing gemerincing memerlukan periode waktu yang lama dalam menerapkan teknik kancing gemerincing.

D. Kajian tentang Karakteristik Siswa Kelas III Sekolah Dasar

Angela Anning (Suharjo, 2006: 36-37) menyatakan bahwa perkembangan dan belajar anak adalah sebagai berikut.

1. Kemampuan berpikir anak berkembang secara sekuensial dari kongret menuju abstrak.

2. Anak harus siap menuju ke tahap perkembangan berikutnya dan tidak boleh dipaksakan untuk bergerak menuju tahap perkembangan kognitif yang lebih tinggi.

3. Anak belajar melalui pengalaman-pengalaman langsung. 4. Anak memerlukan perkembangan kemmapuan penggunaan

bahasa yang dapat digunakan secara efektif di sekolah.

5. Perkembangan sosial anak bergerak dari egosentris menuju kepada kemampuan untuk berempati dengan orang lain.

6. Setiap anak sebagai seorang individu, masing-masing memiliki cara belajar yang unik.

Masa kelas rendah Sekolah Dasar (Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 116) berlangsung antara 6/7 tahun – 9/10 tahun, memiliki cirri khas, yaitu:

1. Ada hubungan yang kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah.

2. Suka memuji diri sendiri.

3. Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan, tugas itu dianggapnya tidak penting.

4. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain, jika hal itu menguntungkan dirinya.


(68)

52

Piaget (Usman Samatowa, 2011: 5) mengatakan bahwa pengalaman langsung yang memegang peranan penting sebagai pendorong meningkatnya perkembangan kognitif siswa yang terjadi sebagai spontan dari kecil sampai berumur 12 tahun. Piaget (Suharjo, 2006: 37) secara mendetail mengenai tahapan perkembangan kognitif anak yang terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap sensori motoris, tahap pra operasional, tahap operasi kongkret, dan tahap operasi formal. Penjelasan mengenai tahapan ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap sensori motoris (0-2 tahun)

Pada tahap ini, anak tidak/ belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Anak hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap melalui inderanya.

2. Tahap praoperasional (2-6/7 tahun)

Pada tahap praoperasional, anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpau di lingkungannya. Pada akhir tahun ke dua, anak mulai mengenal simbol/ nama.

3. Tahap operasi konkret (6/7-11/12 tahun)

Pada tahap operasi konkret, anak sudah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak. Pada tahap inilah anak mulai berkurang egosentrismenya dan lebih sosiosentris (mulai membentuk peer group).


(69)

53 4. Tahap operasi formal

Pada tahap operasi formal, anak sudah mulai mempunyai pemikiran abstrak pada bentuk-bentuk lebih kompleks.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka pembelajaran di SD pada masa kanak-kanak akhir (usia 7-12 tahun) harus relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa. pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. pada tahapan siswa kelas V, usia siswa masuk pada tahap operasi kongret. Karakteristik siswa pada tahap ini adalah mulai membentuk kelompok sebaya, untuk itulah pembelajaran dapat dilakukan dalam bentuk kelompok belajar.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran dan persepsi yang berbeda terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dikemukakan beberapa batasan istilah.

1. Keterampilan berbicara merupakan kemampuan untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan secara lisan kepada orang lain. Keterampilan berbicara mencakup dua unsur, yaitu unsur kebahasaan (ucapan, intonasi, pemilihan kosakata, koskata, dan kelancaran) dan non kebahasaan (sikap dan keberanian).

2. Model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing adalah model pembelajaran yang menekankan pada pemerataan kesempatan setiap siswa dalam kelompoknya. Langkah pembelajaran dalam model


(70)

54

pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut 1) guru menyiapkan kotak kecil berisi kancing-kancing, 2) setiap anggota kelompok mendapatkan dua atau tiga kancing, 3) setiap siswa yang mengeluarkan pendapat harus meletakkan kancing di tengah-tengah meja, 4) siswa yang telah menghabiskan seluruh kancing yang dimilikinya tidak boleh mengeluarkan pendapat sampai semua rekan sekelompoknya juga mengeluarkan pendapat, 5) jika semua kancing telah habis namun tugas belum selesai, kelompok dapat membagi-bagikan kancing kemudian mengulangi prosedur yang sama.

F. Kerangka Pikir

Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas III A SD Negeri 4 Wates tingkat keterampilan berbicara siswa masih kurang. Kegiatan berbicara yang dimiliki seseorang bermanfaat untuk mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaan kepada orang lain. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa adalah dengan meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Dalam upaya peningkatan tersebut perlu digunakan model pembelajaran yang bervariasi sehingga akan menambah motivasi siswa untuk aktif.

Dalam usaha meningkatkan keterampilan berbicara dapat digunakan model pembelajaran kooperatif kancing gemerincing. Kelebihan model pembelajaran kooperatif kancing gemerincing antara lain adalah akan mendorong timbulnya partisipasi setara dan keterampilan berwacana dalam kelompok. dalam kegiatan kancing gemerincing juga


(71)

55

menjamin agar setiap siswa berpartisipasi dalam kegiatan kelompoknya. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing diharapkan akan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa yang meliputi aspek kebahasaan (ketepatan lafal, intonasi, pemilihan kosakata, kosakata, dan kelancaran) dan non kebahasaan (sikap dan keberanian).


(72)

56

Adapun skema kerangka berpikir yang dapat peneliti gambarkan adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir

Keterampilan berbicara siswa kelas III A SD Negeri 4 Wates masih rendah. Dibuktikan dengan siswa masih kurang dapt mengemukakan

pendapatnya dengan bahasa lisan dengan baik

Pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing.

Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing adalah akan mendorong timbulnya partisipasi setara dan keterampilan berwacana dalam kelompok. dalam kegiatan kancing gemerincing juga menjamin agar setiap siswa berpartisipasi dalam kegiatan kelompoknya. (Warsono dan Hariyanto, 2013: 234)

Peningkatan :

Keterampilan berbicara siswa yang meliputi aspek kebahasaan (ketepatan lafal, intonasi, pemilihan kosakata, kosakata, dan kelancaran) dan non


(73)

57 G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah “Penerapan model pembelajaran kooperatif kancing gemerincing dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas III SD Negeri 4 Wates”.


(1)

221

DOKUMENTASI KEGIATAN SISWA

Gambar 1. Siswa membentuk kelompok


(2)

222

Gambar 3. Siswa dengan bimbingan guru melakukan diskusi


(3)

223

Gambar 5. Siswa mendengarkan pengarahan dari guru sebelum pembelajaran dimulai


(4)

(5)

(6)