Iklim Tanah Aspek Biofisik .1 Letak geografis, luas, dan batas tapak
Kondisi topografi dari Desa Ketep sangat bervariasi. Desa ini tidak memiliki lahan datar. Kondisi itu lebih disebabkan karena letak desa yang berada
diperbukitan sehingga corak umum dari kemiringan tanah berkisar antara bergelombang hingga sangat curam. Hal itu dapat diketahui dari Tabel 5 yang
merupakan hasil analisis dari data peta topografi Bakosurtanal tahun 2001.
Tabel 5. Persentase Kemiringan Tanah pada Tapak
Kelas Kemiringan
Luas ha Persentase Luas
Lereng Permukaan
A 0 - 3
datar B
3 - 8 88,32
20 landai
C 8 - 15
108,8 30
agak miring D
15 - 45 153,709
36 curam
E 45
68,096 14
sangat curam
Sumber: Hasil Analisis Tapak 2010
Tabel tersebut menunjukkan bahwa lahan di Desa Ketep didominasi oleh lahan curam 36. Hal ini mengindikasikan agar penggunaan area ini tidak
seintensif daerah yang lebih landai darinya mengingat area ini sangat mudah longsor. Akan tetapi daerah ini pun memiliki potensi untuk dikembangkan
mengingat persebarannya yang lebih strategis dari pada yang lainnya karena posisinya yang dilalui oleh jalan.
Tabel tersebut juga menerangkan bahwa 14 dari luas desa ini terdiri dari lahan sangat curam. Berdasarkan peta tata guna lahan dari Bakosurtanal yang
tertera pada Gambar 7, sebagian besar wilayah tersebut terdapat pada lembah- lembah yang berada diantara bebukitan desa. Keberadaan daerah ini sangat
penting, terutama sebagai daerah resapan air hujan dan pelindung tanah sehingga peluang untuk terjadinya longsor dapat diperkecil. Oleh karena itu daerah ini
cocok untuk dijadikan area konservasi yang keberadaannya perlu untuk dipertahankan.
Menurut analisis literatur, daerah pada desa ini yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu pada daerah dengan kemiringan landai 3-8 dan agak
miring 8-15. Pada daerah ini dapat dikembangkan apa saja seperti pemukiman, dan sarana penunjang wisata lainnya seperti bangunan tempat istirahat, tempat
duduk-duduk, shelter. Akan tetapi mengingat jumlahnya yang sedikit dan penyebaran yang acak tentu hanya daerah yang dianggap strategislah yang akan
dikembangkan. Letak kemiringan dapat dikatakan strategis bila mudah diakses dan memiliki cukup luasan. Pola penyebaran kemiringan lahan pada desa ini dapat
dilihat pada Gambar 6. Secara spasial penyebaran zona kemiringan lahan tidak merata atau
terpecah-pecah. Pada bagian Barat, desa ini lebih didominasi oleh daerah dengan kelas B landai. Pada bagian Selatan, desa ini didominasi oleh daerah dengan
kelas E dan C. Sedangkan bagian Utara didominasi oleh kelas D. Bagian tengah dari desa didominasi oleh kelas D yang merupakan puncak desa yaitu Ketep Pass.
Selanjutnya pada bagian Timur didominasi oleh kelas C dan D mengingat wilayah ini sudah mendekati Desa Banyuroto yang memiliki kemiringan lahan yang
landai. Setiap kelas kemiringan dan pola penyebarannya yang tertera pada
Gambar 6 memiliki pola penggunahan lahan yang berbeda-beda pula. Perbedaan tersebut akan tampak jelas jika dilihat dari Gambar 7. Dari gambar tersebut kita
dapat mengetahui bahwa penggunaan lahan pada desa ini terbagi menjadi 3 yaitu permukiman, tegalan dan kebun serta semak belukar. Hal ini sesuai dengan data
dari BPS Kabupaten tahun 2007. Jika dianalisis lebih jauh dengan meng-overlay- kan peta tata guna lahan dengan peta zonasi kemiringan maka kita akan
mengetahui bahwa tegalan permukiman pada kelas dan kebun berada pada kelas kemiringan B, C, D lalu permukiman pada kelas keiringan B, C, D serta semak
belukar pada kelas kemiringan E. Selain pola penggunaan lahan, kita juga dapat mengetahui luasan dari
penggunaan lahan tersebut. Penggunaan lahan merupakan gambaran dari aktivitas warga dalam memanfaatkan lahan yang ada di lingkungan mereka. Secara tertulis
luasan penggunaan lahan pada tapak tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Persentase Penggunaan Lahan pada Tapak
Peruntukan lahan Luas ha
Persentase luas
Permukiman 20,48
4,88 Semak belukar
194,56 46,42
Tegalankebun 203,885
48,7
Sumber: Hasil Analisis Tapak 2010
Dari data yang ada, proporsi terbesar dari penggunaan lahan pada tapak adalah untuk tegalan dan kebun yaitu seluas 203,885 ha. Ini menunjukkan bahwa
alokasi lahan untuk kegiatan produksi dan pencukupan kebutuhan sangatlah tinggi. Selain itu, data tersebut memberitahukan bahwa penggerak utama roda
perekonomian masyarakat berasal dari sektor pertanian yang dalam hal ini sangat sesuai dan mendukung dari konsep agrowisata yang akan dikembangkan.
Proporsi terbesar kedua dari pola penggunaan lahan adalah semak belukar yaitu seluas 194,56 ha. Data ini menunjukkan bahwa daerah yang tidak bisa
bahkan sulit untuk dibangun dan dimanfaatkan juga sangat tinggi. Hal ini terjadi karena area ini memegang peranan penting sebagai pelindung tanah serta daerah
resapan air mengingat letaknya yang berada pada lembah-lembah perbukitan. Selain itu akses menuju area ini juga tergolong sulit karena hanya tersedia jalan
setapak yang cukup terjal. Jika dibandingkan antara data pertama dengan kedua maka akan terlihat
bahwa daerah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agrowisata tidak jauh berbeda dengan daerah konservasi yang harus dilindungi. Hal ini merupakan
sinyal agar
pengembangan lanskap
agrowisata harus
hati-hati serta
memperhatikan keseimbangan terhadap alam. Secara umum, lahan pada daerah Ketep yang dapat dikembangkan menjadi
daerah agrowisata berada pada kelas B, C dan D. Pada lahan subur tersebut memungkin diadakannya bangunan infrastruktur wisata pertanian. Akan tetapi
luasan daerah yang digunakan juga sangat ditentukan dari ada atau tidaknya atraksi pada daerah tersebut baik berupa pemandangan ataupun aktivitas
masyarakat, potensi dan juga kemudahan akses dalam menjangkau tempat tersebut serta kemungkinan bahaya mengingat daerah ini juga memiliki area
konsevasi yang cukup luas dan tersebar.