Kepemimpinan Spiritual Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap Learning Organization dan kinerja karyawan pada PT. Kanisius.
24
Penelitian Peters dan Waterman 1982 dilakukan ketika fenomena pencarian makna dalam hidup, sesuatu yang bermakna di balik pekerjaan, mulai
berkembang karena ada kekosongan nilai dan kepercayaan dalam lingkungan kerja. Fenomena ini menjadi antitesis gagasan Marx terkait homo faber.
Ditengarai, fenomena ini dipicu kuat oleh terbitnya ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens pada tahun 1981, sebagai ulang tahun ke 90 Rerum
Novarum, yang menekankan manusia sebagai subjek kerja. Penelitian terkait adanya sistem nilai dalam organisasi diperdalam oleh
Robert K. Greenleaf 2002 melalui buku yang berjudul Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness. Dalam buku ini,
Greenleaf 2002 menjelaskan bahwa teori kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yang berbeda dengan teori servant leadership.
Kepemimpinan transformasional memberi tekanan pada perubahan dan peran kepemimpinan dalam melaksanakan transformasi organisasi menuju perubahan
dan pembangunan budaya organisasi yang dinamis. Servant leadership yang menekankan kepemimpinan bersama antara pemimpin dan yang dipimpin akan
menciptakan budaya kerja yang bersifat spiritual. Spiritualitas dalam organisasi semakin diakui sebagai hal yang vital
ketika Mitroff dan Denton 1999 mendapatkan sesuatu yang bernilai dalam penelitiannya. Melalui hasil kajian yang berjudul A Spiritual Audit of Corporate
America: A Hard Look at Spirituality, Religion, and Values in the Workplace, Mitroff dan Denton 1999 mengakui bahwa terjadi pergeseran dari paradigma
25
lama menuju paradigma baru dalam organisasi. Organisasi mengalami pergeseran dari values based companies perusahaan berdasarkan nilai menuju
spiritualities based organization organisasi berdasarkan spiritual. Pergeseran ini efektif berdampak pada seluruh karyawan saat mereka mencari sesuatu yang
lebih dari pekerjaan, yakni makna, tujuan akhir, serta subjective well-being. Arti penting spiritualitas ditegaskan dalam penelitian Fairholm 1996
yang memberikan bukti bahwa terdapat lebih dari 40 juta orang di Amerika Serikat yang sedang mencari suatu gaya hidup yang bernilai secara intrinsik dan
diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Walaupun pekerjaan sangat penting bagi pemenuhan kesejahteraan ekonomi, namun diyakini bahwa hal itu
belum seluruhnya memenuhi kebutuhan sebagai manusia. Dari pekerjaannya, manusia membutuhkan lebih dari sekadar kesejahteraan ekonomi. Manusia
membutuhkan bentuk motivasi yang lebih bersifat intrinsik dengan menghadirkan spiritualitas dalam pekerjaannya. Kebutuhan akan hadirnya
spiritualitas memunculkan kesadaran baru dalam kajian manajemen dan organisasi modern sekarang ini, yaitu pengakuan atas peran penting spiritualitas
di tempat kerja dalam menciptakan kinerja organisasi yang unggul, baik pada level pribadi, tim, maupun organisasi secara keseluruhan.
Perhatian pada aspek spiritual dalam organisasi dan kepemimpinan telah dikemukakan dalam berbagai jurnal ilmiah sejak awal tahun 1990-an, misalnya
oleh Neck dan Milliman 1994 dan Fairholm 1996, yang akar-akar pemikirannya sudah muncul jauh lebih awal lagi. Pada bidang psikologi
26
perhatian pada aspek spiritual dimulai sejak tahun 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya. Pada saat itu, kajian
ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Kurangnya perhatian para pakar organisasi terhadap dimensi spiritual
dalam kehidupan organisasi pada masa lalu, menurut Korac-Kakabadze 1999, sebagian disebabkan oleh sikap akademik yang terlalu memfokuskan pada
perilaku-perilaku yang lebih dapat diamati dan diukur secara mudah, daripada sesuatu yang elusif dan idiosyncratic. Munculnya minat yang besar terhadap
dimensi spiritualitas dalam kajian manajemen dan organisasi disebabkan oleh sejumlah faktor pendorong, seperti tekanan-tekanan sosial yang semakin
meningkat, perkembangan teknologi informasi yang hipercepat, globalisasi yang melahirkan fenomena borderless, bertambahnya populasi, serta tuntutan
perubahan lingkungan dan instanisasi pangan. Faktor pendorong lain adalah berkembangnya posmodernisme sebagai
suatu aliran filsafat. Menurut Sugiharto 1996, pada milenium ketiga ini, berbagai sikap kritis atas pola pikir dan mentalitas modernisme berkembang
pesat. Posmodernisme mempertanyakan ulang secara kritis konsep-konsep utama meliputi rasionalitas, kebenaran, bahasa, manusia, dan spiritualitas. Kritik
terhadap konsep-konsep tersebut telah mengubah sedemikian rupa konstelasi realitas kognitif sehingga menjadi sama sekali baru dengan menawarkan ragam
kemungkinan. Posmodernisme mematahkan asumsi-asumsi filosofis dan
27
mempertanyakan klaim-klaim yang dianut modernisme yang sering dikenal sebagai “jatuhnya narasi-narasi besar”.
Dalam memandang konsep spiritualitas, posmodernisme merayakan bangkitnya agama dalam kehidupan manusia sebagai spiritualitas daripada
sebagai institusi; sebagai religiositas keberagamaan daripada sebagai religi sebagai nama agama.
Gagasan ini muncul dari jejak kedua dekonstruksi Derrida yang dikenal dengan “agama tanpa agama”. Gagasan Derrida muncul
dari penghayatan akan yang-tak-mungkin. Derida menemukan hasrat yang “lain”, hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma, sebuah kerinduan
spiritual yang tidak terbahasakan terhadap Yang Tremendum dan Fascinosum. Terkait hal ini, Sugiharto 1996 menjelaskan dengan lebih mudah pandangan
tersebut: Secara umum muncul kesadaran bahwa inti kehidupan sebenarnya
memang “ruh” atau spirit, namun “ruh” ini jauh lebih luas daripada yang dibayangkan oleh agama-agama. Dalam bahasa masa kini, ruh adalah energi,
inteligensi kosmik, “self”, kepekaan atas arti hidup, kuantum, dsb. Segala bentuk material adalah manifestasi saja dari “ruh” macam itu. Dan, tuhan bukanlah
sesuatu yang personal, melainkan totalitas segala energi, baik yang berada di alam semesta maupun yang ada dalam diri kita.
Spiritualitas tidak pernah an sich. Ia berbicara tentang interaksi jiwa- badan manusia pada dunia di luar dirinya. Spiritual menjadi bentuk tanggapan
yang memengaruhi perilaku manusia di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Spiritualitas membangun karakter diri yang memengaruhi gaya kepemimpinan
yang dijalankan. Kepemimpinan yang berbasis spiritualitas bukanlah tentang
28
kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin belaka, namun terkait dengan buah-buah refleksi yang mengintegrasikan visi pribadi ke dalam visi bersama
dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, integritas, kredibilitas, kebijaksanaan, dan belas kasih. Kepemimpinan spiritual adalah
kepemimpinan yang mengedepankan subjective well-being. Dalam perspektif spiritual, fungsi kepemimpinan dalam organisasi diletakkan sebagai bagian dari
sarana untuk mewujudkan kebaikan dan reformasi dalam segala bidang kehidupan.
Semakin tinggi spiritualitas seseorang, semakin kuat ia menerapkan gaya kepemimpinan spiritual. Hal ini dibuktikan oleh Percy 2003. Dalam
penelitian yang berjudul Going Deep: Exploring Spirituality in Life and Leadership, Percy 2003 menyimpulkan bahwa para direktur dan CEO yang
efektif memiliki spiritualitas yang tinggi dan menerapkan gaya kepemimpinan spiritual dalam memimpin organisasi. Pemimpin yang spiritualis akan
mengintegrasikan spiritualitas dalam seluruh aspek kehidupannya. Semakin menguatnya dimensi spiritual dalam kepemimpinan dan
organisasi dinyatakan oleh Fry 2003 dalam tulisannya, Toward a Theory of Spiritual Leadership. Tulisan Fry 2003 ini didukung dengan maraknya
penerbitan buku-buku
teks kepemimpinan
yang mengupas
tentang kepemimpinan dan budaya organisasi, kepemimpinan yang didasarkan pada misi
dan nilai-nilai, serta ragam artikel tentang spiritualitas di tempat kerja yang dimuat dalam jurnal-jurnal bisnis manajemen.
29
Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa pengembangan spiritualitas di tempat kerja berpengaruh positif terhadap sikap dan perilaku kerja karyawan-
karyawannya, misalnya menyangkut kehendak untuk mengembangkan diri, kepuasan kerja, komitmen, motivasi, keberlibatan dalam kerja, inovasi, dan
produktivitas. Hal-hal tersebut sangat penting bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Gaya kepemimpinan sebelumnya, menurut Fry 2003, tidak cukup mampu mengantisipasi perubahan-perubahan dari lingkungan dan tidak
mendukung kebermaknaan hidup. Banyak orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan status, bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan
menemukan makna hidup melalui pekerjaannya. Gaya kepemimpinan spiritual dicetuskan untuk membantu karyawan menemukan makna. Kepemimpinan
spiritual memungkinkan semua pihak terkait untuk merefleksikan diri, menemukan makna, bersikap dan berperilaku, memotivasi, baik diri sendiri
maupun orang lain secara intrinsik sehingga memberi pengaruh baik bagi perkembangan organisasi secara keseluruhan, baik internal organisasi maupun
lingkungan di luar organisasi. Konsep kepemimpinan spiritual muncul sebagai kelanjutan dari teori
kepemimpinan transformasional yang bertujuan untuk mengembangkan organisasi secara keseluruhan. Kepemimpinan spiritual yang meramu antara
keyakinan harapan, visi, dan cinta altruistik menggali kebutuhan dasar dari pemimpin dan bawahannya untuk pemenuhan sisi spiritual. Walaupun dalam
30
kepemimpinan spiritual peranan semua orang sangat menentukan, dalam implementasinya tetap saja seorang pemimpin mempunyai peranan yang lebih
dalam membangkitkan spiritualitas. Dampaknya, yang dipimpin menjadi lebih terorganisir, semakin mau mengembangkan diri dan produktif.
Kepemimpinan spiritual menjadi paradigma baru yang muncul ketika manusia ditantang untuk memahami diri, bersama siapa, dan akan menjadi apa.
Pemahaman reflektif ini terimplementasi dalam pembangkitan dorongan intrinsik motivasi diri sendiri dan sesama kelompok untuk “menjadi”, mewujudkan
visi. Fry 2003 merumuskan unsur-unsur dalam kepemimpinan spiritual sebagai berikut:
a. Faith hope keyakinan harapan
Harapan adalah pemenuhan akan keinginan pada masa mendatang. Harapan didasarkan pada keyakinan, yakni sikap yang
ditunjukkan saat merasa cukup tahu dan menyimpulkan telah mencapai kebenaran. Per se keyakinan mensyaratkan adanya
pengenalan yang kuat terhadap diri sendiri yang dimunculkan, kadang tidak eksplisit, dalam pertanyaan, “Siapa aku?”
Memahami yang di luar diri sampai pada pengenalan akan diri membangun keyakinan semakin kuat. Harapan yang dilandaskan
pada keyakinan kuat membangkitkan motivasi untuk membangun visi. Harapan akan semakin besar dengan adanya perhatian,
dukungan, empati dari liyan. Dalam konteks organisasi, karyawan
31
yang memiliki harapan tinggi demi tercapainya tujuan organisasi akan memiliki motivasi kuat untuk bekerja.
b. Vision visi
Visi videre, Latin berarti melihat ke depan; merujuk pada gambaran pada masa depan. Dalam hal ini, visi muncul dari
pertanyaan dasar, “Akan menjadi apa aku?” Pertanyaan “Akan menjadi apa?” tidak bisa an sich, namun selalu dilekatkan dalam
konteks tertentu. Visi akan mengakomodasi semua kemungkinan perubahan yang akan terjadi dengan berkolerasi dengan cinta
altruistik. c.
Altruistic love cinta altruistik Cinta altruistik dipahami sebagai perasaan harmonis kepada
sesama yang diwujudkan dalam kepedulian, empati, apresiasi. Sesama, dalam konteks ini adalah segala ada di luar diri tempat
terciptanya kesalingan. Tercipta hubungan emosional kuat yang merupakan esensi dari memberi dan menerima. Cinta altruistik
mendefinisikan asumsi, pemahaman, kebenaran yang dibagikan antarpribadi dan ditradisikan kepada pribadi anggota baru dalam
kelompok. Pentradisian itu menguatkan dan atau menumbuhkan harapan-harapan baru yang berkolerasi dengan berintegrasinya
visi pribadi dan visi bersama. Dalam hal ini, altruistik dipahami sebagai alter, liyan, yang lain, sesama; bukan dipahami dalam
32
konteks sifat mementingkan kepentingan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri
sendiri. Gambar 2.1
Kerangka Kepemimpinan Spiritual Menurut Fry Fry, 2003
Mendukung gagasan Fry 2003, Tobroni, 2010 mendefinisikan kepemimpinan spiritual sebagai puncak gaya kepemimpinan karena berangkat
dari paradigma manusia sebagai makhluk yang rasional, emosional, dan spiritual. Gaya kepemimpinan ini menyempurnakan gaya kepemimpinan yang
dikembangkan sebelumnya,
yakni kepemimpinan
transaksional dan
transformasional. Menurut Tobroni, 2010 kepemimpinan spiritual terkait erat dengan
etika religius yang mampu membentuk karakter, integritas, integralitas, dan keteladanan yang luar biasa. Kepemimpinan spiritual tidak terkait dengan
33
pangkat, kedudukan, jabatan, keturunan, kekuasaan dan kekayaan, juga tidak terkait dengan kekuatan gaib sebagaimana terkandung dalam istilah “tokoh
spiritual” atau “penasihat spiritual”. Kepemimpinan spiritual terkait erat dengan kecerdasan spiritual, ketajaman intuisi. Kepemimpinan spiritual juga tidak bisa
disamakan dengan yang serba esoteris batin yang dilawankan dengan yang serba eksoteris lahir, melainkan berupaya membawa dan memberi nilai dan
makna yang lahir menuju rumah batin spiritual atau memberi muatan spiritualitas dan kesucian terhadap segala yang profan.
Sebagai sebuah
proses perkembangan
gaya kepemimpinan,
kepemimpinan spiritual berbeda dari gaya kepemimpinan yang lain. Dalam matra teori evolusi kepemimpinan modern, berikut ini disajikan perbedaan
kepemimpinan transaksional, tranformasional, dan spiritual ditinjau dari hakikat kepemimpinan, fungsi kepemimpinan, etos kepemimpinan, sasaran tindakan
kepemimpinan, pendekatan kepemimpinan, dalam memengaruhi yang dipimpin, cara memengaruhi, dan target kepemimpinan Tobroni, 2010.
34
Tabel 2.1 Kepemimpinan Spiritual di Antara Gaya Kepemimpinan Lain
Uraian Kepemimpinan
Transaksional Kepemimpinan
Transformasional Kepemimpinan
Spiritual Hakikat
kepemimpinan
Fasilitas, kepercayaan manusia bawahan
Amanat dari sesama manusia
Ujian, amanat dari Alloh dan manusia
Fungsi kepemimpinan
Untuk membesarkan diri dan kelompoknya atas
biaya orang lain melalui kekuasaan
Untuk memberdayakan
pengikut dengan kekuasaan keahlian
dan keteladanan Untuk
memberdayakan dan mencerahkan iman
dan hati nurani pengikut melalui jihad
pengorbanan dan amal saleh altruistik
Etos kepemimpinan
Mendedikasikan usahanya kepada
manusia untuk memperoleh imbalan
posisi yang lebih Mendedikasikan
usahanya kepada sesama untuk
kehidupan bersama yang lebih baik
Mendedikasikan usahanya kepada
Alloh dan sesama manusia ibadah
tanpa pamrih apa pun
Sasaran tindakan
kepemimpinan
Pikiran dan tindakan yang kasat mata
Pikiran dan hati nurani
Spiritualitas dan hati nurani
Pendekatan kepemimpinan
Posisi dan kekuasaan Kekuasaan, keahlian
dan keteladanan Hati nurani dan
keteladanan
Dalam memengaruhi
yang dipimpin
Kekuasaan, perintah, uang, sistem,
mengembangkan interes, transaksional
Kekuasaan keahlian dan kekuasaan
referensi Keteladanan,
mengilhami, membangkitkan,
memberdayakan, memanusiakan
Cara memengaruhi
Menaklukkan jiwa dan membangun kewibawaan
melalui kekuasaan Memenangkan jiwa
dan membangun karisma
Memenangkan jiwa, membangkitkan iman
Target kepemimpinan
Membangun jaringan kekuasaan
Membangun kebersamaan
Membangun kasih, menebar kebajikan
dan penyalur rahmat Alloh
Sumber: Tobroni 2010
35
Konsep kepemimpinan spiritual yang digagas Tobroni memasukkan “faham” Islam karena latar belakang Tobroni 2010 sebagai pemeluk Islam. Hal
ini tidak menjadi persoalan dalam memahami kepemimpinan spiritual. Hal ini juga menjadi penguat bahwa spiritualitas tidak pernah an sich, yang dalam
gagasan Tobroni berkorelasi dengan Islam. Ada ragam pemahaman dari para peneliti terkait spiritualitas. Schuster
1997 menyatakan bahwa spiritualitas adalah kesediaan dan kemampuan untuk menggali makna dari kenyataan hidup. Stamp 1997 dikutip dalam Korac-
Kakabadze et al, 1999 mendefinisikan spiritualitas sebagai kesadaran dalam diri yang muncul sebagai rasa keterhubungan diri dengan yang lain dan dunia.
Gibbons 2000 mendefinisikan spiritualitas sebagai pencarian arah, makna, keutuhan dalam relasi dengan orang lain, baik untuk seluruh ciptaan maupun
sang Pencipta. Dari ragam definisi tersebut, tampak sejumlah konsep penting yang disepakati tentang spiritualitas, yaitu: pencarian arah, makna, refleksi,
keterkaitan, keterhubungan, dan kesucian. Dari konsep-konsep tersebut, tidak ada satu pun yang menyebut agama sebagai entitas yang menjadi unsur dari
spiritualitas. Spiritualitas memang berbeda dengan agama, namun antara keduanya
memiliki korelasi. Dalam konteks ini, spiritualitas bisa mempersatukan keragaman berbagai aspek ritual dari setiap agama. Berdasarkan pemikiran
Harmer 2005 dalam jurnalnya How is a Spiritual Life, the Pinnacle of Well being Gained dibedakan secara tegas antara agama dan spiritualitas. Menurut
36
Harmer, spiritualitas lebih universal daripada agama, bahkan para peneliti menambahkan perbedaan, yang mana spiritualitas sama sekali tidak formal atau
terorganisir dan terstruktur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa spiritualitas hadir, baik di “dalam” maupun di “luar” konteks agama. Spiritualitas
tidak terbatas pada bidang agama saja sehingga implementasinya mencakup segala bidang dalam hidup manusia.
Keberbedaan agama dan spiritualitas dijelaskan secara baik oleh Dalai Lama dikutip dalam Fry dan Matherly, 2003. Menurut Dalai Lama:
religion is concerned with faith in the claims of one faith tradition or another and is connected with systems of belief, ritual prayer, and related
formalized practices and ideas. Spirituality, instead, is concerned with qualities of the human spirit including positive psychological concepts such as love and
compassion, patience, tolerance, forgiveness, contentment, personal responsibility, and a sense of harmony with one’s environment.
Meskipun konsep spiritualitas berbeda dengan konsep tentang agama, namun kerangka kepemimpinan spiritual yang digagas Fry 2003 seperti tampak
pada gambar 2.1 sesuai dengan kerangka beriman dalam teologi Katolik. Kesesuaian ini tampak pada gambar 2.2.
37
Gambar 2.2 Kerangka Beriman dalam Teologi Katolik