Kepemimpinan Spiritual Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap Learning Organization dan kinerja karyawan pada PT. Kanisius.

24 Penelitian Peters dan Waterman 1982 dilakukan ketika fenomena pencarian makna dalam hidup, sesuatu yang bermakna di balik pekerjaan, mulai berkembang karena ada kekosongan nilai dan kepercayaan dalam lingkungan kerja. Fenomena ini menjadi antitesis gagasan Marx terkait homo faber. Ditengarai, fenomena ini dipicu kuat oleh terbitnya ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens pada tahun 1981, sebagai ulang tahun ke 90 Rerum Novarum, yang menekankan manusia sebagai subjek kerja. Penelitian terkait adanya sistem nilai dalam organisasi diperdalam oleh Robert K. Greenleaf 2002 melalui buku yang berjudul Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness. Dalam buku ini, Greenleaf 2002 menjelaskan bahwa teori kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yang berbeda dengan teori servant leadership. Kepemimpinan transformasional memberi tekanan pada perubahan dan peran kepemimpinan dalam melaksanakan transformasi organisasi menuju perubahan dan pembangunan budaya organisasi yang dinamis. Servant leadership yang menekankan kepemimpinan bersama antara pemimpin dan yang dipimpin akan menciptakan budaya kerja yang bersifat spiritual. Spiritualitas dalam organisasi semakin diakui sebagai hal yang vital ketika Mitroff dan Denton 1999 mendapatkan sesuatu yang bernilai dalam penelitiannya. Melalui hasil kajian yang berjudul A Spiritual Audit of Corporate America: A Hard Look at Spirituality, Religion, and Values in the Workplace, Mitroff dan Denton 1999 mengakui bahwa terjadi pergeseran dari paradigma 25 lama menuju paradigma baru dalam organisasi. Organisasi mengalami pergeseran dari values based companies perusahaan berdasarkan nilai menuju spiritualities based organization organisasi berdasarkan spiritual. Pergeseran ini efektif berdampak pada seluruh karyawan saat mereka mencari sesuatu yang lebih dari pekerjaan, yakni makna, tujuan akhir, serta subjective well-being. Arti penting spiritualitas ditegaskan dalam penelitian Fairholm 1996 yang memberikan bukti bahwa terdapat lebih dari 40 juta orang di Amerika Serikat yang sedang mencari suatu gaya hidup yang bernilai secara intrinsik dan diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Walaupun pekerjaan sangat penting bagi pemenuhan kesejahteraan ekonomi, namun diyakini bahwa hal itu belum seluruhnya memenuhi kebutuhan sebagai manusia. Dari pekerjaannya, manusia membutuhkan lebih dari sekadar kesejahteraan ekonomi. Manusia membutuhkan bentuk motivasi yang lebih bersifat intrinsik dengan menghadirkan spiritualitas dalam pekerjaannya. Kebutuhan akan hadirnya spiritualitas memunculkan kesadaran baru dalam kajian manajemen dan organisasi modern sekarang ini, yaitu pengakuan atas peran penting spiritualitas di tempat kerja dalam menciptakan kinerja organisasi yang unggul, baik pada level pribadi, tim, maupun organisasi secara keseluruhan. Perhatian pada aspek spiritual dalam organisasi dan kepemimpinan telah dikemukakan dalam berbagai jurnal ilmiah sejak awal tahun 1990-an, misalnya oleh Neck dan Milliman 1994 dan Fairholm 1996, yang akar-akar pemikirannya sudah muncul jauh lebih awal lagi. Pada bidang psikologi 26 perhatian pada aspek spiritual dimulai sejak tahun 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya. Pada saat itu, kajian ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Kurangnya perhatian para pakar organisasi terhadap dimensi spiritual dalam kehidupan organisasi pada masa lalu, menurut Korac-Kakabadze 1999, sebagian disebabkan oleh sikap akademik yang terlalu memfokuskan pada perilaku-perilaku yang lebih dapat diamati dan diukur secara mudah, daripada sesuatu yang elusif dan idiosyncratic. Munculnya minat yang besar terhadap dimensi spiritualitas dalam kajian manajemen dan organisasi disebabkan oleh sejumlah faktor pendorong, seperti tekanan-tekanan sosial yang semakin meningkat, perkembangan teknologi informasi yang hipercepat, globalisasi yang melahirkan fenomena borderless, bertambahnya populasi, serta tuntutan perubahan lingkungan dan instanisasi pangan. Faktor pendorong lain adalah berkembangnya posmodernisme sebagai suatu aliran filsafat. Menurut Sugiharto 1996, pada milenium ketiga ini, berbagai sikap kritis atas pola pikir dan mentalitas modernisme berkembang pesat. Posmodernisme mempertanyakan ulang secara kritis konsep-konsep utama meliputi rasionalitas, kebenaran, bahasa, manusia, dan spiritualitas. Kritik terhadap konsep-konsep tersebut telah mengubah sedemikian rupa konstelasi realitas kognitif sehingga menjadi sama sekali baru dengan menawarkan ragam kemungkinan. Posmodernisme mematahkan asumsi-asumsi filosofis dan 27 mempertanyakan klaim-klaim yang dianut modernisme yang sering dikenal sebagai “jatuhnya narasi-narasi besar”. Dalam memandang konsep spiritualitas, posmodernisme merayakan bangkitnya agama dalam kehidupan manusia sebagai spiritualitas daripada sebagai institusi; sebagai religiositas keberagamaan daripada sebagai religi sebagai nama agama. Gagasan ini muncul dari jejak kedua dekonstruksi Derrida yang dikenal dengan “agama tanpa agama”. Gagasan Derrida muncul dari penghayatan akan yang-tak-mungkin. Derida menemukan hasrat yang “lain”, hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma, sebuah kerinduan spiritual yang tidak terbahasakan terhadap Yang Tremendum dan Fascinosum. Terkait hal ini, Sugiharto 1996 menjelaskan dengan lebih mudah pandangan tersebut: Secara umum muncul kesadaran bahwa inti kehidupan sebenarnya memang “ruh” atau spirit, namun “ruh” ini jauh lebih luas daripada yang dibayangkan oleh agama-agama. Dalam bahasa masa kini, ruh adalah energi, inteligensi kosmik, “self”, kepekaan atas arti hidup, kuantum, dsb. Segala bentuk material adalah manifestasi saja dari “ruh” macam itu. Dan, tuhan bukanlah sesuatu yang personal, melainkan totalitas segala energi, baik yang berada di alam semesta maupun yang ada dalam diri kita. Spiritualitas tidak pernah an sich. Ia berbicara tentang interaksi jiwa- badan manusia pada dunia di luar dirinya. Spiritual menjadi bentuk tanggapan yang memengaruhi perilaku manusia di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Spiritualitas membangun karakter diri yang memengaruhi gaya kepemimpinan yang dijalankan. Kepemimpinan yang berbasis spiritualitas bukanlah tentang 28 kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin belaka, namun terkait dengan buah-buah refleksi yang mengintegrasikan visi pribadi ke dalam visi bersama dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, integritas, kredibilitas, kebijaksanaan, dan belas kasih. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang mengedepankan subjective well-being. Dalam perspektif spiritual, fungsi kepemimpinan dalam organisasi diletakkan sebagai bagian dari sarana untuk mewujudkan kebaikan dan reformasi dalam segala bidang kehidupan. Semakin tinggi spiritualitas seseorang, semakin kuat ia menerapkan gaya kepemimpinan spiritual. Hal ini dibuktikan oleh Percy 2003. Dalam penelitian yang berjudul Going Deep: Exploring Spirituality in Life and Leadership, Percy 2003 menyimpulkan bahwa para direktur dan CEO yang efektif memiliki spiritualitas yang tinggi dan menerapkan gaya kepemimpinan spiritual dalam memimpin organisasi. Pemimpin yang spiritualis akan mengintegrasikan spiritualitas dalam seluruh aspek kehidupannya. Semakin menguatnya dimensi spiritual dalam kepemimpinan dan organisasi dinyatakan oleh Fry 2003 dalam tulisannya, Toward a Theory of Spiritual Leadership. Tulisan Fry 2003 ini didukung dengan maraknya penerbitan buku-buku teks kepemimpinan yang mengupas tentang kepemimpinan dan budaya organisasi, kepemimpinan yang didasarkan pada misi dan nilai-nilai, serta ragam artikel tentang spiritualitas di tempat kerja yang dimuat dalam jurnal-jurnal bisnis manajemen. 29 Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa pengembangan spiritualitas di tempat kerja berpengaruh positif terhadap sikap dan perilaku kerja karyawan- karyawannya, misalnya menyangkut kehendak untuk mengembangkan diri, kepuasan kerja, komitmen, motivasi, keberlibatan dalam kerja, inovasi, dan produktivitas. Hal-hal tersebut sangat penting bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan. Gaya kepemimpinan sebelumnya, menurut Fry 2003, tidak cukup mampu mengantisipasi perubahan-perubahan dari lingkungan dan tidak mendukung kebermaknaan hidup. Banyak orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan status, bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan menemukan makna hidup melalui pekerjaannya. Gaya kepemimpinan spiritual dicetuskan untuk membantu karyawan menemukan makna. Kepemimpinan spiritual memungkinkan semua pihak terkait untuk merefleksikan diri, menemukan makna, bersikap dan berperilaku, memotivasi, baik diri sendiri maupun orang lain secara intrinsik sehingga memberi pengaruh baik bagi perkembangan organisasi secara keseluruhan, baik internal organisasi maupun lingkungan di luar organisasi. Konsep kepemimpinan spiritual muncul sebagai kelanjutan dari teori kepemimpinan transformasional yang bertujuan untuk mengembangkan organisasi secara keseluruhan. Kepemimpinan spiritual yang meramu antara keyakinan harapan, visi, dan cinta altruistik menggali kebutuhan dasar dari pemimpin dan bawahannya untuk pemenuhan sisi spiritual. Walaupun dalam 30 kepemimpinan spiritual peranan semua orang sangat menentukan, dalam implementasinya tetap saja seorang pemimpin mempunyai peranan yang lebih dalam membangkitkan spiritualitas. Dampaknya, yang dipimpin menjadi lebih terorganisir, semakin mau mengembangkan diri dan produktif. Kepemimpinan spiritual menjadi paradigma baru yang muncul ketika manusia ditantang untuk memahami diri, bersama siapa, dan akan menjadi apa. Pemahaman reflektif ini terimplementasi dalam pembangkitan dorongan intrinsik motivasi diri sendiri dan sesama kelompok untuk “menjadi”, mewujudkan visi. Fry 2003 merumuskan unsur-unsur dalam kepemimpinan spiritual sebagai berikut: a. Faith hope keyakinan harapan Harapan adalah pemenuhan akan keinginan pada masa mendatang. Harapan didasarkan pada keyakinan, yakni sikap yang ditunjukkan saat merasa cukup tahu dan menyimpulkan telah mencapai kebenaran. Per se keyakinan mensyaratkan adanya pengenalan yang kuat terhadap diri sendiri yang dimunculkan, kadang tidak eksplisit, dalam pertanyaan, “Siapa aku?” Memahami yang di luar diri sampai pada pengenalan akan diri membangun keyakinan semakin kuat. Harapan yang dilandaskan pada keyakinan kuat membangkitkan motivasi untuk membangun visi. Harapan akan semakin besar dengan adanya perhatian, dukungan, empati dari liyan. Dalam konteks organisasi, karyawan 31 yang memiliki harapan tinggi demi tercapainya tujuan organisasi akan memiliki motivasi kuat untuk bekerja. b. Vision visi Visi videre, Latin berarti melihat ke depan; merujuk pada gambaran pada masa depan. Dalam hal ini, visi muncul dari pertanyaan dasar, “Akan menjadi apa aku?” Pertanyaan “Akan menjadi apa?” tidak bisa an sich, namun selalu dilekatkan dalam konteks tertentu. Visi akan mengakomodasi semua kemungkinan perubahan yang akan terjadi dengan berkolerasi dengan cinta altruistik. c. Altruistic love cinta altruistik Cinta altruistik dipahami sebagai perasaan harmonis kepada sesama yang diwujudkan dalam kepedulian, empati, apresiasi. Sesama, dalam konteks ini adalah segala ada di luar diri tempat terciptanya kesalingan. Tercipta hubungan emosional kuat yang merupakan esensi dari memberi dan menerima. Cinta altruistik mendefinisikan asumsi, pemahaman, kebenaran yang dibagikan antarpribadi dan ditradisikan kepada pribadi anggota baru dalam kelompok. Pentradisian itu menguatkan dan atau menumbuhkan harapan-harapan baru yang berkolerasi dengan berintegrasinya visi pribadi dan visi bersama. Dalam hal ini, altruistik dipahami sebagai alter, liyan, yang lain, sesama; bukan dipahami dalam 32 konteks sifat mementingkan kepentingan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Gambar 2.1 Kerangka Kepemimpinan Spiritual Menurut Fry Fry, 2003 Mendukung gagasan Fry 2003, Tobroni, 2010 mendefinisikan kepemimpinan spiritual sebagai puncak gaya kepemimpinan karena berangkat dari paradigma manusia sebagai makhluk yang rasional, emosional, dan spiritual. Gaya kepemimpinan ini menyempurnakan gaya kepemimpinan yang dikembangkan sebelumnya, yakni kepemimpinan transaksional dan transformasional. Menurut Tobroni, 2010 kepemimpinan spiritual terkait erat dengan etika religius yang mampu membentuk karakter, integritas, integralitas, dan keteladanan yang luar biasa. Kepemimpinan spiritual tidak terkait dengan 33 pangkat, kedudukan, jabatan, keturunan, kekuasaan dan kekayaan, juga tidak terkait dengan kekuatan gaib sebagaimana terkandung dalam istilah “tokoh spiritual” atau “penasihat spiritual”. Kepemimpinan spiritual terkait erat dengan kecerdasan spiritual, ketajaman intuisi. Kepemimpinan spiritual juga tidak bisa disamakan dengan yang serba esoteris batin yang dilawankan dengan yang serba eksoteris lahir, melainkan berupaya membawa dan memberi nilai dan makna yang lahir menuju rumah batin spiritual atau memberi muatan spiritualitas dan kesucian terhadap segala yang profan. Sebagai sebuah proses perkembangan gaya kepemimpinan, kepemimpinan spiritual berbeda dari gaya kepemimpinan yang lain. Dalam matra teori evolusi kepemimpinan modern, berikut ini disajikan perbedaan kepemimpinan transaksional, tranformasional, dan spiritual ditinjau dari hakikat kepemimpinan, fungsi kepemimpinan, etos kepemimpinan, sasaran tindakan kepemimpinan, pendekatan kepemimpinan, dalam memengaruhi yang dipimpin, cara memengaruhi, dan target kepemimpinan Tobroni, 2010. 34 Tabel 2.1 Kepemimpinan Spiritual di Antara Gaya Kepemimpinan Lain Uraian Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan Spiritual Hakikat kepemimpinan Fasilitas, kepercayaan manusia bawahan Amanat dari sesama manusia Ujian, amanat dari Alloh dan manusia Fungsi kepemimpinan Untuk membesarkan diri dan kelompoknya atas biaya orang lain melalui kekuasaan Untuk memberdayakan pengikut dengan kekuasaan keahlian dan keteladanan Untuk memberdayakan dan mencerahkan iman dan hati nurani pengikut melalui jihad pengorbanan dan amal saleh altruistik Etos kepemimpinan Mendedikasikan usahanya kepada manusia untuk memperoleh imbalan posisi yang lebih Mendedikasikan usahanya kepada sesama untuk kehidupan bersama yang lebih baik Mendedikasikan usahanya kepada Alloh dan sesama manusia ibadah tanpa pamrih apa pun Sasaran tindakan kepemimpinan Pikiran dan tindakan yang kasat mata Pikiran dan hati nurani Spiritualitas dan hati nurani Pendekatan kepemimpinan Posisi dan kekuasaan Kekuasaan, keahlian dan keteladanan Hati nurani dan keteladanan Dalam memengaruhi yang dipimpin Kekuasaan, perintah, uang, sistem, mengembangkan interes, transaksional Kekuasaan keahlian dan kekuasaan referensi Keteladanan, mengilhami, membangkitkan, memberdayakan, memanusiakan Cara memengaruhi Menaklukkan jiwa dan membangun kewibawaan melalui kekuasaan Memenangkan jiwa dan membangun karisma Memenangkan jiwa, membangkitkan iman Target kepemimpinan Membangun jaringan kekuasaan Membangun kebersamaan Membangun kasih, menebar kebajikan dan penyalur rahmat Alloh Sumber: Tobroni 2010 35 Konsep kepemimpinan spiritual yang digagas Tobroni memasukkan “faham” Islam karena latar belakang Tobroni 2010 sebagai pemeluk Islam. Hal ini tidak menjadi persoalan dalam memahami kepemimpinan spiritual. Hal ini juga menjadi penguat bahwa spiritualitas tidak pernah an sich, yang dalam gagasan Tobroni berkorelasi dengan Islam. Ada ragam pemahaman dari para peneliti terkait spiritualitas. Schuster 1997 menyatakan bahwa spiritualitas adalah kesediaan dan kemampuan untuk menggali makna dari kenyataan hidup. Stamp 1997 dikutip dalam Korac- Kakabadze et al, 1999 mendefinisikan spiritualitas sebagai kesadaran dalam diri yang muncul sebagai rasa keterhubungan diri dengan yang lain dan dunia. Gibbons 2000 mendefinisikan spiritualitas sebagai pencarian arah, makna, keutuhan dalam relasi dengan orang lain, baik untuk seluruh ciptaan maupun sang Pencipta. Dari ragam definisi tersebut, tampak sejumlah konsep penting yang disepakati tentang spiritualitas, yaitu: pencarian arah, makna, refleksi, keterkaitan, keterhubungan, dan kesucian. Dari konsep-konsep tersebut, tidak ada satu pun yang menyebut agama sebagai entitas yang menjadi unsur dari spiritualitas. Spiritualitas memang berbeda dengan agama, namun antara keduanya memiliki korelasi. Dalam konteks ini, spiritualitas bisa mempersatukan keragaman berbagai aspek ritual dari setiap agama. Berdasarkan pemikiran Harmer 2005 dalam jurnalnya How is a Spiritual Life, the Pinnacle of Well being Gained dibedakan secara tegas antara agama dan spiritualitas. Menurut 36 Harmer, spiritualitas lebih universal daripada agama, bahkan para peneliti menambahkan perbedaan, yang mana spiritualitas sama sekali tidak formal atau terorganisir dan terstruktur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa spiritualitas hadir, baik di “dalam” maupun di “luar” konteks agama. Spiritualitas tidak terbatas pada bidang agama saja sehingga implementasinya mencakup segala bidang dalam hidup manusia. Keberbedaan agama dan spiritualitas dijelaskan secara baik oleh Dalai Lama dikutip dalam Fry dan Matherly, 2003. Menurut Dalai Lama: religion is concerned with faith in the claims of one faith tradition or another and is connected with systems of belief, ritual prayer, and related formalized practices and ideas. Spirituality, instead, is concerned with qualities of the human spirit including positive psychological concepts such as love and compassion, patience, tolerance, forgiveness, contentment, personal responsibility, and a sense of harmony with one’s environment. Meskipun konsep spiritualitas berbeda dengan konsep tentang agama, namun kerangka kepemimpinan spiritual yang digagas Fry 2003 seperti tampak pada gambar 2.1 sesuai dengan kerangka beriman dalam teologi Katolik. Kesesuaian ini tampak pada gambar 2.2. 37 Gambar 2.2 Kerangka Beriman dalam Teologi Katolik

C. Learning Organization

Konsep learning organization yang mulai berkembang pada era 70-an, pada saat ini, menjadi topik yang menarik perhatian. Menurut Dodgson 1993, ada tiga alasan yang mendasarinya: 1 Perubahan lingkungan menuntut organisasi-organisasi untuk menyesuaikan diri dan membangun strategi baru. 2 Perubahan tersebut membawa ketidakpastian yang berimplikasi pada sikap organisasi untuk bersiap dengan mempelajari banyak hal. 3 Learning organization merupakan konsep dinamis yang menyebabkan perusahaan mengalami perubahan secara terus-menerus. Learning organization memegang peranan penting, vital, dan strategis dalam meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi secara keseluruhan. Hal ini ditegaskan oleh Schwandt 1999 dikutip dalam Carrell et al, 2005. Schwandt menyatakan: 38 learning organization is system of action, actors, symbols, and processes that enables an organization to transform information into valued knowledge, which in turn increase its long run adaptive capacity. Gagasan Schwandt tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Dale dan Daniel 2003. Mereka mengungkapkan bahwa learning organization adalah kemampuan suatu organisasi untuk terus-menerus melakukan proses belajar self learning sehingga organisasi tersebut memiliki kecepatan berpikir dan bertindak dalam merespon beragam perubahan yang muncul. Dalam tulisannya yang berjudul Key Leverage Points for Improving Competitive Performance, Nadler et al 1992 meyakini bahwa terdapat empat critical success factors bagi organisasi untuk mampu berkompetisi secara efektif. Keempat hal tersebut adalah strategi, kualitas, desain organisasi, dan learning organization. Berkaitan dengan keempat faktor penting penentu kesuksesan tersebut, kemudian Nadler et al 1992 menyatakan: even those companies with great strategies, total quality management, and innovative organizational architectures do not always get it right the first time. They make mistakes. The best competitors have the unique capacity to reflect on and understand those mistakes quickly and turn insight into action; they are learning-efficient organization. They learn from customers, competitors, and suppliers. They learn from success and they learn from failure. Dari pemikiran-pemikiran tersebut dapat dipahami bahwa learning organization adalah faktor signifikan bagi kesuksesan organisasi. Learning organization akan membawa organisasi pada keunggulan kompetitif. Habitus

Dokumen yang terkait

Pengaruh Learning Organization dan Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Cabang USU Medan

16 111 106

Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Learning Organization pada PT Pupuk Kujang Cikampek

1 20 128

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN KOMPENSASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan(Studi Pada Karyawan PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta).

0 3 13

PENGARUH MOTIVASI SPIRITUAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA RELIGIUS Pengaruh Motivasi Spiritual Dan Gaya Kepemimpinan Spiritual Terhadap Kinerja Religius (Studi Kasus Pada Bmt.Mitra Mandiri Wonogiri).

0 4 18

PENGARUH MOTIVASI SPIRITUAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA RELIGIUS Pengaruh Motivasi Spiritual Dan Gaya Kepemimpinan Spiritual Terhadap Kinerja Religius (Studi Kasus Pada Bmt.Mitra Mandiri Wonogiri).

0 5 17

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. TASPEN (PERSERO) SURAKARTA PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. TASPEN (PERSERO) SURAKARTA.

0 0 14

pengaruh Motivasi dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan PT IPHA Laboratoies.

0 1 32

ANALISIS KEPEMIMPINAN SPIRITUAL DAN KOMUNIKASI ORGANISASIONAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN

0 0 11

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. TIKI PALEMBANG -

0 3 93

Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap Learning Organization dan kinerja karyawan pada PT. Kanisius - USD Repository

0 1 148