Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap Learning Organization dan kinerja karyawan pada PT. Kanisius.

(1)

xii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh kepe-mimpinan spiritual terhadap learning organization dan kinerja karyawan. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah karyawan-karyawan PT Kanisius, berjumlah 125 responden. Data penelitian dianalisis menggunakan SEM

(Structural Equation Modeling). Hasil analisis menunjukkan bahwa kepe-mimpinan spiritual berpengaruh terhadap learning organization dan kinerja karyawan, dan learning organization memediasi hubungan antara kepemim-pinan spiritual dan kinerja karyawan di PT Kanisius. Hasil penelitian me-nunjukkan bahwa ketiga hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini didukung. Implikasi dari penelitian ini bagi PT Kanisius adalah diterapkannya gaya kepemimpinan spiritual secara kontinu untuk menguatkan habitus learning organization di perusahaan. Muaranya, diharapkan PT Kanisius memiliki ke-unggulan kompetitif sehingga semakin siap menghadapi persaingan di pasar bebas ASEAN.

Kata kunci: kepemimpinan, kepemimpinan spiritual, learning organization, kinerja karyawan, mediator


(2)

xiii

ABSTRACT

This research aim to show the influence of spiritual leadership to learning organization dan employee performance. The type of this research is explanatory research with quantitative approach. The subject of this research is the employee of PT Kanisius, with the total of 125 respondens. The research data is analyzed using SEM (Structural Equation Modeling). The result shows that spiritual leadership influence on learning organization and performance of employees, and the learning organization mediates the relationship between spiritual leadership and employee performance in PT Kanisius. The results showed that the three hypotheses were constructed in this study are supported. The implication of this research for PT Kanisius, spiritual leadership style is applied continuously to strengthen habitus learning organization in the company. Finally PT Canisius has a competitive advantage so that more and more prepared to face the competition in the free market of ASEAN.

Keywords: leadership, spiritual leadership, learning organization, the perfor-mance of employees, mediator


(3)

TERHADAP

LEARNING ORGANIZATION DAN KINERJA KARYAWAN

PADA P.T. KANISIUS

TESIS

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN

.

Diajukan oleh

Robertus Peter Satriyo Sinubyo

132222209

Kepada

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

2016


(4)

i

PENGARUH KEPEMIMPINAN SPIRITUAL

TERHADAP

LEARNING ORGANIZATION DAN KINERJA KARYAWAN

PADA P.T. KANISIUS

TESIS

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN

MENCAPAI DERAJAT SARJANA S-2

.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Diajukan oleh

Robertus Peter Satriyo Sinubyo

132222209

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

2016


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada yang kita sebut sebagai “Allah” sehingga tesis yang berjudul “Pengaruh Kepemimpinan Spiritual terhadap Learning Organization

dan Kinerja Karyawan pada P.T. Kanisius” dapat selesai. Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar derajat sarjana S-2 pada Program Studi Manajemen, Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulisan tesis ini dapat selesai secara baik berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Herry Maridjo, M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi Sanata Dharma.

2. Bapak T. Handono Eko Prabowo, MBA, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Manajemen Universitas Sanata Dharma. 3. Bapak Lukas Purwoto, M.Si selaku dosen pembimbing, yang

telah mengarahkan dan membimbing penulis.

4. Manajemen PT Kanisius yang memberi kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan diri.

5. Bu Susi dan Nak Boni yang merelakan mengurangi waktu bersama membangun kisah.

6. Kawan-kawan angkatan satu MM USD.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat.


(10)

vi

DAFTAR ISI

Bab Halaman

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 9

C. Tujuan Penelitan 10

D. Manfaat Penelitian 11

E. Ruang Lingkup Penelitian 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 13

A. Teori-teori Kepemimpinan 15

1. Teori Sifat 16

2. Teori Perilaku 17

3. Teori Situasional 17

4. Teori Kontemporer 18

a. Teori Kepemimpinan Visioner 18

b. Teori Kepemimpinan Transaksional 18

c. Teori Kepemimpinan Trasformasional 19

5. Teori Modern 19

a. Adaptive Leadership 20 b. Dispersed Leadership 20 c. Authentic Leadership 21 d. Respectfull Leadership 21 e. Spiritual Leadership 21 f. Transcendent Leadership 22 g. Level Five Leadership 22 h. Open Leadership 22

B. Kepemimpinan Spiritual 23

1. Faith/ hope 30

2. Vision 31

3. Altruistic love 31

C. Learning Organizaation 37

D. Kinerja Karyawan 44

E. Kerangka Penelitian 49


(11)

vii

Bab Halaman

BAB III METODE PENELITIAN 55

A. Desain Penelitian 55

B. Definisi Operasional 56

C. Populasi dan Sampel 60

D. Instrumen Penelitian 60

E. Metode Pengumpulan Data 62

F. Metode Analisis Data 64

1. Pengembangan Model Teoritis 65

2. Pengembangan Diagram Alur (Path Diagram) 66 3. Konversi Diagram Alur ke dalam Persamaan

Struktural dan Model Pengukuran 68

4. Melakukan Full Structural Equation Model Analysis 69 5. Memilih Matrik Input dan Estimasi Model 69

6. Evaluasi Kriteria Goodness of Fit 69

7. Pengujian Mediasi 71

8. Pengujian Hipotesis 72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 73

A. Identitas Responden 73

1. Responden Berdasarkan Umur 73

2. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 74

3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir 74

4. Responden Berdasarkan Masa Kerja 75

B. Analisis Structural Equation Model 76

1. Full Structural Equation Model Analysis 76

2. Matrik Input dan Estimasi Model 80

3. Evaluasi Kriteria Goodness of Fit 81

4. Pengujian Normalitas Data 82

5. Pengujian Outliers 84

6. Pengujian Hipotesis 87

C. Pembahasan 93

1. Kepemimpinan Spiritual 93


(12)

viii

Bab Halaman

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 109

A. Kesimpulan 109

B. Saran 112

1. Bagi Penelitiaan Selanjutnya 112

2. Bagi Manajemen PT Kanisius 113

DAFTAR PUSTAKA 115


(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman Gambar 2.1 Kerangka Kepemimpinan Spiritual Menurut Fry 32 Gambar 2.2 Kerangka Beriman dalam Teologi Katolik 37

Gambar 3.1 Diagram Alur 67

Gambar 4.1 Full Structural Equation Model 77

Gambar 4.2 Structural Equation Model Pengaruh Langsung (Direct Effect) Kepemimpinan Spiritual terhadap

Kinerja Karyawan 91


(14)

x

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Tabel 2.1 Kepemimpinan Spiritual di Antara Gaya Kepemimpinan Lain 34

Tabel 3.1 Definisi Operasi 58-59

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Umur 73

Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 74 Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir 74

Tabel 4.4 Responden Berdasarkan Masa Kerja 75

Tabel 4.5 Goodness of Fit Index 78

Tabel 4.6 Regression Weight 79

Tabel 4.7 Kriteria Goodness of Fit 81

Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Data 83

Tabel 4.9 Hasil Uji Outliers 84-86

Tabel 4.10 Pengujian Hipotesis 87

Tabel 4.11 Indirect Effect 89-90


(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Identitas Responden 121

Lampiran 2 Hasil Uji Regression Weight 122

Lampiran 3 Kriteria Goodness of Fit Index 123

Lampiran 4 Hasil Uji Indirect Effect 124

Lampiran 5 Hasil Uji Outliers Model 125

Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas Data 128

Lampiran 7 Surel kepada Louis Fry 129

Lampiran 8 Transkip Wawancara 131

Lampiran 9 Surat Pengantar Kuesioner 132


(16)

xii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh kepe-mimpinan spiritual terhadap learning organization dan kinerja karyawan. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah karyawan-karyawan PT Kanisius, berjumlah 125 responden. Data penelitian dianalisis menggunakan SEM

(Structural Equation Modeling). Hasil analisis menunjukkan bahwa kepe-mimpinan spiritual berpengaruh terhadap learning organization dan kinerja karyawan, dan learning organization memediasi hubungan antara kepemim-pinan spiritual dan kinerja karyawan di PT Kanisius. Hasil penelitian me-nunjukkan bahwa ketiga hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini didukung. Implikasi dari penelitian ini bagi PT Kanisius adalah diterapkannya gaya kepemimpinan spiritual secara kontinu untuk menguatkan habitus learning organization di perusahaan. Muaranya, diharapkan PT Kanisius memiliki ke-unggulan kompetitif sehingga semakin siap menghadapi persaingan di pasar bebas ASEAN.

Kata kunci: kepemimpinan, kepemimpinan spiritual, learning organization, kinerja karyawan, mediator


(17)

xiii

ABSTRACT

This research aim to show the influence of spiritual leadership to learning organization dan employee performance. The type of this research is explanatory research with quantitative approach. The subject of this research is the employee of PT Kanisius, with the total of 125 respondens. The research data is analyzed using SEM (Structural Equation Modeling). The result shows that spiritual leadership influence on learning organization and performance of employees, and the learning organization mediates the relationship between spiritual leadership and employee performance in PT Kanisius. The results showed that the three hypotheses were constructed in this study are supported. The implication of this research for PT Kanisius, spiritual leadership style is applied continuously to strengthen habitus learning organization in the company. Finally PT Canisius has a competitive advantage so that more and more prepared to face the competition in the free market of ASEAN.

Keywords: leadership, spiritual leadership, learning organization, the perfor-mance of employees, mediator


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemimpin-pemimpin Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) membangun kesepakatan untuk membawa ASEAN ke zaman baru yang lebih integratif dengan dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada akhir tahun 2015. Implementasi kesepakatan ini diwujudkan dalam pembangunan pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Ada ragam tujuan yang hendak dicapai terkait pembentukan komunitas ini, antara lain untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, untuk menurunkan jumlah penduduk miskin dan meningkatkan standar hidup penduduk ASEAN, untuk meningkatkan daya saing kawasan ASEAN di pasar internasional terutama terkait menguatnya daya saing ASEAN terhadap Tiongkok dan India dalam menarik modal asing.

Sektor tenaga kerja menjadi sektor penting yang terkena dampak dari pembentukan Komunitas ASEAN. Website resmi Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia http://www.setneg.go.id menyajikan hasil riset yang dilakukan Organisasi Perburuhan Dunia atau International Labour Organization

(ILO). Hasil riset menunjukkan data terkait pembukaan pasar tenaga kerja yang akan berdampak cukup signifikan pada penciptaan lapangan kerja. Pembentukan Komunitas ASEAN diprediksi mampu meningkatkan kesejahteraan 600 juta


(19)

2

orang yang hidup di Asia Tenggara. ILO juga memprediksi bahwa permintaan tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta. Sementara permintaan tenaga kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38 juta, sedangkan tenaga kerja level rendah meningkat 24% atau 12 juta. Selain itu, riset ILO juga memberikan prediksi bahwa banyak perusahaan akan memiliki pegawai yang kurang terampil atau akan salah menempatkan karyawannya karena karyawan tersebut kurang mendapatkan pelatihan dan pendidikan profesi sehingga kinerja mereka menjadi rendah.

Dengan pembentukan Komunitas ASEAN, ada banyak peluang terbuka lebar bagi kesepuluh negara anggota (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filiphina, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja). Masing-masing negara berkesempatan untuk melakukan ekstensifikasi cakupan skala ekonomi, mereduksi garis kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi, meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi investor dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi perdagangan, serta memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis. Dampak positif lain yang akan dirasakan dengan terbentuknya Komunitas ASEAN adalah kemudahan dan peningkatan akses pasar antarnegara anggota, peningkatan transparansi, percepatan sosialisasi dan adaptasi regulasi serta standarisasi domestik.

Menghadapi destinasi pembentukan Komunitas ASEAN, perusahaan-perusahaan yang selama ini bergerak, baik pada tingkat lokal, tingkat regional maupun tingkat internasional harus melakukan persiapan sebaik-baiknya dalam


(20)

3

banyak sektor, dan salah satu yang terpenting adalah sektor tenaga kerja/ karyawan. Salah satu faktor sukses bagi perusahaan-perusahaan dalam Komunitas ASEAN adalah karyawan yang berkinerja tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Trisnantoro dan Agastya (1996) (dikutip dalam Anwar, 2004) menyatakan bahwa kinerja menunjuk pada proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh organisasi dalam memberikan produk, baik barang maupun jasa kepada pelanggan. Motowidlo et al (1997) (dikutip dalam Jimoh, 2008) menyatakan bahwa kinerja karyawan meliputi tindakan, perilaku, dan hasil yang dapat diukur yang dilakukan karyawan yang berhubungan dengan tujuan organisasi dan berkontribusi pada tujuan organisasi. Dalam hal ini, kinerja bukan hasil konsekuensi, melainkan perbuatan atau aksi itu sendiri. Kane (1986) (dikutip dalam Anwar, 2004) menjelaskan kinerja sebagai rekaman hasil kerja yang diperoleh karyawan tertentu melalui kegiatan dalam kurun waktu tertentu.

Kinerja karyawan dipengaruhi oleh ragam hal, misalnya struktur, desain pekerjaan, kemampuan dan keterampilan, umur, latar belakang, pengalaman, asal usul, kepribadian, sikap, persepsi, kemauan berkembang, kepuasan kerja, dan kepemimpinan. Terkait kepemimpinan, Fry (2003) menggagas gaya kepemimpinan spiritual sebagai gaya kepemimpinan yang menyempurnakan gaya kepemimpinan sebelumnya. Gaya kepemimpinan ini berpengaruh pada habitus organisasi yang bermuara pada kinerja tinggi karyawan.


(21)

4

Gaya kepemimpinan ini mengarahkan pada pembangunan refleksi yang berdampak pada kesadaran diri sebagai manusia seutuhnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari kelompok. Secara organisatoris, gaya kepemimpinan spiritual mengembangkan pemberdayaan individu dan tim yang pada akhirnya membangun produktivitas karyawan. Fry (2003) mengungkapkan tiga karakteristik kepemimpinan spiritual, yakni keyakinan/ harapan pencapaian tujuan (faith/ hope), pemahaman visi (vision), cinta altruistik (altruistic love). Dengan demikian, kepemimpinan, secara spesifik kepemimpinan spiritual memengaruhi organisasi dalam membangun kinerja tinggi para karyawannya yang mana Komunitas ASEAN menjadi wilayahnya.

Kesiapan masuk dalam Komunitas ASEAN juga harus dilakukan oleh P.T. Kanisius, sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang penerbitan dan percetakan. Organisasi ini didirikan pada 26 Januari 1922 di Yogyakarta. Organisasi ini pada awal berdirinya diberi nama Canisius Drukkerij dan dikukuhkan sebagai sebuah karya misi. Organisasi ini membantu menyediakan buku-buku pelajaran bagi sekolah kaum pribumi serta buku-buku doa bagi Gereja Katolik di Indonesia. Pada 1928, Canisius Drukkerij mencetak beberapa majalah pergerakan, seperti Tamtama Dalem dan Swaratama yang memberi kontribusi penting dalam perjuangan kaum muda di Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Di awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia memercayai Kanisius untuk mencetak ORI, Oeang Repoeblik Indonesia. Itulah pertama kalinya ORI dicetak dan diedarkan sebagai alat perjuangan mempertahankan kemerdekaan setelah proklamasi 17 Agustus 1945.


(22)

5

Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia, Indonesia memasuki era baru: "Proses Indonesianisasi". Pada era ini, Kanisius memberikan kontribusi dalam proses Indonesianisasi dengan menerbitkan buku-buku pelajaran berbahasa Indonesia. Pada pertengahan 1990-an, Kanisius memperluas bidang layanan hingga ke jenis produk majalah dan multimedia dengan tetap berkomitmen untuk menghadirkan produk-produk yang diharapkan mampu memberikan pencerahan dan memberdayakan manusia, membangkitkan sensititivitas manusia terhadap kondisi di sekitarnya. Memasuki usia 92 tahun, Kanisius yang selama ini berdiri sebagai lembaga nonprofit milik Yayasan Kanisius, mengubah badan hukumnya untuk kemudian berdiri sebagai Perseroan Terbatas (P.T.).

Sejak awal didirikan sebagai Canisius Drukkerij sampai pada bentuk sebagai Perseroan Terbatas (P.T.), Kanisius menjadikan spiritualitas sebagai

patron. Baik sejak kepemimpinan dipegang oleh para misionaris FIC, Yesuit, maupun awam, spiritualitas tidak dilepaskan dari diri Kanisius sebagai lembaga karya yang didirikan dalam rangka mendukung Gereja dan pendidikan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Ibu Mg. Sulistyorini, wakil direktur P.T. Kanisius. Menurut Ibu Mg. Sulistyorini sejak bekerja di Kanisius, beliau merasakan spiritualitas begitu kuat mewarnai. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari jati diri Kanisius. Dalam setiap gerak langkah dan strategi yang dietapkan, harus didasarkan pada spiritualitas Ignasian. Hal itu juga dimasukkan secara eksplisit dalam nilai-nilai yang menjadi dasar mewujudkan visi-misi perusahaan.


(23)

6

Spiritualitas yang dihidupi di Kanisius memungkinkan karyawan merasa nyaman dalam bekerja. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bapak Iman, staf artistik redaksi. Bapak Iman mengungkapkan bahwa kurang dua tahun lagi pensiun. Selama bekerja di Kanisius, Bapak Iman merasa nyaman, merasa dikembangkan, merasa dihargai. Gaji yang diterima memang tidak besar, tapi sudah lebih dari cukup. Bagi Bapak Iman, yang penting adalah nyaman dalam bekerja. Menurut Bapak Iman, gaji besar tapi tidak nyaman tidak ada artinya.

Spiritualitas yang dihidupi di Kanisius memungkinkan karyawan merasa diterima dan didukung. Hal ini seperti dikatakan Melania Ayu, staf Sekretariat Perusahaan. Melania Ayu senang bekerja di Kanisius karena ia merasa diterima dan didukung oleh teman-teman. Berbeda dengan tempat kerjanya yang dulu yang tidak ada suasana kekeluargaan.

Menurut Fry (2003), kepemimpinan spiritual adalah salah satu gaya kepemimpinan yang menyempurnakan gagasan-gagasan kepemimpinan sebelumnya. Selama ini, gaya kepemimpinan cenderung berorientasi pada standarisasi, formalisasi, dan sentralisasi yang nota bene relatif tidak cukup jika harus mengantisipasi perubahan. Selain itu, juga tidak mendukung manusia yang bekerja untuk mendapatkan makna hidupnya karena cenderung berjalan mengikuti rutinitas. Dampak akhirnya, manusia yang bekerja tersebut mencari atau melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan status, bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan menemukan makna hidup di dalam dan melalui pekerjaannya. Dalam konteks ini, arus kuat filsafat


(24)

7

materialisme yang digagas Karl Marx terkait homo faber mendapatkan tempatnya.

Palmer (2007) (dikutip dalam Dudung, 2011) menegaskan bahwa teori kepemimpinan spiritual telah menjadi bagian dalam kajian ilmu manajemen. Teori kepemimpinan spiritual ini meramu konsep kepemimpinan dan konsep spiritualitas. Peramuan ini tidak pernah bermaksud mengingkari atau bahkan menolak gaya-gaya kepemimpinan yang selama ini sudah lazim dipraksiskan, misalnya gaya kepemimpinan transformasional atau kepemimpinan transaksional.

Fry (2003) menekankan bahwa gaya kepemimpinan spiritual hendak menyempurnakan gaya kepemimpinan lain dengan memasukkan komponen spiritual. Fry (2003) berpendapat bahwa kepemimpinan spiritual merupakan kepemimpinan yang mengajak orang untuk membangun motivasi dengan memahami hidupnya yang berdimensi spiritual. Menurut Fry (2003), gaya kepemimpinan yang ada selama ini cenderung memberi perhatian hanya pada aspek fisik, mental, dan interaksi antarmanusia dalam organisasi. Thompson (2000) menegaskan bahwa perhatian yang berlebih pada aspek fisik, mental, dan interaksi antarmanusia akan berimbas pada diabaikannya aspek-aspek spiritual dalam kepemimpinan.

Fry (2003), Lok dan Crawford (2004) (dikutip dalam Yusof et al, 2011) mengungkapkan bahwa penelitian terkait dampak atau pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan dan bagaimana perilaku


(25)

8

kepemimpinan memengaruhi karyawan untuk meningkatkan hasil organisasi sudah banyak dilakukan. Namun, Chen et all (2011) (dikutip dalam Yusof et al, 2011) mengungkapkan bahwa sedikit sekali penelitian tentang dampak atau pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap kinerja karyawan.

Gaya kepemimpinan spiritual yang dipraksiskan menurut hasil penelitian Aydin dan Ceylan (2009) mempunyai hubungan positif dengan

learning organization. Learning organization memegang peranan penting, vital, dan strategis dalam meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi secara keseluruhan. Dari pemikiran-pemikiran tersebut dapat dipahami bahwa learning organization adalah faktor signifikan bagi kesuksesan organisasi. Learning organization akan membawa organisasi pada keunggulan kompetitif. Habitus belajar terus-menerus yang dibangun anggota-anggota organisasi akan berdampak kuat pada perkembangan organisasi secara keseluruhan. Dalam

learning organization, masing-masing pribadi mengembangkan kapasitas mereka secara terus-menerus untuk menciptakan hasil yang diinginkan, yang mana pola pikir yang luas dan baru dipelihara, yang mana aspirasi kolektif diakomodasi, yang mana seluruh anggota organisasi belajar tanpa henti untuk melihat segala hal secara bersama-sama. Learning organization dapat dipandang sebagai organisasi yang dapat membangun dan mengembangkan kapasitas pribadi, pola pikir, cita-cita bersama, dan belajar berkelanjutan untuk mengubah organisasi sehingga mampu mencapai hasil yang memiliki daya saing tinggi.


(26)

9

Dalam learning organization, potensi masing-masing anggota sungguh diperhatikan. Mereka berkesempatan untuk berkembang sehingga tujuan bersama dapat dicapai dengan pola kepemimpinan yang adaptif dan efektif. Kapasitas masing-masing pribadi yang mampu mengonstruksi sistem belajar berkelanjutan dalam rangka mengubah dan mengadaptasi organisasi sesuai dengan kondisi lingkungan yang sedang berubah sungguh diperhatikan. Di Kanisius sendiri, hal ini cukup kuat dirasakan oleh karyawan-karyawannya. Dalam perjalanan sejarah, para pemimpin Kanisius selalu memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri, baik dalam sektor informal maupun formal.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap

learning organization dan kinerja karyawan pada P.T. Kanisius”.

B. Perumusan Masalah

Kepemimpinan spiritual melalui visi, keyakinan/ harapan, dan cinta altruistik menjadi pijakan kuat untuk menumbuhkan motivasi internal setiap pribadi yang berdampak pada terbangunnya motivasi kelompok/ organisasi. Menurut Deci dan Ryan (2000) (dikutip dalam Yusof et al, 2011), gaya kepemimpinan ini memungkinkan perjumpaan antara pembangunan kualitas diri dan keterhubungan antarpribadi dalam kelompok.

Kepemimpinan spiritual, semata-mata bukanlah tentang kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin saja, di dalamnya melibatkan pula kemampuan


(27)

10

untuk membantu melakukan refleksi atas hidup dengan menjunjung nilai-nilai humanisme-etis, baik per se pribadi maupun orang lain. Kekhasan kepemimpinan yang disertai dengan spiritualitas inilah yang membuat penulis ingin mengungkap lebih jauh gaya kepemimpinan spiritual di P.T. Kanisius, dan bagaimana gaya kepemimpinan itu berdampak pada learning organization serta pada akhirnya berdampak pada kinerja karyawan. Secara spesifik, penelitian ini didasarkan pada pertanyaan:

a. Bagaimana kepemimpinan spiritual berpengaruh terhadap

learning organization pada P.T. Kanisius?

b. Bagaimana learning organization berpengaruh terhadap kinerja karyawan pada P.T. Kanisius?

c. Bagaimana learning organization berpengaruh pada hubungan kepemimpinan spiritual terhadap kinerja karyawan pada P.T. Kanisius?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kepemimpinan spiritual yang dihidupi P.T. Kanisius, organisasi yang bergerak dalam misi-bisnis penerbitan dan percetakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis:

a. Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap learning organization


(28)

11

b. Pengaruh learning organization terhadap kinerja karyawan pada P.T. Kanisius.

c. Pengaruh learning organization pada hubungan kepemimpinan spiritual terhadap kinerja karyawan pada P.T. Kanisius.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai kepemimpinan spiritual pada lembaga misi-bisnis ini diharapkan sebagai bentuk penerapan dan pengembangan gaya kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan lembaga, baik untuk saat ini maupun masa mendatang. Hasil penelitian ini diharapkan:

a. Menjadi masukan dan informasi bagi manajemen P.T. Kanisius dalam mengimplementasi gaya kepemimpinan spiritual sehingga mengembangkan learning organization yang bermuara pada kinerja tinggi karyawan. Secara spesifik, hasil penelitian ini bisa digunakan oleh manajer personalia untuk merancang program-program kerja terkait rencana pengembangan karyawan. Selain itu juga bisa diimplementasikan pada poin-poin dalam penilaian kinerja karyawan.

b. Memperkaya wawasan penerapan teori-teori sumber daya manusia dan manajemen, khususnya kepemimpinan spiritual.

c. Berguna sebagai bahan penelitian lanjutan dengan objek penelitian yang sama serta dapat menjadi tambahan bahan bacaan


(29)

12

dan acuan pustaka, yang dapat memberi masukan bagi pihak-pihak yang berminat terhadap topik ini.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan fokus seputar kepemimpinan spiritual dalam membangun keunggulan kompetitif yang ditandai dengan kinerja tinggi karyawan. Kinerja tersebut terbangun dari pengembangan learning organization

yang mempunyai dasar kuat pada gaya kepemimpinan spiritual. Untuk menegaskan pokok persoalan, dikemukakan ruang lingkup dari penelitian ini. Adapun ruang lingkup penelitian ini terbatas pada pengaruh kepemimpinan spiritual yang digagas oleh Fry (2003) terhadap learning organization yang berdampak pada kinerja karyawan pada P.T. Kanisius. Terkait learning organization, penulis tidak membahas variabel ini lebih dalam seturut kaidah-kaidah statistik. Penulis, dalam penelitian ini, sebatas menunjukkan pengaruh

learning organization pada hubungan kepemimpinan spiritual dan kinerja karyawan.


(30)

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu selalu berubah dan kita juga ikut berubah di dalamnya). Pepatah kuno ini kiranya selalu relevan melintasi waktu. Pada saat ini, zaman kita memasuki abad ke-21 dan wilayah regional ASEAN memasuki destinasi baru sebagai Komunitas ASEAN. Dalam abad yang penuh tantangan ini, organisasi-organisasi yang tidak berubah dan adaptif seturut tuntutan zaman akan habis terkikis. Nilai-nilai seperti profesionalisme, kreativitas, inovasi, dan sikap antisipatif menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan.

Shelly dan David (2007) dalam jurnalnya Social Capital and Leadership Development Building Stronger Leadership Through Enhanced

Relational Skills menyebutkan bahwa komplekitas, perubahan internal organisasi serta lingkungan eksternal yang dinamis, menuntut kemampuan dalam mengaplikasikan gaya kepemimpinan yang relevan dan signifikan. Signifikansi gaya kepemimpinan ini berdampak pada kepemimpinan efektif yang membentuk dan membangun karakteristik organisasi.

Kepemimpinan efektif semata-mata tidak menunjuk pada kemampuan dan keterampilan untuk menggulirkan organisasi, pengetahuan yang luas, tetapi terkait pula kemampuan relasional untuk berjejaring dan bermitra demi mewujudkan visi dan tujuan bersama. Pembangunan dan pemeliharaan relasi,


(31)

14

penciptaan suasana dan iklim yang membangun kepercayaan serta saling mendukung menjadi elemen penting yang perlu dikembangkan terus-menerus untuk mencapai kesuksesan organisasi.

Gaya kepemimpinan yang efektif dan adaptif memungkinkan organisasi berkembang secara optimal, meraih peluang-peluang yang muncul, serta mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan, baik sebagai konsep maupun praksis telah banyak menjadi sumber penelitian dan mendapatkan tempat dalam pustaka manajemen. Mencapai definisi tunggal dan pasti terkait kepemimpinan menjadi keniscayaan yang tidak akan terjadi. Bukan perkara mudah mencapai kata sepakat dan konsensus dari para ahli kepemimpinan. Namun demikian, Yukl (2006) mengungkapkan bahwa ada benang merah yang menghubungkan, yakni bahwa kepemimpinan melibatkan proses pengaruh sosial yang mana pengaruh yang disengaja digunakan oleh satu orang (atau kelompok) atas orang lain (atau kelompok lain) untuk menyusun aktivitas dan hubungan dalam satu kelompok atau organisasi.

Perubahan, baik dalam sisi internal maupun lingkungan eksternal, menuntut gaya kepemimpinan yang mampu membawa organisasi pada tujuan baru dengan strategi pencapaian yang sesuai. Kepemimpinan memegang peranan penting dalam mengembangkan gagasan yang berdampak pada perubahan. Semakin adaptif gaya kepemimpinan terhadap kondisi organisasi, semakin efektif gaya kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan yang efektif berdampak signifikan terhadap bergulirnya proses perubahan.


(32)

15

A. Teori-Teori Kepemimpinan

Kepemimpinan selalu berkait erat setidaknya dengan penentuan arah yang dilaksanakan dengan menyusun visi sampai dengan implementasi dan evaluasi strateginya, praksis pengelolaan perubahan, penyatuan segala aspek, pengomunikasian gagasan yang memengaruhi/ menginspirasi seluruh organisasi untuk secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Pavlop et al (2001) (dikutip dalam Yukl 2006), kepemimpinan memegang peran krusial dalam pelaksanaan perubahan. Kepemimpinan terkait dua aspek penting, yaitu perubahan dan perilaku manusianya sehingga dalam proses perubahan, peran kepemimpinan tidak bisa dilepaskan. Kepemimpinan yang efektif membantu mengintegrasikan nilai-nilai baru dan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih relevan yang dibutuhkan.

Dalam pustaka tentang kepemimpinan, ada banyak ragam teori kepemimpinan yang telah dikembangkan oleh para ahli. Kajian teoritis tersebut menjadi landasan dan acuan bagi penelitian-penelitian berikutnya. Menurut Sandiasa (2013), kajian tentang teori perilaku yang dikemukakan oleh teori X dan Y, Studi Ohio State (1945) dan Universitas Michigan, Manajemen Grid dan Likert dimasukkan dalam kategori penelitian awal tentang kepemimpinan. Kemudian, dikembangkan pula teori situasi oleh Bennis (1981), kepemimpinan karismatik oleh Conger dan Kanungo (1988), teori kepemimpinan kontemporer yang terbagi menjadi teori transaksional yang dikembangkan Burn (1978), kepemimpinan transformasional yang dikembangkan Bass (1985), dan kepemimpinan visioner yang dikembangkan Pinto et al (1998). Kajian penelitian


(33)

16

yang dilakukan Davis (1993), Hersey dan Blankart (1998) menginspirasi kemunculan teori sifat dan teori situasional.

Kajian terbaru teori kepemimpinan diungkapkan oleh Suryadi. Dalam tulisannya, Suryadi (2010) mengklasifikasikan teori kepemimpinan menjadi empat, yaitu: 1) teori sifat, 2) teori perilaku, 3) teori situasional, 4) teori kontemporer, yang terdiri terdiri dari: kepemimpinan visioner, kepemimpinan transaksional, dan kepemimpinan transformasional.

1. Teori Sifat

Bolden dan Wart (2003) (dikutip dalam Suryadi, 2010) mengungkapkan bahwa terdapat ragam sifat atau kualitas yang berelasi dengan kepemimpinan. Sifat atau kualitas ini ada dalam diri manusia. Ragam sifat ini tidak bisa per se

berdiri sendiri tanpa hubungan korelasional, yang dalam konteks ini secara spesifik terkait dengan kepemimpinan. Sifat atau kualitas yang melekat ini memengaruhi gaya kepemimpinan yang dikembangkan, misalnya kesalehan, kejujuran, integritas, integralitas, kemampuan memengaruhi, keterampilan berkomunikasi.

Terkait dengan teori sifat, Suryadi (2010) mengemukakan bahwa pendekatan sifat merupakan pendekatan paling tua dalam studi tentang kepemimpinan. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa sifat atau kualitas tertentu akan menjadikan seseorang sebagai pemimpin yang baik dibandingkan dengan lainnya. Kualitas dari dalam diri itu juga berpengaruh kuat, bahkan menentukan sifat-sifat kepemimpinan. Suryadi (2010) menyebutkan bahwa


(34)

17

kualitas pemimpin meliputi kemampuan, pengalaman kerja, motivasi, dan kepribadian, sedangkan penelitian Lord dan Alinger (1986) (dikutip dalam Suryadi 2010) mengemukakan sifat-sifat kepemimpinan, yaitu: kecerdasan, agresivitas, ketegasan, dan dominasi terhadap yang lain.

2. Teori Perilaku

Teori ini tidak lagi merujuk pada penerapan kualitas pribadi, alih-alih pada tindakan kepemimpinan yang sungguh-sungguh dilakukan. Menurut Bolden et al (2003) (dikutip dalam Suryadi 2010), penelitian ini berangkat dari pengamatan terhadap ragam perilaku berbeda yang kemudian dikategorikan sebagai “gaya kepemimpinan”. Penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi, mendeskripsi, memahami, dan mengevaluasi perilaku orang-orang yang menjalankan kepemimpinan.

3. Teori Situasional

Menurut Suryadi (2010), pendekatan ini melihat kepemimpinan sebagai tindakan khusus terkait dengan situasi atau keadaan lingkungan. Sebagai contoh, dalam kondisi dan situasi tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan otoriter, sementara pada tempat dan waktu yang berbeda dibutuhkan gaya kepemimpinan yang demokratis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam satu organisasi dapat dimungkinkan penerapan gaya kepemimpinan yang berbeda. Pada departemen atau divisi tertentu, mungkin dibutuhkan gaya kepemimpinan partisipatif, namun pada departemen atau divisi lainnya dituntut pemberlakuan gaya kepemimpinan otoriter.


(35)

18

4. Teori Kontemporer

“Kontemporer” memiliki akar kata dalam bahasa Latin, “con” dan “tempus”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai: dengan waktu, bergulir bersama waktu, dewasa ini, kekinian. Menurut Suryadi (2010), teori kepemimpinan kontemporer terdiri dari tiga teori, yakni: a) teori kepemimpinan visioner, b) teori kepemimpinan transaksional, dan c) teori kepemimpinan transformasional.

a. Teori kepemimpinan visioner

Dalam penelitian Thom (1994) (dikutip dalam Sandiasa 2013), ditunjukkan bahwa beberapa manusia cenderung berfokus pada masa lalu, beberapa lagi berfokus pada masa sekarang, dan yang lain, berfokus pada masa depan. Fokus ini bermanifestasi dalam persepsi tentang diri. Sebagai contoh diri yang berfokus pada masa lalu akan mengontemplasikan diri di masa lalu, menghadirkan kembali pengalaman-pengalaman baik di masa lalu. Adapun pemimpin yang berfokus pada masa depan adalah tipe pemimpin visioner.

b. Teori kepemimpinan transaksional

Teori ini menggunakan pendekatan saling menguntungkan, yang dilandaskan pada prinsip do ut des, melakukan untuk mendapatkan sesuatu. Sebagai contoh pemimpin yang


(36)

19

memberikan penghargaan atau pengakuan sebagai imbalan atas komitmen atau kesetiaan mereka yang dipimpin. Berdasarkan penelitian Antonakis, Avolio, dan Sivasubramaniam (2003) (dikutip dalam Mahmood dan Muhammad, 2010), kepemimpinan transaksional adalah proses pertukaran yang didasarkan pada pemenuhan kewajiban kontrak, dan biasanya direpresentasikan sebagai penetapan tujuan dari hasil pemantauan dan pengendalian.

c. Teori kepemimpinan transformasional

Gagasan utama dalam teori ini, menurut Suryadi (2010), adalah perubahan dan peran kepemimpinan dalam melaksanakan transformasi organisasi. Titik timbangnya ada pada diri pemimpin yang membuat perubahan dalam struktur, proses internal, dan atau habitus perusahaan. Pemimpin memiliki visi yang menarik, wawasan teknis yang cerdas, dan atau kualitas diri yang karismatis.

5. Teori Modern

Dari ragam teori kepemimpinan, terbangun pula paradigma baru kepemimpinan modern yang digagas Bambale (2011). Menurut Bambale (2011), paradigma kepemimpinan modern muncul dari penelusuran Organizational Citizenship Behaviors (OCB), yakni perilaku yang tidak secara langsung atau eksplisit dapat dikenali dalam suatu sistem kerja yang formal, dan yang secara signifikan mampu meningkatkan efektivitas fungsi organisasi. Berdasarkan


(37)

20

penelusuran tersebut, menurut Bambale (2011), kepemimpinan modern dibedakan menjadi delapan gaya kepemimpinan, yakni: a) adaptive leadership, b) dispersed leadership, c) authentic leadership, d) respectful leadership, e)

spiritual leadership, f) transcendent leadership, g) level five leadership, h) open leadership.

a. Adaptive leadership. Gaya kepemimpinan ini melibatkan para pemimpin dalam menyusun visi dan mengilhami yang dipimpin sehingga mau menerima perubahan serta berlibat dalam perjalanan ke depan. Semua anggota dituntut untuk menjadi kompeten di bidangnya, objektif dalam menangani keputusan dan masalah, mawas diri dalam melihat sikap dan perilaku sendiri, dapat dipercaya dalam menangani kepentingan lain, inovatif dalam bekerja, berpikiran terbuka dalam mempertimbangkan informasi yang relevan (Gordon, 2002 dikutip dalam Wildan, 2015).

b. Dispersed leadership. Gaya ini menggagas tentang pembagian kekuasaan antara pemimpin dan pengikut (Gordon, 2002 dikutip dalam Wildan, 2015). Dalam penelitian lain, digunakan istilah berbeda antara lain “kepemimpinan super” (Kirkman dan Rosen, 1999; Uhl-Bien dan Graen, 1998; Kouzes dan Posner, 1993; Bono dan Hakim, 2003 dikutip dalam Wildan, 2015), “kepemimpinan terdistribusi” (Senge, 1999 dikutip dalam Wildan, 2015),


(38)

21

“kepemimpinan pemberdayaan” (Srivastava, Bartol dan Locke, 2006 dikutip dalam Wildan, 2015), dan “kepemimpinan bersama” (Pearce, Manz dan Sims, Jr., 2002 dikutip dalam Wildan, 2015). Kepemimpinan ini memiliki ciri intuitif dalam menimbang pengetahuan dan pengalaman; memiliki karakter humanis-etis; memiliki inisiatif dan bersedia untuk mengambil tindakan; serta memiliki keberanian untuk memegang prinsip.

c. Authentic leadership. Gaya kepemimpinan ini memberikan tekanan pada autentisitas, keaslian pribadi pemimpin. Autentisitas ini terkait dengan ragam sikap, pemikiran, dan pemahaman yang seimbang antara diri sendiri dan orang lain. Gaya kepemimpinan autentik membangkitkan kepercayaan dari yang dipimpin (Avolio, Luthans, dan Walumba, 2004 dikutip dalam Sandiasa, 2013).

d. Respectfull leadership. Menurut Quaquebeke dan Eckloff (2010) (dikutip dalam Sandiasa 2013), gaya kepemimpinan ini mengidentifikasi aspek perilaku atau sikap pemimpin yang dipersepsi oleh mereka yang dipimpin. Semakin sesuai sikap pemimpin terhadap nilai-nilai humanis-etis universal, semakin besar rasa hormat dari yang dipimpin.

e. Spiritual leadership. Para peneliti mulai mengeksplorasi spiritualitas di tempat kerja dan kepemimpinan spiritual setelah beberapa dekade mengisolasi spiritualitas sebagai wilayah ide


(39)

22

esoteris, tidak berwujud. Dalam hal ini, pribadi yang berada dalam posisi pemimpin mendorong setiap orang untuk menemukan makna hidup dan mengintegrasikan dimensi spiritual dalam tindakan sehari-hari (Gordon, 2002 dikutip dalam Wildan, 2015).

f. Transcendent leadership. Menurut Waldman, Javidan, dan Varella (2004) (dikutip dalam Sandiasa 2013), seorang pemimpin transendental adalah pemimpin yang berpijak pada nilai-nilai humanis-etis universal, mampu memberdayakan mereka yang dipimpin, dan selalu membuka ruang dialog. Gaya kepemimpinan ini membangun kerangka revolusioner dalam melihat hubungan antarmanusia dalam organisasi.

g. Level five leadership. Gaya kepemimpinan ini menjadi paradigma kepemimpinan yang didasarkan pada gagasan bahwa setiap orang harus menjauhkan diri mereka dari kepentingan pribadi dan mengalokasikan energi dan ambisinya untuk membangun perusahaan. Namun demikian, tidak berarti bahwa orang tidak boleh memiliki kepentingan dan ambisi pribadi. Ambisi mereka harus besar, namun harus diarahkan untuk perusahaan dengan kerendahan hati sebagai dasarnya (Collins, 2001 dikutip dalam Sandiasa, 2013).

h. Open leadership. Gaya kepemimpinan ini hendak membangun hubungan terbuka dengan siapa saja yang berlibat dalam


(40)

23

organisasi, baik pihak internal maupun eksternal. Pelibatan semakin banyak pihak dalam berkolaborasi meningkatkan efisiensi dan komunikasi serta membantu dalam pengambilan keputusan yang baik bagi organisasi (Collins, 2001 dikutip dalam Sandiasa, 2013).

B. Kepemimpinan Spiritual

Analisis tentang kepemimpinan berawal dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an. Analisis ini berfokus pada perbedaan karakteristik antara pemimpin dan yang dipimpin. Selanjutnya, kajian kepemimpinan berfokus pada tingkah laku yang dilakukan oleh para pemimpin yang efektif. Setelah era itu, pada tahun 1970-an sampai 1980-an, ragam kajian tentang kepemimpinan kembali berfokus pada karakteristik para pemimpin yang memengaruhi efektivitas kepemimpinan dan kesuksesan organisasi.

Dalam perjalanan ilmu manajemen, munculnya nilai-nilai dalam diri karyawan mulai disadari pada akhir abad ke-20, yakni melalui studi yang dilakukan Peters dan Waterman (1982). Jika pada tahun-tahun sebelumnya penelitian tentang nilai-nilai dan makna dalam organisasi belum ada yang menemukan, Peters dan Waterman (1982) menemukan hal baru yang membuat karyawan berkehendak untuk mencurahkan seluruh daya upayanya. Hal baru yang ditemukan adalah nilai-nilai yang bersifat abstrak. Penelitian Peters dan Waterman (1982) ini menjadi penelitian pertama yang menemukan adanya sistem nilai dalam organisasi.


(41)

24

Penelitian Peters dan Waterman (1982) dilakukan ketika fenomena pencarian makna dalam hidup, sesuatu yang bermakna di balik pekerjaan, mulai berkembang karena ada kekosongan nilai dan kepercayaan dalam lingkungan kerja. Fenomena ini menjadi antitesis gagasan Marx terkait homo faber.

Ditengarai, fenomena ini dipicu kuat oleh terbitnya ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens pada tahun 1981, sebagai ulang tahun ke 90 Rerum Novarum, yang menekankan manusia sebagai subjek kerja.

Penelitian terkait adanya sistem nilai dalam organisasi diperdalam oleh Robert K. Greenleaf (2002) melalui buku yang berjudul Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness. Dalam buku ini, Greenleaf (2002) menjelaskan bahwa teori kepemimpinan transformasional memiliki karakteristik yang berbeda dengan teori servant leadership. Kepemimpinan transformasional memberi tekanan pada perubahan dan peran kepemimpinan dalam melaksanakan transformasi organisasi menuju perubahan dan pembangunan budaya organisasi yang dinamis. Servant leadership yang menekankan kepemimpinan bersama antara pemimpin dan yang dipimpin akan menciptakan budaya kerja yang bersifat spiritual.

Spiritualitas dalam organisasi semakin diakui sebagai hal yang vital ketika Mitroff dan Denton (1999) mendapatkan sesuatu yang bernilai dalam penelitiannya. Melalui hasil kajian yang berjudul A Spiritual Audit of Corporate America: A Hard Look at Spirituality, Religion, and Values in the Workplace,


(42)

25

lama menuju paradigma baru dalam organisasi. Organisasi mengalami pergeseran dari values based companies (perusahaan berdasarkan nilai) menuju

spiritualities based organization (organisasi berdasarkan spiritual). Pergeseran ini efektif berdampak pada seluruh karyawan saat mereka mencari sesuatu yang lebih dari pekerjaan, yakni makna, tujuan akhir, serta subjective well-being.

Arti penting spiritualitas ditegaskan dalam penelitian Fairholm (1996) yang memberikan bukti bahwa terdapat lebih dari 40 juta orang di Amerika Serikat yang sedang mencari suatu gaya hidup yang bernilai secara intrinsik dan diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Walaupun pekerjaan sangat penting bagi pemenuhan kesejahteraan ekonomi, namun diyakini bahwa hal itu belum seluruhnya memenuhi kebutuhan sebagai manusia. Dari pekerjaannya, manusia membutuhkan lebih dari sekadar kesejahteraan ekonomi. Manusia membutuhkan bentuk motivasi yang lebih bersifat intrinsik dengan menghadirkan spiritualitas dalam pekerjaannya. Kebutuhan akan hadirnya spiritualitas memunculkan kesadaran baru dalam kajian manajemen dan organisasi modern sekarang ini, yaitu pengakuan atas peran penting spiritualitas di tempat kerja dalam menciptakan kinerja organisasi yang unggul, baik pada level pribadi, tim, maupun organisasi secara keseluruhan.

Perhatian pada aspek spiritual dalam organisasi dan kepemimpinan telah dikemukakan dalam berbagai jurnal ilmiah sejak awal tahun 1990-an, misalnya oleh Neck dan Milliman (1994) dan Fairholm (1996), yang akar-akar pemikirannya sudah muncul jauh lebih awal lagi. Pada bidang psikologi


(43)

26

perhatian pada aspek spiritual dimulai sejak tahun 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya. Pada saat itu, kajian ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia.

Kurangnya perhatian para pakar organisasi terhadap dimensi spiritual dalam kehidupan organisasi pada masa lalu, menurut Korac-Kakabadze (1999), sebagian disebabkan oleh sikap akademik yang terlalu memfokuskan pada perilaku-perilaku yang lebih dapat diamati dan diukur secara mudah, daripada sesuatu yang elusif dan idiosyncratic. Munculnya minat yang besar terhadap dimensi spiritualitas dalam kajian manajemen dan organisasi disebabkan oleh sejumlah faktor pendorong, seperti tekanan-tekanan sosial yang semakin meningkat, perkembangan teknologi informasi yang hipercepat, globalisasi yang melahirkan fenomena borderless, bertambahnya populasi, serta tuntutan perubahan lingkungan dan instanisasi pangan.

Faktor pendorong lain adalah berkembangnya posmodernisme sebagai suatu aliran filsafat. Menurut Sugiharto (1996), pada milenium ketiga ini, berbagai sikap kritis atas pola pikir dan mentalitas modernisme berkembang pesat. Posmodernisme mempertanyakan ulang secara kritis konsep-konsep utama meliputi rasionalitas, kebenaran, bahasa, manusia, dan spiritualitas. Kritik terhadap konsep-konsep tersebut telah mengubah sedemikian rupa konstelasi realitas kognitif sehingga menjadi sama sekali baru dengan menawarkan ragam kemungkinan. Posmodernisme mematahkan asumsi-asumsi filosofis dan


(44)

27

mempertanyakan klaim-klaim yang dianut modernisme yang sering dikenal sebagai “jatuhnya narasi-narasi besar”.

Dalam memandang konsep spiritualitas, posmodernisme merayakan bangkitnya agama dalam kehidupan manusia sebagai spiritualitas daripada sebagai institusi; sebagai religiositas (keberagamaan) daripada sebagai religi (sebagai nama agama). Gagasan ini muncul dari jejak kedua dekonstruksi Derrida yang dikenal dengan “agama tanpa agama”. Gagasan Derrida muncul dari penghayatan akan yang-tak-mungkin. Derida menemukan hasrat yang “lain”, hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma, sebuah kerinduan spiritual yang tidak terbahasakan terhadap Yang Tremendum dan Fascinosum.

Terkait hal ini, Sugiharto (1996) menjelaskan dengan lebih mudah pandangan tersebut:

Secara umum muncul kesadaran bahwa inti kehidupan sebenarnya memang “ruh” (atau spirit), namun “ruh” ini jauh lebih luas daripada yang dibayangkan oleh agama-agama. Dalam bahasa masa kini, ruh adalah energi, inteligensi kosmik, “self”, kepekaan atas arti hidup, kuantum, dsb. Segala bentuk material adalah manifestasi saja dari “ruh” macam itu. Dan, tuhan bukanlah sesuatu yang personal, melainkan totalitas segala energi, baik yang berada di alam semesta maupun yang ada dalam diri kita.

Spiritualitas tidak pernah an sich. Ia berbicara tentang interaksi jiwa-badan manusia pada dunia di luar dirinya. Spiritual menjadi bentuk tanggapan yang memengaruhi perilaku manusia di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Spiritualitas membangun karakter diri yang memengaruhi gaya kepemimpinan yang dijalankan. Kepemimpinan yang berbasis spiritualitas bukanlah tentang


(45)

28

kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin belaka, namun terkait dengan buah-buah refleksi yang mengintegrasikan visi pribadi ke dalam visi bersama dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, integritas, kredibilitas, kebijaksanaan, dan belas kasih. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang mengedepankan subjective well-being. Dalam perspektif spiritual, fungsi kepemimpinan dalam organisasi diletakkan sebagai bagian dari sarana untuk mewujudkan kebaikan dan reformasi dalam segala bidang kehidupan.

Semakin tinggi spiritualitas seseorang, semakin kuat ia menerapkan gaya kepemimpinan spiritual. Hal ini dibuktikan oleh Percy (2003). Dalam penelitian yang berjudul Going Deep: Exploring Spirituality in Life and Leadership, Percy (2003) menyimpulkan bahwa para direktur dan CEO yang efektif memiliki spiritualitas yang tinggi dan menerapkan gaya kepemimpinan spiritual dalam memimpin organisasi. Pemimpin yang spiritualis akan mengintegrasikan spiritualitas dalam seluruh aspek kehidupannya.

Semakin menguatnya dimensi spiritual dalam kepemimpinan dan organisasi dinyatakan oleh Fry (2003) dalam tulisannya, Toward a Theory of Spiritual Leadership. Tulisan Fry (2003) ini didukung dengan maraknya penerbitan buku-buku teks kepemimpinan yang mengupas tentang kepemimpinan dan budaya organisasi, kepemimpinan yang didasarkan pada misi dan nilai-nilai, serta ragam artikel tentang spiritualitas di tempat kerja yang dimuat dalam jurnal-jurnal bisnis/ manajemen.


(46)

29

Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa pengembangan spiritualitas di tempat kerja berpengaruh positif terhadap sikap dan perilaku kerja karyawan-karyawannya, misalnya menyangkut kehendak untuk mengembangkan diri, kepuasan kerja, komitmen, motivasi, keberlibatan dalam kerja, inovasi, dan produktivitas. Hal-hal tersebut sangat penting bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.

Gaya kepemimpinan sebelumnya, menurut Fry (2003), tidak cukup mampu mengantisipasi perubahan-perubahan dari lingkungan dan tidak mendukung kebermaknaan hidup. Banyak orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan status, bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan menemukan makna hidup melalui pekerjaannya. Gaya kepemimpinan spiritual dicetuskan untuk membantu karyawan menemukan makna. Kepemimpinan spiritual memungkinkan semua pihak terkait untuk merefleksikan diri, menemukan makna, bersikap dan berperilaku, memotivasi, baik diri sendiri maupun orang lain secara intrinsik sehingga memberi pengaruh baik bagi perkembangan organisasi secara keseluruhan, baik internal organisasi maupun lingkungan di luar organisasi.

Konsep kepemimpinan spiritual muncul sebagai kelanjutan dari teori kepemimpinan transformasional yang bertujuan untuk mengembangkan organisasi secara keseluruhan. Kepemimpinan spiritual yang meramu antara keyakinan/ harapan, visi, dan cinta altruistik menggali kebutuhan dasar dari pemimpin dan bawahannya untuk pemenuhan sisi spiritual. Walaupun dalam


(47)

30

kepemimpinan spiritual peranan semua orang sangat menentukan, dalam implementasinya tetap saja seorang pemimpin mempunyai peranan yang lebih dalam membangkitkan spiritualitas. Dampaknya, yang dipimpin menjadi lebih terorganisir, semakin mau mengembangkan diri dan produktif.

Kepemimpinan spiritual menjadi paradigma baru yang muncul ketika manusia ditantang untuk memahami diri, bersama siapa, dan akan menjadi apa. Pemahaman reflektif ini terimplementasi dalam pembangkitan dorongan intrinsik (motivasi) diri sendiri dan sesama (kelompok) untuk “menjadi”, mewujudkan visi. Fry (2003) merumuskan unsur-unsur dalam kepemimpinan spiritual sebagai berikut:

a. Faith/ hope (keyakinan/ harapan)

Harapan adalah pemenuhan akan keinginan pada masa mendatang. Harapan didasarkan pada keyakinan, yakni sikap yang ditunjukkan saat merasa cukup tahu dan menyimpulkan telah mencapai kebenaran. Per se keyakinan mensyaratkan adanya pengenalan yang kuat terhadap diri sendiri yang dimunculkan, kadang tidak eksplisit, dalam pertanyaan, “Siapa (aku)?” Memahami yang di luar diri sampai pada pengenalan akan diri membangun keyakinan semakin kuat. Harapan yang dilandaskan pada keyakinan kuat membangkitkan motivasi untuk membangun visi. Harapan akan semakin besar dengan adanya perhatian, dukungan, empati dari liyan. Dalam konteks organisasi, karyawan


(48)

31

yang memiliki harapan tinggi demi tercapainya tujuan organisasi akan memiliki motivasi kuat untuk bekerja.

b. Vision (visi)

Visi (videre, Latin) berarti melihat ke depan; merujuk pada gambaran pada masa depan. Dalam hal ini, visi muncul dari pertanyaan dasar, “Akan menjadi apa (aku)?” Pertanyaan “Akan menjadi apa?” tidak bisa an sich, namun selalu dilekatkan dalam konteks tertentu. Visi akan mengakomodasi semua kemungkinan perubahan yang akan terjadi dengan berkolerasi dengan cinta altruistik.

c. Altruistic love (cinta altruistik)

Cinta altruistik dipahami sebagai perasaan harmonis kepada sesama yang diwujudkan dalam kepedulian, empati, apresiasi. Sesama, dalam konteks ini adalah segala ada di luar diri tempat terciptanya kesalingan. Tercipta hubungan emosional kuat yang merupakan esensi dari memberi dan menerima. Cinta altruistik mendefinisikan asumsi, pemahaman, kebenaran yang dibagikan antarpribadi dan ditradisikan kepada pribadi (anggota) baru dalam kelompok. Pentradisian itu menguatkan dan atau menumbuhkan harapan-harapan baru yang berkolerasi dengan berintegrasinya visi pribadi dan visi bersama. Dalam hal ini, altruistik dipahami sebagai alter, liyan, yang lain, sesama; bukan dipahami dalam


(49)

32

konteks sifat mementingkan kepentingan orang lain, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri.

Gambar 2.1

Kerangka Kepemimpinan Spiritual Menurut Fry (Fry, 2003)

Mendukung gagasan Fry (2003), Tobroni, (2010) mendefinisikan kepemimpinan spiritual sebagai puncak gaya kepemimpinan karena berangkat dari paradigma manusia sebagai makhluk yang rasional, emosional, dan spiritual. Gaya kepemimpinan ini menyempurnakan gaya kepemimpinan yang dikembangkan sebelumnya, yakni kepemimpinan transaksional dan transformasional.

Menurut Tobroni, (2010) kepemimpinan spiritual terkait erat dengan etika religius yang mampu membentuk karakter, integritas, integralitas, dan keteladanan yang luar biasa. Kepemimpinan spiritual tidak terkait dengan


(50)

33

pangkat, kedudukan, jabatan, keturunan, kekuasaan dan kekayaan, juga tidak terkait dengan kekuatan gaib sebagaimana terkandung dalam istilah “tokoh spiritual” atau “penasihat spiritual”. Kepemimpinan spiritual terkait erat dengan kecerdasan spiritual, ketajaman intuisi. Kepemimpinan spiritual juga tidak bisa disamakan dengan yang serba esoteris (batin) yang dilawankan dengan yang serba eksoteris (lahir), melainkan berupaya membawa dan memberi nilai dan makna yang lahir menuju rumah batin (spiritual) atau memberi muatan spiritualitas dan kesucian terhadap segala yang profan.

Sebagai sebuah proses perkembangan gaya kepemimpinan, kepemimpinan spiritual berbeda dari gaya kepemimpinan yang lain. Dalam matra teori evolusi kepemimpinan modern, berikut ini disajikan perbedaan kepemimpinan transaksional, tranformasional, dan spiritual ditinjau dari hakikat kepemimpinan, fungsi kepemimpinan, etos kepemimpinan, sasaran tindakan kepemimpinan, pendekatan kepemimpinan, dalam memengaruhi yang dipimpin, cara memengaruhi, dan target kepemimpinan (Tobroni, 2010).


(51)

34 Tabel 2.1

Kepemimpinan Spiritual di Antara Gaya Kepemimpinan Lain

Uraian Kepemimpinan

Transaksional Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan Spiritual Hakikat kepemimpinan Fasilitas, kepercayaan manusia (bawahan)

Amanat dari sesama manusia

Ujian, amanat dari Alloh dan manusia Fungsi

kepemimpinan

Untuk membesarkan diri dan kelompoknya atas biaya orang lain melalui

kekuasaan Untuk memberdayakan pengikut dengan kekuasaan keahlian dan keteladanan Untuk memberdayakan dan mencerahkan iman dan hati nurani pengikut melalui jihad

(pengorbanan) dan amal saleh (altruistik) Etos

kepemimpinan

Mendedikasikan usahanya kepada

manusia untuk memperoleh imbalan /

posisi yang lebih

Mendedikasikan usahanya kepada sesama untuk kehidupan bersama

yang lebih baik

Mendedikasikan usahanya kepada Alloh dan sesama manusia (ibadah) tanpa pamrih apa pun Sasaran

tindakan kepemimpinan

Pikiran dan tindakan yang kasat mata

Pikiran dan hati nurani

Spiritualitas dan hati nurani Pendekatan

kepemimpinan

Posisi dan kekuasaan Kekuasaan, keahlian dan keteladanan

Hati nurani dan keteladanan Dalam memengaruhi yang dipimpin Kekuasaan, perintah, uang, sistem, mengembangkan interes, transaksional Kekuasaan keahlian dan kekuasaan referensi Keteladanan, mengilhami, membangkitkan, memberdayakan, memanusiakan Cara memengaruhi

Menaklukkan jiwa dan membangun kewibawaan melalui kekuasaan Memenangkan jiwa dan membangun karisma Memenangkan jiwa, membangkitkan iman Target kepemimpinan Membangun jaringan kekuasaan Membangun kebersamaan Membangun kasih, menebar kebajikan dan penyalur rahmat

Alloh Sumber: Tobroni (2010)


(52)

35

Konsep kepemimpinan spiritual yang digagas Tobroni memasukkan “faham” Islam karena latar belakang Tobroni (2010) sebagai pemeluk Islam. Hal ini tidak menjadi persoalan dalam memahami kepemimpinan spiritual. Hal ini juga menjadi penguat bahwa spiritualitas tidak pernah an sich, yang dalam gagasan Tobroni berkorelasi dengan Islam.

Ada ragam pemahaman dari para peneliti terkait spiritualitas. Schuster (1997) menyatakan bahwa spiritualitas adalah kesediaan dan kemampuan untuk menggali makna dari kenyataan hidup. Stamp (1997) (dikutip dalam Korac-Kakabadze et al, 1999) mendefinisikan spiritualitas sebagaikesadaran dalam diri yang muncul sebagai rasa keterhubungan diri dengan yang lain dan dunia. Gibbons (2000) mendefinisikan spiritualitas sebagai pencarian arah, makna, keutuhan dalam relasi dengan orang lain, baik untuk seluruh ciptaan maupun sang Pencipta. Dari ragam definisi tersebut, tampak sejumlah konsep penting yang disepakati tentang spiritualitas, yaitu: pencarian arah, makna, refleksi, keterkaitan, keterhubungan, dan kesucian. Dari konsep-konsep tersebut, tidak ada satu pun yang menyebut agama sebagai entitas yang menjadi unsur dari spiritualitas.

Spiritualitas memang berbeda dengan agama, namun antara keduanya memiliki korelasi. Dalam konteks ini, spiritualitas bisa mempersatukan keragaman berbagai aspek ritual dari setiap agama. Berdasarkan pemikiran Harmer (2005) dalam jurnalnya How is a Spiritual Life, the Pinnacle of Well being Gained dibedakan secara tegas antara agama dan spiritualitas. Menurut


(53)

36

Harmer, spiritualitas lebih universal daripada agama, bahkan para peneliti menambahkan perbedaan, yang mana spiritualitas sama sekali tidak formal atau terorganisir dan terstruktur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa spiritualitas hadir, baik di “dalam” maupun di “luar” konteks agama. Spiritualitas tidak terbatas pada bidang agama saja sehingga implementasinya mencakup segala bidang dalam hidup manusia.

Keberbedaan agama dan spiritualitas dijelaskan secara baik oleh Dalai Lama (dikutip dalam Fry dan Matherly, 2003). Menurut Dalai Lama:

religion is concerned with faith in the claims of one faith tradition or another and is connected with systems of belief, ritual prayer, and related formalized practices and ideas. Spirituality, instead, is concerned with qualities of the human spirit including positive psychological concepts such as love and compassion, patience, tolerance, forgiveness, contentment, personal responsibility, and a sense of harmony with one’s environment.

Meskipun konsep spiritualitas berbeda dengan konsep tentang agama, namun kerangka kepemimpinan spiritual yang digagas Fry (2003) seperti tampak pada gambar 2.1 sesuai dengan kerangka beriman dalam teologi Katolik. Kesesuaian ini tampak pada gambar 2.2.


(54)

37 Gambar 2.2

Kerangka Beriman dalam Teologi Katolik

C. Learning Organization

Konsep learning organization yang mulai berkembang pada era 70-an, pada saat ini, menjadi topik yang menarik perhatian. Menurut Dodgson (1993), ada tiga alasan yang mendasarinya: 1) Perubahan lingkungan menuntut organisasi-organisasi untuk menyesuaikan diri dan membangun strategi baru. 2) Perubahan tersebut membawa ketidakpastian yang berimplikasi pada sikap organisasi untuk bersiap dengan mempelajari banyak hal. 3) Learning organization merupakan konsep dinamis yang menyebabkan perusahaan mengalami perubahan secara terus-menerus.

Learning organization memegang peranan penting, vital, dan strategis dalam meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi secara keseluruhan. Hal ini ditegaskan oleh Schwandt (1999) (dikutip dalam Carrell et al, 2005). Schwandt menyatakan:


(55)

38

learning organization is system of action, actors, symbols, and processes that enables an organization to transform information into valued knowledge, which in turn increase its long run adaptive capacity. Gagasan Schwandt tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Dale dan Daniel (2003). Mereka mengungkapkan bahwa learning organization

adalah kemampuan suatu organisasi untuk terus-menerus melakukan proses belajar (self learning) sehingga organisasi tersebut memiliki kecepatan berpikir dan bertindak dalam merespon beragam perubahan yang muncul.

Dalam tulisannya yang berjudul Key Leverage Points for Improving Competitive Performance, Nadler et al (1992) meyakini bahwa terdapat empat

critical success factors bagi organisasi untuk mampu berkompetisi secara efektif. Keempat hal tersebut adalah strategi, kualitas, desain organisasi, dan learning organization. Berkaitan dengan keempat faktor penting penentu kesuksesan tersebut, kemudian Nadler et al (1992) menyatakan:

even those companies with great strategies, total quality management, and innovative organizational architectures do not always get it right the first time. They make mistakes. The best competitors have the unique capacity to reflect on and understand those mistakes quickly and turn insight into action; they are learning-efficient organization. They learn from customers, competitors, and suppliers. They learn from success and they learn from failure.

Dari pemikiran-pemikiran tersebut dapat dipahami bahwa learning organization adalah faktor signifikan bagi kesuksesan organisasi. Learning organization akan membawa organisasi pada keunggulan kompetitif. Habitus


(56)

39

belajar terus-menerus yang dibangun anggota-anggota organisasi akan berdampak kuat pada perkembangan organisasi secara keseluruhan.

Definisi learning organization pertama kali muncul dari Argyris (1974) yang mana learning hanya difokuskan sebagai proses deteksi (detecting) dan koreksi (correcting) terhadap kesalahan. Selanjutnya, Argyris dan Schon (1978) memperluas definisi learning organization dengan menambahkan

learning individual dan organizational knowledge. Argyris dan Schon (1978) menyatakan:

Learning organization occurs when members of the organization acts as learning agents for the organization, responding to changes in the internal and external environments of the organization by detecting and correcting errors intheory-in-use and embedding the result of their inquiry in private images and shared maps of the organization.

Konsep Argyris dan Schon (1978) tentang learning organization

menitikberatkan pada belajar secara kolektif dan berkelanjutan. Senge (1990) mengembangkan konsep di atas dan melihat learning organization sebagai organisasi yang bergerak secara holistik yang mana seluruh anggota, tanpa terkecuali, menciptakan solusi-solusi baru. Senge (1999) dalam bukunya The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization

mengemukakan lima hal inti dalam pembentukan learning organization, yaitu: 1) keahlian pribadi, 2) model mental, 3) visi bersama, 4) kelompok belajar, dan 5) berpikir sistemik.


(57)

40

Menurut Nevis et al (1995), learning organization adalah kapasitas atau proses dalam suatu organisasi untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja berdasarkan pengalaman. Adapun menurut Wood (1998), learning organization adalah proses yang mana karyawan memperoleh kompetensi dan kepercayaan sehingga tindakan dan perilaku mereka berpengaruh terhadap organisasi. Dalam definisi ini, selain menekankan proses, Wood (1998) juga memberi tekanan pada karyawan sebagai subjek yang dikenai penerapan

learning organization. Penulis yang mendefinisikan learning organization

sebagai proses adalah Duncan dan Weiss (1979). Menurut Duncan dan Weiss (1979), learning organization adalah proses dalam organisasi yang mana pengetahuan tentang hubungan tindakan-hasil dan pengaruh lingkungan pada hubungan tersebut dikembangkan.

Definisi learning organization dengan menekankan pentingnya peran berbagai pihak internal dimunculkan oleh Dixon (2001). Menurut Dixon,

learning organization adalah tindakan yang dirancang sebagai proses belajar pada tingkat, baik pribadi, kelompok, maupun sistem untuk terus mengubah organisasi ke arah yang semakin baik.

Penulis yang menekankan learning organization berbasis pengetahuan di antaranya adalah Antal (2002) yang menekankan pentingnya pengetahuan. Menurut Antal (2002), learning organization adalah sebuah proses kreatif dan interaktif. Hal ini kadang-kadang dicapai dengan memperoleh dan menerapkan pengetahuan, tetapi kadang-kadang diperoleh dengan menghasilkan pengetahuan


(58)

41

baru. Kedua kondisi tersebut menuntut kreativitas karena transfer pengetahuan dari satu konteks ke konteks yang lain unik, tidak pernah indentik.

Dari ragam pemikiran tersebut, dapat ditarik benang merah terkait

learning organization, yang dipahami sebagai proses menginternalisasi dan mengaplikasi pengetahuan, baik yang diperoleh dari dalam maupun dari luar organisasi, yang dioptimalkan secara terpadu pada tingkat pribadi, kelompok, dan organisasi untuk mengembangkan organisasi secara keseluruhan.

Dalam learning organization, masing-masing pribadi mengembangkan kapasitas mereka secara terus-menerus untuk menciptakan hasil yang diinginkan, pola pikir yang luas dan baru dipelihara, aspirasi kolektif diakomodasi, seluruh anggota organisasi belajar tanpa henti untuk melihat segala hal secara bersama-sama. Learning organization dapat dipandang sebagai organisasi yang dapat membangun dan mengembangkan kapasitas pribadi, pola pikir, cita-cita bersama, dan belajar berkelanjutan untuk mengubah organisasi sehingga mampu mencapai hasil yang memiliki daya saing tinggi.

Dalam learning organization, potensi masing-masing anggota sungguh diperhatikan. Mereka berkesempatan untuk berkembang sehingga tujuan bersama dapat dicapai dengan pola kepemimpinan yang adaptif dan efektif. Kapasitas masing-masing pribadi yang mampu mengonstruksi sistem belajar berkelanjutan dalam rangka mengubah dan mengadaptasi organisasi sesuai dengan kondisi lingkungan yang sedang berubah sungguh diperhatikan.


(59)

42

Menurut Kish-Gephart et al (2010) pelatihan menjadi aspek kunci dari

learning organization. Pelatihan menjadi alat yang sering digunakan dalam proses belajar. Pelatihan menjadi faktor signifikan dalam peningkatan kinerja terkait tiga hal yang dikembangkan, yakni: keterampilan, pengetahuan, dan sikap. Pengembangan ketiganya menjadi hal penting bagi kesuksesan organisasi, dan menjadi tindakan antisipatif pada ancaman yang muncul. Pelatihan menduduki tempat sentral dalam pemberdayaan karyawan. Dalam konteks yang lebih luas, ini terkait strategi organisasi untuk menghadapi ancaman yang muncul. Melalui pelatihan, karyawan memiliki kesempatan untuk menambah pengetahuan dan wawasan baru yang dapat mengubah sikap dan disposisi mereka.

Terkait tahapan dalam learning organization, Slater dan Narver (2000) menjelaskan tiga tahapan yang perlu dilewati, yakni: akuisisi informasi, penyebaran informasi, dan berbagi interpretasi. Pada tahap akuisisi informasi, organisasi dituntut untuk menggali dan mengumpulkan ragam informasi, baik yang berasal dari pengalaman langsung, pengalaman dari organisasi lain, maupun dari sejarah perusahaan di masa lalu. Pada tahap penyebaran informasi, organisasi perlu menyampaikan ragam informasi yang didapatkan kepada seluruh anggota organisasi. Pada tahap berbagi interpretasi, organisasi dituntut untuk menciptakan strategi secara holitistik yang berdampak pada seluruh elemen dalam organisasi untuk mewujudkan tujuan bersama. Semakin baik strategi yang dihasilkan, dampak terhadap perkembangan perusahan secara keseluruhan akan semakin positif.


(60)

43

Membangun habitus learning dalam organisasi tentu bukan perkara mudah. Ada ragam faktor yang perlu diperhatikan, misalnya faktor adat kebiasaan, struktur, lingkungan organisasi. Menurut Parmono (2001) (dikutip dalam Haryanti, 2006) ada delapan karakteristik yang harus dimiliki oleh organisasi dalam membangun habitus learning, yaitu:

- Organisasi menciptakan kesempatan bagi seluruh anggota untuk belajar dan mengembangkan diri, baik formal maupun nonformal. - Organisasi membangun habitus yang memungkinkan seluruh

anggota organisasi bereksperimen, memberi masukan, dan berkontribusi dengan gagasan-gagasan baru.

- Organisasi memberikan insentif bagi para manajer yang selalu menggunakan prinsip keterbukaan dan partisipatif dalam setiap proses pengambilan keputusan.

- Organisasi menerapkan prinsip evaluatif terhadap kemungkinan timbulnya kesalahan sebagai bagian dari proses belajar.

- Organisasi memberikan hak bagi seluruh anggota tanpa terkecuali untuk mengembangkan diri.

- Organisasi membangun transparansi sistem manajemen data dan akuntansi yang bisa diketahui anggota organisasi sesuai kebutuhan dan tingkat kebijakan.

- Organisasi menciptakan keterbukaan komunikasi hubungan pemasok-pelanggan dalam setiap tahapan proses manajemen.


(61)

44

- Organisasi membangun pemahaman bahwa keputusan pemimpin bukanlah solusi tunggal dan tuntas, melainan dipandang sebagai eksperimen yang masuk akal (rational experiment).

D. Kinerja Karyawan

Istilah job performance atau actual performance diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai kinerja. Istilah ini menunjuk pada prestasi kerja yang dicapai karyawan terkait perbandingan antara hasil kerja dengan standar yang ditetapkan. Kinerja ditunjukkan dengan hasil kerja yang diberikan oleh karyawan, baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Menurut Trisnantoro dan Agastya (1996) (dikutip dalam Anwar 2004), kinerja merujuk pada proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh suatu organisasi atau seorang karyawan dalam memberikan produk, baik berupa barang maupun jasa kepada pelanggan. Merangkum aktivitas proses sampai produk yang dihasilkan, kinerja juga dapat dipahami sebagai rekaman hasil kerja yang diperoleh karyawan tertentu melalui kegiatan dalam kurun waktu tertentu.

Masih terkait dengan pengertian kinerja, Gibson (2003) menyatakan bahwa kinerja menjadi jaminan bagi seseorang karyawan atau kelompok terkait dengan tujuan bersama yang hendak dicapai sehingga masing-masing karyawan berfokus pada kerja yang efisien dan efektif. Menurut Gibson (2003),


(1)

128 Dear Mr. Louis Fry

I am Satriyo, student at magister management progame in Sanata Dharma University in Yogyakarta, Indonesia. You can see it on the web site

https://www.usd.ac.id. Currently I'm writing about spiritual leadership according to your theory. In that theory, you explain the correlation between faith / hope, vision, and altruistic love. For all, I agree with your theory, but I want to ask about the term of "altruistic love". I do not agree with this term when read your explanation.

The reasons:

1. The definition of altruistic according to cambridge dictionary is showing a wish to help or bring advantages to others, even if it results in

disadvantage for yourself.

2. The definition of altruistic according to thesaurus dictionary is unselfishly concerned for or devoted to the welfare of others.

3. According to these definitions, the term of “altruistic” always refer to

others even if it results in disadvantage for ourself. The welfare of others others became the center. I think this idea is contrary to the theory of ethical egoism as the normative ethical position that moral agents ought to do what is in their own self-interest. Ethical egoism holds that actions whose consequences will benefit the doer can be considered ethical. Ethical egoism contrasts with ethical altruism, which holds that moral agents have an obligation to help others even if it results is

disadvantage. If it results is disadvantage, how correlations could be good? How to develop a personal vision? How to develop a shared vision? In the spiritual leadership, a subject that will be developed is a personal / human whole. How person could be part of the community if he/she does not comfort in that community? And how person could develop his/her self?

For these reasons, if you agree, i propose to change term “altruistic love” with “loving others”.

Finally, Mr. Louis Fry, i am so sorry that my email is unpolite and bothers your time. God bless us.

With best regards satriyo


(2)

129 Lampiran 8 Transkip Wawancara

Sejak saya bekerja di sini, saya merasakan spiritualitas begitu kuat mewarnai. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari jati diri Kanisius. Dalam setiap gerak langkah dan strategi yang kita tetapkan, harus didasarkan pada spiritualitas Ignasian. Hal itu juga kita masukkan secara eksplisit dalam

nilai-nilai yang menjadi dasar mewujudkan visi-misi perusahaan.

(Sumber: Mg. Sulistyorini, wawancara oleh penulis tanggal 2 Mei 2015)

Kurang dua tahun saya pensiun. Selama bekerja di sini, saya merasa nyaman. Merasa dikembangkan. Merasa dihargai. Gaji memang tidak besar, tapi sudah lebih dari cukup. Bagi saya yang penting itu nyaman dalam kerja. Kalau gaji besar tapi tidak nyaman ya tidak ada artinya.

(Sumber: Iman, wawancara oleh penulis tanggal 2 Mei 2015)

Saya senang bekerja di sini karena saya merasa diterima dan didukung oleh teman-teman. Berbeda dengan tempat kerja saya yang dulu yang tidak ada suasana kekeluargaan.


(3)

130 Lampiran 9 Surat Pengantar Kuesioner

SURAT PENGANTAR KUESIONER

Kepada Yth.

Bapak/Ibu, Saudara/Saudari Karyawan P.T. Kanisius Di tempat

Dengan hormat,

Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam penyelesaian pendidikan pada Program Studi Magister Manjemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, sebagai bahan penulisan Tesis kami melaksanakan penelitian dengan judul:

PENGARUH KEPEMIMPINAN SPIRITUAL TERHADAP LEARNING ORGANIZATION

DAN KINERJA KARYAWAN PADA P.T. KANISIUS

Sehungan dengan itu, kami mohon kesediaan Bapak/Ibu, Saudara/Saudari Karyawan, untuk mengisi kuesioner ini sesuai dengan petunjuk pengisiannya. Perlu kami sampaikan bahwa hasil penelitian ini hanya untuk kepentingan akademik dan tidak akan berpengaruh pada status Bapak/Ibu, Saudara/Saudari sebagai karyawan P.T. Kanisius.

Bantuan dari Bapak/Ibu, Saudara/Saudari Karyawan untuk mengisi kuesioner ini dengan sejujur-jujurnya, secara objektif, dan apa adanya sangat berarti bagi penelitian ini. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami

SATRIYO SINUBYO Peneliti


(4)

131 Lampiran 10 Kuesioner

KUESIONER

PENGARUHKEPEMIMPINAN SPIRITUAL TERHADAP LEARNING ORGANIZATION DAN KINERJA KARYAWAN PADA P.T. KANISIUS

A. IDENTITAS RESPONDEN

Sebelum menjawab pertanyaan dari kuesioner berikut ini, mohon Bapak/Ibu mengisi data berikut:

Usia : …tahun

Jenis Kelamin : a. Pria b. Wanita

Lama Bekerja : …… tahun …… bulan

Tingkat pendidikan : a. SLTA b. Akademi c. Sarjana d. Pasca Sarjana e. Lain-lain

B. PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER

1. Bacalah sejumlah pernyataan di bawah ini secara teliti.

2. Anda dimohon untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan

keadaan Anda secara objektif dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu kriteria untuk setiap pernyataan yang menurut Anda paling tepat.

3. Skor yang diberikan tidak mengandung nilai jawaban benar-salah

melainkan menunjukkan kesesuaian penilaian Andaterhadap isi setiap pernyataan.

4. Pilihan jawaban yang tersedia adalah:

STS = apabila Anda merasa Sangat Tidak Sesuai

TS = apabila Anda merasa Tidak Sesuai

R = apabila Anda merasa Ragu-ragu

S = apabila Anda merasa Sesuai


(5)

132

5. Dimohon dalam memberikan penilaian tidak ada pernyataan yang

terlewatkan.

6. Hasil penelitian ini hanya untuk kepentingan akademis saja.

Identitas dari Anda akan dirahasiakan dan hanya diketahui oleh peneliti. Hasil penilaian ini tidak akan ada pengaruhnya terhadap status Anda sebagai karyawan P.T. Kanisius.

C.

PERTANYAAN KUESIONER

No Pertanyaan SS S R TS STS

Visi 1

Saya mengerti dan saya berkomitmen untuk

visi P.T. Kanisius.

2

P.T. Kanisius memiliki pernyataan visi yang

mendorong potensi terbaik dalam diri saya.

3

Visi P.T. Kanisius menginspirasi saya untuk

menampilkan performa terbaik.

4

Saya percaya bahwa visi P.T. Kanisius

berguna untuk karyawannya.

5

Visi P.T. Kanisius terumuskan secara jelas

dan menarik bagi saya.

Keyakinan/ Harapan

1

Saya memiliki harapan terhadap P.T. Kanisius, dan saya bersedia untuk

"melakukan apa pun" untuk P.T. Kanisius.

2

Saya bertahan dan bersedia mengerahkan usaha ekstra untuk mengembangkan P.T. Kanisius karena saya memiliki harapan pada

P.T. Kanisius.

3

Saya selalu melakukan yang terbaik dalam pekerjaan saya karena saya memiliki harapan

terhadap P.T. Kanisius dan pemimpinnya.

4

Saya menetapkan tujuan yang menantang untuk pekerjaan saya karena saya memiliki harapan terhadap P.T. Kanisius dan saya agar

P.T. Kanisius berkembang.

5

Saya menunjukkan harapan saya pada P.T. Kanisius dengan melakukan segala sesuatu yang saya bisa untuk mencapai keberhasilan


(6)

133 Cinta Altruistik

1

P.T. Kanisius benar-benar peduli terhadap

para karyawannya.

2

P.T. Kanisius adalah perusahaan yang murah hati dan selalu perhatian kepada

karyawannya. P.T. Kanisius selalu

mengusahkan yang terbaik untuk karyawan.

3

Para pemimpin di P.T. Kanisius "mengerjakan apa yang seharusnya

dikerjakan" serta "mengatakan yang memang

harus dikatakan".

4

P.T. Kanisius dapat dipercaya dan setia

kepada karyawannya.

5

P.T. Kanisius memberikan hukuman yang

adil.

6

Para pemimpin di P.T. Kanisius jujur dan

tanpa kebanggaan palsu.

7

Para pemimpin di P.T. Kanisius memiliki keberanian untuk berdiri di depan dan

melindungi karyawannya.

Learning Organization

1

Terjalin kerja sama yang erat dan saling

mengembangkan antarkaryawan

2

Proses belajar karyawan menciptakan

perubahan pada P.T. Kanisius.

3

P.T. Kanisius memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan

diri.

4

P.T. Kanisius selalu mengadakan sosialisasi

visi organisasi kepada karyawan.

Kinerja Karyawan 1

Hasil kerja saya sesuai dengan kualitas yang

telah ditentukan.

2

Saya memiliki kemauan kuat untuk bekerja

keras dan mencapai target.

3

Saya memiliki kemampuan lebih dalam

menyelesaikan tugas-tugas.

4

Kreativitas saya sangat mendukung dalam


Dokumen yang terkait

Pengaruh Learning Organization dan Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk. Cabang USU Medan

16 111 106

Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Learning Organization pada PT Pupuk Kujang Cikampek

1 20 128

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN KOMPENSASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan(Studi Pada Karyawan PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta).

0 3 13

PENGARUH MOTIVASI SPIRITUAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA RELIGIUS Pengaruh Motivasi Spiritual Dan Gaya Kepemimpinan Spiritual Terhadap Kinerja Religius (Studi Kasus Pada Bmt.Mitra Mandiri Wonogiri).

0 4 18

PENGARUH MOTIVASI SPIRITUAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN SPIRITUAL TERHADAP KINERJA RELIGIUS Pengaruh Motivasi Spiritual Dan Gaya Kepemimpinan Spiritual Terhadap Kinerja Religius (Studi Kasus Pada Bmt.Mitra Mandiri Wonogiri).

0 5 17

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. TASPEN (PERSERO) SURAKARTA PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. TASPEN (PERSERO) SURAKARTA.

0 0 14

pengaruh Motivasi dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan PT IPHA Laboratoies.

0 1 32

ANALISIS KEPEMIMPINAN SPIRITUAL DAN KOMUNIKASI ORGANISASIONAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN

0 0 11

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. TIKI PALEMBANG -

0 3 93

Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap Learning Organization dan kinerja karyawan pada PT. Kanisius - USD Repository

0 1 148