Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Konseptual

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran dibentuk dengan mendekatkan permasalahan dan tujuan penelitian dengan teori-teori yang relevan serta penelitian empiris yang telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya. Teori yang relevan dengan tujuan penelitian ini adalah teori usahatani, kelayakan finansial dan ekonomi, kebijakan dan marjin pemasaran.

2.2. Usahatani

Usahatani adalah seluruh organisasi alam, tenaga kerja, modal dan menejemen yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian Soeharjo dan Patong,1997. Organisasi ini ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Pada umumnya ciri-ciri usahatani di Indonesia adalah belahan sempit, modal relatif kecil, tingkat pengetahuan petani terbatas, kurang dinamis sehingga berakibat pada rendahnya pendapatan usahatani Soekartawi, 2002. Terbatasnya modal seringkali menyebabkan petani tidak mampu membeli dan menerapkan suatu teknologi. Dengan keterbatasan itu usahatani cukup dilaksanakan oleh petani sendiri. Tujuan setiap petani dalam melaksanakan usahataninya berbeda-beda Soeharjo dan Patong, 1997. Apabila dorongannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa peredaran uang, maka usahatani yang demikian disebut usahatani pencukup kebutuhan keluarga subsistence farm. Sedangkan bila motivasi yang mendorongnya untuk mencari keuntungan, maka usahatani yang demikian disebut usahatani komersial commercial farm. Soekartawi 2002, menyatakan bahwa ciri-ciri petani komersial adalah : 1 cepatnya adopsi terhadap inovasi, 1 cepatnya mobilitas pencarian informasi, 3 berani menanggung resiko dalam usaha, dan 4 Memiliki sumberdaya yang cukup. Sedangkan ciri-ciri petani subsisten adalah kebalikannya. Akan tetapi dengan teknologi serta kemajuan pembangunan yang hampir merata ke berbagai pelosok daerah, petani tidak lagi mengusahakan usahataninya secara subsisten melainkan semi-subsisten setengah subsisten dan setengah komersial. Perubahan tersebut diantaranya disebabkan oleh perkembangan teknologi yang semakin maju dalam hal produksi sehingga mempermudah pekerjaan petani, kebutuhan petani yang semakin banyak, teknologi informasi yang memberikan berbagai informasi produk dan kebutuhan serta adanya perubahan pandangan masyarakat.

2.2.1. Pendapatan Usahatani

Usahatani yang dilakukan oleh petani pada akhirnya akan memperhitungkan biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh. Selisih antara biaya- biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh merupakan pendapatan bersih dari kegiatan usahatani. Soeharjo dan Patong 1997, menyebutkan bahwa analisis pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani maupun pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu: 1 menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha, dan 2 menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu. Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan, yakni hasil kali antara jumlah output yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Sedangkan pengeluaran atau biaya semua pengorbanan sumberdaya ekonomi dalam satuan uang yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dalam suatu periode produksi. Penerimaan usahatani dapat berbentuk dalam tiga hal, yaitu 1 hasil penjualan tunai, 2 produk yang dikonsumsi keluarga petani, dan 3 kenaikan nilai inventaris selisih akhir tahun dengan awal tahun. Pengeluaran usahatani secara umum meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Bentuk pengeluaran usahatani berupa pengeluaran tunai cash cost dan pengeluaran yang diperhitungkan inputed cost. Pengeluaran tunai ialah pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, seperti biaya pembelian sarana produksi dan biaya untuk membayar tenaga kerja. Sedangkan pengeluaran yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani seandainya bunga modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.

2.2.2. Kelayakan Finansial dan Ekonomi

Menurut Soekartawi 2002, analisis ekonomi ditujukan untuk mengestimasi nilai ekonomi yang timbul dalam perekonomian masyarakat. Dalam analisis ekonomi dilakukan penyesuaian harga finansial agar dapat menggambarkan nilai sosial secara menyeluruh baik untuk input maupun output. Hal ini tentu saja berlaku juga pada industri jeruk siam. Dalam analisis ekonomi, harga pasar barang atau jasa diubah agar lebih mendekati opportunity cost nilai barang atau jasa dalam alternatif pemanfaatan yang terbaik sosial yang merupakan harga bayangan. Budiono 1999, mengatakan bahwa harga bayangan adalah setiap harga barang atau jasa yang bukan harga pasar belum diketahui, untuk menggambarkan distribusi pendapatan dan tabungan. Menurut Prasana 1980, dalam analisis ekonomi harga pasar tidak selalu menggambarkan nilai kelangkaan agribisnis jeruk siam sehingga pendapatan nasional berubah nilainya menjadi opportunity cost. Ada beberapa cara untuk menyatakan nilai ekonomi tersebut kedalam nilai tukar domestik yaitu: 1. Menggunakan harga bayangan nilai tukar luar negeri, yang akan meningkatkan nilai produk yang diperdagangkan karena muncul premium terhadap nilai tukar luar negeri yang disebabkan oleh keputusan kebijakan perdagangan. 2. Menggunakan nilai tukar resmi dan menerapkan faktor konversi terhadap opportunity cost atau nilai pemanfaatan barang yang tidak diperdagangkan yang dinyatakan ke dalam nilai tukar domestik. Faktor konversi tersebut akan mengurangi nilai barang yang tidak diperdagangkan relatif terhadap barang yang diperdagangkan yang memungkinkan adanya premium nilai tukar. Oleh karena analisis finansial maupun analisis ekonomi menggunakan pendekatan yang berbeda, tentunya membutuhkan perhitungan yang berbeda pula. 2.3. Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk peningkatan ekspor ataupun sebagai usaha melindungi produk dalam negeri. Kebijakan pemerintah diberlakukan terhadap input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output yang diminta produsen dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas. Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif pajak, sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan quata. Menurut Salvatore 1994, subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pemerintah menetapkan dua bentuk kebijakan yang berupa subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi dapat berupa subsidi positif yaitu yang diberikan pemerintah dan subsidi negatif yaitu bila dibayarkan kepada pemerintah yang disebut pajak. Intervensi pemerintah pada kebijakan output dibagi kedalam delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi Instrumen Dampak Pada Produsen Dampak Pada Konsumen Kebijakan Subsidi Tidak merubah harga pasar dalam negeri Merubah harga pasar dalam negeri Subsidi Pada Produsen Pada barang-barang Subtitusi impor S+PI; S-PI. Pada barang-barang Orientasi ekspor S + PE; S-PE. Subsidi Pada Konsumen Pada barang-barang subti tusi impor S+CI; S-CI Pada barang-barang Orientasi ekspor S+CE; S-CE. Kebijakan perdagangan merubah harga pasar dalam negeri Hambatan pada barang impor TPI Hambatan pada barang Ekspor TCE Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S + = Subsidi S - = Pajak PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang subtitusi impor CE = Konsumen barang orientasi ekspor CI = Konsumen barang subtitusi impor TCE = Hambatan barang ekspor TPI = Hambatan barang impor Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditi, yang berupa pajak dan quata dengan maksud untuk menurunkan kuantitas barang impor dan untuk menciptakan perbedaan harga internaional dengan harga pada pasar domestik. Kebijakan perdagangan ada dua, yaitu kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor ditujukan untuk melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga international, dengan cara pengenaan pajak ekspor. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri melalui penetapan harga pasar domestik yang lebih rendah, sehingga kebijakan yang dilakukan berupa tarif impor atau quata impor.

2.3.1. Kebijakan Harga Output

Kebijakan terhadap output baik berupa pajak maupun subsidi, dapat diterapkan pada produsen barang impor dan barang ekspor. Kebijakan terhadap output dijelaskan dengan Transfer Output OT dan Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO. Dampak dari subsidi negatif terhadap produsen untuk barang ekspor dapat dilihat pada Gambar 1. P . A S Pw B D F H Pd E G J D K Q1 Q2 Q4 Q3 Q Gambar 1. Dampak Subsidi Negatif Pada Produsen Barang Ekspor Sumber : Monke and Pearson, 1989 Pada situasi perdagangan bebas, harga yang diterima oleh produsen output dan konsumen dalam negeri dengan harga dunia yaitu sebesar Pw dengan tingkat output yang dihasilkan sebesar Q1, sehingga terjadi ekses supply di dalam negeri sebesar BHJ. Terjadinya ekses supply membuat output yang dihasilkan harus diekspor ke luar negeri sebesar Q3-Q1. Besarnya surplus konsumen adalah ABPw sedangkan surplus produsennya sebesar PwHK. Subsisi negatif pada produsen Output NPCO negatif, menyebabkan perubahan harga dalam negeri yaitu harga yang diterima produsen dan konsumen menjadi lebih rendah dari harga pasar dunia Pd Pw. Tingkat harga sebesar ini, menyebabkan konsumsi dalam negeri dari Q1-Q3 menjadi Q2-Q4. Terjadi surplus produsen yaitu sebesar PwHGPd dan perubahan surplus konsumen sebesar PdEBPw dan besarnya transfer Output OT atau pajak kepada pemerintah sebesar DFGE. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen untuk memperoleh keuntungan dan juga tidak ditransfer baik kepada konsumen maupun pemerintah.

2.3.2. Kebijakan Harga Input

Kebijakan pemerintah juga diberlakukan pada variabel input tradable maupun non tradable. Sebagai ilustrasi intervensi berupa subsidi dan pajak pada input dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 a menunjukkan efek pajak terhadap input tradable yang digunakan. Biaya pajak menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva supply bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC, merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1ACQ2 dengan ongkos produksi dari output Q2BAQ1. P S P S S C S Pw C A A B B D D Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q a b Gambar 2. Subsidi dan Pajak Pada Input Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S-II = Pajak untuk input impor S+II = Subsidi untuk input impor Pw = Harga di Pasar Internacional Gambar 2b memperlihatkan dampak subsidi input menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah ABC perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output dengan peningkatan nilai input. Pada input non tradable, intervensi pemerintah berupa halangan perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif pajak dapat dilihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3 a dengan adanya pajak Pc-Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi positif Gambar 3b adanya subsidi menyebabkan produk meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. P S P S Pc C Pp C Pd B A Pd A B Pp D Pc D D D Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q Gambar 3. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Non Tradable Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : Pd = Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi Pc = Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp = Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi

2.4. Policy Analysis Matrix

Model atau kerangka analisis ekonomi lainnya yang lebih lengkap untuk menganalisis keadaan ekonomi dari pemilik ditinjau dari sudut usaha swasta private profit dan sekaligus memberi ukuran tingkat efesien ekonomi usaha atau keuntungan sosial social profit adalah dengan menggunakan model Matrik Analisis Kebijakan Policy Analysis Matrix, PAM. Menurut Monke and Pearson 1989, model PAM dapat memberikan pemahaman lebih lengkap dan konsisten terhadap semua pengaruh kebijakan dan kegagalan pasar pada penerimaan revenue, biaya-biaya cost, dan keuntungan profit dalam produksi sektor pertanian secara luas. Menurut Monke and Pearson 1989, kontruksi model policy analysis matrix PAM disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kontruksi Model Policy Analysis Matrix Biaya cost Komponen Penerimaan Revenues Input Tradable Faktor Domestik Keuntungan Profits Harga Privat Private prices A B C D 1 Harga Sosial Social prices E F G H 2 Pengaruh divergensi Effects divergensces I 3 J 4 K 5 L 6 Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : 1. Keuntungan Privat D = A - B - C, 2. Keuntungan Sosial H = E - F- G, 3. Transfer Output I = A – E, 4. Transfer Input J = B – F, 5. Transfer Faktor K = C – G, dan 6. Transfer Bersih L = D – H = I – J = K. Tiga issues yang menyangkut prinsip-prinsip yang dapat ditelaah investigate dengan model PAM, yaitu : 1. Dampak kebijakan terhadap dayasaing competitiveness dan tingkat profitability pada tingkat usahatani. 2. Pengaruh kebijakan investasi pada tingkat efesiensi ekonomi dan keunggulan komparatif comparative advantage. 3. Pengaruh kebijakan penelitian pertanian pada perbaikan teknologi, selanjutnya model PAM merupakan produk dari dua identitas perhitungan, yaitu: 1 tingkat keuntungan atau profitabilitas profitability merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya-biaya, dan 2 pengaruh penyimpangan atau divergensi distorsi kebijakan dan kegagalan pasar merupakan perbedaan antara parameter-parameter yang diobservasi dan parameter yang seharusnya ada terjadi jika divergensi tersebut dihilangkan.

2.4.1. Simulasi Sensitivitas

Simulasi sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan hasil analisis suatu kegiatan ekonomi, bila ada suatu kesalahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Analisis sensititivas merupakan suatu teknik analisa untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi proyek secara sistematis, bila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan. Menurut Kadariah 1992, Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara 1 mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, maing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu prosentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan 2 menentukan dengan berapa besar suatu harus berubah sampai hasil pehitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima. Analisis sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Analisis kepekaan dilakukan dengan mengubah suatu atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan terhadap hasil analisis. Kelemahan Analisis sensitivitas adalah : 1. Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu paramater pada suatu saat tertentu. 2. Analisis sensitivitas hanya mencatat apa yang terjadi jika variabel berubah- ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. Dalam kaitannya dengan PAM, analisis sensitivitas akan mereduksi kelemahan dari alat analisis PAM tersebut, karena PAM bersifat statis dan tidak dimungkinkannya dilakukan simulasi untuk melihat pengaruh perubahan dari faktor-faktor penting dalam usahatani Pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak.

2.5. Sistem Pemasaran

Konsep pemasaran atau pemasaran didefinisikan sebagai suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain Kotler, 1997.

2.5.1. Struktur Pasar

Struktur pasar merupakan suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distrubusi perusahaan menurut berbaga ukuran, deskripsi produk dan diferensiasi produk, syarat-syarat masuk dan lain sebagainya. Struktur pasar dicirikan oleh konsentrasi pasar, diferensiasi produk, kebebasan untuk keluar masuk dalam pasar Limbong dan Sitorus, 1987. Menurut Kotler 1997, struktur pasar diklasifikasikan berdasarkan sifat dan bentuk menjadi dua yaitu pasar bersaing sempurna dan struktur pasar tidak bersaing sempurna jika memenuhi ciri-ciri antara lain terdapat banyak penjual dan pembeli, pembeli dan penjual hanya menguasai sebagian kecil jumlah barang atau jasa yang dipasarkan sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar, barang dan jasa bersifat homogen, serta penjual dan pembeli bebas untuk keluar masuk pasar.

2.5.2. Perilaku Pasar

Perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga-lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu, terutama bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar. Perilaku pasar tersebut dapat dilihat dari proses pembentukan harga dan stabilitas pasar, serta ada tidaknya praktek jujur dari lembaga pemasaran tersebut. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui perubahan harga, biaya, dan marjin pemasaan, serta jumlah komoditi yang diperdagangkan Dahl and Hammond, 1977.

2.5.3. Saluran dan Lembaga pemasaran

Saluran pemasaran menurut Limbong dan Sitorus 1987, adalah saluran yang digunakan produsen untuk mendistribusikan produknya kepada konsumen dari titik produsen sampai ke tangan konsumen. Saluran pemasaran melibatkan berbagai lembaga pemasaran. Lembaga pemasaran dapat diartikan sebagai badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran pada saat produk bergerak dari produsen ke konsumen akhir. Badan-badan yang termasuk dalam lembaga pemasaran adalah produsen, pedagang perantara dan lembaga pembeli jasa. Produsen adalah golongan yang menghasilkan barang atau produk. Produsen juga melakukan fungsi penjualan yang merupakan salah satu dari fungsi pemasaran. Pedagang perantara merupakan badan-badan yang berusaha dalam bidang pemasaran, menggerakkan barang dari produsen sampai konsumen melalui aktivitas jual beli.

2.5.4. Fungsi-Fungsi Pemasaran

Pada sistem pemasaran terdapat banyak kegiatan yang berbeda yang diperlukan dalam proses penyampaian barang dari tingkat produsen ke tingkat konsumen. Kegiatan-kegiatan tersebut dikenal sebagai fungsi pemasaran. Dalam proses penyampaian barang dan jasa kepada konsumen diperlukan tindakan yang dapat memperlancar proses tersebut yang disebut dengan fungsi- fungsi pemasaran. Fungsi pemasaran meliputi: 1. Fungsi pertukaran, yaitu kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik barang dan jasa yang dipasarkan meliputi fungsi penjualan dan pembelian. 2. Fungsi Fisik, yaitu semua kegiatan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Kegiatan yang termasuk dalam fungsi fisik meliputi penyimpanan, fungsi pengolahan, fungsi pengemasan, dan fungsi pengangkutan. 3. Fungsi fasilitas, yaitu semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi ini terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pemiayaan dan fungsi informasi pasar.

2.5.5. Marjin Pemasaran

Tomek and Robinson 1977, mendefinisikan marjin pemasaran sebagai : 1 perbedaan antara harga dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani, 2 kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa pemasaran sebagai akibat adanya penawaran dan permintaan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Limbong dan Sitorus, 1987, bahwa marjin pemasaran adalah selisih harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima petani. Di negara-negara maju semakin tinggi pemasaran maka pemasaran dianggap konsisten dan efisien karena ditingkatnnya kegunaan barang tersebut yang mencerminkan jasa-jasa yang digunakan oleh konsumen dan untuk itu mereka bersedia membayarnya Limbong dan Sitorus, 1987. Sedangkan untuk negara-negara yang sedang berkembang tingginya marjin pemasaran dianggap sebagai indikator adanya in-efisiensi dalam sistem pemasaran karena pada umumnya belum disertai dengan peningkatan dan perbaikan kegunaan barang tersebut. Harga S r P r S f Marjin Pemasaran P f D r D f 0 Q r ,f Jumlah Gambar 4. Komponen Marjin Pemasaran Sumber : Dahl and Hammond, 1977 Keterangan : Pf = Harga ditingkat petani Sr = kurva penawaran pengecer Pr = harga ditingkat pengecer Df = kurva permintaan petani Sf = kurva penawaran petani Dr = kurva permintaan pengecer Qr,f = jumlah keseimbangan di tingkat Petani dan pengecer Dahl and Hammod 1977, mendefinisikan marjin pemasaran sebagai perbedaan harga di tingkat petani Pf dengan harga di tingkat pengecer pr. Marjin pemasaran tersebut terdiri dari komponen-komponen marjin sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4. Melalui gambar tersebut dapat dilihat bahwa, bila marjin pemasaran Pr-Pf dikalikan dengan jumlah komoditas yang ditawarkan Nilai Marjin Pr-Pf Qr,f Qr,f, maka hasilnya disebut nilai marjin pemasaran. Dalam gambar tampak bahwa nilai marjin pemasaran terbagai dua komponen. Pertama, berupa pembayaran yang diberikan kepada faktor-faktor produksi yang dipergunakan dalam proses produksi. Pembayaran tersebut terdiri dari upah untuk tenaga kerja, bunga, modal, sewa tanah dan bangunan, laba bagi kewiraswataan dan resiko modal. Seluruh beban biaya disebut biaya pemasaran marketing cost. Kedua, pembayaran yang diberikan kepada berbagai pelaku yang terlibat dalam pemasaran seperti pembayaran kepada pengecer retailer, pedagang pengumpul assembler, dan pedagang perantara grosir. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa analisis marjin pemasaran bertujuan untuk mengukur : 1 pangsa pasar yang diterima oleh petani produsen dari harga yang dibayar konsumen akhir, 2 biaya-biaya penyaluran komoditas yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran seperti biaya pengangkutan, bongkar muat, pengepakan, pembersihan, penimbangan, susut,retribusi dan penyimpanan, 3 marjin keuntungan pedagang perantara yang melaksanakan kegiatan pemasaran komoditi buah jeruk mulai dari tingkat petani sampai ke tingkat konsumen akhir. Perbandingan nisbah marjin keuntungan terhadap biaya pemasaran dari setiap jenis buah jeruk di daerah penelitian. Untuk mengetahui saluran pemasaran mana yang sistem pemasarannya lebih efisien adalah dengan melihat perbandingan antara satu saluran pemasaran dengan saluran lainnya. Pengukuran marjin pemasaran buah jeruk dapat dipergunakan untuk mengukur semua pihak yang terlibat dalam sistem pemasaran jeruk di daerah penelitian misalnya pedagang pengumpul, distributor, dan pengecer yang mendapat imbalan jasa.

2.5.6. Farmer’s Share

Tersebarnya lokasi produksi dalam wilayah yang luas dan jauh dari pusat pemasaran hasil produksi menyebabkan banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat. Kondisi ini mengakibatkan jasa-jasa pedagang pengumpul masih tetap diperlukan. Semakin panjang rantai pemasaran maka biaya pemasaran atau biaya tataniaga akan semakin besar. Hal ini berakibat semakin banyaknya marjin tataniaga sehingga bagian harga yang diterima petani farmer’s share akan semakin kecil. Kecilnya bagian yang diterima petani akan mengakibatkan kurangnya dorongan bagi para petani untuk memproduksi lebih lanjut. Kohl and Ulh 1990, menyatakan bahwa besarnya bagian yang diterima petani dipengaruhi oleh tingkat pemprosesan biaya transportasi, keawetan atau mutu produksi dan jumlah produksi. Tingkat efisiensi pemasaran dapat diukur juga melalui besarnya rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran. Dengan semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem pemasaran akan semakin efisien. Rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran di setiap lembaga pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan dan Biaya = C N i i .......................................................2.1 dimana: N i = Keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i C i = Biaya lembaga pemasaran tingkat k-i

2.6. Hasil Penelitian Terdahulu

2.6.1. Studi Mengenai Kelayakan Finansial dan Ekonomi

Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad 2005, di Kabupaten Selayar, Sulawesi selatan, mengenai keragaan dan analisis pengembangan usahatani jeruk keprok secara umum, teknologi budidaya jeruk keprok yang berkembang di tingkat petani cukup baik dengan menggunakan input produksi dari sumberdaya setempat dan input yang rendah cukup menguntungkan dengan nilai NPV Rp. 20.7 juta, BC ratio 2.69, dan IRR 66.24 persen dengan dasar perhitungan discaunt faktor 20 persen. Hasil Penelitian Rustiadji 2005, mengenai analisis pengembangan agribisnis buah jeruk di wilayah agropolitan Kota Batu Malang Jawa Timur, berdasarkan penelitiannya diperoleh jawaban strategi pengembangan buah jeruk di wilayah agribisnis Kota Batu Malang untuk saat ini, adalah kinerja finansial usahatani menunjukkan bahwa usahatani buah jeruk layak untuk dikembangkan yang ditunjukkan oleh nilai BC ratio yang diperoleh lebih besar dari satu, nilai NPV yang positif dan nilai IRR yang lebih besar dari suku bunga bank yang berlaku di lokasi penelitian. Rantai pemasaran produksi buah jeruk menunjukkan belum efisien karena petani menerima marjin yang relatif rendah sementara pelaku tataniaga lainnya menerima marjin yang lebih besar dan struktur rantai pemasarannya masih terlalu panjang dan melibatkan banyak pelaku tataniaga.

2.6.2. Studi Mengenai Policy Analysis Matrix

Hasil penelitian Emilya 2001, mengenai analisis keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan komoditas tanaman pangan menunjukkan bahwa komoditas pangan memperoleh profit diatas normal atau memiliki kelayakan untuk diusahakan dan dikembangkan di Provinsi Riau dengan atau tanpa kebijakan pemerintah. Secara privat dan sosial, komoditas pangan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Artinya pengusahaan komoditas pangan di Provinsi Riau mempunyai dayasaing dan mampu dikembangkan dengan atau tanpa kebijakan pemerintah. Keunggulan tertinggi terdapat pada komoditas padi, kedelai dan jagung. Tingginya tingkat komoditas padi, kedelai dan jagung lebih banyak disebabkan karena ketiga komoditas tersebut mendapat prioritas utama dari pemerintah sejalan dengan program ketahanan pangan terutama untuk peningkatan produksi dan produktivitasnya. Hasil penelitian Novianti 2003, Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas unggulan sayuran menunjukkan bahwa komoditas kentang dan bawan merah di ketiga daerah penelitian Garut, Bandung dan Majalengka menghasilkan nilai PCR dan DRC yang lebih kecil daripada satu. Artinya kedua komoditas unggulan sayuran tersebut di ketiga tempat penelitian memiliki dayasaing sehingga mampu bersaing dan diharapkan dapat berkembang dengan atau tanpa kebijakan pemerintah. Sementara usahatani kubis, hanya memiliki keunggulan komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif. Hal tersebut menunjukkan bahwa intervensi pemerintah menghambat usahatani kubis sehingga usahatani menjadi tidak efisien.

2.6.3. Studi Mengenai Sistem Pemasaran

Hasil penelitian Muani 1993, Analisis Kelembagaan dan Saluran Distribusi Komoditas Jeruk Siam dari daerah Kaimantan Barat menunjukkan bahwa berdasarkan pola saluran distribusi komoditas jeruk Siam Pontianak terdapat kecenderungan makin rendah grade makin kecil bagian yang diterima petani produsen dari harga konsumen. Bagian harga petani produsen relatif kecil pada saluran distribusi tujuan pasar DKI Jakarta adalah grade AB 23.76 persen, C= 19.39 persen, D=11.56 persen dan E= 9.00 persen, sedangkan pada saluran distibusi Bandung grade AB=20.96 persen, C=16.16 persen, D=11.06 persen dan E=7.14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Pola distribusi pemasaran jeruk Siam pontianak sudah efisien karena srtuktur pasar bersifat oligopolistik. Hasil kajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat 2006, Pengkajian agroniaga jeruk Siam Pontianak menunjukkan bahwa terdapat lima hubungan antar lembaga, yaitu 1 petani dan pedagang mempunyai pemasaran murni, belum terlihat adanya hubungan hutang-piutang sehingga petani bebas memilih pasar, 2 hubungan pengumpul dengan pedagang antar pulau dan distributor lokal ada dua macam, yaitu hubungan pasar murni pengumpul free lance dan hubungan bantuan modal atau kaki tangan pengumpul hencman, 3 hubungan antara pedagang antar pulau dan distributor di luar Kalimantan Barat adalah hubungan pemasaran yang menganut 3 macam sistem transaksi, yaitu sistem komisi, sewa dan harga lepas, 4 hubungan antara distributor dan pengecer lebih banyak murni perdagangan dan bersifat langganan. Keduanya tidak mempunyai hubungan yang mengikat, sehingga pengecer mempunyai banyak pilihan dalam pembelian jeruk, 5 hubungan antara pengecer dengan konsumen bersifat jual-beli murni tanpa ikatan tertentu, dan struktur pasar bersifat oligopolistik dan secara umum pola distribusi pemasaran cukup efisien. Penelitian mengenai analisis pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak sendiri belum pernah dilakukan, sehingga perlu untuk diteliti. Penelitian di Provinsi Kalimantan Barat ini dilaksanakan berdasarkan informasi-informasi yang dikembangkan oleh penelitian sebelumnya mengenai konsep agribisnis jeruk, oleh karena itu penelitian di Provinsi Kalimantan Barat bertujuan untuk meneruskan penelitian yang dilakukan oleh Rustiadji 2005, Novianti 2003, dan Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat 2006 pada tempat, komoditi dan metodologi yang berbeda dari penelitian sebelumnya.

2.7. Kerangka Pemikiran Konseptual

Gambar 5 menunjukkan kerangka pemikiran konseptual dari penelitian ini. Sektor pertanian tanaman pangan dan hortikultura khususnya jeruk Siam Pontianak merupakan salah satu komoditas unggulan yang banyak diusahakan oleh petani di Provinsi Kalimantan Barat yaitu melibatkan sekitar 178 kelompok tani, jumlah petani yang terlibat sekitar 23 ribu petani dengan luasan areal tanaman produktif sekitar 4 ribu Hektar. Namun komoditas ini belum mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap PDRB pada 5 tahun terakhir ini. Walaupun dalam kurun waktu tahun 1983-1992 komoditas jeruk telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB sebesar Rp 150 milyar dari total PDRB sektor tanaman pangan Rp 650 milyar Provinsi Kalimantan Barat. Melalui program kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Kalimantan Barat seluas 10 ribu Hektar pada tahun 2001 dengan sasaran merehabilitasi tanaman yang terserang hama penyakit, kurang produktif dan perluasan areal tanaman baru. Hal ini karena peningkatan permintaan buah jeruk pasar domestik maupun International, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan taraf hidup petani dalam peningkatan pendapatan dengan sumber utama dari pengembangan usahatani jeruk Siam Pontianak serta kaitannya dengan peranankontribusi PAD, peluang investasi dan penyerapan tenaga kerja. Sehingga melalui pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak menjadi aspek yang sangat strategis dan penting. Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat Kelayakan Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak Usahatani Finansial dan Eknomi Sistem Pemasaran PAM Analisis Dayasaing Nilai PCR Nilai DRC Pengembangan Komoditas Unggulan Provinsi Kalimantan Barat Jeruk Siam Pontianak Gambar 5. Diagram Kerangka Pemikiran Konseptual Analisis Keuntungan Keuntungan Privat Keuntungan Sosial Analisis Sensitivitas Dari aspek finansial dan ekonomi, kehidupan petani jeruk masih tergolong dalam kelompok masyarakat berekonomi lemah. Petani yang mengusahakan jeruk saat ini berada pada kondisi ekonomi yang memperhatinkan akibat dari rendahnya harga produk jeruk atau meningkatnya sarana produksi dikalangan petani. Secara umum di wilayah perdesaan dan kecamatan sebagai sentra jeruk Siam Pontianak mengalami keterbatasan infrastruktur jalan usahatani, selain itu sistem informasi masih sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan transfortasi secara umum dilakukan melalui sungai-sungai, informasi pasar langka dan mahal untuk diperoleh, sehingga harga tidak berfungsi sebagai koordinator informasi untuk pengalokasian sumberdaya secara efisien. Kondisi ini menyebabkan petani jeruk memilih sistem kelembagaan diluar institusi pasar yang merupakan kelembagaan meskipun menerima bagian harga yang lebih kecil. Untuk mengetahui sejauh mana peluang pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat perlu dilakukan analisis pendapatan usahatani, kelayakan usaha meliputi kelayakan finansial dan ekonomi, sistem pemasaran marjin tataniaga serta analisis pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak dengan menerapkan metode pendekatan Policy Analysis Matrik PAM melalui pendefinisian masalah dan menemukan solusi masalah serta membuat rumusan terhadap kebijakan yang akan dijalankan sehingga pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak dapat tercapai serta memiliki dayasaing yang tinggi

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penentuan lokasi penelitian dilaksanakan pada daerah pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Sambas pemilihan lakosi dilakukan secara sengaja purposive sampling, dengan pertimbangan Kabupaten Sambas merupakan daerah pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak dan salah satu daerah potensi pengembangan komoditas buah tropis Indonesia berdasarkan riset unggulan strategis Nasional SK Menteri Pertanian RI No.312TU.210AXTh 2002. Pelaksananan pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2007.

3.2. Teknik Pengambilan Contoh

Pada penelitian ini teknik pengambilan contoh untuk tingkat Kecamatan dilakukan dengan cara sengaja purposive sampling yaitu sebanyak 5 Kecamatan meliputi Kecamatan Tebas, Pemangkat, Semparuk, Sambas, dan Selakau dengan pertimbangan daerah Kecamatan tersebut merupakan potensi jeruk terluas dari 16 Kecamatan yang ada di Kabupaten Sambas. Dari masing-masing Kecamatan dipilih dua Desa dengan cara sengaja purposive sampling dengan pertimbangan Desa tersebut merupakan daerah potensi jeruk terluas. Dari dua Desa tersebut masing-masing diambil 6 orang petani responden sehinga jumlah keseluruhan terdapat 60 orang petani responden yang diambil secara stratified proposional rondom sampling . Pengambilan responden sebelumnya dilakukan dengan cara pengelompokkan berdasarkan umur tanaman yaitu berumur 0-5 tahun sebanyak