untuk mencari keselamatan secara bersama-sama. Pada umumnya upacara adat Jawa bertujuan untuk mensyukuri karunia Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk
keberhasilan dalam kehidupannya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa tradisi atau upacara adat Jawa merupakan sarana untuk
mensyukuri karunia Tuhan dan memohon keselamatan dalam mengarungi hidup. Budaya jawa memiliki berbagai tradisi atau upacara adat. Peneliti akan
menjelaskan mengenai lima macam tradisi jawa, yaitu nglarung, nyadran, ruwatan, mitoni, dan wiwit methik.
2.1.1.2 Macam-macam Tradisi Jawa
Berikut ini terdapat lima macam tradisi Jawa khususnya yang ada di daerah Yogyakarta:
1. Nglarung
Tradisi nglarung merupakan salah satu upacara tradisional yang ada di Jawa. Nglarung berasal dari kata larung, yaitu membuang sesuatu ke dalam air
sungai atau laut. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan tradisi nglarung adalah memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat Suyami,
2008:101. Tradisi tersebut pada umumnya dilakukan satu tahun sekali pada bulan Sura Sunjata, 2013:75. Tujuan pelaksanaan upacara tersebut sebagai ungkapan
syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang telah dilimpahkan berupa hasil tangkapan ikan, di samping bentuk persembahan kepada
penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul Sunjata, 2013:117.
2. Ruwatan
Herawati 2010:3 ruwatan adalah tradisi ritual jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian atas kesalahan dan dosa manusia yang bisa membawa
bahaya, kesialan, dan pengaruh jahat di dalam hidupnya. Istilah ruwatan dalam cerita Jawa, berasal dari kata ruwat, ruwuwat, atau mengruwat yang artinya
membuat tak kuasa, menghapus kutukan, kemalangan dan lain-lain dan terbatas dari hal-hal yang tidak baik membebaskan. Objek yang diruwat atau dibebaskan,
menurut kitab Kuncaranarna dan apa yang disebut dalam Kandhang Ringgit Purwa adalah papa kesengsaraan, mala noda, rimang kesedihan atau
kesusahan, kalengka kejahatan, wirangrewang kebingungan atau kekusutan. 3.
Nyadran
Upacara tradisi nyadran adalah rangkaian upacara adat yang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa dan biasa dilakukan pada bulan Ruwah menjelang bulan
puasa Herawati, 2010:25. Tradisi ini dilakukan pada tanggal 15 Ruwah pembukaan nyadran, 17 Ruwah Sadranan Pitulasan, 21 Ruwah Sadranan
Slikuran, 23 Ruwah Sadranan Telulikuran, dan 25 Ruwah Sadranan PenutupSadranan Slawean. Tujuannya adalah mengingatkan pada kematian,
hidup hanya mampir minum, dan kuburan adalah rumah masa depan kita yang sesungguhnya nilai berempati dan nilai ketuhanan, menggambarkan betapa
penting kita belajar untuk akrab dengan kematian nilai reflektif dan juga bisa menyehatkan jiwa dan kesadaran kita nilai kesehatan karena adanya kekuatan
psikologis untuk meneguhkan kembali jati diri dan identitas kita sebagai manusia
nilai kemanusiaan Prasetyo, 2010:6.