Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(1)

INTISARI

Tindakan swamedikasi mempunyai kecenderungan untuk meningkat dari waktu ke waktu. Common cold termasuk penyakit yang banyak diderita dan ditangani dengan swamedikasi. Perbedaan usia, status sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan swamedikasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang timbul pada swamedikasi common cold serta hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah non eksperimental deskriptif dan analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini merupakan penelitian klaster multi tahap, dimana pemilihan sampel dilakukan secara random pada tingkat kabupaten, kecamatan, desa, dusun, dan tingkat sampel. Instrumen yang digunakan pedoman wawancara dan kuesioner dengan skala Likert. Data kualitatif diolah secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji statistik chi-square.

Hasil analisis data kualitatif menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang swamedikasi dalam hal pemahaman swamedikasi, pertimbangan melakukan swamedikasi dan tindakan yang dilakukan ketika swamedikasi yang dilakukan hasilnya tidak membaik masih kurang. Pada bagian pengenalan penyakit terdapat ketidaksesuaian dalam pengenalan gejala, penyebab dan defferensial diagnosis common cold. Pada bagian pemilihan obat terdapat ketidaksesuaian dalam melakukan pertimbangan pemilihan obat, pemilihan obat yang tidak sesuai, dan kurangnya tingkat kesadaran responden untuk membaca informasi yang lengkap sebelum menggunakan obat.

Hasil analisis data kuantitatif menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan dan tindakan swamedikasi common cold; tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi common cold; ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi common cold; serta tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan dan sikap swamedikasi common cold.

Kata kunci : common cold, swamedikasi, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, perilaku


(2)

ABSTRACT

Self medication practice tends to develop from time to tome. Common cold belong to most common prevalence illness and can be cure by self medication. The different of age, social economic status, and education level influence the decision to self medication. The aim of this study are to find problem that appear in common cold self medication practice and to find the relation between education and income level toward common cold self medication behavior by housewife in Daerah Istimewa Yogyakarta.

The method of this study is non experimental descriptive and analytic with cross sectional research planning. This is a multilevel cluster research in which the sample determination randomly on level of regencies, sub districts, rural, cluster of village and sample. Qualitative data from the interview is processed descriptively, while the quantitative data use chi-square statistic test.

The result of qualitative data show that problem appear in self medication practice are lack in understanding self medication practice, inappropriate way in considering self medication practice, and the steps that they do if self medication not success is less appropriate. In the explanation about the disease, there is inappropriate way in identifying the symptom, causes, and about differential diagnosis common cold. Problem that appear in aspect of appropriateness medication are considering to choose the medication, inappropriate way in choosing medicine, and lack of awareness from respondent to read the complete information before using medicine.

The analysis of quantitative data show four possibilities. First, there is a relation between education level to common cold self medication knowledge and practice. Second, there is no relation between education level to common cold self medication attitude. Third, there is a relation between economic level to common cold self medication practice. The last, there is no relation between economic level to common cold self medication knowledge and attitude.

Key words : common cold, self medication, education level, income level, practice


(3)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT COMMON COLD

OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Andriana Isti Handayani NIM : 048114032

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2008


(4)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN TINGKAT PENDAPATAN DENGAN PERILAKU SWAMEDIKASI PENYAKIT COMMON COLD

OLEH IBU-IBU DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Andriana Isti Handayani NIM : 048114032

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2008


(5)

(6)

(7)

”And I pray that you may have the power to grasp

how wide,

and how long,

and how high,

and how deep,

Is the love of Christ, and to know

this love that surpasses all knowledge”

Ephesus 3 : 18

“Masa depan itu milik Tuhan

dan hanya Dia yang dapat mengungkapkannya,

dalam kondisi yang luar biasa.

Jalanilah setiap hari menuju ajaran,

percayalah bahwa Tuhan mencintai hamba-hambanya.

Tiap-tiap hari pada dirinya, membawakan suatu Keabadian”

PAULO COELHO

Kupersembahkan karya ini untuk :

Jesus Christ & Mother Marry….

My Parents,

My Love Maheswara Wisnubhuana

My Brothers & My Sisters…..


(8)

(9)

PRAKATA

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala rahmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Hubungan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Penyakit Common Cold oleh Ibu-Ibu di Provinsi Daerah Istimwa Yogyakarta”.

Penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, sekaligus sebagai upaya memperdalam dan memperluas wawasan serta menambah wacana di dunia farmasi. Penulis dengan penuh kesadaran memahami bahwa penelitian ii masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu saran dari pembaca sangat diharapkan.

Penulis telah mendapatkan segala bentuk bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian serta memberi dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak dr. Harimat Hendarwan, M.Kes., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian.


(10)

4. Ibu dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam skripsi ini.

5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si.,Apt. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam skripsi ini.

6. Penyandang Hibah A3, atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

7. Bapak dan Ibu, yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan kasih sayangnya.

8. Kakak-kakak dan adik-adikku, mbak Tanti, mas Puji, mas Aris, mas Pujo, mbak Susi, mbak Surat, Jati . Terimakasih buat pengertian dan bantuan yang selalu diberikan.

9. Maheswara Wisnubhuana. Terimakasih untuk semuanya, untuk kasih sayang, penyertaan, dan motivasi serta dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman seperjuangan Rissa, Tice, Pipin, Henny, Limdra, Ari dan Fandy, atas kerjasama dan kebersamaannya selama penelitian sehingga penelitian ini dapat selesai.

11.Teman-teman tersayang : Sisca, Wida, Atin, Nur, Rina, Fila, Sisil, Nana, Manda, Novi, Made, Liza, Reni, dan segenap mahasiswa angkatan 2004 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma khususnya FKK.

12.Dito dan Edi atas bantuannya selama melakukan penelitian 13.Anak-anak wisma Mawar, atas semua bantuannya.

14.Para Pejabat Pemerintah Daerah di Kabupaten Kulonprogo dan Kota Yogyakarta yang telah banyak membantu


(11)

15.Semua responden yang telah memberikan waktunya untuk diwawancara, tanpa mereka maka skripsi ini tidak akan pernah ada.

16.Semua pihak, yang langsung maupun tidak langsung telah membantu penyusunan skripsi ini.

Semoga Tuhan yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya atas segala kebaikan yag telah dilakukan. Ahkir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua yang membutuhkan.

Penulis


(12)

(13)

INTISARI

Tindakan swamedikasi mempunyai kecenderungan untuk meningkat dari waktu ke waktu. Common cold termasuk penyakit yang banyak diderita dan ditangani dengan swamedikasi. Perbedaan usia, status sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan berpengaruh dalam menentukan pengambilan keputusan swamedikasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang timbul pada swamedikasi common cold serta hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah non eksperimental deskriptif dan analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini merupakan penelitian klaster multi tahap, dimana pemilihan sampel dilakukan secara random pada tingkat kabupaten, kecamatan, desa, dusun, dan tingkat sampel. Instrumen yang digunakan pedoman wawancara dan kuesioner dengan skala Likert. Data kualitatif diolah secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji statistik chi-square.

Hasil analisis data kualitatif menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang swamedikasi dalam hal pemahaman swamedikasi, pertimbangan melakukan swamedikasi dan tindakan yang dilakukan ketika swamedikasi yang dilakukan hasilnya tidak membaik masih kurang. Pada bagian pengenalan penyakit terdapat ketidaksesuaian dalam pengenalan gejala, penyebab dan defferensial diagnosis common cold. Pada bagian pemilihan obat terdapat ketidaksesuaian dalam melakukan pertimbangan pemilihan obat, pemilihan obat yang tidak sesuai, dan kurangnya tingkat kesadaran responden untuk membaca informasi yang lengkap sebelum menggunakan obat.

Hasil analisis data kuantitatif menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan dan tindakan swamedikasi common cold; tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi common cold; ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi common cold; serta tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan dan sikap swamedikasi common cold.

Kata kunci : common cold, swamedikasi, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, perilaku


(14)

ABSTRACT

Self medication practice tends to develop from time to tome. Common cold belong to most common prevalence illness and can be cure by self medication. The different of age, social economic status, and education level influence the decision to self medication. The aim of this study are to find problem that appear in common cold self medication practice and to find the relation between education and income level toward common cold self medication behavior by housewife in Daerah Istimewa Yogyakarta.

The method of this study is non experimental descriptive and analytic with cross sectional research planning. This is a multilevel cluster research in which the sample determination randomly on level of regencies, sub districts, rural, cluster of village and sample. Qualitative data from the interview is processed descriptively, while the quantitative data use chi-square statistic test.

The result of qualitative data show that problem appear in self medication practice are lack in understanding self medication practice, inappropriate way in considering self medication practice, and the steps that they do if self medication not success is less appropriate. In the explanation about the disease, there is inappropriate way in identifying the symptom, causes, and about differential diagnosis common cold. Problem that appear in aspect of appropriateness medication are considering to choose the medication, inappropriate way in choosing medicine, and lack of awareness from respondent to read the complete information before using medicine.

The analysis of quantitative data show four possibilities. First, there is a relation between education level to common cold self medication knowledge and practice. Second, there is no relation between education level to common cold self medication attitude. Third, there is a relation between economic level to common cold self medication practice. The last, there is no relation between economic level to common cold self medication knowledge and attitude.

Key words : common cold, self medication, education level, income level, practice


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PRAKATA... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

INTISARI. ... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan Masalah ... 4

2. Keaslian Penelitian... 4

3. Manfaat Penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 7

BAB II. PENELAHAAN PUSTAKA... 8


(16)

A. Sistem Pernafasan ... 8

B. Common Cold ... 11

1. Definisi... 11

2. Etiologi ... 12

3. Patogenesis... 12

4. Tanda dan Gejala... 13

5. Penatalaksanaan ... 15

C. Swamedikasi ... 19

1. Definisi ... 20

2. Perilaku Swamedikasi ... 21

3. Minor Ailment ... 21

4. Obat Bebas, Bebas Terbatas dan OWA ... 22

5. Pengobatan yang Rasional ... 23

6. Peran Apoteker dalam Swamedikasi... 25

7. Algoritma Swamedikasi pada Common Cold ... 26

D. Perilaku ... 27

1. Pengetahuan ... 29

2. Sikap... 31

3. Tindakan... 32

E. Teori tentang Perilaku ... 33

F. Beberapa Variabel yang berhubungan dengan Perilaku Swamedikasi ... 36

1. Pendidikan... 36

2. Pendapatan ... 36


(17)

G. Landasan Teori... 37

H. Hipotesis... 38

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 40

B. Variabel penelitian ... 41

C. Definisi Operasional ... 41

D. Subyek Penelitian... 43

E. Populasi dan Sampel ... 43

F. Teknik Sampling ... 44

G. Besar Sampel... 47

H. Lokasi Penelitian... 51

I. Waktu Penelitian ... 51

J. Instrumen Penelitian ... 52

K. Tata Cara Penelitian ... 55

L. Tata Cara Pengolahan Data... 60

M. Analisis Data ... 62

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Karakteristik Responden ... 63

B. Identifikasi Permasalahan yang Timbul dalam Swamedikasi Common Cold ... ... 72

1. Pengetahuan Responden tentang Swamedikasi ... 75

2. Kesesuaian Pengenalan Penyakit ... 72

3. Kesesuaian Pemilihan Obat... 78


(18)

C. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Swamedikasi Common

Cold .... ... 82

D. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Perilaku Swamedikasi Common Cold .... ... 87

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran . ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

LAMPIRAN... 98

BIOGRAFI PENULIS ... 171


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Gejala pada penyakit gangguan pernafasan ... 14

Tabel II. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi 21

Tabel III. Kabupaten dan Kota di Propinsi DIY ... 44

Tabel IV. Jumlah dan distribusi sampel ... 48

Tabel V. Jumlah dan distribusi sampel di Kabupaten Kulon Progo ... 48

Tabel VI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Nanggulan... 48

Tabel VII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Banyuroto... 49

Tabel VIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Donomulyo ... 49

Tabel IX. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wates ... 49

Tabel X. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Sogan ... 49

Tabel XI. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wates ... 49

Tabel XII. Jumlah dan distribusi sampel di Kotamadya Yogyakarta ... 49

Tabel XIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Gondokusuman.. 50

Tabel XIV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Demangan ... 50

Tabel XV. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Baciro ... 50

Tabel XVI. Jumlah dan distribusi sampel di Kecamatan Wirobrajan... 50

Tabel XVII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Wirobrajan ... 50

Tabel XVIIII. Jumlah dan distribusi sampel di Kelurahan Pakuncen... 51

Tabel XIX. Bagia-bagian pedoman wawancara... 52

Tabel XX. Bagian-bagian kuesioner... 54

Tabel XXI. Merk obat common cold yang digunakan responden... 70


(20)

Tabel XXII. Sumber perolehan obat yang digunakan responden... 71 Tabel XXIII. Permasalahan yang timbul pada pemahaman responden tentang

swamedikasi ... 73 Tabel XXIVI. Permasalahan pada kesesaian pengenalan penyakit... 75 Tabel XXV. Permasalahan pada kesesuaian pemilihan obat... 79 Tabel XXVI. Jenis distribusi dari data pengetahuan, sikap, dan tindakan

swamedikasi common cold responden ... 82 Tabel XXVII. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan pengetahuan

swamedikasi common cold responden... 84 Tabel XXVIII. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan sikap

swamedikasi common cold responden ... 85 Tabel XXIX. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan dan tindakan

swamedikasi common cold responden ... 86 Tabel XXX. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan pengetahuan

swamedikasi common cold responden ... 87 Tabel XXXI. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan sikap

swamedikasi common cold responden ... 89 Tabel XXXII. Distribusi responden menurut tingkat pendapatan dan tindakan

swamedikasi common cold responden ... 90


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur saluran pernafasan... 10

Gambar 2. Mekanisme virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi... 13

Gambar 3. Patogenesis common cold ... 13

Gambar 4. Bagan langkah-langkah dalam pengembangan intervensi yang dimaksudkan pada peningkatan penggunaan obat yang rasional oleh konsumen ... 24

Gambar 5. Langkah-langkah dalam peningkatan penggunaan obat yang rasional ... 24

Gambar 6. Algoritma swamedikasi common cold ... 26

Gambar 7. Hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi... 38

Gambar 8. Profil sampel klaster yang diperoleh dengan teknik klaster multi tahap... 46

Gambar 9. Bagan tata cara penelitian ... 61

Gambar 10. Karakteristik umur responden ... 63

Gambar 11. Karakteristik tingkat pendidikan responden... 64

Gambar 12. Kategorisasi tingkat pendidikan responden ... 65

Gambar 13. Karakteristik tingkat pendapatan responden ... 65

Gambar 14. Kategorisasi tingkat pendapatan responden ... 67

Gambar 15. Karakteristik jenis pekerjaan responden ... 67


(22)

Gambar 16. frekuensi responden melakukan swamedikasi dalam satu bulan terakhir ... 68 Gambar 17. Frekuensi responden terserang common cold dalam satu

bulan terakhir ... 69 Gambar 18. Jenis obat yang digunakanresponden dalam swamedikasi

common cold... 69 Gambar 18. Keutuhan kemasan obat yang dibeli oleh responden ... 72


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Perijinan ... 98 Lampiran 2. Pedoman wawancara... 116 Lampiran 3. Kuesioner ... 122 Lampiran 4. Hasil uji reliabilitas kuesioner... 125 Lampiran 5. Data karakteristik rsponden ... 126 Lampiran 6. Data skor hasil kuesioner ... 129 Lampiran 7. Analitik deskriptif variabel pengetahuan, sikap dan tindakan . 134 Lampiran 8. Hasil uji statistik chi-square ... 135 Lampiran 9. Hasil wawancara ... 141


(24)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Salah satu kebiasaan manusia yang diwarisi dari nenek moyangnya ialah melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri jika menderita sakit (Sartono,1993). Swamedikasi adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat-obat tanpa resep untuk mengatasi penyakit-penyakit ringan (minor illness) secara tepat dan bertanggung jawab (Holt dan Hall, 1990). Swamedikasi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat tradisional atau jamu dan obat-obat modern baik dari golongan obat bebas maupun golongan obat bebas terbatas (Sartono, 1993).

Tindakan swamedikasi (self medication) mempunyai kecenderungan untuk meningkat dari waktu ke waktu. Beberapa faktor dapat dikatakan berperan dalam peningkatan tersebut, yaitu: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat – obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau OTR / Obat Tanpa Resep (OTC / Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan (WHO, 1998).


(25)

Dalam menentukan pengambilan keputusan pengobatan mandiri dapat dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pengetahuan, tingkat pendidikan, serta persepsi seseorang terhadap gejala-gejala penyakit dan cara penyembuhannya. Keterkaitan terhadap struktur budaya setempat dan latar belakang pendidikan turut menentukan pengambilan keputusan swamedikasi (Schwartz & Hoopes, 1990).

Common cold merupakan infeksi virus yang dapat sembuh dengan sendirinya, merupakan 50% dari semua penyakit yang dialami orang dewasa dan sekitar 75% dari penyakit pada anak-anak (Tietze, 2004). Menurut hasil sensus .

US Census Bureau, International Data Base menunjukkan bahwa kejadian common cold sebanyak 66 juta kasus di Amerika Serikat pada tahun 1994 dan hampir separuh dari kasus tersebut terjadi pada usia dibawah 17 tahun (Anonim, 2004). Berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2002 menunjukkan bahwa 45,14 % penduduk Indonesia mempunyai keluhan sakit common cold sedangkan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 47,13% (DepKes RI, 2003).

Common cold termasuk penyakit yang banyak diderita dan ditanggulangi dengan menggunakan obat tanpa resep (Covington, 2000). Hal ini juga dipertegas oleh Tieze (2004) bahwa salah satu penyakit yang banyak diobati dengan melakukan swamedikasi adalah common cold dan alergi rhinitis (Tietze, 2004). Walaupun common cold merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya dan dapat ditangani dengan melakukan swamedikasi, namun tetap harus diperhatikan bahwa gejala pada common cold mempunyai kemiripan gejala


(26)

dengan penyakit infeksi saluran pernapasan lain. Menurut (Slotnick, 2001), infeksi pada common cold dapat juga mengakibatkan tubuh mudah terserang tipe infeksi lain, termasuk bronkritis, infeksi telinga, dan infeksi sinus. Gejala common cold yang berlangsung lebih dari satu minggu dapat juga menunjukkan adanya penyakit yang lebih parah, seperti influenza atau pneumonia. Oleh karena itu ketepatan pengenalan penyakit dan pemilihan tindakan maupun pemilihan obat dalam swamedikasi common cold harus diperhatikan.

Permasalahan seputar swamedikasi relatif banyak yang tidak muncul ke permukaan karena sesuai dengan konsep swamedikasi bahwa tindakan pengobatan dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa intervensi dan pengawasan dari tenaga kesehatan. Obat – obat yang digunakan untuk swamedikasi juga obat tanpa resep yang dapat diperoleh di warung – warung biasa dan tidak harus di apotek. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengobatan sendiri sakit kepala, demam, batuk dan pilek di Jawa Barat (Supardi dan Notosiswoyo, 2005) menunjukkan bahwa pengobatan sendiri yang benar (sesuai dengan aturan) masih rendah.

Sebagai responden dalam penelitian ini adalah ibu-ibu. Seorang ibu mempunyai peranan yang penting dalam kesehatan keluarga. Tindakan swamedikasi yang dilakukan oleh seorang ibu tentu berpengaruh terhadap keluarga, baik untuk mengatasi masalah kesehatan anggota keluarga maupun dirinya sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku


(27)

swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1. Permasalahan Penelitian

a. Seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ?

b. Seperti apa permasalahan yang timbul dalam swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

c. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

d. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan terhadap perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Daerah Istimewa Yogyakarta belum pernah dilakukan, meskipun ditemukan penelitian-penelitian sejenis. Penelitian mengenai evaluasi pemilihan dan penggunaan obat selesma tanpa resep di kalangan orang tua murid kelompok bermain dan taman kanak-kanak di kecamatan Umbulharjo pernah dilakukan oleh Putri (2006).


(28)

Penelitian tersebut lebih menguraikan tentang pemilihan dan penggunaan obat selesma tanpa resep untuk anak yang dilakukan oleh orang tua. Penelitian mengenai pengobatan sendiri dengan obat selesma tanpa resep yang dilakukan oleh Kusumaningrum (2000) yang lebih menguraikan tentang pertimbangan mahasiswa Universitas Sanata Dharma dalam Pemilihan obat selesma. Penelitian mengenai Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan Pilek pada Masyarakat di Desa Ciwalen, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat oleh Supardi dan Notosiswoyo (2005) yang dilakukan untuk menggali pola perilaku swamedikasi yang dikhususkan pada penyakit demam, sakit kepala, batuk dan pilek, yang dilakukan dengan wawancara.

Perbedaan dengan penelitian terdahulu terdapat pada subyek penelitian yang digunakan, jenis instrumen dan pendekatan analisis datanya. Penelitian ini dilakukan pada ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan untuk mengetahui gambaran permasalahan yang muncul pada swamedikasi common cold serta mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu. Instrument penelitian berupa kuesioner skala Likert dan pedoman wawancara. Data kualitatif dari hasil wawancara diolah secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif diolah dengan uji statistik chi-square.


(29)

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dibidang kefarmasian mengenai gambaran permasalahan yang timbul pada swamedikasi common cold serta memberikan informasi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu farmasi mengenai hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Manfaat praktis

Dengan mengetahui gambaran permasalahan dalam swamedikasi common cold serta hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi common cold maka hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan model edukasi swamedikasi common cold pada suatu populasi agar dapat melakukan tindakan swamedikasi secara tepat dan benar dalam menangani penyakit common cold.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan pada perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta mengetahui hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan terhadap perilaku swamedikasi common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada akhirnya akan digunakan


(30)

sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan model edukasi swamedikasi common cold .

2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk :

a. Mengetahui karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi penyakit common cold di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Mengetahui gambaran permasalahan yang timbul dalam swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

c. Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

d. Mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


(31)

BAB II

PENELAHAAN PUSTAKA

A. Sistem Pernafasan

Pernafasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Fungsi dari sistem pernapasan adalah untuk mengambil O2 yang kemudian dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk mengadakan pembakaran, mengeluarkan CO2 hasil dari metabolisme (Gunawan, 2006).

a. Hidung

Merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang dipisahkan oleh sekat septum nasi. Di dalamnya terdapat bulu-bulu untuk menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk menghangatkan udara (Gunawan, 2006). Udara kering, panas, atau dingin dilembabkan dan dihangatkan atau didinginkan pada waktu mereka melewati membran hidung yang kaya akan darah (Hardnge and Shryock, 2003).

b. Faring

Faring atau kerongkongan merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Faring terdapat di bawah dasar pernapasan, di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher (Gunawan, 2006). Sejumlah jaringan limfoid yang agak terpisah mengelilingi faring. Di


(32)

bagian atas, di sebelah kanan dan kiri, terdapat adenoids yang mengelilingi saluran pendengaran. Sedikit di bawah adenoids terdapat amandel atau palatine tonsils di kanan dan kiri. Di antara amandel terdapat jaringan limfe kecil yang agak terpencar. Pada waktu udara yang dihirup melewati struktur limfe ini, mereka menyaring kuman-kuman penyebab penyakit (Hardnge and Shryock, 2003).

c. Laring

Merupakan saluran udara dan bertindak sebelum sebagai pembentuk suara. Terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglottis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Gunawan, 2006).

d. Trakea

Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan (Gunawan, 2006). Bila fungsi silia terganggu sehingga lendir berkumpul, maka batuk akan membersihkan saluran pernafasan (Hardnge and Shryock, 2003). e. Bronkus

Merupakan lanjutan dari trakea, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Cabang bronkus yang lebih kecil dinamakan


(33)

bronkiolus, disini terdapat cincin dan terdapat gelembung paru yang disebut alveolli (Gunawan, 2006).

f. Paru-paru

Paru-paru merupakan saluran bercabang-cabang, dari cabang tenggorok besar hingga bronchioles. Bronchioles yang jumlahnya sangat banyak terdiri dari kantung-kantung udara yang disebut alveoli. Dinding alveoli ini hanya setebal satu lapis sel, sehingga memungkinkan oksigen dan karbondioksida bisa keluar masuk dengan bebas melewati pembuluh-pembuluh darah kapiler yang berdekatan (Hardnge and Shryock, 2003).


(34)

Pusat saraf di otak secara otomatis mengendalikan proses pernafasan. Pusat ini mengirimkan impuls-impuls saraf ke otot-otot pernafasan supaya berkontraksi dan mengendor secara bergantian. Pusat pernafasan mengendalikan tindakan-tindakan seperti batuk dan bersin. Bila lapisan saluran pernafasan teriritasi, pusat pernafasan memberikan tanda pada otot perut untuk segera berkontraksi. Hal ini dengan tiba-tiba mendorong udara ke arah atas melalui saluran udara. Pada batuk, udara dipaksa keluar melalui mulut; pada bersin, melalui hidung dan mulut. Tindakan tiba-tiba batuk dan bersin menolong mengeluarkan zat-zat yang menyebabkan terjadinya iritasi (Hardnge and Shryock, 2003).

B. Common cold

1. Definisi

Common cold merupakan infeksi virus pada saluran pernafasan atas yang dapat sembuh dengan sendirinya. Penyebab yang paling sering pada Common cold adalah Rhinovirus (Tietze, 2004). Bryant and Lombardy (1990) mendefinisikan common cold sebagai gabungan berbagai gejala yang mengganggu saluran pernafasan atas, terutama selaput lendir hidung yang disebabkan oleh virus. Menurut Hardnge and Shryock (2003), common cold adalah infeksi saluran pernafasan bagian atas (hidung, sinus, kerongkongan) yang disebabkan oleh salah satu dari kemungkinan dua ratus virus, yang menyerang sel-sel lapisan tersebut, menyebabkan lapisan tersebut mengeluarkan lendir.


(35)

2. Etiologi

Rhinovirus, merupakan penyebab common cold yang paling sering, sekitar 50%, pada orang dewasa dan anak-anak. Patogen lain yang dapat menyebabkan gejala pada saluran pernafasan yang mirip dengan common cold adalah Coronavirus, Parainfluenza virus, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus, Echovirus dan Chocksakievirus (Tietze, 2004). Kondisi yang dapat memicu timbulnya common cold antara lain daya tahan tubuh yang lemah atau menurun, pergantian musim biasanya musim dingin, usia balita dan anak-anak lebih mudah terserang common cold dan pada wanita berkaitan dengan siklus menstruasi. Infeksi silang common cold kebanyakan terjadi dari kontak secara fisik atau udara yang disebarkan melalui bersin dan batuk (Li Wan Po, 1997).

3. Patogenesis

Infeksi dimulai ketika Rhinovirus berikatan pada intercellular adhesion molecular-1 reseptor pada sel epithelial pernafasan di hidung dan nasofaring, virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi. Hal ini menyebabkan terjadinya komplek reaksi sistem imun di jaringan yang melibatkan akumulasi dan aktivasi leukosit dan protein plasma di tempat infeksi, yang akan mengeluarkan chemokine distress signal dan sitokin, sehingga mengaktifkan mediator nyeri dan reflek neurogenik, menghasilkan penambahan mediator nyeri, vasodilatasi, transudasi plasma, sekresi glandular, dan stimulasi reflek nyeri serabut saraf serta bersin dan batuk. Terjadinya hipersekresi cairan hidung yang disebabkan reflek mediator nyeri dan mekanisme sistem saraf parasimpatik (Tietze, 2004).


(36)

Gambar 2. Mekanisme virus mengalami replikasi dan menyebarkan infeksi (Slotnick, 2001)

Rhinovirus berikatan dengan reseptor ICAM-1

Virus mengalami replikasi dan menyebabkan infeksi

Terjadi komplek reaksi sistem imun di jaringan yang melibatkan akumulasi dan aktivasi leukosit mengeluarkan chemokine distress signal atau sitokin

Mengaktivkan mediator nyeri dan reflek neurogenik

Vasodilatasi

Keluarnya lendir pada hidung

Sakit tenggorokan

Stimulasi reflek nyeri serabut saraf

Hidung tersumbat Pengeluaran histamine

dari sel mast

Bersin-bersin Batuk Formasi bradykinin,

histamine atau prostaglandin


(37)

4. Tanda dan Gejala

Gejala pada common cold mulai timbul 1-3 hari setelah terinfeksi. Tenggorokan sakit merupakan gejala pertama yang diikuti dengan hidung tersumbat, rhinorrhea (keluarnya lendir pada hidung), bersin, dan batuk. Pasien akan merasa dingin, sakit kepala, merasa tidak enak badan, myalgia (nyeri otot) atau demam dengan suhu rendah. Tenggorokan sakit akan berubah dengan cepat. Gejala berupa rasa tidak menyenangkan pada hidung terjadi selama 2 atau 3 hari dan batuk, walaupun gejalanya tidak sering (< 20 %), terjadi selama 4 atau 5 hari. Gejala common cold terjadi berkisar 7 hari. Tanda dan gejala common cold hampir sama dengan influenza atau penyakit pernafasan lainnya (Tietze, 2004).

Tabel I. Gejala pada penyakit gangguan parnafasan (Tietze, 2004)

Penyakit Tanda dan Gejala

Rhinitis alergi

Asma

Infeksi bakteri pada Tenggorokan Croup

Influenza

Otitis media

Pnemonia atau bronkritis

Sinusitis

Whooping cough

Mata berair, gatal pada hidung, mata atau tenggorokan, akumulasi cairan yang berlebihan atau keluarnya lendir jernih pada hidung Batuk, sesak nafas nafas berbunyi

Sakit pada tenggorokan, demam, nyeri tekan atau pembengkakan kelenjar limfe

Demam, rhinitis, dan faringitis . Berkembang menjadi batuk, stridor, dan susah bernafas

Nyeri otot, nyeri pada sendi, demam, sakit tenggorokan, batuk tidak produktif

Ear popping, nyeri pada telingga, keluarnya sekret telinga, pendengaran berkurang, kepala seperti berputar

Nyeri pada dada, nafas berbunyi, susah bernafas, batuk produktif, demam yang menetap

Nyeri tekan pada sinus, nyeri pada wajah, demam lebih sari 38,6◦C, sakit gigi, gejala pada saluran pernafasan atas lebih dari 7 hari dengan respon yang rendah pada dekongestan

Fase initial catarrhal yang meliputi keluarnya lender pada hidung, bersin, batuk ringan, bersin selama 1-2 minggu, diikuti batuk paroximal 1-6 minggu


(38)

Menurut Donatus (1997), perbedaan antara common cold, rhinitis alergi, dan influenza terletak pada penyebab dan gejala. Isolasi dan identifikasi virus penyebab merupakan metode yang efektif, namun metode tersebut tidak semudah dalam praktek yang relevan. Influenza biasanya menimbulkan gejala yang lebih serius daripada common cold diantaranya adanya temperatur tinggi, lemah dan lesu, sering digunakan untuk indikasi influenza daripada common cold (Li Wan Po, 1997).

5. Penatalaksanaan a. Tujuan Terapi

Common cold merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Oleh karena itu pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk meringankan gejalanya saja (Tietze, 2004).

b. Sasaran Terapi

Tidak semua gejala yang timbul harus diobati. Karena merupakan perluasan gejala sebelumnya, sehingga sasaran terapi adalah gejala yang paling berat dan merupakan awal rantai gejala berikutnya yaitu cairan nasal dan sumbatan nasal. Dengan berkurangnya cairan dan sumbatan nasal, rentetan gejala berikutnya kemungkinan besar juga akan berkurang (Donatus, 1997).

c. Strategi Terapi

Gejala cairan dan sumbatan nasal pada common cold dapat dikurangi atau dihilangkan dengan dua macam terapi, yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.


(39)

1) Terapi non Farmakologis

Terapi non farmakologis merupakan terapi tanpa obat, antara lain dengan menambah asupan cairan seperti memperbanyak minum, istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi dan minum minuman yang hangat (Tietze, 2004). 2) Terapi Farmakologis

Dekongestan merupakan terapi utama common cold. Hidung tersumbat dapat dihilangkan dengan dekongestan agonis adrenergik topikal atau oral. Keluarnya lendir cair pada hidung disebabkan oleh beberapa faktor dan hanya sebagian yang dapat ditangani dengan pengobatan yang tersedia. Antihistamin dan obat antikolinergik dapat mengurangi gejala keluarnya lendir dari hidung. Bersin merupakan gejala yang umum namun ringan, dapat dikurangi dengan antihistamin. Batuk sekunder dengan postnasal drip dapat sembuh dengan sendirinya namun dapat ditangani dengan dekongestan atau antitusif. Demam dapat ditangani dengan antipiretik sistemik (Tietze,2004).

a) Dekongestan

Dekongestan khusus untuk menangani sinus dan hidung tersumbat (Tietze, 2004). Obat dekongestan termasuk golongan simpatomimetik amin. Daya kerjanya sebagai vasokontriktor, yaitu mengecilkan pembuluh darah yang membengkak pada lapisan mukosa hidung. Obat dekongestan melapangkan saluran napas dan mengeringkan hidung dan sinus. Daya kerja ini disebabkan oleh aktivitas alfa-adenergik. Kecuali atas petunjuk dan pengawasan dokter, obat dekongestan kontraindikasi bagi penderita penyakit glaukoma, tekanan darah tinggi, penyakit jantung (karena efeknya menekan), penyakit diabetes melittus,


(40)

penyakit kelenjar tiroid. Efek samping lain yang tidak dikehendaki ialah gelisah, gugup, perut terasa tidak enak, dan sukar tidur (Sartono, 1993).

Dekongestan dibagi menjadi dua, yaitu dekongestan oral dan topikal. Dekongestan oral yang direkomendasikan oleh FDA (Food and drug Administration) adalah fenilefrin dan pseudoefedrin. Dekongestan dikontraindikasikan terhadap penderita dengan riwayat hipersensitif, penderita yang mendapat terapi MAO. Selain itu beberapa dekongestan dikontraindikasikan untuk anak dibawah usia 12 tahun. Dekongestan topikal biasanya berefek lebih lama daripada dekongestan oral. Dekongestan topikal yang beredar di pasaran antara lain efedrin, epinefrin, fenilefrin, nafazolin, tetrahidrazolin, oximetazolin, dan xilometazolin (Tietze, 2004).

b) Antihistamin

Obat antihistamin dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi gejala yang diakibatkan oleh sekresi kelenjar lendir yang berlebihan, yang menyebabkan hidung tersumbat oleh cairan lendir dan mata terasa gatal. Obat antihistamin mengurangi daya kerja histamin dengan menempati tempat yang seharusnya untuk histamin pada reseptor H1. Efek samping obat antihistamin yang

perlu mendapat perhatian ialah mengantuk, yang dapat mengurangi kemampuan orang khususnya dalam mengendari kendaraan bermotor (Sartono, 1993). Antihistamin juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitif atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih. Antihistamin mempunyai efek mengantuk dan dikontraindikasikan bagi penderita glaucoma, asma, dan wanita yang menyusui. Antihistamin yang sering digunakan antara lain


(41)

klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, prometazin HCl, tripolidin (Anonim, 1997).

c) Anastetik lokal

Lonzenges, troches, pencuci mulut dan sprays berisi anastetik lokal (contohnya benzokain,) tersedia untuk membebaskan dari sakit tenggorokan (Tietze, 2004).

d) Analgesik-Antipiretik

Analgesik sistemik efektif untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit yang kadang dihubungkan dengan common cold. Ketika pasien demam (pada common cold berkisar 100˚F atau 37,8˚C) obat antipiretik tanpa resep merupakan terapi yang efektif (Tietze, 2004). Obat analgetik-antipiretik adalah obat-obat yang menghilangkan atau mengurangi rasa sakit, sekaligus menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Obat analgetik-antipiretik mempengaruhi pusat-pusat pengatur kalor dari sistem saraf pusat (SSP) yang terletak di hipotalamus. Reaksi yang timbul adalah vasodilatasi pada kulit yang mengakibatkan pengeluaran kalor bertambah. Menurut Sartono (1993), obat analgetik-antipiretik dapat digolongkan antara lain turunan salisilat (asetosal dan salisilamid), turunan para-aminofenol (asetaminofen), turunan pirazolon (metampiron dan fenilbutazon), turunan asam antharanilat (asam mefenamat), turunan indene (indometasin), golongan feniramidol (feniramidol HCl).

e) Antitusif dan Ekspektoran

Ketika muncul gejala batuk, biasanya merupakan batuk yang non produktif dan dapat ditekan dengan antitusif (Tietze, 2004). Batuk yang tidak


(42)

produktif biasanya disebabkan karena terjadinya iritasi pada mukosa faringeal dan trakea. Antitusif tidak boleh dipakai pada kasus batuk yang produktif atau berdahak. Batuk berdahak biasanya diobati dengan cara mengurangi dahak pada trakhea. Pengobatan batuk berdahak dengan ekspektoran bertujuan mengencerkan dahak sehingga mudah dikeluarkan (Bryant and Lombardy, 1990). Golongan antitusif yang disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) meliputi kodein, dekstrometorfan dan difenihidramin (Tietze, 2004).

C. Swamedikasi 1. Definisi

Swamedikasi adalah bagian dari self-care. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1998, self-care didefinisikan sebagai “what people do for themselves to establish and maintain health, prevent and deal with illness”. Sedangkan swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat – obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri (“the selection and use of medicines (include herbal and tradisional product) by individuals to treat self-recognised illnesses or symptoms”). Sesuai dengan pernyataan bersama antara World Self-Medication Industry (WSMI) dan Federation International Pharmaceutical (FIP), self-medication atau swamedikasi didefinisikan sebagai penggunaan obat – obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri (FIP & WSMI, 1999). Beberapa pustaka menyebutkan definisi swamedikasi yang berbeda - beda, tetapi yang sering dipakai secara luas adalah


(43)

pengobatan menggunakan obat tanpa resep. Terkait dengan penyakitnya, maka yang termasuk dalam lingkup swamedikasi adalah minor illnesses atau gejala yang mampu dikenali sendiri oleh penderita. Seringkali pula istilah self-care dan self-medication digunakan secara sinonim.

2. Perilaku swamedikasi

Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemiologi, ketersediaan pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep, dan faktor sosial ekonomi (Holt and Hall, 1990). Suatu survei yang pernah dilakukan di Amerika Serikat menyebutkan bahwa terjadi peningkatan perilaku swamedikasi di kalangan masyarakat dengan beberapa parameter yaitu: 1) tingkat kepuasan konsumen terhadap keputusan mereka sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya, 2) kecenderungan melakukan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep untuk mengatasi simptom yang dirasakan dan penyakit ringan yang umum diderita, 3) keyakinan bahwa obat tanpa resep aman digunakan apabila dipakai sesuai petunjuk, 4) keinginan agar beberapa obat yang saat itu harus diperoleh dengan resep dokter, diubah menjadi tanpa resep, 5) kesadaran membaca label sebelum memilih dan menggunakan obat tanpa resep, terutama mengenai aturan pakai dan cara pakai serta efek samping obat (Pal, 2002). Penggunaan obat tanpa resep untuk swamedikasi menuntut kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkualitas dan memberikan efikasi sesuai yang diharapkan (Holt and Hall, 1990).


(44)

Swamedikasi untuk gejala atau penyakit ringan dirasakan oleh penderita memberikan keuntungan, antara lain kepraktisan dan kemudahan melakukan tindakan pengobatan dan biaya yang dikeluarkan lebih murah (Rantucci, 1997). Beberapa keuntungan dan kerugian sehubungan dengan peningkatan perilaku swamedikasi terhadap penderita, dokter / pelayanan kesehatan, farmasis, pengambil kebijakan dan industri farmasi dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini (Sihvo, 2000).

Tabel II. Keuntungan dan Kerugian Peningkatan Perilaku Swamedikasi (Sihvo, 2000)

Obyek Keuntungan Kerugian

Kenyamanan dan kemudahan akses

Diagnosis tidak sesuai / tertunda

Tanpa biaya periksa / konsultasi

Pengobatan berlebihan / tidak sesuai

Hemat waktu Kebiasaan menggunakan OTR

Empowerment Adverse Drug Reaction

Ada indikasi yang tak terobati

Pasien

Kenaikan biaya berobat

Penurunan beban kerja Tidak dapat melakukan monitoring terapi

Lebih banyak waktu untuk menangani kasus penyakit berat

Kehilangan kesempatan untuk konseling dengan pasien Berkurangnya peran Dokter/ sarana

pelayanan kesehatan

Berkurangnya pendapatan Farmasis Perannya akan lebih

dibutuhkan di Apotek

Adanya konflik kepentingan antara bisnis dan etika profesi Pengambil kebijakan Menghemat biaya kesehatan

masyarakat

Industri Farmasi Meningkatkan profit pada penjualan obat bebas

-

3. Minor Ailment

Terdapat bermacam – macam pengertian minor ailments, namun secara umum didefinisikan sebagai kondisi klinis yang relatif ringan dan hanya


(45)

membutuhkan sedikit intervensi atau bahkan tidak sama sekali (self-limited disease). Beberapa contoh penyakit ringan antara lain infeksi saluran napas atas karena virus, pusing, demam, batuk, gusi bengkak, dermatitis kontak, diare, dll (Colin-Thome, 2004).

4. Obat Bebas, Bebas Terbatas dan OWA

Penggolongan obat di Indonesia terdiri dari 6 golongan yaitu: 1) obat bebas, 2) obat bebas terbatas, 3) obat wajib apotek (OWA), 4) obat keras, 5) psikotropika, dan 6) narkotika (DepKes RI, 1996c). Golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah obat bebas, bebas terbatas dan OWA, khusus untuk yang disebut terakhir adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter hanya oleh apoteker di apotek dan terbatas pada obat keras yang tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Obat Wajib Apotek (DepKes RI, 1996b).

Golongan obat bebas dapat diperoleh secara bebas tanpa resep dokter, baik di apotek maupun di toko-toko atau warung. Obat bebas terbatas juga dapat dibeli tanpa resep dokter, dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah ditentukan dan disertai tanda peringatan (Depkes RI, 1996c).

Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter untuk swamedikasi harus memenuhi kriteria, yaitu: 1) tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas usia 65 tahun, 2) pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit, 3) penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, 4) penggunaannya diperlukan


(46)

untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, 5) obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri (Depkes RI, 1993).

5. Pengobatan yang Rasional

Penggunaan obat secara rasional dapat diartikan sebagai pengobatan terhadap penyakit, apabila pasien menerima obat yang memenuhi persyaratan antara lain tepat indikasi (obat yang akan digunakan berdasarkan pada diagnosis penyakit yang akurat), tepat penderita (tidak ada kontraindikasi atau kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis atau mempermudah timbulnya efek samping), tepat obat (pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan keamanan), tepat dosis (takaran, jalur, saat, dan lama pemberian sesuai dengan kondisi penderita), dan waspada efek samping obat (Donatus, 1997).

World Health Organization (2004) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesesuaian penggunaan obat yang rasional oleh masyarakat dibutuhkan suatu edukasi. Intervensi atau edukasi yang diberikan kepada konsumen akan lebih relevan apabila hal tersebut difokuskan pada pola umum penggunaan obat yang tidak rasional, dan permasalahan yang terdapat pada penggunaan obat. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menentukan intervensi yang akan diberikan ditunjukkan pada gambar 4 dan 5.


(47)

Langkah 1

Mendeskripsikan penggunaan obat dan

mengidentifikasi permasalahan

Meningkatka intervensi

Langkah 3

Menganalisis permasalahan dan mengidentifikasi solusi/penyelesaian Langkah 4 Memilih dan mengembangkan intervensi Meningkatkan intervensi Meningkatkan analisis Langkah 7

Memonitor dan mengevaluasi intervensi

Langkah 6

Menerapkan/mengimplementasikan intervensi

Langkah 5

Pre-test intervensi

Langkah 2

Memprioritaskan permasalahan

Gambar 4. Bagan langkah-langkah dalam pengembangan suatu intervensi yang dimaksudkan pada peningkatan penggunaan obat yangrasional oleh konsumen

(WHO, 2004)

EXAMINE

Mengukur Praktek yang Ada ( penelitian deskriptif kuantitatif)

TREAT

Peningkatan intervensi Peningkatan

Diagnosis

Merancang dan menerapkan intervensi (mengumpulkan data

untuk mengukur hasil)

FOLLOW UP

Mengukur hasil perubahan intervensi (evaluasi kuantitatif dan kualitatif)

DIAGNOSE

Identifikasi permasalahan dan penyebabnya (in-dept quantitativeand qualitative studi)

Gambar 5. Langkah-Langkah dalam peningkatan penggunaan obat yang rasional (Hubley, 1993)


(48)

6. Peran Apoteker Dalam Swamedikasi

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15 ayat 4 menyebutkan bahwa dalam upaya penggunaan obat yang benar oleh masyarakat, apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat (DepKes RI, 1996a). Dalam menyikapi perilaku swamedikasi maka peran apoteker dalam pemberian informasi obat sangat mendukung swamedikasi yang rasional.

Peran Apoteker dalam swamedikasi adalah dalam hal pemberian informasi, saran dan konseling. Peran ini dapat membantu masyarakat memilih produk obat yang efektif dan aman. Apoteker tidak hanya memberikan informasi obat namun bisa pula membantu dan merekomendasikan obat apa yang sebaiknya dipilih oleh pasien. Apoteker tidak hanya bertugas untuk menyediakan, menyiapkan dan menyerahkan obat saja, namun harus menjamin bahwa obat yang diberikan efektif, aman, dan bermutu baik serta sesuai dengan kebutuhan pasien. Dalam pengobatan sendiri, apoteker juga berperan dalam hal pemberian informasi penggunaan obat dengan tepat dan menyarankan agar pasien patuh dalam pemakaian obat (Isetts and Brown, 2004).


(49)

7. Algoritma swamedikasi pada common cold

Pasien menderita common cold

Mengetahui riwayat pengobatan, termasuk dengan obat-obat alternatif (tidak)

(ya)

Kriteria ekslusi swamedikasi:

Demam > 38,5 C; nyeri dada; nafas menjadi pendek; gejala yang semakin memburuk; penyakit kardiopulmonari, seperti asma, COPD, CHF; penyakit immunosuppressant, AIDS; pasien dalam kondisi yang lemah

Hubungi dokter

(ya)

(tidak) (ya)

(tidak)

Kepala pusing dan nyeri

demam pharingitis

Analgesik sistemik

Antipiretik sistemik

Obat kumur, anastetik lokal atau lonzenges

Digunakan decongestan hidung dan antihistamin atau produk yang mengandung alcohol pada malam hari

Disesuaikan dosisnya atau mengganti dengan agen lain.

Dilakukan perawatan sendiri penyakit alergi

Apakah gejala berkurang setelah 7-10 hari?

Keluhan tambahan susah tidur Salin nasal spray

atau dcongestan Hidung tersumbat dan keluarnya lendir

hidung

Dilakukan perawatan sendiri penyakit batuk

Gejala berkaitan dengan alergi Keluhan utama adalah batuk

Dianjurkan dengan terapi tanpa obat dengan minum banyak dan istirahat cukup

(ya)

terapi sesuai dengan yang dibutuhkan i


(50)

D. Perilaku

Perilaku merupakan respon dari seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya dan perilaku seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang obyek tersebut, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya ( Sarwono, 1997).

Perilaku kesehatan adalah segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan tentang kesehatan, serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dari dalam maupun dari luar individu (Sarwono, 1997).

Perilaku dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat ketika terserang penyakit ada bermacam-macam, diantaranya adalah (1) tanpa tindakan atau no action, alasannya kondisi yang dialami tidak mengganggu kegiatan atau pekerjaan mereka sehari-hari dan mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apa-apa simptom yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. No action itu juga bisa disebabkan fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsif dan sebagainya. (2)mengobati sendiri (self treatment) dengan alasan yang sama seperti di atas, ditambah dengan kepercayaan terhadap diri sendiri untuk mengobati penyakit yang diderita berdasarkan pengalaman-pengalaman pengobatan sendiri yang sudah menimbulkan kesembuhan. Self treatment yang dilakukan ada dua macam, yaitu mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional dan mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung. Obat-obat yang digunakan


(51)

umumnya adalah obat-obat tanpa resep. (3) mencari pangobatan ke fasilitas pengobatan modern, baik itu dokter praktek, rumah sakit, balai pengobatan, atau puskesmas (Notoatmodjo, 2003).

Untuk menganalisis bagaimana proses seseorang dalam membuat keputusan sehubungan dengan pencarian atau pemecahan masalah perawatan kesehatanya, dibagi kedalam 5 tahap, yaitu :

1. tahap pengalaman atau pengenalan gejala (the symptom experience). Pada tahap ini individu membuat keputusan bahwa di dalam dirinya ada suatu gejala penyakit, yang didasarkan kepada adanya ketidak-enakan pada badannya, kmudian juga rasa tidak enak, gejala tersebut dirasaka sebagai ancaman bagi dirinya.

2. tahap asumsi peranan sakit (the assumption of the sick role). Pada tahap ini individu membuat keputusan bahwa ia sakit dan memerlukan pengobatan kemudian ia mulai berusaha untuk mengobati sendiri dengan caranya sendiri. Di samping itu ia mulai mencari informasi dari anggota keluarga lain, tetangga atau teman sekerja.

3. tahap kontak dengan pelayanan kesehatan (the medical care contact). Pada tahap ini individu mulai berhubungan dengan fasilits kesehatan atau pelayanan kesehatan, sesuai dengan pengetahuan, pengalaman serta informasi yang ada pada dirinya tentang jenis-jenis pelayanan kesehatan.

4. tahap ketergantungan pasien (the dependent patient stage). Pada tahap ini individu memutuskan bahwa dirinya, karena peranannya sebagai psien, maka untuk kembali sehat harus tergantung dan pasrah pada fasilitas pengobatan.


(52)

5. tahap penyembuhan atau rehabilitasi (the recovery of rehabilitation). Pada tahap ini pasien atau individu memutuskan untuk melepaskan diri dari peran pasien. Dengan hal ini dapat terjadi dua kemungkinan, pertama ia pulih kembali seperti sebelum sakit. Kedua, ia menjadi cacat yang berarti tidak dapat sempurna melakukan fungsinya seperti sebelum sakit.

Kelima tahap kejadian tersebut sekaligus merupakan isi dan urutan dari prilaku sakit, tetapi dalam kenyataannya mungkin dapat berbeda, artinya kelima tahap ini tidak selalu ada pada semua penyakit (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003), untuk mengukur domain perilaku yang terdiri dari ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor diukur dari :

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, meliputi tahu (know), paham (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).


(53)

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai kegiatan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan contoh terhadap obyek yang dipelajari. Orang yang telah paham terhadap obyek materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat


(54)

dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2. Sikap

Sikap dikatakan sebagai respon. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki timbulnya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang dinyatakan sebagai sikap itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang memberi kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam berntuk baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka dan tidak suka, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 1995).

Menurut Notoatmodjo (2003), sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu prilaku. Sikap masih merupakan refleksi tertutup, bukan merupakan suatu reaksi terbuka atau


(55)

tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari beberapa tingkatan:

a. menerima (receiving), menerima diartikan bahwa subyek mau memperhatikan stimulus yang diberikan.

b. merespon (responding), memberikan jawaban ketika ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan sesuatu masalah adalah suatu indikasi sikap yang ketiga.

d. bertanggung jawab (responsible), bartanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. 3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas dan faktor pendukung (Notoatmodjo, 2003). Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsiran atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana – sarana yang paling tepat (Sarwono, 1997).


(56)

Menurut Notoatmodjo (2003), tindakan mempunyai beberapa tingkatan sebagai berikut ini:

a. persepsi (perception), persepsi diartikan sebagai mengenal dan memilih berbagai objek yang sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. respon terpimpin (guided response), dapat melakukan sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah indikator tindakan tingkat kedua. c. mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melalukan sesuatu

dengan benar secara otomatis, atau sesuatu yang sudah merupakan kebiasaan, maka sudah mencapai tindakan tingkat tiga.

d. adopsi (adoption), adopsi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

E. Teori tentang Perilaku 1. Teori Aksi

Teori aksi yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini (action theory) pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber. Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsirannya atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat (Ritzer, 1983, cit., Sarwono, 1997).


(57)

Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang mulai dengan mengkritik Weber, menyatakan bahwa aksi atau action itu bukanlah perilaku atau behavior. Aksi merupakan tanggapan atau respon mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif (Sarwono, 1997).

Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur perilaku (Poloma, 1987, cit., Sarwono, 1997). Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu.

2. Model Perubahan Perilaku dari Green

Suatu teori lain dikembangkan oleh Lawrence Green yang mengatakan bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor diluar perilaku (non perilaku). Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor: faktor-faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong. Faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Green menyatakan bahwa


(58)

pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya (Sarwono, 1997).

3. Model kepercayaan kesehatan dari Rosenstock

Menurut Rosenstock (1982) model kepercayaan kesehatan mencakup lima unsu utama (cit., Sarwono, 1997). Unsur utama adalah persepsi individu tentang kemungkinannya terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Unsur yang kedua adalah pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), yaitu resiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu. Semakin berat resiko suatu penyakit maka semakin besar kemungkinan individu itu terserang penyakit tersebut sehingga timbul ancaman yang besar dari dalam dirinya (perceived threast). Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Beberapa alternatif tindakan ditawarkan oleh petugas kesehatan untuk mengurangi ancaman tersebut. Individu akan mempertimbangkan, apakah alternatif tersebut dapat mengurangi ancaman penyakit. Sebaliknya, konsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan (biaya yang lebih mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali menimbulkan keinginan individu untuk menghindari alternatif yang dianjurkan petugas kesehatan. Dalam memutuskan, menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut, diperlukan satu unsur lagi yaitu faktor pencetus (cues to action) yang dapat datang dari dalam diri


(59)

individu, nasehat orang lain, kampanye kesehatan, dan lain-lain (cit., Sarwono, 1997).

F. Beberapa Variabel yang Berhubungan dengan Perilaku Swamedikasi 1. Pendidikan

Terkait erat dengan pengetahuan adalah pendidikan. Pendidikan didefinisikan sebagai serangkaian proses belajar yang ditandai dengan penyampaian materi dari pendidik terhadap anak didik dan bermaksud untuk menghasilkan perubahan tingkah laku. Terdapat korelasi negatif antara pendidikan ibu dengan angka kematian anak. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin rendah angka kematian anak, karena dengan semakin tinggi pendidikan perempuan, maka ia akan lebih berdaya dalam mengambil keputusan yang benar terhadap pengobatan anaknya. Hal ini akan mengurangi fatalitas dalam menghadapi anak yang sakit. Ibu yang berpendidikan tinggi juga akan lebih cepat menerima datangnya informasi-informasi positif mengenai kesehatan (Hendarwan, 2003). 2. Pendapatan

Pendapatan berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan. Bagi masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah, biaya pengobatan menjadi pertimbangan utama dalam mencari pengobatan. Biaya pengobatan menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, sehingga akan cenderung mencari pertolongan kesehatan disesuaikan dengan kemampuan keuangannya. Bukan tidak mustahil, apabila masyarakat tidak


(60)

memiliki keterbatasan dalam keuangan, maka mereka akan menggunakan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas (Hendarwan, 2003).

G. Landasan teori

Swamedikasi dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu keyakinan dan sikap, karakteristik demografi, status ekonomi, dan pendidikan atau pengetahuan konsumen. Faktor keyakinan dan sikap meliputi penghargaan terhadap nilai kesehatan, motivasi dan tanggung jawab untuk mempelajari penyakit yang diderita dan perawatannya, persepsi tingkat keseriusan penyakit, kecenderungan dipengaruhi oleh orang lain. Karakteristik demografi meliputi usia, jumlah keluarga, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Faktor ekonomi meliputi status ekonomi seseorang, biaya perawatan kesehatan, kemudaha untuk mendapatkan produk kesehatan, dan ketersediaan produk maupun pelayanan. Faktor pendidikan atau pengetahuan antara lain meliputi tingkat pendidikan seseorang, pengetahuan dasar mengenai konsdisi kesehatan yang diderita dan pengobatannya, kemampuan untuk menginterprestasikan informasi kesehatan atau informasi pasa wadah maupun didalamnya, tersediannya informasi yang berguna dari tenaga kesehatan maupun media inormasi (Covington, 2000).


(61)

Gambar 7. Hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi penyakit common cold

tingkat pendidikan

tingkat pendidikan

pengetahuan

sikap

tindakan tingkat pendidikan

tingkat pendapatan pengetahuan

sikap tingkat pendapatan

tingkat pendapatan tindakan

H. Hipotesis

1. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan swamedikasi

common cold

H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan

swamedikasi common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan

swamedikasi common cold.

2. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi common cold

H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi

common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap swamedikasi

common cold.

3. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan swamedikasi


(62)

H0: tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan

swamedikasi common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan swamedikasi

common cold.

4. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan swamedikasi

common cold

H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan

swamedikasi common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan pengetahuan

swamedikasi common cold.

5. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi

common cold

H0 : tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikapswamedikasi

common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap swamedikasi

common cold.

6. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi

common cold

H0: tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan

swamedikasi common cold.

H1 : ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tindakan swamedikasi


(1)

Aturan pakai ,dosis, gejala/indikasi, kadaluwarsa 2

1,3

Aturan pakai, efek samping, indikasi, dosis, waktu

kadaluwarsa

10

6,3

Aturan pakai, kadaluwarsa, khasiat, kandungan, kontraindikasi

1

0,6

Tidak karena sudah tahu dari dokter, dilabel dengan yang

dari dokternya berbeda

1

0,6

Belum pernah karena belinya eceran 9

5,6

indikasi, aturan pakai, kandungan, efek samping, kadaluwarsa 8

5,0

kadaluwarsa, efek samping 1

0,6

kadaluwarsa 6

3,8

Aturan pakai, efek samping, tanggal kadaluwarsa, indikasi 10

6,3

kandungan, aturan pakai, efek samping, tanggal kadaluwarsa,

cara penyimpanan

3

1,9

Aturan pakai, khasiat 11

6,9

semuanya 18

11,3

ga, karena ga bisa baca 1

0,6

Aturan pakai, kegunaan, kadaluwarsa 2

1,3

tgl kadaluwarsa, kandungan, dosis, aturan pakai, kontraindikasi, indikasi.

1

0,6

Aturan pakai 3

1,9

Aturan pakai, efek samping, kontraindikasi 2

1,3

Dosis, aturan pakai, efek samping, kadaluwarsa,

kontraindikasi

1

0,6

Kandungan, indikasi, aturan pakai, kadaluwarsa 2

1,3

Indikasi, dosis, aturan pakai, kontraindikasi 2

1,3

Aturan pakai, efek samping, kadaluwarsa 6

3,8

Aturan Pakai, kegunaan, efek samping 1

0,6

Indikasi, waktu kadaluwarsa 1

0,6

Kadang-kadang, tapi jarang baca labelnya 1

0,6

Semua dibaca, cukup jelas cuma mengenai istilah susah 1

0,6

Tidak dibaca aturan pakainnya begitu sakit langsung minum

2 tablet

1

0,6

Tidak, tulisannya terlalu kecil, aturan pakai tanya dari apotekernya

1

0,6

34. Sepanjang pengalaman ibu, apakah swamedikasi dengan obat “flu” cukup efektif menyembuhkan gejala-gejala “flu”?

Jawaban Jumlah Presentase

(%) Tidak pasti, kadang-kadang sembuh, kadang tidak 15

9.4

Sudah, cocok, Cuma flu ringan 4

2.5

Belum, kadang tidak sembuh 5

3.1

Tergantung obatnya, kalau tidak sembuh cari obat lain 1

0.6

Meringankan, kalau langsung sembuh total tidak 4

2.5


(2)

Iya, tidak sampe lama sudah sembuh, yang penting makan dan minum dijaga

1

0.6

Sudah/sembuh/efektif 114

71.3

Belum karena baru untuk pencegahan sementara 2

1.3

Iya, tapi seandainya tidak sembuh berarti ada penyakit lain 1

0.6

Kadang sudah, kalau kecapekan tidak bisa sembuh 1

0.6

Tidak, butuh istirahat+suplemen 1

0.6

Kadang iya 1

0.6

Kadang-kadang sembuhnya lama 3

1.9

Tidak mutlak 1

0.6

Kalau flu biasa sembuh 1

0.6

Tergantung penyakitnya, kalau ringan sembuh 1

0.6

Kurang jika tidak minum obat teratur 1

0.6

Berkurang aja, tidak sembuh total 1

0.6

Tidak, ada yang tidak cocok

1

0.6

35. Apa yang ibu lakukan jika gejala-gejala “flu” ibu atau anggota keluarga ibu belum juga sembuh walaupun sudah menggunakan obat “flu”?

Jawaban Jumlah Presentase

(%) Dibiarkan saja, kadang kedokter-kadang tidak 2

1.3

Periksa ke puskesmas 29

18.1

Kedokter 103

64.4

Kedokter atau puskesmas 8

5.0

Beli obat lagi 1

0.6

Kedokter, dicek hanya flu atau yang lainnya 1

0.6

Ke rumah sakit 1

0.6

Jarang kedokter, diiamkan dulu, kalau tidak pusing tidak kedokter

1

0.6

Tempat bu bidan 4

2.5

Kebidan dulu, kalau tidak sembuk ke dokter 1

0.6

Apa boleh buat, coba obat lainnya 1

0.6

Dibiarkan saja, tidak pernah kedokter 1

0.6

Kesaudara (perawat) 1

0.6

Dibiarkan malah sembuh sendiri 1

0.6

Flu mesti sembuh, tidak perah ke dokter 1

0.6

Cari obat merk lain 3

1.9


(3)

36. Apakah ibu mengetahui batasan waktu penggunaan obat “flu” (batasan bahwa obat flu tersebut tidak menyembuhkan)? Kapan sebaiknya dibawa kedokter ?

Jawaban Jumlah Presentase

Kalau 3 hari belum sembuh 63

39.4

1 minggu tidak sembuh 17

10.6

2 hari tidak sembuh 15

9.4

Kalau masih demam tidak sembuh-sembuh 1

0.6

2-3 hari tidak sembuh 15

9.4

3 -7 hari tidak sembuh 3

1.9

2 hari tidak sembuh 3

1.9

4-5 hari 3

1.9

Kalau 2 hari pusing tidak sembuh 1

0.6

Kalau minum 1 emplek obat belum juga sembuh 1

0.6

3-4 hali minum obat tidak sembuh periksa 3

1.9

3 hari panasnya tidak turun, tapi kalau untuk anak 1 hari g

turun dibawa kedolter

2

1.3

5 hari tidak sembuh dan tambah parah 6

3.8

Jarang kedokter 2

1.3

Kalau panasanya tinggi 1

0.6

2-3 hari masih terasa panas dingin badannya 1

0.6

Mesti sembuhnya 3

1.9

1-2 hari panas tidak turun 1

0.6

Kalau sesek langsung dibawa kedpokter 1

0.6

4 hari 1

0.6

5 hari 1

0.6

Jarang dibawa ke dokter, flu mesti sembuh 2

1.3

Kalau pakai panas 3 hari tidak sembuh bawa kedokter, tapi

kalu tidak palkai panas 1 minggu tidak sembuh baru dibawa kedokter

1

0.6

Maksimal 4 hari 1

0.6

Kalau sudah tidak kuat badannya 1

0.6

Kalau disertai penyakit lain, demam tinggi, lebih dri 3 hari tidak sembuh

1

0.6

Kalau berat dengan demam tinggi walaupun baru 1 hari ;

biasanya 4 hari dan semakin parah

1

0.6

Jika sakitnya belum sembuh dan bertambah parah 1

0.6

2-3 kai minum obat tidak sembuh 1

0.6

Lebih dari 1 minggu 1

0.6

Selama ini tidak pernah dibawa kedokter, didiamkan malah sembuh

1

0.6

7 hari disertai panas 1

0.6

Kalau parah langsung dibawa kedokter, tidak ada batasan waktu

1

0.6

Tidak pernah kedokter kalau flu 1

0.6

Kalau minum 3 tablet tidak sembuh 1

0.6


(4)

37. Apakah ibu menyimpan obat “flu” dirumah? Bagaimana penyimpanan obat di rumah ibu?

Jawaban Jumlah Presentase

Kalau sisa, disimpan dikotak obat, dicampur dengan obat lain, dibuang kalau sudah habis kadaluarsanya (16

16

10.0

Tidak menyimpan obat flu dirumah,kalau sakit baru beli 60

37.5

Tidak, takut klau kadaluarsa 1

0.6

Ada, ditaruh dikulkas/tempat yang dingin 5

3.1

Disimpan dirak kalau 1 bulan tidak habis dibuag 1

0.6

Dilemari yang tidak kena sinar 5

3.1

Tidak, obat yang sisa kemaren tidk dipakai lagi 2

1.3

Dikulkas, sirup 3 bln tidak habis dibuang 1

0.6

Iya, dilemari, kalau belum disobek masih isa digunakan 1

0.6

Tidak, biasanya terus habis 12

7.5

Iya, pakai toples, sesuai dentidakn waktu kadaluarsanya dibuang

7

4.4

Di atas TV, lebih dari 1 bulan dibuang 1

0.6

Tidak ada tempat khusus, yang penting kering dan tidak lembab

1

0.6

Tidak belinya kan eceran 3

1.9

Di almari, kalau sudah lewat kadaluarsa dibuang 8

5.0

Iya, dimeja atau lemari makan, habis duluan sebelum

kadaluarsa

2

1.3

Di atas TV, tidak ada batasan waktu, beli 1-2, langsung habis 1

0.6

Iya, ada tempat khusus. Tidakk nyampe 1 tahun dibuang,

takut berubah

1

0.6

Iya, dikemasan kotak. Tidak,kalau mau diminum diliat dulu,2

bulan dibuang

1

0.6

Iya, kotak obat, tanggal kadaluarsa 2

1.3

Di almari, 1 bulan tidak dipakai dibuang 1

0.6

Tidak 7

4.4

Ditoples bersama obat lainnya 1

0.6

Ya, ditempat yang berasal dari plastik 1

0.6

Ditempat obat, kalau sudah 1 bulan tidak dipakaidibuang 5

3.1

Diletakkan aja karena sudah tidak punya anak kecil 1

0.6

Nyimpan dikulkas 1

0.6

Di kotak obat, kalau 2 bulan tidak habis dibuang 1

0.6

Digeletakkan disembarang tmpat biar gampang nyarinya,

paling seminggubkalau sudah tidak dipake dibuang

1

0.6

Iya, kalau masih layak pakai 2

1.3

Simpen, ada yang dikulas, sirup dikotak, tablet 1

0.6

Tidak karena belinya cuma eceran 2

1.3

Disimpan diatas kulkas 2

1.3

Ada, kotak obat, tidak dicampur, 1 bulan tidak habis dibuang 2

1.3


(5)

38. Menurut ibu informasi apa saja yang harus diketahui sebelum menggunakn obat “flu”?

Jawaban Jumlah Presentase

Tidak terlalu memperhatikan kalau untuk orang tua 1

0.6

Dosis 2

1.3

Tanggal kadaluarsa 2

1.3

Tidak perlu informasi, beli langsung diminum 1

0.6

Khasiat, aturan pakai 20

12.5

Aturan pakai 48

30.0

Penyakit apa yang diderita, aturan pakai, efek 3

1.9

Efek samoing, kompossisi, kadaluarsa, aturan minum 1

0.6

Efek samping, aturan pakai 6

3.8

Khasiatnya/ indikasi 15

9.4

Aturan pakai, tanggal kadaluwarsa 7

4.4

Aturan pakai, efek samping, indikasi 5

3.1

Kandungan, dosis, aturan pakai 2

1.3

Aturan pakai, tanggal kadaluarsa, kandungan karena suami ada yang alergi antalgin, paramex, ampisilin (obatnya tadi pake Ultraflu)

1

0.6

Aturan pakai, tanggal kadaluarsa, efek samping 7

4.4

Kegunaan, aturan pakai, dosis, gejala,kontraindiaksi 2

1.3

Aturan pakai, merk obat yang cocok 1

0.6

Kegunaan, efek samping 4

2.5

Tidak tahu 6

3.8

Aturan pakai, dosis, kadaluarsa 1

0.6

Kadar obat 1

0.6

Komposisi, aturan pakai 2

1.3

Kemanjurannya 1

0.6

Dosis, cara pakai 1

0.6

Tidak ada 1

0.6

Aturan pakai, dosis, kandungan yang parasetamolnya tinggi, vitaminnya tinggi

1

0.6

Kandungan, indikasi, kadaluarsa, efek samping 2

1.3

Kandungan..sudah dikasih tahu farmasis 1

0.6

Dosis, aturan pakai 2

1.3

Baca brosurnya terlebih dahulu 1

0.6

Waktu kadaluarsa, khasiat, aturan pakai 1

0.6

Khasiat, kadaluarsa, efek samping, aturan pakai 1

0.6

Yang penting cocok dan sembuh 1

0.6

Kecocokan, dosisnya, khasiatnya, kadang-kadang tidak harus tahu karena sudah sering pakai obattersebut

1

0.6

Tahu dosisnya, manfaatnya, efek samping, tanggal

kawaluarsa, indikasi, kontraindikasi

1

0.6

Dosisn khasiat, aturan pakai 5

3.1

Khasiatnyaa, kecocokan, tidak harus tahu aturan pakai,

pokoknya yakin aja dengan obat yang sering diminum

1


(6)

BIOGRAFI

Penulis bernama Andriana Isti Handayani, putri

bungsu dari pasangan Atanasius Sardi dan

Anastasia Sri Kamariyah. Lahir di Sleman pada

tanggal 02 Oktober 1986. Penulis menyelesaikan

pendidikan TK di TK. Kanisius Klepu kec.

Minggir Sleman pada tahun 1992, kemudian

melanjutkan pendidikan dasar di SD Kanisius

Ngapak I Kec. Minggir dan lulus pada tahun 1998. Jenjang Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama diselesaikan di SLTP Pangudi Luhur Moyudan. Tahun

2001, penulis menempuh pendidikan di SMU Negeri I Yogyakarta.

Kemudian tahun 2004 melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


Dokumen yang terkait

Hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan dengan perilaku swamedikasi sakit kepala oleh ibu-ibu di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Juli-September 2007.

0 0 2

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penggunaan produk vitamin oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 1 199

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedika penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 7 204

Identifikasi Problem swamedikasi Common Cold di kalangan ibu-ibu di Propinsi di Yogyakarta.

0 0 26

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedika penyakit batuk oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 0 202

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penggunaan produk vitamin oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 1 197

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit infeksi jamur kulit oleh ibu--ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 0 216

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi penyakit common cold oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 0 192

Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi diare oleh ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 1 200

PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU SWAMEDIKASI COMMON COLD PADA IBU-IBU NON KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL SKRIPSI

0 7 153