PENINGKATAN PERCAYA DIRI MELALUI PERMAINAN ULAR TANGGA EDUKATIF PADA ANAK KELOMPOK B RAUDHATUL ATHFAL (RA), KRAPYAK, TRIHARJO, SLEMAN, YOGYAKARTA.
PENINGKATAN PERCAYA DIRI MELALUI PERMAINAN ULAR TANGGA EDUKATIF PADA ANAK KELOMPOK
B RAUDHATUL ATHFAL (RA), KRAPYAK, TRIHARJO, SLEMAN, YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Astriyani Nur Fadilah NIM 11111244006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
MOTTO
“Kepercayaan diri adalah rahasia pertama dari kesuksesan” (Ralph Waldo Emerson)
“Alat permainan edukatif memudahkan anak mengingat konsep-konsep yang akan dipelajari”
(6)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Ibu dan Bapakku tercinta yang telah memberikan segalanya untukku. 2. Almamater UNY yang saya banggakan.
(7)
PENINGKATAN PERCAYA DIRI MELALUI PERMAINAN ULAR TANGGA EDUKATIF PADA ANAK KELOMPOK
B RAUDHATUL ATHFAL (RA), KRAPYAK, TRIHARJO, SLEMAN, YOGYAKARTA
Oleh
Astriyani Nur Fadilah NIM 11111244006
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan percaya diri melalui permainan ular tangga edukatif pada anak kelompok B RA Krapyak Triharjo Sleman Yogyakarta. Percaya diri dibutuhkan anak untuk mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas kolaboratif. Model penelitian yang digunakan mengacu pada model Kemmis dan Mc. Taggart. Subjek penelitian ini adalah anak kelompok B RA Krapyak berjumlah 26 anak yang terdiri dari 10 anak laki-laki dan 16 anak perempuan. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian menunjukkan bahwa percaya diri dapat ditingkatkan melalui permainan ular tangga edukatif dengan cara anak dibiasakan tampil di depan kelas mengerjakan tugas dan menunjukkan kemampuannya di hadapan guru serta teman-temannya. Reward atau penguatan diberikan kepada anak yang berhasil menyelesaikan tugas. Dengan demikian percaya diri anak dapat meningkat. Peningkatan percaya diri anak dapat dilihat pada kondisi awal kriteria berkembang sesuai harapan (BSH) dan berkembang sangat baik (BSB) mencapai 42,3% (11 anak), pada pasca Siklus I meningkat menjadi 65,37% (17 anak) dan pada pasca Siklus II meningkat menjadi 88,45% (23 anak).
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat serta karunia-Nya yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi berjudul “Peningkatan Percaya Diri Melalui Permainan Ular Tangga Edukatif pada Anak Kelompok B RA Krapyak Sleman” dengan baik dan lancar. Tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian.
2. Ketua program studi PG PAUD yang telah memberikan rekomendasi penelitian.
3. Bapak Dr. Suwarjo, M.Si. yang telah memberikan bimbingan, arahan dan meluangkan waktu dalam penyusunan skripsi.
4. Muthmainnah, M.Pd. yang telah memberikan bimbingan, arahan dan meluangkan waktu dalam penyusunan skripsi.
5. Ibu, bapak dan kakakku tersayang yang telah memberikan doa serta dukungan selama menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen PG PAUD yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang telah membantu dalam kelancaran penyusunan skripsi.
7. Anis Pujanti S.Pd.I kepala sekolah RA Krapyak yang telah memberikan kesempatan untuk penelitian di TK tersebut.
8. Anak-anak kelompok B RA Krapyak yang telah bersedia menjadi subjek dalam pelaksanaan penelitian.
9. Teman-teman PG PAUD B angkatan 2011 yang telah memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi.
(9)
(10)
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah... 10
C. Batasan Masalah ... 11
D. Rumusan Masalah ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Manfaat Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini ... 14
1. Perkembangan Sosial Emosional ... 14
2. Tahapan Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini ... 16
3. Stimulasi Perkembangan Sosial Emosional... 19
B. Tinjauan Tentang Percaya Diri (Self Confidence) ... 21
1. Esensi Self (Diri) ... 21
2. Unsur-unsur Self (Diri) ... 22
(11)
4. Proses Pembentukan Percaya Diri ... 25
5. Aspek-aspek Percaya Diri... 27
6. Karakteristik Anak Percaya Diri ... 30
7. Gejala Tidak Percaya Diri Pada Anak ... 33
8. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri Individu ... 35
9. Membangun Percaya Diri Melalui Pendidikan... 38
C. Permainan Ular Tangga Edukatif ... 40
1. Pengertian Permainan ... 40
2. Manfaat Bermain Bagi Anak ... 41
3. Tahapan Perkembangan Bermain ... 44
4. Permainan Ular Tangga Edukatif ... 45
5. Manfaat Permainan Ular Tangga Edukatif ... 46
6. Langkah-langkah Permainan Ular Tangga Edukatif ... 47
D. Kajian tentang Teori Belajar Behavioristik ... 49
1. Pengertian Teori Belajar ... 49
2. Pengertian Teori Belajar Behavioristik ... 49
3. Macam Teori Belajar Behavioristik ... 50
E. Kerangka Pikir ... 53
F. Hipotesis Tindakan ... 55
G. Penelitian Relevan ... 56
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 57
B. Setting Penelitian ... 57
1. Lokasi Penelitian ... 58
2. Waktu Penelitiam ... 58
C. Subjek Penelitian ... 58
D. Desain Penelitian ... 58
E. Metode Pengumpulan Data... 61
F. Instrumen Penelitian ... 62
(12)
H. Indikator Keberhasilan... 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 67
1. Kondisi Anak ... 67
2. Kondisi Sarana dan Prasarana ... 68
3. Data Awal Kemampuan Anak ... 69
4. Pelaksanaan Tindakan Kelas Siklus I ... 75
5. Pelaksanaan Tindakan Kelas Siklus II ... 92
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 109
C. Keterbatasan Penelitian ... 115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 117
DAFTAR PUSTAKA ... 119
(13)
DAFTAR TABEL
... hal
Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen ... 63
Tabel 2. Hasil Observasi Percaya Diri Anak Pra Tindakan ... 73
Tabel 3. Rekapitulasi Data Percaya Diri Anak Pra Tindakan ... 74
Tabel 4. Hasil Observasi Percaya Diri Anak Pasca Siklus I ... 89
Tabel 5. Rekapitulasi Data Percaya Diri Anak Pasca Siklus I ... 90
Tabel 6. Hasil Observasi Percaya Diri Anak Pasca Siklus II ... 103
Tabel 7. Rekapitulasi Data Percaya Anak Pasca Siklus II ... 104
Tabel 8. Perbandingan Rekapitulasi Data Percaya Diri Anak pada Pra Tindakan, Pasca Siklus I, dan Pasca Siklus II ... 105
Tabel 9. Perbandingan Peningkatan Percaya Diri Anak pra Tindakan, Pasca Siklus I, Pasca Siklus II ... 107
(14)
DAFTAR GAMBAR
... hal Gambar 1. Desain Penelitian Tindakan Kelas
Kemmis dan Mc. Taggart ... 59 Gambar 2. Histogram Percaya Diri Pra Tindakan, Pasca Siklus I,
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
... hal
Lampiran 1. Instrumen Penelitian ... 122
Lampiran 2. Rencana Kegiatan Harian ... 124
Lampiran 3. Data Hasil Penelitian ... 149
Lampiran 4. Foto Penelitian ... 161
(16)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap individu memiliki perkembangan sosial emosional yang berbeda-beda, tergantung pada stimulasi dan pengalaman yang diberikan. Emosi memiliki peran penting dalam kehidupan yang dapat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial baik secara fisik maupun psikis dilihat dari ekspresi dan perilaku seseorang. Orang yang dapat mengendalikan dan mengelola emosi dengan baik akan mampu mengenal emosi diri sendiri dan orang lain. Muhammad Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida (2013: 66-67) menyatakan bahwa emosi yang dimiliki oleh seorang anak dapat berpengaruh dalam proses belajar maupun bertingkah laku dalam kesehariannya. Anak yang selalu memiliki emosi positif akan lebih mudah menerima dan menangkap materi tetapi anak yang mempunyai emosi negatif akan sulit menerima dan menangkap materi. Pendidik dan orang tua harus dapat menciptakan berbagai stimulasi yang dapat memunculkan emosi yang positif pada diri anak, sehingga anak dapat belajar dan berinteraksi dengan lingkungannya secara baik. Emosi yang positif diharapkan dapat membantu mencapai keberhasilan dalam kehidupan anak.
Usia dini merupakan masa yang paling baik untuk mengoptimalkan segala aspek perkembangan anak. Sebagaimana dikemukakan Slamet Suyanto (2005: 6) bahwa usia dini merupakan usia emas atau golden age, dimana potensi yang dimiliki anak berkembang dengan pesat, baik perkembangan fisik motorik, sosial, emosional, intelektual maupun bahasa. Usia dini merupakan masa yang paling
(17)
potensial bagi seorang pendidik atau orang tua untuk memberikan stimulasi dengan tepat, salah satunya menstimulasi perkembangan sosial emosional.
Aspek perkembangan emosional pertama kali dikembangkan di lingkungan keluarga dan selanjutnya akan diteruskan di luar lingkungan keluarga, salah satunya di lingkungan pendidikan Taman Kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, keberhasilan atau kegagalan anak dalam meyesuaikan dirinya terhadap kehidupan sangat dipengaruhi oleh perkembangan sosial emosional. Pendidik harus mampu merancang dan memberikan berbagai kegiatan pembelajaran yang dapat merangsang perkembangan sosial emosional sehingga anak mampu mengenal, mengekspresikan dan memberikan reaksi emosional dengan baik saat berinteraksi dengan orang lain.
Indra Soefandi (2009: 46) menyatakan bahwa emosi merupakan perasaan yang banyak berpengaruh terhadap perilaku. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap dorongan dari luar dan dari dalam individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis. Emosi merupakan perasaan yang berpengaruh pada perilaku, baik yang mengarah pada perilaku positif atau perilaku negatif. Santrock (2011: 291) mengungkapkan bahwa emosi dapat dicirikan sebagi emosi positif dan negatif. Emosi positif meliputi antusiasme, kegembiraan dan cinta sedangkan emosi negatif meliputi kecemasan, rasa bersalah, sedih dan marah.
Sejak usia dini sosial emosional anak harus berkembang dan dikembangkan. Perkembangan sosial emosional anak merupakan hal yang penting karena akan berpengaruh terhadap seluruh aspek perkembangan anak. Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan lingkungan
(18)
sosialnya. Peran emosi dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian dengan lingkungannya antara lain: tingkah laku emosi yang ditampilkan merupakan sumber penilaian lingkungan terhadap anak, emosi mempengaruhi iklim psikologis lingkungan, tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi kebiasaan, dan ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat menghambat aktivitas motorik dan mental anak (Riana Mashar, 2011: 68-69).
Semakin bertambahnya usia anak bertambah pula aneka ragam perilaku anak yang ditampilkan, salah satunya yaitu perilaku percaya diri anak. Percaya diri termasuk dalam perkembangan sosial emosional. Erikson (Slamet Suyanto, 2005: 71) mengatakan bahwa anak usia 4-5 tahun berada pada tahap inisiative vs guilt atau inisiatif vs rasa bersalah. Pada tahap ini anak harus lepas dari orang tua dan anak harus bergerak bebas serta berinteraksi dengan lingkungannya agar memiliki inisiatif. Dengan memiliki inisiatif, anak akan semakin percaya diri dalam kegiatan menjelajah terhadap lingkungannya. Pada usia ini merupakan masa penting untuk menumbuhkan percaya diri karena percaya diri merupakan modal dasar seorang anak dalam memenuhi berbagai kebutuhan sendiri dan sebagai dasar anak di masa yang akan datang untuk mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya. Selanjutnya, Brewer (Tadkiroatun Musfiroh, 2005: 92), mengungkapkan bahwa anak usia empat tahun telah menunjukkan perkembangan percaya dirinya.
Thursan Hakim (2002: 119) mengungkapkan bahwa percaya diri dikatakan sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang
(19)
dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dalam hidupnya. Seseorang yang percaya diri berarti memiliki keyakinan dalam dirinya sehingga dapat menggali segala potensi yang dimiliki, dihargai orang lain dan dapat menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya. Anak perlu memiliki percaya diri karena dengan percaya diri, anak tidak akan selalu menggantungkan hidup pada orang lain. Anak yang mempunyai percaya diri yang tinggi akan bertindak dan berbuat dengan penuh tanggung jawab. Percaya diri tidak bisa terbentuk begitu saja, ini tergantung pada faktor yang mempengaruhinya. Percaya diri menurut Ghufron dan Risnawati (2012: 37-38) dipengaruhi oleh konsep diri, harga diri, pengalaman dan pendidikan. Konsep diri yang diperoleh dari hasil interaksi dengan orang-orang disekitarnya, individu yang memiliki konsep diri yang positif akan memiliki harga diri. Berbagai stimulasi yang diberikan para pendidik seharusnya dapat merangsang perkembangan percaya diri anak.
Anita Lie (2003: 4) menyatakan karakteristik anak yang percaya diri yaitu yakin kepada diri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, merasa berharga, dan memiliki keberanian untuk bertindak. Anak usia TK yang dikategorikan percaya diri menurut Permendiknas Nomor 58 Tahun 2009 yaitu anak yang mampu mengerjakan tugasnya sendiri, menunjukkan kebanggaan terhadap hasil kerjanya, berani tampil di depan umum, dan berani mempertahankan pendapatnya.
Berdasarkan pengamatan di kelompok B RA Krapyak yang berjumlah 26 anak, sebagian anak perkembangan emosionalnya belum optimal salah satunya percaya diri. Peneliti menemukan 15 diantara 26 anak percaya dirinya belum
(20)
berkembang dengan baik. Hal ini terlihat, anak malu ketika berhadapan dengan orang lain bahkan dengan gurunya sendiri. Sebagian besar anak masih meminta bantuan dari guru dalam menyelesaikan tugas, seperti saat bermain, mengerjakan Lembar Kerja Anak (LKA), dan show and tell, bahkan beberapa anak tidak mau menyelesaikan tugasnya sampai selesai meskipun sudah dibimbing dan dimotivasi guru. Pada saat kegiatan apersepsi yang disertai tanya jawab, sebagian besar anak tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan guru. Anak tidak percaya diri ketika diminta untuk tampil di depan kelas saat kegiatan show and tell atau sebagai contoh untuk teman-temannya. Hal tersebut nampak yaitu dengan menunjukkan perilaku arah pandangan mata ke depan (menunduk), berbicara dengan suara yang pelan, bahkan beberapa anak tidak mau tampil untuk menunjukkan dan menceritakan hasil karyanya. Pada kegiatan awal pembelajaran setiap anak mendapat giliran dan kesempatan untuk memimpin baris dan berdoa, namun hanya ada beberapa anak yang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik serta hanya anak tertentu saja, sedangkan anak yang lain masih malu-malu bahkan ada anak yang tidak mau memimpin baris dan berdoa. Sikap kurang yakin terhadap kemampuan dirinya ditunjukkan anak saat kegiatan pemberian tugas seperti menempel, menggunting, mencocok, mewarnai, menggambar, dan sebagainya. Hal ini terlihat ketika mengerjakan tugas, beberapa anak ada yang memanggil gurunya “bu gak bisa”, “bu ini gimana?” dengan maksud untuk meminta bantuan guru dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas.
Hasil wawancara dengan guru kelas hanya beberapa anak saja yang percaya dirinya berkembang dengan baik (sekitar 30%). Hal ini disebabkan karena rasa
(21)
minder dan takut diejek oleh teman-temannya jika melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas yang diberikan guru. Anak tidak terbiasa tampil di depan untuk mengerjakan tugas membuat anak menjadi kurang percaya diri saat tampil di hadapan umum.
Upaya yang sudah dilakukan guru dalam meningkatkan percaya diri anak yaitu dengan memberikan motivasi pada anak saat mengerjakan tugas. Pada saat mengerjakan tugas guru sering memberikan penguatan positif (reward) berupa gambar bintang pada anak yang dapat menyelesaikan tugasnya sampai selesai, namun masih ada beberapa anak yang kurang percaya diri terhadap kemampuannya. Selain itu, dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas anak sering meminta bantuan guru. Hal ini disebabkan karena reward yang diberikan guru pada anak kurang bervariasi hanya dalam bentuk gambar bintang pada LKA (bintang 1 sampai 4) dan tidak diberikan dihadapan anak lain sehingga anak lainnya kurang termotivasi. Ketika berbaris sebelum masuk kelas guru sudah meminta dan memberikan kesempatan pada anak untuk memimpin baris, tetapi hanya beberapa anak dan tertentu saja yang mampu memimpin baris dengan penuh percaya diri. Guru juga sudah memberikan reward dengan mengacungan jempol pada anak yang mau memimpin baris dan berdoa supaya anak lain termotivasi, tetapi masih ada beberapa anak yang kurang percaya diri ketika diminta untuk memimpin baris atau berdoa. Hal ini terlihat ketika diminta guru untuk memimpin baris atau berdoa ada beberapa anak yang masih malu-malu yaitu dengan menunjukkan sikap arah pandangan mata ke depan (menunduk), suara pelan bahkan ada anak yang tidak mau memimpin teman-temannya.
(22)
Di pendidikan Taman Kanak-kanak percaya diri merupakan salah satu aspek yang penting untuk distimulasi dan dikembangkan. Pentingnya percaya diri bagi kehidupan anak dijelaskan oleh Anita Lie (2003: 4-5), bahwa anak yang percaya diri dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan tahapan perkembangan dengan baik, mempunyai keberanian dan kemampuan untuk meningkatkan prestasinya sendiri, akan dipercaya oleh orang lain, dan akan tumbuh dalam pengalaman dan kemampuan sehingga anak akan memiliki kepribadian yang mandiri.
Percaya diri harus dibangun dalam diri anak sejak usia dini. Anak yang tidak percaya diri dan jika menetap sampai dewasa, maka anak akan mengalami kesulitan dalam menghadapi hidupnya. Anak yang tidak memiliki percaya diri menurut Rini Utami Azis (2006: 35-36) antara lain akan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang kurang sehingga anak akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan prestasinya. Selain itu, anak akan gagal melakukan sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan, merasa kurang ketika dibandingkan dengan anak-anak lain, merasa tidak berguna dan tersingkir dari pergaulan. Henny Puspitarini (2013: 4) menambahkan bahwa tanpa percaya diri anak akan cenderung pasif, tidak mandiri, tidak bergerak karena pikirannya yang negatif tentang dirinya, selalu menganggap dirinya tidak punya kemampuan, tidak punya keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu karena keyakinannya terhada diri sendiri lemah.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya cara yang dapat menstimulasi perkembangan sosial emosional anak untuk meningkatkan percaya diri agar dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dengan aktif dan menyenangkan. Salah satu cara yang dapat diterapkan untuk meningkatkan percaya diri pada anak
(23)
yaitu melalui permainan. Bermain merupakan dunia anak dan kebutuhan yang krusial bagi anak. Anak tidak dapat dipisahkan dengan bermain karena merupakan suatu kebutuhan yang sudah ada dengan sendirinya dan sudah ada secara alamiah. Melalui bermain, anak dapat melepaskan ketegangan yang dialaminya dan dapat memenuhi dorongan-dorongan dari dalam diri yang tidak mungkin terpuaskan dalam kehidupan nyata. Martuti (2012: 42) menyatakan bahwa dari kegiatan bermain yang dilakukan bersama sekelompok teman, anak akan mempunyai penilaian terhadap dirinya tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki, sehingga dapat membantu pembentukan konsep diri yang positif, mempunyai percaya diri dan harga diri karena anak merasa mempunyai kompetensi tertentu. Dengan melakukan permainan, anak dapat memicu emosi atau perasaan dan harga diri serta kegembiraan karena aktif secara fisik, emosional intelektual dan sosial sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan percaya diri anak.
Salah satu permainan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan percaya diri yaitu permainan ular tangga edukatif. Berdasarkan wawancara dengan guru peneliti memperoleh informasi bahwa di RA Krapyak belum pernah menerapkan permainan ular tangga edukatif dalam pembelajaran. Permainan ular tangga edukatif merupakan permainan dengan menggunakan media pembelajaran yang dirancang khusus dan memiliki kekhasan sendiri dibanding dengan permainan ular tangga pada umummnya. Permainan ular tangga edukatif yang dimaksud disini yaitu permainan dengan menggunakan media yang berupa papan berbahan dasar bannerberjumlah 12 kotak. Ukuran setiap kotaknya ± 40 cm x 40 cm dan di setiap kotaknya terdapat berbagai macam gambar ilustrasi yang berupa penugasan
(24)
misalnya gambar anak bernyanyi, bercerita, memperagakan berbagai gerakan dan sebagainya. Ketika anak menjadi bidak kemudian memainkan dadu maka anak akan melangkah sesuai dengan jumlah dadu dan melakukan tugas sesuai dengan instruksi yang ada di kotak secara bergantian. Ular tangga yang digunakan dalam permainan ini merupakan alat permainan edukatif (APE) karena dibuat dengan tujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan sosial emosional salah satunya percaya diri. Muhyidin, dkk (2014: 153) menyatakan bahwa salah satu fungsi dari alat permainan edukatif (APE) adalah untuk membentuk citra diri yang positif dan menumbuhkan percaya diri. Hal ini senada dengan pendapat Agus Zubair (2008: 41) yang mengungkapkan bahwa salah satu manfaat permainan edukatif dapat memperkuat percaya diri atau kadang disebut juga sebagai Instills confidence adalah suatu unsur dalam permainan yang mampu menciptakan perasaan aman, kebahagiaan dan penghargaan diri yang baik.
Permainan ular tangga edukatif yang digunakan dalam penelitian dapat melibatkan anak secara aktif. Anak harus tampil di hadapan guru dan teman-temannya untuk melaksanakan tugas yang di dapat pada kotak papan permainan ular tangga edukatif. Anak yang berhasil melewati tantangan tersebut akan mendapat reward dari guru serta dari teman-temannya, sehingga anak akan memiliki konsep diri positif, harga diri, dan percaya diri karena anak merasa mempunyai kompetensi tertentu.
Suatu penelitian yang pernah dilakukan Risah Arijani (2013), bahwa permainan snader game selain mampu mengembangkan aspek bahasa yaitu untuk pengenalan membaca permulaan juga mampu membangkitkan motivasi dan
(25)
merangsang anak untuk belajar serta dapat menstimulasi aspek perkembangan kognitif, bahasa, dan sosial emosional. Percaya diri merupakan salah satu unsur dari perkembangan sosial emosional anak.
Ular tangga edukatif ini dibuat semenarik mungkin dengan gambar dan warna yang sesuai dengan anak agar merasa senang serta nyaman sehingga anak mau melaksanakan tugas yang ada di permainan ular tangga edukatif dengan antusias, sehingga diharapkan dapat mengembangkan aspek perkembangan sosial emosional anak yaitu percaya diri.
B. Identifikasi Masalah
Dengan mengetahui latar belakang di atas dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Lima belas diantara 26 anak memiliki percaya diri yang belum berkembang dengan baik.
2. Anak belum percaya diri ketika mengikuti kegiatan bermain, tanya jawab, show and tell, dan saat mengerjakan Lembar Kerja Anak (LKA), bahkan beberapa anak tidak mau menyelesaikan tugasnya sampai selesai meskipun sudah dibimbing dan dimotivasi guru
3. Sebagian anak belum terbiasa tampil di hadapan guru dan teman-temannya. 4. Guru sudah memberikan tugas atau kesempatan kepada anak untuk
memimpin baris dan berdoa, namun hanya beberapa anak yang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik serta hanya anak tertentu saja,
(26)
sedangkan anak yang lain masih malu-malu bahkan ada anak yang tidak mau memimpin baris dan berdoa.
5. Guru sudah memberikan reward, namun banyak anak yang belum percaya diri.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, permasalahan pada penelitian ini hanya dibatasi pada percaya diri anak yang belum berkembang dengan baik pada anak kelompok B di RA Krapyak.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimana meningkatkan percaya diri melalui permainan ular tangga edukatif pada anak kelompok B di RA Krapyak?”
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas. Maka penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan percaya diri melalui permainan ular tangga edukatif pada anak kelompok B di RA Krapyak.
(27)
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat penting bagi guru, siswa maupun penulis. Adapun manfaatnya yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Siswa
a. Meningkatkan percaya diri anak .
b. Membiasakan anak lebih berpartisipasi aktif dan terlibat langsung saat kegiatan pembelajaran.
c. Menumbuhkan motivasi anak agar tertarik dan senang dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
2. Bagi Guru
a. Membantu guru melakukan inovasi media dan metode pembelajaran untuk meningkatkan percaya diri anak.
b. Menambah pengalaman guru untuk meningkatkan kemampuan profesional sebagai pendidik.
3. Bagi peneliti
a. Memberikan gambaran kepada peneliti program studi PG-PAUD sebagai calon guru PAUD dalam menerapkan media dan metode pembelajaran. b. Menambah pengalaman dalam mengembangkan aspek-aspek perkembangan
(28)
G. Definisi Operasional
Untuk menghindari kemungkinan meluasnya penafsiran terhadap permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, maka dapat disampaikan tentang definisi operasional dalam penelitian ini, yaitu:
1. Percaya diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keyakinan akan kemampuan diri yang dimiliki anak untuk menyelesaikan tugas tanpa bantuan guru, berani tampil di depan umum, tampil dengan antusias, mengerjakan tugas sampai selesai, dan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang sudah dilakukan. 2. Permainan ular tangga edukatif dalam penelitian ini adalah permainan ular tangga yang didesain khusus dengan ukuran ± 40 x 40 cm di setiap kotaknya dengan jumlah 12 kotak. Media ular tangga edukatif dibuat dari bahan yang cukup kuat agar tidak mudah rusak dan memiliki kemenarikan karena berupa gambar yang berupa penugasan dan dengan warna yang sesuai dengan anak usia Taman Kanak-kanak. Cara bermain ular tangga edukatif yaitu anak melempar dadu, anak menghitung jumlah mata dadu yang muncul, anak menuju ke kotak sesuai dengan jumlah mata dadu, guru memberitahukan tugas yang di dapat, anak tampil melaksanakan tugas tersebut di hadapan guru serta teman-temannya, anak mendapatkan reward dari guru dan teman-temannya.
(29)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini 1. Perkembangan Sosial Emosional
Perkembangan sosial dan emosional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Perkembangan sosial mempengaruhi perkembangan emosional anak, demikian pula sebaliknya perkembangan emosional mempengaruhi perkembangan sosial anak. Muhyidin, dkk (2014: 177) menyatakan bahwa perkembangan sosial adalah tingkat jalinan interaksi anak dengan orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman bermain, hingga masyarakat secara luas. Sedangkan perkembangan emosional adalah ekspresi ungkapan perasaan ketika anak berinteraksi dengan orang lain.
Pendapat di atas diperkuat oleh Muhammad Fadlillah dan Lilif Mualifatu Khorida (2013: 64) yang menyatakan bahwa, perkembangan emosi pada diri seorang anak akan muncul manakala ia mengalami interaksi dengan lingkungan. Pada anak usia dini, ungkapan perasaan ini ditunjukan melalui berbagai respon yang dilakukan. Respon ini bisa mengarah pada emosi yang positif maupun emosi yang negatif. Argley (Riana Mashar, 2011: 33) mengungkapkan bahwa individu memiliki sejumlah emosi negatif seperti marah, cemas, depresi dan lainnya, sedangkan emosi positif terdiri dari kegembiraan (enjoyment), perasaan lega (relief), dan percaya diri (self confidence).
Sementara itu, Syamsu Yusuf (2006: 167), mengungkapkan bahwa perkembangan emosi anak pada fase pra sekolah (4-6 tahun) yaitu anak mulai
(30)
menyadari dirinya, bahwa dirinya berbeda dengan bukan dirinya (orang lain atau benda). Bersama dengan itu, berkembang pula perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika lingkungannya (terutama orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras atau kurang menyayangi maka pada diri anak akan muncul sikap keras kepala atau menentang, menyerah jadi penurut sehingga diliputi rasa percaya diri yang kurang dengan sifat pemalu.
Christiana Hari Soetjiningsih (2012: 213) menyatakan bahwa perkembangan sosial emosional anak berkaitan dengan kapasitas anak untuk mengembangkan kepercayaan diri (self-confidence), percaya (trust), dan empati (empathy). Aspek perkembangan sosial emosional anak menurut Permendiknas Nomor 58 tahun 2009 adalah menunjukkan sikap mandiri, menunjukkan antusiasme dalam melakukan permainan, mengendalikan perasaan, mentaati peraturan, menunjukkan rasa percaya diri, menjaga diri dari orang lain dan menghargai orang lain.
Selanjutnya, Auerbach (Ahmad Susanto, 2011: 144) mengungkapkan bahwa anak usia empat tahun menunjukkan perilaku sosial emosional yaitu agresif, mengolok-olok, menentang orang tua, tidak peka untuk memuji orang lain, mandiri, dan percaya diri sepenuhnya pada kemampuannya sendiri untuk melakukan segalanya.
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial emosional saling berkaitan satu sama lain dan merupakan ungkapan perasaan yang ditunjukan melalui berbagai respon yang mengarah pada emosi positif maupun emosi negatif dan
(31)
ungkapan perasaan tersebut dimunculkan anak ketika berinteraksi dengan lingkungan. Perkembangan emosi dan sosial pada masa awal kanak-kanak adalah mulai menyadari dirinya berbeda dengan orang lain, mandiri, mengembangkan kepercayaan diri (self confidence), percaya (trust), dan empati (empathy).
2. Tahapan Perkembangan Sosial Emosional AUD
Erik Erikson dalam Agoes Dariyo (2007: 190-191), menjelaskan tahap perkembangan psikososial anak yaitu:
a. Basic-trust vs Mis-trust (0-1,5 tahun)
Orangtua yang mampu memberikan kebutuhan dasar secara fisiologis maupun psikologis dengan baik, akan menumbuhkan sikap percaya (basic-trust) pada anak. Sebaliknya orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar anak dengan baik, maka akan menumbuhkan sikap yang tidak mempercayai (mis-trust) pada lingkungan keluarga dan sosial.
Anak yang memiliki sikap percaya (basic-trust) terhadap lingkungan sosial, akan membuat anak merasa aman, nyaman, dan tenang. Sebaliknya anak yang tidak memiliki sikap tidak mempercayai (mis-trust) terhadap lingkungan sosial, akan membuat anak merasa tidak nyaman, tidak tenang, tidak bahagia, dan tidak percaya diri ketika berada di lingkungan sosial.
b. Autonomy vs Shame, Doubt (1,5-3 tahun)
Kemandirian (autonomy) adalah suatu sikap yang mandiri pada anak usia 1,5-3 tahun untuk melakukan suatu kegiatan penjelajahan terhadap lingkungan luar. Anak harus diberikan kesempatan untuk mencoba melakukan segala sesuatunya sendiri. Anak yang mandiri ditandai dengan perkembangan pribadi
(32)
yang percaya diri, merasa bebas, aman dan optimis bahwa apa yang dilakukannya tidak memperoleh hambatan dari lingkungan luar. Perkembangan sifat kemandirian anak ini dipengaruhi oleh perkembangan basic-trust yang telah dicapai pada tahap sebelumnya. Sebaliknya anak yang memiliki kondisi perkembangan pribadi mis-trust cenderung akan mengembangkan karakteristik pribadi yang pemalu (shame), peragu (doubt), minder dan kurang percaya diri, dan pesimis dalam melakukan suatu kegiatan.
c. Inisiative vs Guilt (3-6 tahun)
Kegiatan penjelajahan yang dilakukan oleh anak pada masa sebelumnya, memberi pengaruh positif terhadap perkembangan inisiatif, kreativitas maupun kemampuan mengambil suatu keputusan. Anak makin merasa percaya diri untuk kegiatan menjelajah terhadap lingkungan baru yang memberi pengalaman baru. Anak memperoleh wawasan, pengetahuan dan ketrampilan memecahkan masalah, sehingga kompetensi kognitifnya dan percaya dirinya akan berkembang makin baik.
Pada tahap ini anak makin memiliki pribadi yang positif yaitu berani untuk bertindak, berani mengambil keputusan, berinisiatif untuk melakukan sesuatu berdasarkan keyakinan diri, berani mencoba, berani mengambil resiko, tidak terlalu bergantung pada orang lain, berani bertanggungjawab terhadap segala tindakannya dan senang bergaul dengan teman sebayanya.
Pada tahap ini anak tidak boleh banyak dikritik dan dilarang sebab akan memunculkan sikap selalu merasa bersalah (guilt) dan selanjutnya anak akan merasa ragu-ragu bertindak, kurang percaya diri atau pesimis dalam menghadapi
(33)
suatu masalah. Sebaiknya anak diberi tanggung jawab dan kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri sehingga akan memunculkan inisiatif dan kepercayaan diri anak.
d. Industry vs Inferiority (6 tahun- 10 tahun)
Muhyidin, dkk (2014: 180) mengungkapkan bahwa pada masa ini anak berada pada posisi yang sangat kritis untuk mengembangkan percaya dirinya. Anak sudah mampu untuk belajar dan berimajinasi, sehingga anak memiliki sikap ingin berhasil, bermotivasi tinggi, dan beretos kerja.
Anak harus dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan untuk menyiapkan diri memasuki masa dewasa. Anak yang mampu menguasai suatu ketrampilan tertentu dapat menimbulkan rasa berhasil dan percaya diri sebaliknya bila tidak menguasai suatu ketrampilan tertentu akan menimbulkan rasa rendah diri (Slamet Suyanto 2005:71).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tahapan perkembangan sosial emosional anak sebelumnya mempengaruhi tahapan perkembangan selanjutnya.
Terkait dengan tahapan perkembangan sosial emosional dalam penelitian ini yaitu sebagai langkah awal dalam memahami perkembangan percaya diri anak. Percaya diri terbentuk pada tahap trust vs mistrust, muncul pada tahap autonomy vs shame, doubt dan berkembang pada tahap inisiative vs guilt. Kegiatan penjelajahan yang dilakukan pada masa sebelumnya memberi pengaruh yang positif pada tahap inisiative vs guilt yaitu anak menjadi inisiatif, kreatif, sehingga anak menjadi semakin percaya diri. Percaya diri merupakan salah satu tingkat
(34)
pencapaian perkembangan percaya diri anak berusia 4-5 tahun pada aspek sosial emosional.
3. Stimulasi Perkembangan Sosial Emosional
Beberapa cara yang bisa diajarkan kepada anak usia dini untuk meningkatkan perkembangan sosial emosional menurut Muhyidin, dkk (2014: 184-188) adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan empati dan kepedulian
Anak yang mempunyai kemampuan empati dan kepedulian cenderung lebih sosial. Hal ini akan menjadikan pribadi anak lebih mudah bergaul dengan teman-temannya dan memberikan kemudahan dalam menjalin hubungan dengan siapapun. Pengembangan empati ini dapat dilakukan melalui bermain peran. b. Optimisme
Optimisme diartikan sebagai kecenderungan untuk memandang segala sesuatu dari sisi dan kondisi baiknya serta mengharapkan hasil yang optimal. Cara mengajarkan sikap optimis kepada anak, seorang pendidik harus membedakan terlebih dahulu mana sikap yang optimis dan mana sikap yang pesimis.
c. Pemecahan masalah
Sering kali orang tua tidak memberi kebebasan terhadap anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, terlalu memanjakan, dan selalu khawatir dengan tindakan yang dilakukan anak. Akibatnya, anak akan manja, tidak mandiri dan kurang percaya diri dalam melakukan berbagai kegiatan.
Untuk mengatasinya pendidik dan orang tua harus mengajarkan dan membiasakan anak untuk mengatasi masalah sendiri dengan memperkenalkan
(35)
permainan yang menantan. Jika anak mampu menyelesaikan permainan, berilah reward dalam bentuk benda maupun pujian-pujian. Keberhasilan anak dalam melewati permainan yang menantang akan direkam dalam pikiran bawah sadarnya, sehingga anak akan mempunyai keyakinan yang kuat bahwa dirinya mampu melakukan apa pun.
Permainan yang penuh tantangan, secara tidak langsung melatih anak untuk menghadapi berbagai rintangan dan permasalahan. Permainan ini dapat menjadi stimulasi edukatif bagi pemecahan masalah anak sehingga dapat mendorong tumbuhnya percaya diri anak. Memberikan permainan yang penuh tantangan atau penugasan dapat mengembangkan percaya diri anak untuk mengatasi berbagai permasalahan.
c. Motivasi diri
Sebagian dari diri anak yang bisa merasakan suatu keberhasilan adalah emosinya. Bagian terpenting dari emosi tersebut adalah motivasi diri. Motivasi yang akan menumbuhkan sikap optimisme, antusiasme, percaya diri dan tidak mudah menyerah. Motivasi yang diberikan kepada anak bisa berupa pujian, acungan jempol, dan sebagainya.
Berdasarkan pada beberapa pendapat yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan perkembangan sosial emosional anak usia dini yaitu melalui mengembangkan empati dan kepedulian, optimisme, pemecahan masalah, dan motivasi diri. Permainan dapat menjadi stimulasi perkembangan sosial emosional anak dan stimulasi edukatif bagi pemecahan masalah anak. Permainan yang penuh
(36)
tantangan dan penugasan dapat mendorong peningkatan percaya diri. Terkait dengan cara menstimulasi perkembangan sosial emosional anak dalam penelitian ini yaitu sebagai langkah awal dalam memahami cara mengembangkan perkembangan sosial emosional anak salah satunya yaitu percaya diri (self confidence).
B. Percaya Diri (Self Confidence) 1. Esensi Self (Diri)
Self dalam psikologi menurut Sumadi Suryabrata (2008: 248-250) mengungkapkan bahwa self memiliki dua arti yaitu: (1) sikap dan perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri (2) suatu keseluruhan proses psikologi yang menguasai tingkah laku dan penyesuaian diri. Pendapat Sumadi Suryabrata diperkuat oleh pendapat Agoes Dariyo (2007: 202) yang menyatakan bahwa self (diri) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan diri seorang individu. Self merupakan kesadaran yang menyangkut kehidupan pada diri individu, baik pengalaman masa lalu, masa kini maupun tujuan yang akan dicapai di masa depan.
Carl Rogers dalam Sumadi Suryabrata (2008: 260) menjelaskan bahwa self mempunyai bermacam-macam sifat yaitu: (1) self berkembang dari interaksi individu dengan lingkungan, (2) self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam cara (bentuk) yang tidak wajar, (3) self mengejar (menginginkan) konsisten akan kebutuhan kesatuan dan keselarasan, (4) self akan berubah sebagai hasil dari pematangan dan belajar.
(37)
Berdasarkan pada beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan pengertian self yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan diri seorang individu, baik mengenai sikap, tingkah laku, perasaan, dan pengamatan terhadap dirinya sendiri yang dipengaruhi aspek fisiologis, psikologis, sosiologis maupun spiritual moral.
2. Unsur-Unsur Self (Diri)
Agoes Dariyo (2008: 202) menyebutkan dan menjelaskan bahwa self (diri) meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Konsep diri (self-concept)
Konsep diri (self-concept) adalah gambaran diri sendiri yang bersifat menyeluruh terhadapan keberadaan diri seseorang. Gambaran konsep diri berasal dari interaksi antara diri sendiri maupun antara diri dengan orang lain (lingkungan sosialnya). Konsep diri sebagai cara pandang seseorang mengenai diri sendiri untuk memahami keberadaan diri sendiri maupun memahami orang lain.
b. Evaluasi diri (self- evaluation)
Evaluasi Diri (self evaluation) adalah suatu kemampuan individu untuk menganalisis, mengevaluasi dan menilai segi-segi kelebihan dan kelemahan yang ada dalam diri sendiri.
c. Penerimaan diri (self acceptance)
Penerimaan diri adalah suatu kemampuan seorang individu untuk dapat melakukan penerimaan terhadap keberadaan diri sendiri. Hasil analisa evaluasi atau penilaian terhadap diri sendiri akan dijadikan dasar bagi seorang individu
(38)
untuk dapat mengambil suatu keputusan dalam rangka penerimaan terhadap keberadaan diri sendiri.
d. Harga diri (self esteem)
Harga diri adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat melakukan penghargaan terhadap diri sendiri. Kemampuan menghargai diri tidak dapat dilepaskan dengan kemampuan untuk menerima diri sendiri. Bila individu sudah mampu menerima diri sendiri apa adanya, maka akan dapat menghargai dirinya sendiri dengan baik.
e. Efikasi diri (self effication)
Efkasi diri adalah keyakinan seorang individu yang ditandai dengan keyakinan untuk melakukan sesuatu hal dengan baik dan berhasil. Individu yang memiliki efikasi diri biasanya sebagai orang yang percaya diri, optimis dan dapat mencapai sesuatu dengan baik.
f. Percaya diri (self confidence)
Percaya diri adalah kemampuan individu untuk dapat memahami dan meyakini seluruh potensinya agar dapat dipergunakan dalam menghadapi penyesuaian diri dengan lingkungan hidupnya. Anak yang percaya diri biasanya mempunyai inisiatif, antusias, kreatif dan optimis, mampu menyadari kelemahan dan kelebihan diri sendiri, serta berpikir positif.
Sementara itu, Martinis Yamin dan Sabri (2012: 91), menambahkan bahwa anak usia 5 tahun menunjukkan percaya diri (self confidence) ketika mengikuti kegiatan di kelas, mengekspresikan emosi, mempunyai keinginan bereksplorasi dengan berbagi alat permainan dan berinteraksi dengan teman-teman di kelasnya.
(39)
Anak terlihat percaya diri ketika mengerjakan tugas, menghadapi situasi baru, mengenali emosinya dengan tepat dan memberikan informasi pada orang lain.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa unsur dalam self yaitu konsep diri (self-concept), evaluasi diri (self-evaluation), harga diri (self esteem), efikasi diri (self effication), dan percaya diri (self confidence). Terkait dengan unsur-unsur dalam self, peneliti mengambil tema mengenai percaya diri (self confidence) dalam perkembangan sosial emosional usia 4-5 tahun.
3. Pengertian Percaya Diri (Self Confidence)
Derry Iswiddarmanjaya (2006: 20) mengungkapkan bahwa, percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiiki serta dapat dimanfaatkan secara tepat. Percaya diri merupakan modal dasar untuk mengembangkan kemampuan diri. Anita Lie (2003: 4) menambahkan percaya diri yaitu yakin akan kemampuannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan masalah. Senada dengan Anita Lie, Thursan Hakim (2002: 6) mengungkapkan bahwa percaya diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya. Enung Fatimah (2006: 149) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapi.
(40)
Selanjutnya, Woolfsoon dalam Ahmad Susanto (2011: 143) menyatakan bahwa anak usia 3-4 tahun mempunyai masalah dengan emosionalnya, yaitu tentang percaya diri. Interaksi sosial yang semakin bertambah memberinya kesempatan untuk membanding-bandingkan diri dengan anak seusianya, anak yang menganggap dirinya tidak sebanding dengan teman lain akan merasa rendah diri dan menjadi tidak percaya diri.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa percaya diri adalah keyakinan terhadap diri sendiri akan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas dan menyelesaikan berbagai permasalahan serta merupakan modal dasar untuk mengembangkan kemampuan diri dalam mencapai berbagai tujuan hidupnya.
4. Proses Pembentukan Percaya Diri
Berdasarkan tahapan psikososial yang dikemukakan Erikson (Agoes Dariyo, 2007: 190) pada usia 0-1,5 tahun yaitu basic-trust vs mistrust. Basic-trust merupakan sikap percaya seorang anak terhadap lingkungan sosial terutama orang tua karena telah memberikan kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis maupun psikologis. Anak memerlukan kepercayaan dari orang lain, terutama ibu sehingga anak akan memiliki perasaan bahwa dirinya berharga.
Seorang anak akan memiliki rasa percaya ketika ibunya selalu memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis dengan memberi makan, minum, pakaian, kasih sayang, perhatian, penerimaan dan dukungan sosial. Orang tua juga harus menunjukkan perilaku tidak banyak melarang, memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan sesuatu sendiri, mendorong anak untuk mencoba lagi
(41)
apabila yang dilakukan belum berhasil. Ketika anak mendapat kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan baik maka akan merasa percaya, berharga, aman, nyaman, dan tenang, sehingga akan menumbuhkan percaya diri dalam diri anak. Sebaliknya anak akan menumbuhkan sikap mis-trust yaitu sikap tidak mempercayai terhadap lingkungan sosialnya, karena orang tua tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar anak dengan baik sehingga anak merasa tidak percaya, tidak nyaman, tidak tenang, tidak bahagia, tidak berharga dan tidak percaya diri.
Irawati Istadi (2006: 137-143) menambahkan bahwa pembentukan percaya diri digambarkan dalam daur lingkaran percaya diri yang saling mempengaruhi antara kompetensi atau hasil karya anak, pengakuan, aktualisasi dan percaya diri. Tumbuhnya percaya diri diawali adanya sebuah kompetensi tertentu sesuai fase perkembangan anak. Anak yang memiliki dan mampu menunjukkan kompetensinya akan memperoleh pengakuan dari lingkungan. Pengakuan ini bisa dalam bentuk pemberian reward berupa pujian, tepuk tangan, acungan jempol dari orang tua, guru ataupun dari teman-temannya. Setelah memperoleh pengakuan inilah rasa percaya diri anak akan tumbuh dan terbentuk.
Semakin tinggi percaya diri, akan merangsang anak untuk mempertinggi kualitas kompetensinya. Peningkatan kualitas kompetensi ini meningkatkan pula pengakuan dari orang-orang disekitar anak dan begitulah lingkaran percaya diri ini terus saling mempengaruhi. Salah satu upaya mendorong anak menunjukan kompetensinya adalah dengan memberinya sebuah tantangan dan penugasan. Jika anak telah berhasil mengatasi dan melewati tantangan tersebut, berarti anak telah
(42)
menunjukan kompetensi dirinya. Menjadi tugas pendidik untuk memberikan tantangan atau penugasan yang sesuai dengan kemampuan anak dan dikemas dalam kegiatan yang menarik. Mereka yang berhasil melewati tantangan tersebut, selanjutnya akan mengalami peningkatan rasa percaya diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan percaya diri dipengaruhi oleh sikap percaya anak pada orang lain, terutama orang tua dalam memenuhi kebutuhan dasar anak baik kebutuhan fisiologis maupun psikologis. Selain itu, tumbuhnya percaya diri juga diawali adanya sebuah kompetensi yang ditunjukkan anak melalui sebuah tantangan, jika berhasil melewatinya anak akan mendapat pengakuan dari guru dan teman-temannya berupa pujian. Setelah memperoleh pengakuan inilah percaya diri anak akan tumbuh. Terkait dengan penelitian ini dalam meningkatkan percaya diri, anak diberikan sebuah tantangan melalui permainan ular tangga edukatif.
5. Aspek-aspek Percaya Diri
Ada beberapa aspek percaya diri menurut Lauster dalam Nur Gufron dan Rina Risnawati (2012: 35), menyebutkan beberapa aspek percaya diri adalah sebagai berikut:
a. Keyakinan kemampuan diri
Keyakinan kemampuan diri adalah sikap positif anak tentang dirinya bahwa anak mengerti secara sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya, sehingga anak akan berani mengambil tindakan dan kesempatan yang diberikan. Anak yang percaya atas kemampuan dirinya akan memiliki kemandirian dan tidak bergantung pada orang lain, berani tampil di hadapan orang banyak, berani
(43)
bertanya dan menjawab pertanyaan ketika diberi kesempatan. Keyakinan kemampuan diri ini berawal dari tekad diri sendiri untuk memulai, melakukan, dan menyelesaikan tugas atau dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hasil yang optimal. Keyakinan kemampuan diri yang dimiliki membuat anak mampu menghadapi segala persoalan yang dihadapinya sehingga anak akan memiliki percaya diri.
b. Keoptimisan
Keoptimisan adalah sikap positif yang dimiliki anak yang selalu berpandangan baik dalam mengahadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuannya. Sikap optimis akan memberikan dan menimbulkan pikiran-pikiran yang positif bagi diri anak sehingga akan mampu menjadikan anak selalu beranggapan baik terhadap setiap tindakan yang dilakukannya. Anak yang optimis ketika mendapatkan tantangan akan bersikap tenang dan tidak gugup. Anak yang memiliki sikap optimis akan selalu berusaha dan bekerja keras dalam mengerjakan dan menyelesaikan setiap tugas yang diberikan dengan penuh antusias agar dapat mencapai hasil yang maksimal.
c. Keobjektifan
Keobjektifan yaitu anak yang percaya diri memandang permasalahan atau sesuatu sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri. Anak yang memiliki sikap objektif berarti memiliki kejujuran dalam hidupnya, jadi anak akan menilai segala suatu hal melihat dengan bagaimana mestinya.
(44)
d. Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah kesediaan anak untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya. Tanggung jawab merupakan salah satu sikap yang dapat mendorong individu untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya serta mampu menjalankan kewajibannya. Anak yang tanggung jawab akan menerima tugas yang diberikan dan mengerjakan tugas sampai selesai serta tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang sudah dilakukan, misalnya membereskan peralatan bermain setelah menggunakannya. e. Kemampuan merasionalkan masalah
Individu yang mampu merasionalkan masalah yaitu mampu menganalisis suatu masalah, suatu hal, dan kejadian dengan menggunakan pemikiran pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyaataan. Jadi, seseorang yang memiliki sikap rasional berarti seseorang tersebut mempunyai sikap percaya diri yang positif pula.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa beberapa aspek percaya diri yaitu keyakinan kemampuan diri, optimis, obyektif, bertanggung jawab, rasional. Anak yang memiliki percaya diri merasa yakin akan kemampuan dirinya, sehingga mampu menyelesaikan berbagai tugas atau tantangan yang diberikan dengan sungguh-sungguh. Anak bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang telah diambil serta mampu melihat berbagai hal secara obyektif yang didasari pada kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya.
(45)
6. Karakteristik Anak Percaya Diri
Lauster (2002: 4), terdapat beberapa karakteristik untuk menilai kepercayaan diri individu. Karakteristik tersebut adalah:
a. Percaya kepada kemampuan sendiri
Suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengatasi fenomena yang terjadi.
b. Bertindak mandiri dalam mengambil tindakan
Bertindak mandiri yaitu dapat bertindak dalam mengambil keputusan terhadap apa yang dilakukan secara mandiri tanpa adanya keterlibatan orang lain. c. Memiliki konsep diri yang positif
Memiliki konsep diri yang positif yaitu adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan maupun tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif pada diri sendiri.
d. Berani mengungkapkan pendapat
Berani mengungkapkan pendapat yaitu adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri yang ingin diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau pengungkapan perasaan tersebut.
Anita Lie (2003: 4) menyebutkan ciri-ciri perilaku yang mencerminkan percaya diri adalah sebagai berikut:
a. Yakin kepada diri sendiri
Anak yang percaya diri akan mempunyai keyakinan kepada diri sendiri mengenai kemampuan yang dimilikinya. Keyakinan diri yang dimiliki mampu
(46)
mendorong anak untuk mengerjakan dan menyelesaikan berbagai tugas, masalah, tantangan yang dihadapinya.
b. Tidak bergantung pada orang lain
Anak yang tidak bergantung kepada orang lain selalu berusaha untuk mengatasi berbagai masalahnya sendiri dan mengerjakan atau melakukan segala sesuatunya sendiri. Anak yang dapat melakukan segala sesuatunya sendiri berarti memiliki keyakinan yang besar dan percaya terhadap kemampuan yang dimilikinya.
c. Tidak ragu-ragu
Anak yang memiliki rasa percaya diri biasanya tidak memiliki keraguan dalam mengambil keputusan dan tidak ragu dalam melaksanakan tindakan. Pada saat anak diminta untuk bernyanyi, bercerita, berpendapat dihadapan guru dan temannya selalu bersikap tenang, rileks, badan tegak, arah pandangan mata ke depan dan sangat antusias.
d. Merasa diri berharga
Harga diri anak dapat terbangun ketika anak mendapatkan suatu pujian atau penghargaan. Anak yang mendapatkan suatu penghargaan akan merasakan dirinya berharga. Muhammad Fadhilah dan Lilif Mualifatu Khorida (2013: 200), mengungkapkan bahwa penghargaan pada anak diperlukan karena memang masa anak merupakan masa yang selalu ingin dipuji dan diperhatikan.
e. Memiliki keberanian untuk bertindak
Anak yang memiliki keberanian untuk bertindak biasanya tidak merasa takut dan ragu dalam mengerjakan atau melaksanakan tugas yang diberikan oleh
(47)
guru. Ketika anak diberikan sebuah tugas atau tantangan, dengan sesegera mungkin anak akan menyelesaikan tugas tersebut. Pada saat kegiatan yang mengharuskan anak maju di depan kelas, anak memiliki inisiatif sendiri dan tampil dengan penuh keberanian dalam menyelesaikan tugas atau tantangan yang diberikan di hadapan guru dan teman-temannya.
Sementara itu, indikator anak percaya diri menurut Permendiknas Nomor 58 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
a. Mengerjakan tugasnya sendiri
Anak yang percaya diri biasanya dapat mengerjakan atau menyelesaikan tugasnya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain.
b. Menunjukan kebanggaan terhadap hasil kerjanya
Menunjukan kebanggaan terhadap hasil kerjanya di hadapan guru dan teman-temannya tanpa ragu- ragu dan antusias.
c. Berani tampil di depan umum
Anak yang percaya diri biasanya memiliki inisiatif untuk tampil di depan kelas menyelesaikan tugas yang diberikan guru atau menunjukan hasil karyanya. d. Berani mempertahankan pendapatnya
Berani mempertahankan pendapatnya ketika kegiatan bercakap-cakap, berani memberikan pendapat atau komentar mengenai berbagai hal yang dihadapinya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan ciri-ciri anak yang percaya diri yaitu selalu bersifat tenang dalam mengerjakan tugas, mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai, mampu menetralisasi ketegangan yang
(48)
muncul di berbagai situasi, mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi di berbagai situasi, yakin kepada diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, tidak ragu-ragu, merasa diri berharga, memiliki keberanian untuk bertindak, mengerjakan tugas sendiri, menunjukan kebanggaan terhadap hasil kerjanya, berani tampil di depan umum, berani mempertahankan pendapatnya.
7. Gejala Tidak Percaya Diri pada Anak
Thursan Hakim (2005: 46) menyebutkan berbagai gejala yang timbul dari anak yang tidak percaya diri. Berikut gejala tidak percaya diri pada anak:
a. Anak terlalu mudah menangis (cengeng)
Sejumlah besar anak yang cengeng atau mudah menangis hanya karena masalah kecil. Banyak masalah kecil yang menyebabkan anak menangis. Misalnya, saat didekati orang selain orang tuanya, saat digendong oleh orang lain, saat ditinggal sendiri walaupun hanya sebentar, tidak dipenuhi ketika meminta sesuatu.
b. Anak mudah takut
Gejala mudah takut pada anak bisa dilihat ketika ia dihadapkan pada berbagai situasi, misalnya takut tampil didepan umum, takut bertanya dan takut menjawab pertanyaan. Gejala ini bisa berkembang menjadi rasa tidak percaya diri dalam bentuk gejala mudah gugup, grogi ketika tampil di depan.
c. Anak takut menghadapi guru
Setiap anak mempunyai tingkat percaya diri dan keberanian yang berbeda dalam menghadapi orang dewasa, terutama guru di sekolah. Guru yang mempunyai disiplin tinggi dan juga emosi tinggi kurang menyadari bahwa sikap
(49)
mereka bisa membuat anak-anak takut. Pada anak-anak tertentu, ketakutan ini bisa terjadi secara berlebihan dan menimbulkan rasa tidak percaya diri.
d. Anak tidak berani tampil di depan kelas
Ketidakberanian anak untuk tampil di depan kelas merupakan salah satu bentuk gejala tidak percaya diri pada anak. Misalnya, anak menolak setiap kali guru meminta anak untuk bernyanyi, bercerita atau mengerjakan tugas di depan kelas.
e. Anak tidak berani bertanya dan menyatakan pendapat
Selama pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, misalnya kegiatan bercakap-cakap, bercerita, guru sudah memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya atau menjawab pertanyaan. Akan tetapi, anak belum berani bertanya dan menyatakan pendapatnya.
f. Anak mudah panik dalam menghadapi masalah
Sikap itu biasanya bukan disebabkan masalah yang dihadapinya sangat sulit, tetapi lebih sering karena adanya rasa tidak percaya diri bahwa ia akan mampu mengatasi masalah. Misalnya, pada saat anak diminta guru untuk maju ke depan sebagai contoh untuk teman-temannya atau mengerjakan tugas, anak akan panik, bingung dan gugup.
g. Anak menjadi gagap ketika berbicara
Jika seorang anak memperlihatkan gejala tergagap-gagap ketika berbicara (padahal tidak memiliki kalainan pada alat-alat bicaranya), besar kemungkinan mengalami kecemasan yang cukup berat setiap kali berhadapan dan berbicara
(50)
dengan orang lain atau di depan umum. Hal ini juga menunjukan adanya kelemahan pada kepribadian anak dari sisi tertentu, yaitu tidak percaya diri.
h. Anak cenderung tidak punya inisiatif
Kurangnya inisiatif anak di dalam melakukan sesuatu yang baik sering terlihat, terutama di dalam lingkungan sekolah pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar di sekolah. Pada saat guru mengajukan berbagai macam pertanyaan dan anak lainnya memberikan jawaban dengan antusias, ia lebih banyak diam.
8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Percaya Diri
Bekti Setiti (2011: 12-13) menjelaskan bahwa percaya diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Berikut penjabaran dari kedua faktor tersebut:
a. Faktor internal, meliputi: 1) Konsep diri
Terbentuknya percaya diri seorang anak diawali dengan perkembangan konsep diri. Konsep diri awalnya terbentuk dari lingkungan keluarga dan merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sosial. Jika hasil interaksi anak dengan lingkungan keluarga dan sosial yang muncul positif, maka akan menunjukkan konsep diri yang positif dan memiliki percaya diri.
2) Harga diri
Harga diri mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang. Anak yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung bersifat optimis dengan melihat dirinya sebagai seseorang yang percaya bahwa usahanya akan berhasil dan mudah
(51)
menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri, hal ini berarti anak memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
3) Kondisi fisik
Cacat atau kelainan fisik tertentu, seperti cacat anggota tubuh atau rusaknya salah satu indera merupakan kekurangan yang terlihat jelas oleh orang lain, jika orang tersebut tidak bisa bereaksi secara positif, timbulah rasa rendah diri yang akan berkembang menjadi tidak percaya diri.
4) Pengalaman hidup
Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman. Pengalaman dapat menjadi faktor munculnya rasa percaya diri dan dapat menjadi faktor menurunnya rasa percaya diri seseorang. Pengalaman yang mengecewakan bagi anak akan menimbulkan rasa rendah diri (minder), namun pengalaman yang menyenangkan atau menggembirakan akan menimbulkan kepercayaan diri.
a. Faktor eksternal, meliputi: 1) Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah akan menjadikan orang tersebut tergantung dan berada dibawah kekuasaan orang lain yang lebih pandai darinya. Sebaliknya, orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih dibandingkan yang berpendidikan rendah.
2) Pekerjaan
Bekerja dapat mengembangkan kreativitas dan kemandirian serta rasa percaya diri. Percaya diri dapat diperoleh seseorang, apabila dalam melaksanakan pekerjaannya dapat mencapai hasil yang optimal. Hasil dari bekerja selain materi
(52)
yang diperoleh, rasa kepuasan dan rasa bangga akan muncul karena mampu mengembangkan kemampuan dirinya.
3) Lingkungan
Dukungan dan hubungan interaksi yang baik dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Hubungan persahabatan yang baik antar anak dan guru, pemberian motivasi dari guru, serta kegiatan-kegiatan di sekolah dapat menjadi sarana dalam meningkatkan percaya diri.
Melengkapi pendapat di atas, Thursan Hakim (2005: 30-31) berpendapat bahwa selain beberapa faktor eksternal di atas yang mempengaruhi percaya diri anak yaitu cara orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua yang terlalu memanjakan anak, banyak melarang, banyak mencela, serta kurang memberikan kesempatan pada anak untuk berekplorasi akan membuat anak menjadi rendah diri dan tidak percaya diri. Orang tua yang ingin menanamkan percaya diri yang kuat pada diri anak, maka di dalam setiap kegiatan positif yang dilakukan anak perlu memberikan motivasi, semangat untuk bersifat mandiri dan selalu mendorong anak untuk mencobanya lagi jika anak mengalami kegagalan.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi percaya diri seseorang meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh konsep diri, harga diri, kondisi fisik dan pengalaman hidup, sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh pendidikan, pekerjaan, lingkungan dan pola pendidikan keluarga.
(53)
9. Membangun Percaya Diri Melalui Pendidikan
Percaya diri dapat dibangun atau ditingkatkan melalui pendidikan sekolah. Thursan Hakim (2005: 136-140) menyebutkan beberapa cara meningkatkan rasa percaya diri di sekolah. Terkait dengan penelitian ini maka hanya diambil beberapa yang sesuai dengan perkembangan anak yaitu sebagai berikut:
a. Memupuk keberanian untuk bertanya
Banyak anak yang walaupun belum mengerti, tetapi merasa malu, enggan, dan tidak berani bertanya. Guru perlu memberikan kesempatan dan motivasi pada anak agar memberanikan diri untuk bertanya.
b. Peran guru yaitu aktif bertanya pada siswa
Peran guru yang aktif mengajukan pertanyaan secara lisan kepada anak, terutama kepada anak yang pendiam dan bersikap tertutup akan membuat anak mengemukakan pedapatnya di depan umum. Jika kegiatan ini dibiasakan akan membuat anak menjadi lebih percaya diri ketika tampil dihadapan orang banyak. c. Melatih untuk berdiskusi
Kegiatan bercakap-cakap antara guru dengan anak untuk membahas suatu hal akan dapat membangun rasa percaya diri. Kegiatan ini merupakan suatu tantangan yang mengharuskan anak untuk mengutarakan pendapatnya di depan banyak orang. Jika situasi dan kondisi ini sering diciptakan maka anak akan bisa membangun rasa percaya diri.
d. Mengerjakan tugas di depan kelas
Setiap kali siswa mengerjakan tugas di depan kelas, mereka harus memberanikan diri untuk tampil di hadapan guru dan teman-temannya. Rasa
(54)
percaya diri akan bisa dikembangkan dengan melibatkan diri di dalam suatu kegiatan yang bisa ditampilkan di depan banyak orang. Untuk itu, ada baiknya jika guru mengusahakan agar anak terlibat di dalam suatu kegiatan yang membiasakan anak tampil di hadapan guru dan teman-temannya, misalnya dalam kegiatan permainan, bernyanyi, show and tell, dan sebagainya.
e. Aktif dalam kegiatan pertandingan atau permainan
Anak yang aktif dalam kegiatan permainan untuk menyelesaikan berbagai tantangan yang diberikan akan mendorong anak untuk memupuk keberanian, semangat juang, rasa percaya diri serta penempatan diri dalam suatu kelompok kerja sama yang kompak. Kegiatan ini bisa dijadikan salah satu cara untuk membangkitkan rasa percaya diri yang kuat dan mengembangkan aspek-aspek kepribadian yang meliputi kejujuran, berjiwa besar untuk menerima kekalahan atau sikap rendah hati ketika menjadi juara.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membangun percaya diri melalui pendidikan yaitu memupuk keberanian siswa untuk bertanya, guru aktif bertanya pada siswa, melatih berdiskusi, mengerjakan soal di depan kelas, dan aktif dalam kegiatan pertandingan atau permainan. Terkait dengan cara membangun percaya diri anak melalui pendidikan dalam penelitian ini yaitu sebagai langkah awal dalam memahami percaya diri yang dapat ditumbuhkan melalui beberapa cara, salah satunya melalui pertandingan yang dikemas dalam permainan ular tangga edukatif.
(55)
C. Permainan Ular Tangga Edukatif 1. Pengertian Permainan
Bermain merupakan salah satu pinsip pembelajaran anak usia dini dan merupakan aktivitas yang sangat penting untuk anak. Kegiatan pembelajaran di TK sebaiknya dikelola dengan cara bermain agar perasaan anak menjadi bahagia sehingga dapat merasa nyaman dalam melakukan serangkaian kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dapat dilaksanakan dengan permainan. Permainan bagi anak merupakan aktivitas yang menyenangkan dan memiliki banyak manfaat bagi aspek perkembangan anak. Hans Daeng (Andang Ismail 2006: 5) permainan merupakan bagian mutlak dari kehidupan anak dan merupakan bagian intergral dari proses pembentukan kepribadian anak. Artinya, dengan dan dari permainan itu anak belajar hidup.
Hurlock (Harun Rasyid, 2009: 80) mengemukakan bahwa permainan merupakan proses aktivitas fisik atau psikis yang menyenangkan dan menggembirakan. Senada dengan pendapat diatas, Andang Ismail (2006: 91) menyatakan bahwa melalui kegiatan bermain memalui permainan anak memperoleh pelajaran yang mengandung aspek perkembangan kognitif,sosial, emosi, fisik. Melalui kegiatan bermain anak dirangsang untuk berkembang secara umum, baik perkembangan berpikir, emosi maupun sosial.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa permainan merupakan suatu aktivitas yang melibatkan fisik dan menyenangkan bagi anak yang mampu mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak. Permainan bagi anak haruslah permainan yang mengandung unsur mendidik (edukatif) karena melalui
(56)
permainan, seluruh aspek perkembangan anak dapat meningkat secara optimal salah satunya perkembangan sosial emosional yang didalamnya terdapat unsur percaya diri.
2. Manfaat Bermain bagi Anak
Banyak manfaat yang akan didapatkan dalam sebuah permainan. Masing-masing permainan kebermanfaatannya sesuai dengan jenis metode dan caranya. Manfaat bermain untuk mengoptimalkan perkembangan anak menurut Mayke S (2001: 39-43), diantaranya:
a. Manfaat bermain untuk perkembangan aspek fisik
Melaui bermain atau kegiatan permainan anak akan mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan yang banyak melibatkan gerakan-gerkan tubuh dan melibatkan alat indera, sehingga akan membuat kondisi tubuh anak menjadi sehat, otot-otot tubuh akan tumbuh dan menjadi kuat. Selain itu, anak juga dapat menyalurkan energi yang berlebihan sehingga ia tidak merasa gelisah.
b. Manfaat bermain untuk perkembangan aspek sosial
Ketika anak bermain dengan teman sepermainan yang sebaya usianya, anak akan mengerti tentang banyak hal yaitu berbagai hak milik, menggunakan mainan secara bergilir, melakukan kegiatan bersama dan kerja sama, mempertahankan hubungan yang sudah terbina, mencari pemecahan masalah yang dihadapi dengan teman lainnya.
c. Manfaat bermain untuk perkembangan aspek emosi atau kepribadian
Dari kegiatan bermain yang dilakukan bersama dalam sekelompok teman, anak akan mempunyai penilaian terhadap dirinya tentang kelebihan-kelebihan
(57)
yang ia miliki sehingga dapat membantu pembentukan konsep diri yang positif, mempunyai rasa percaya diri dan harga diri karena anak merasa mempunyai kompetensi tertentu.
d. Manfaat bermain untuk perkembangan aspek kognisi
Banyak konsep dasar yang dipelajari atau diperoleh anak pra sekolah melalui bermain. Pada usia pra sekolah anak diharapkan menguasai berbagai konsep seperti warna, ukuran, bentuk, arah, besaran sebagai landasan untuk menulis, bahasa, matematika dan ilmu pengetahuan lain. Pengetahuan tersebut jauh lebih mudah diperoleh melalui kegiatan bermain.
M. Tabroni dan Fairuzul M (2013: 43-45) menambahkan manfaat bermain dijelaskan sebagai berikut:
a. Aspek fisik
Bermain membutuhkan fisik yang sehat untuk melakukan gerakan-gerakan yang kecil dan besar, atau bahkan gerakan yang belum pernah dilakukan sama sekali. Ketika anak melakukan gerakan-gerakan tersebut, maka tubuh anak akan menjadi sehat.
b. Aspek perkembangan motorik kasar dan halus
Kegiatan bermain akan mendorong anak belajar membuat keputusan dan menyiasati suatu permainan sehingga memunculkan kecerdasan yang akan berimplikasi pada ketrampilan anak, baik ketrampilan motorik kasar maupun motorik halus.
(58)
c. Aspek sosial
Melalui kegiatan bermain anak belajar untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjalin hubungan baik dengan teman sebaya. Hasil dari interaksi ini anak akan belajar berbagi, sabar menunggu giliran, saling membantu sesama teman, dapat mengikuti peraturan permainan dan dapat belajar memecahkan masalah dengan bekerja sama.
d. Aspek bahasa
Aspek bahasa adalah ketrampilan anak dalam melakukan komunikasi verbal dan komunikasi sosial. Komunikasi verbal akan memberi masukan kepada anak tentang kosakata yang belum dimilikinya dari teman bermain tanpa disadari anak. Sementara itu, komunikasi sosial membentuk anak menjadi lebih mudah bergaul sehingga anak memiliki banyak teman.
e. Aspek emosi dan kepribadian
Melalui permainan anak memiliki rasa percaya diri dan merasa dihargai. Ketika anak mampu menyelesaikan tantangan atau tugas yang ada di permainan tersebut dan mendapatkan pujian dari orang disekelilingnya, anak akan mempunyai konsep diri positif dan harga diri yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan diri anak.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa manfaat dari bermain dan permainan yaitu sebagai cara yang dapat mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak dan kepribadian anak. Terkait dengan penelitian ini jika dilihat dari manfaat bermain dan permainan pada aspek emosi yaitu salah satunnya dapat menumbuhkan dan memiliki percaya diri.
(59)
3. Tahapan Perkembangan Bermain
Rubin, Fein & Vandenberg (1983) dan Smilansky (1968) dalam (Andang Ismail, 2006: 41-42) menjelaskan tahapan perkembangan bermain anak yaitu: a. Bermain fungsional (functional play)
Bermain fungsional biasanya tampak pada anak berusia 1-2 tahun berupa gerakan yang bersifat sederhana daan berulang-ulang. Kegiatan bermain ini dapat dilakukan dengan atau tanpa alat permainan. Kegiatan bermain pada usia ini, misalnya tepuk tangan, menggerakkan beberapa anggota tubuh seperti mata, tangan, kaki dan sebagainya.
b. Bermain bangun membangun (constructive play)
Bermain membangun sudah dapat terlihat pada anak berusia 3-6 tahun. Dalam kegiatan bermain ini, anak membentuk sesuatu, menciptakan bangunan tertentu dengan alat permainan yang tersedia misalnya balok, logo, puzzle, plastisin dan sebagainya.
c. Bermain pura-pura (make believe play)
Kegiatan bermain pura-pura mulai banyak dilakukan anak berusia 3-7 tahun. Pada kegiatan bermain pura-pura anak menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Anak dapat menirukan kegiatan yang dilakukan guru, polisi, dokter, petani, pedagang, bahkan meniru pakaian yang dikenakannya ketika bermain pura-pura.
(60)
d. Permainan dengan peraturan (games with rules)
Kegiatan permainan dengan peraturan ini umumnya sudah dapat dilakukan anak usia 5-11 tahun. Dalam kegiatan bermain ini, anak sudah memahami dan bersedia mematuhi peraturan permainan.
Terkait dengan penelitian ini, permainan ular tangga edukatif termasuk dalam tahapan permainan dengan peraturan (games with rules) yang sudah dapat dilakukan anak usia 5-11 tahun.
4. Permainan Ular Tangga Edukatif
Permainan ular tangga adalah permainan papan untuk anak-anak yang dimainkan oleh dua orang atau lebih. Papan permainan dibagi dalam kotak-kotak kecil dan di beberapa kotak digambar sejumlah tangga dan ular sebagai penghubung antara kotak satu dengan yang lainnya. Tidak ada papan permainan standar dalam ular tangga, setiap orang dapat menciptakan papan sendiri dengan jumlah kotak ular tangga yang berlainan (Agus N. Cahyo, 2011: 106).
Andang Ismail (2006: 119) mengungkapkan bahwa permainan edukatif merupakan suatu kegiatan yang sangat menyenangkan dan dapat merupakan cara atau alat pendidikan yang bersifat mendidik. Permainan edukatif merupakan sebuah bentuk kegiatan mendidik yang dilakukan dengan menggunakan cara atau alat permainan yang besifat mendidik pula.
Permainan ular tangga edukatif yang diterapkan untuk penelitian ini adalah permainan dengan menggunakan media yang didesain khusus serta dibuat semenarik mungkin berupa gambar dan warna yang dapat menarik perhatian anak. Permainan ular tangga edukatif yang digunakan dalam penelitian memiliki
(61)
kekhasan di banding dengan permainan ular tangga pada umumnya. Permainan ular tangga edukatif yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu berupa papan permainan berbahan dasar banner dengan ukuran ± 1,2 m x 1,6 m, yang terdiri atas kotak-kotak yang berjumlah 12 buah, masing-masing kotak berukuran ± 40 cm x 40 cm. Tiap kotak diberi nomer urut 1 sampai 10. Kotak-kotak tertentu ada yang berisi gambar berupa penugasan yaitu bernyanyi, bercerita, membaca surat pendek, menebak suara binatang, menyebutkan alat-alat transportasi, menirukan gerakan binatang dan menari. Selain itu, ada beberapa kotak yang berisi gambar ujung tangga dan kepala ular. Pemain yang berhenti di kotak gambar kepala ular maka pemain menuruni kotak sesuai dengan lintasan, namun jika berhenti dikotak yang ada gambar ujung tangga berarti menaiki kotak sesuai dengan lintasan.
Permainan ular tangga edukatif ini dipilih dalam penelitian karena melalui permainan edukatif dapat mengembangkan aspek emosi atau kepribadian terutama percaya diri anak. Hal ini senada dengan pendapat Andang Ismail (2006: 144) yang menyatakan bahwa dengan permainan edukatif anak akan mempunyai penilaian terhadap dirinya tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki, sehingga dapat membantu pembentukan konsep diri yang positif, mempunyai rasa percaya diri dan harga diri, karena merasa mempunyai kompetensi tertentu.
5. Manfaat Permainan Ular Tangga Edukatif
Banyak manfaat yang dapat diambil dari sebuah permainan. Bagi anak, permainan yang dilakukan dengan menyenangkan akan berdampak positif bagi perkembangan dan kepribadian anak. Andang Ismail (2006: 119) mengungkapkan bahwa, permainan edukatif bermanfaat untuk menguatkan dan menerampilkan
(62)
anggota badan anak, mengembangkan kepribadian, mendekatkan hubungan antara pengasuh dengan pendidik dan menyalurkan kegiatan anak didik. Disadari atau tidak, permainan edukatif ini memiliki muatan pendidikan yang dapat bermanfaat dalam mengembangkan diri seutuhnya.
Sementara itu, Muhyidin, dkk (2014: 153) menyebutkan bahwa manfaat dari alat permainan edukatif dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan membentuk citra diri yang positif, karena ketika mengikuti kegiatan bermain dengan menggunakan alat permainan edukatif anak dalam suasana yang menyenangkan. Sriningsih (2008: 95) mengungkapkan secara umum bahwa media permainan ular tangga dapat diberikan untuk anak usia 5 - 6 tahun dalam rangka menstimulasi berbagai bidang pengembangan seperti kognitif, bahasa dan sosial.
Permainan ular tangga edukatif dalam penelitian ini memiliki beberapa manfaat yaitu mengembangkan kepribadian anak, membentuk citra diri yang positif, menumbuhkan percaya diri, menambah kosa kata, anak dapat belajar menaati peraturan, sabar menunggu giliran, serta dapat mengembangkan aspek perkembangan anak yaitu motorik, bahasa, kognitif, dan sosial emosional anak. 6. Langkah-langkah Permainan Ular Tangga Edukatif
a. Pra permainan
1) Guru menyiapkan alat dan bahan untuk permainan ular tangga edukatif. 2) Guru membagi kelompok menjadi beberapa 4 kelompok dan tiap kelompok
(63)
3) Guru menjelaskan peraturan dan cara bermain permainan ular tangga edukatif, sementara itu anak-anak harus memperhatikan penjelasan yang disampaikan guru.
4) Guru memberikan intruksi bagaimana cara memainkannya dengan dipraktekan langsung dan dibantu beberapa anak sebagai contohnya.
b. Pelaksanaan permainan ular tangga edukatif
Anak-anak mulai memainkan permainan ular tangga edukatif sesuai dengan kelompok masing-masing. Permainan dimainkan secara bergantian, yaitu apabila kelompok pertama dan kedua memainkan ular tangga edukatif maka kelompok lain memperhatikan jalannya permainan serta menyemangati, dan memberikan tepuk tangan serta beberapa komentar ketika berhasil menyelesaikan tantangan yang diberikan.
Cara bermain ular tangga edukatif :
1) Guru memilih 2 kelompok yang menjadi pemain terlebih dahulu.
2) Anak-anak yang menjadi pemain atau penonton berkumpul dalam satu kelompok.
3) Anak yang menjadi bidak pertama berdiri di kotak “star’’, kemudian melempar dadu dan menghitung jumlah mata dadu yang muncul.
4) Anak bergerak ke kotak berikutnya sesuai dengan jumlah mata dadu yang muncul dengan melompat.
5) Setelah sampai pada kotak sesuai jumlah mata dadu, anak harus menyelesaikan tugas yang ada di kotak tersebut. Misal gambar anak bernyanyi, maka anak akan bernyanyi.
(64)
6) Bila anak yang menjadi bidak pertama sudah berhasil menyelesaikan tugas, anak kembali ke kelompoknya.
7) Anak yang menjadi bidak kedua memulai permainan tidak dari kotak star tetapi dari kotak yang di dapat bidak sebelumnya.
8) Bila anak berhenti pada kotak yang ada gambar ujung bawah sebuah tangga, maka anak naik ke atas tetapi jika anak berhenti pada kotak yang ada gambar kepala ular, maka anak turun ke bawah.
D. Kajian tentang Teori Belajar Behavioristik 1. Pengertian Teori Belajar
Sugihartono, dkk, (2008: 89) mengartikan teori belajar adalah seperangkat pernyataan umum yang digunakan untuk menjelaskan mengenai belajar. Slamet Suyanto (2005: 82) menyatakan bahwa teori belajar pada anak usia dini adalah suatu pemikiran ideal untuk menerangkan apa, bagaimana, dan mengapa belajar itu. Teori belajar dikembangkan dari kenyataan bahwa manusia secara alami memiliki kemampuan dan kemauan untuk belajar yang luar biasa. Kegiatan pembelajaran pada anak Taman Kanak-kanak sebaiknya didasarkan atas teori belajar karena dapat digunakan untuk menyusun kegiatan pembelajaran dan untuk mengetahui permasalahan yang muncul di kelas.
2. Pengertian Teori Belajar Behavioristik
Dalyono (2005: 30) mengungkapkan bahwa, teori belajar behavioristik merupakan tingkah laku manusia dikendalikan oleh penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) dari lingkungan. Pendapat Dalyono diperkuat oleh
(65)
pendapat Muhyidin, dkk (2014: 104) yang menyatakan bahwa teori behavioristik merupakan perilaku yang dapat dibentuk oleh respon yang diikuti oleh tindakan. Belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku di mana penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) perlu dilakukan sebagai stimulus untuk merangsang perilaku yang diinginkan dari peserta didik.
Sementara itu Slamet Suyanto (2005: 83), mengungkapkan bahwa Behavioral Learning Theory (teori perilaku) adalah perubahan perilaku yang dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini dapat digunakan untuk memprediksi dan mengontrol perubahan perilaku.
Berdasarkan pada beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa teori belajar behavioristik merupakan perubahan tingkah laku manusia yang dapat diamati sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan tingkah laku tersebut dipengaruhi oleh ganjaran (reward) dan penguatan (reinforcement) dari lingkungan.
3. Macam Teori Belajar Behavioristik
Slamet Suyanto (2005: 83-85) menjelaskan macam teori belajar behavioristik. Berikut penjabaran macam teori belajar behavioristik:
a. Teori Kondisi Klasik (Classical Conditioning Theory)
Teori ini ditemukan oleh Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) dengan melakukan percobaan dengan menggunakan anjing, dimana ia memberikan daging secara berulang-ulang dengan membunyikan bel terlebih dahulu. Setelah beberapa lama, setiap kali bel dibunyikan walaupun tanpa menggunakan daging,
(66)
secara otomatis anjing akan mengeluarkan air liur. Proses dimana anjing dapat menghubungkan antara bunyi bel dengan daging dan direspon anjing dengan mengeluarkan air liur itulah yang dinamakan belajar.
Sugiharto, dkk, (2008: 94) menjelaskan percobaan anjing yang dilakukan Pavlov, dimana perangsang asli atau netral (daging) dipasangkan dengan stimulus bersyarat (bel) secara berulang-ulang maka akan memunculkan reaksi atau respon yang diinginkan.
Sementara itu Muhyidin, dkk (2014: 106), menyatakan bahwa pengondisian klasik (classical conditioning) adalah perilaku yang mendahului penguatan. Misalnya burung merpati dapat belajar mendorong untuk mendapatkan makanannya. Setiap kali burung merpati berhasil mendorong, maka burung merpati akan mendapatkan makanan.
Dari penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa segala tingkah laku manusia merupakan hasil dari latihan atau kebiasaan yang dilakukan secara beruang-ulang karena ada stimulus kemudian menimbulkan reaksi atau respon. b. Opperant Conditioning Theory
Erward L. Thorndike (1874-1949) adalah pencetus teori belajar Opperat conditioning theory. Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya stimulus dan respon. Ia melakukan percobaan pada seekor kucing yang ditaruh di dalam kotak. Kucing tersebut mencari jalan keluar melalui proses mencoba-coba. Dari proses percobaan (trials) tersebut kucing mengalami kegagalan (error) terlebih dahulu. Hasil penelitiannya menimbulkan hukum sebab akibat (law of effect) yaitu apabila stimulus menimbulkan respon dengan
(1)
169
Pasca Siklus I dan pasca Siklus II
Gambar 26. Anak berani tampil untuk bermain outdoor dan tanpa bantuan dari guru
Gambar 27. Berani tampil untuk show and tell dan tanpa bantuan guru
Gambar 28. Mengerjakan LKA sendiri
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)