Kekerasan Dalam Pacaran Kekerasan Dalam Pacaran

27 Fenomena bullying dapat terjadi di mana saja, namun paling sering terjadi di lingkungan sekolah sehingga istilah bullying identik dengan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Jika dibandingkan dengan konsep kekerasan dalam pacaran, terlihat bahwa konsep bullying dan kekerasan dalam pacaran KDP merupakan suatu himpunan bagian. Konsep bullying merupakan konsep yang luas, dimana di dalamnya dapat mencakup kekerasan dalam pacaran serta KDRT. Hanya saja, kekerasan dalam pacaran membahas secara lebih spesifik fenomena kekerasan yang terjadi dalam konteks hubungan romantik di luar pernikahan sedangkan istilah bullying sendiri lebih sering digunakan untuk menyebut kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. c. Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran Menurut WHO, kekerasan interpersonal dapat meliputi bentuk- bentuk kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan deprivatif atau penelantaran. Namun secara khusus, bentuk-bentuk kekerasan yang biasa muncul dalam hubungan pacaran adalah kekerasan fisik, emosional, dan seksual Black et.al, 2006. 1 Kekerasan Fisik Ketika memikirkan konsep kekerasan, kebanyakan orang langsung mengacu pada kekerasan fisik. Padahal dalam kenyataannya, kekerasan fisik merupakan tingkat terakhir dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 kekerasan dalam pacaran. Ketika terjadi kekerasan fisik, dalam kebanyakan kasus, telah terdapat sejarah panjang kekerasan emosional dan seringkali kekerasan seksual Murray, 2006. Sejauh ini tidak ada penjelasan yang menerangkan secara implisit definisi kekerasan fisik. Biasanya untuk menjelaskan tentang kekerasan fisik, para ahli menggunakan contoh-contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan fisik. Contoh-contoh perilaku tersebut adalah menampar, memukul, mendorong, menjambak, menyakiti dengan senjata, dan lain-lain James, West, Deters, Armijo, 2000; Poerwandari, 2004. Dari contoh perilaku tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik dan menyebabkan sakit secara fisik. 2 Kekerasan Psikologis Kekerasan psikologis atau kekerasan emosional merupakan kekerasan tingkat pertama dan merupakan jalan menuju kekerasan fisik danatau kekerasan seksual Murray, 2006. Contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan psikologis adalah penyerangan harga diri, membuat korban merasa cemburu, posesif yang berlebihan, melukai perasaan korban, membuat malu korban di depan umum, menyalahkan korban atas tindakan agresif yang dilakukan pelaku, dan lain-lain James, West, Deters, Armijo, 29 2000. Menurut Poerwandari 2004, kekerasan jenis ini tidak hanya diekspresikan melalui ungkapan verbal kekerasan verbal, tapi dapat pula dalam bentuk pengekangan, diskriminasi, dan penjauhan pemenuhan kebutuhan dasar deprivasi. 3 Kekerasan Seksual Merupakan bentuk kekerasan yang terjadi ketika seseorang memaksa pasangannya untuk melakukan aktifitas seksual di luar keinginannya Jejeebhoy Bott, 2003. Aktifitas seksual di luar keinginan yang dimaksud misalnya memaksa mencium, memaksa memeluk, memaksa pasangan melakukan hubungan badan, ataupun bentuk pemaksaan lain yang berkaitan dengan perilaku seksual. d. Penyebab Kekerasan Dalam pacaran 1 Perspektif Feminis Menurut perspektif teori feminis, kekerasan terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara laki-laki dan perempuan serta adanya pertarungan kepentingan Poerwandari, 2004. Dalam lingkungan yang bersifat patriarki, dominasi kaum laki-laki merupakan sesuatu yang wajar dan kekerasan adalah hal yang diterima dan digunakan sebagai alat untuk mengontrol perempuan. Laki-laki belajar sejak kecil bahwa kekerasan terhadap 30 perempuan merupakan hal yang normal O’Kefee Treister, 1998.. 2 Perspektif Belajar Sosial Psikologi menekankan pada internalisasi nilai dan pemahaman internal dalam menjelaskan kekerasan, yang menyebabkan pelaku terus melakukan kekerasan dan korban tetap tinggal dalam posisinya sebagai korban Poerwandari, 2004. Internalisasi nilai dan pemahaman internal tersebut dapat dijelaskan melalui teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura. Dalam teori belajar sosial, individu belajar mengenai suatu hal dengan cara mengamati tingkah laku orang lain Cloninger, 2004; Pervin, Cervone, John, 2005. Anak-anak belajar tentang nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan dasar dengan cara mengobservasi nilai-nilai dan perilaku significant others-nya Gazzaniga Heatherton, 2003. Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya juga merupakan hasil dari perilaku yang dipelajari. e. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Menanggapi KDP Masa remaja merupakan periode gender intensification, yaitu peride ketika terjadi peningkatan kepercayaan terhadap gender role PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 stereotype Berk, 2007. Gender role stereotype atau stereotip peran gender sendiri oleh Lefton 2000 didefinisikan sebagai kepercayaan- kepercayaan tentang perilaku mana yang tepat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Stereotip peran gender ini sangat dipengaruhi oleh kondisi budaya setempat. Selain itu, stereotip peran gender ini nantinya akan menetukan sikap dan perilaku individu Lips, 1988. Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender pada awal masa remaja sangat berkaitan dengan perubahan-perubahan biologis, sosial, dan kognitif yang terjadi remaja. Pertama, penampilan fisik yang berubah pada awal masa remaja karena efek pubertas membuat remaja lebih terpusat pada penampilan fisik mereka dan berusaha membuat penampilan mereka sesuai dengan beban gender yang disandangnya. Selain itu, dorongan dari orangtua juga semakin besar dalam mengarahkan remaja untuk berperilaku sesuai peran gender yang dimilikinya. Ketika remaja mulai berpacaran, kecenderungan untuk berperilaku sesuai dengan peran gendernya lebih meningkat. Hal tersebut dilakukan remaja dalam usaha untuk meningkatkan daya tarik mereka. Terakhir, perubahan kognitif yang terjadi pada awal masa remaja, yaitu remaja mulai lebih peka terhadap pikiran dan pendapat orang lain, membuat remaja lebih responsif terhadap pengharapan- pengharapan akan peran gender yang harus disandangnya Berk, 2007. Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender ini membuat remaja memiliki tujuan yang berbeda dalam menjalin PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32 hubungan sosial. Pada remaja putri, keintiman dan pengasuhan atau pemeliharaan menjadi tujuan yang utama, sedangkan pada remaja putra, dominasi dan kepemimpinanlah yang terutama Jarvinen Nicholls dalam Baron, 1998. Perbedaan tujuan ini tentunya akan berdampak pada respon pikiran dan perilaku yang ditampilkan remaja. Perbedaan respon tersebut salah satunya tampak dari hasil penelitian O’Keefe 1997 yang menyebutkan bahwa selain sebagai ekspresi kemarahan, alasan remaja putra dalam melakukan kekerasan dalam pacaran adalah keinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan pada remaja putri sebagai upaya pertahanan diri. Selain itu, Cowan Quinton dalam Mahlstedt Welsh, 2005 mengungkap tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menganalisis fenomena perkosaan. Bagi laki-laki, mereka cenderung menyalahkan perempuan atas kasus perkosaan yang dialaminya victim blaming, sedang bagi perempuan, perkosaan terjadi lebih disebabkan karena rasa permusuhan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan demikian, jelaslah bahwa stereotip peran gender yang berkembang di masyarakat membuat individu dengan jenis kelamin yang berbeda menampilkan pikiran dan perilaku yang berbeda dalam menghadapi suatu masalah. Berdasar pada hal-hal tersebut, maka ada kemungkinan remaja laki-laki dan perempuan juga akan menampilkan respon yang berbeda dalam menanggapi fenomena kekerasan dalam pacaran. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33

D. Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena KDP

Masa remaja awal merupakan periode ketika individu mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Pada masa ini individu mengalami perubahan biologis yang menyebabkan individu mulai tertarik pada lawan jenis Berk, 2007. Oleh karena itu, pacaran biasanya mulai muncul pada masa ini Dickinson dalam Santrock, 2003. Namun sayangnya, pada masa ini pacaran hanya dipandang sebagai sarana untuk mencari kesenangan, keakraban, dan status sosial Berk, 2007. Dengan demikian, hubungan pacaran yang dilakukan di masa ini besar kemungkinannya memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah kekerasan dalam pacaran Hickman, Jaycox, Aronoff, 2004; Smith, White, Holland, 2003. Kekerasan dalam pacaran KDP merupakan salah satu jenis kekerasan interpersonal yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya di luar hubungan pernikahan yang sah tanpa memandang jenis kelamin dan latar belakang pelaku danatau korban. Kekerasan dalam pacaran tidak hanya terbatas pada pasangan heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan homoseksual Alfonso Madera, 2004; Bernstein, et.al., 2000. Sebagai sebuah masalah sosial, kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak negatif yang tidak bisa dikatakan ringan. Kekerasan dalam pacaran dapat menimbulkan stres paska trauma, gejala disoasiatif, kecemasan, dan depresi Callahan, Tolman, Saunders, 2003. Selain itu, urgensi untuk menangani masalah kekerasan dalam pacaran yang timbul di masa remaja menguat karena fenomena ini muncul pada tahap perkembangan dimana hubungan romantis mulai 34 terjalin. Individu biasanya akan mempelajari pola-pola interaksi pada hubungan tersebut dan membawanya sampai ke masa dewasa Werkerle Wolfe, 1999. Oleh karena itu, kekerasan dalam pacaran muncul sebagai prediktor yang lebih baik daripada kekerasan pada masa kanak-kanak dalam memprediksi timbulnya kekerasan di usia dewasa Smith, White, Holland, 2003. Sebagai langkah awal untuk mencegah semakin meluasnya fenomena kekerasan dalam pacaran, hal yang bisa dilakukan adalah mencari tahu sejauh mana pengetahuan remaja, khususnya yang termasuk dalam kategori remaja awal tentang fenomena ini. Dengan mengetahui bagaimana pengetahuan remaja tersebut, kita dapat menaksirkan sejauh mana remaja memahami atau tidak memahami fenomena kekerasan dalam pacaran. Dengan demikian, langkah selanjutnya dapat disusun dengan lebih tepat. Pengetahuan sendiri dapat diartikan sebagai pemahaman yang terorganisir mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar kita yang dapat diperoleh melalui pengalaman langsung ataupun tidak langsung. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan remaja berkaitan dengan fenomena kekerasan dalam pacaran, tentunya kita harus mempertimbangkan kedudukan remaja dalam kelompok sosial. Sebagai bagian dari kelompok sosial, tentunya remaja sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berlaku di kelompoknya. Remaja akan berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok. Ditambah lagi, masa remaja merupakan masa pencarian identitas Erikson, 1963 sehingga remaja akan banyak dipengaruhi oleh norma dan nilai kelompok Berk, 2007; Gevrig Zimbardo, 2002. Awal masa remaja juga merupakan masa dimana PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35 tingkat kepercayaan terhadap stereotip gender meningkat. Oleh karena itu, para remaja yang termasuk dalam kategori remaja awal akan lebih cenderung untuk berpikiran dan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kelompok Berk, 2007. Salah satu contoh yang membuktikan bahwa perilaku remaja dipengaruhi oleh nilai-nilai kelompok adalah respon remaja ketika ditanya tentang alasan mereka melakukan kekerasan dalam pacaran. Alasan utama remaja putra dan putri dalam melakukan kekerasan dalam pacaran adalah sebagai ekspresi kemarahan. Walaupun demikian, alasan kedua yang dikemukakan oleh remaja putra adalah keinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan alasan kedua remaja putri adalah sebagai usaha untuk mempertahankan diri dari pasangan O’Keefe, 1997. Respon remaja tersebut dapat dikatakan dipengaruhi oleh nilai-nilai kelompok karena respon tersebut sesuai dengan stereotip gender yang berkembang di masyarakat, yakni bahwa laki-laki harus dominan dan memiliki kontrol sedangkan perempuan harus mengalah Lips, 1988. Dengan didasarkan pada hal tersebut, penelitian ini selain ingin mengetahui bagaimana pengetahuan remaja, khususnya remaja awal terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran juga ingin mencari tahu apakah terdapat perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam memahami kekerasan dalam pacaran. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 Gambar 2.1 : Kerangka Penelitian Pengetahuan Remaja Terhadap KDP Pengetahuan tentang bentuk perilaku KDP Stereotipe peran gender Pengetahuan tentang faktor penyebab KDP

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi deskriptif. Penelitian studi deskriptif memiliki tujuan untuk mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasi suatu kondisi tertentu. Sebagai sebuah studi deskriptif, penelitian ini berfungsi sebagai penelitian dasar basic research yang bertujuan untuk memahami bagaimana fenomena-fenomena terjadi di sekitar kita Patton, 2002. Secara khusus, penelitian ini ingin mendeskripsikan pengetahuan remaja tentang fenomena kekerasan dalam pacaran sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Mack et.al. 2005 mengemukakan bahwa pendekatan kualitatif efektif digunakan dalam menggali data yang berupa informasi spesifik tentang nilai-nilai, opini, perilaku, dan konteks sosial budaya dari sebuah populasi. Selain itu, pendekatan kualitatif juga mampu memfasilitasi peneliti dalam menyediakan deskripsi data yang menyeluruh tentang bagaimana respon individu terhadap suatu topik atau isu tertentu. Berdasar pada hal asumsi itulah maka peneliti menggunakan kualitatif sebagai pendekatan dalam penelitian ini.