Pembahasan Umum HASIL DAN PEMBAHASAN
81
demikian, fokus perhatian remaja putra dan putri lebih ke akibat jangka pendek atau akibat langsung KDP, seperti melukai fisik, menimbulkan sakit hati,
kekecewaan, dan lain sebagainya. Remaja putra dan putri kurang begitu menyadari akibat jangka panjang KDP.
Kesamaan hasil antara remaja putra dan putri seperti yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa pemahaman remaja putra dan putri
tentang fenomena kekerasan dalam pacaran masih terbatas. Remaja putra dan putri melihat KDP benar-benar dari situasi konkrit yang mereka pahami di
lapangan. Dari sudut perkembangan kognitif, keterbatasan tersebut bisa disebabkan karena perkembangan biologisnya. Pada awal masa remaja, bagian
otak yang disebut dengan frontal corticol system, suatu bagian otak yang berfungsi dalam proses perencanaan dan penilaian, belum mengalami
perkembangan yang sempurna sehingga remaja kurang mampu melakukan pemikiran-pemikiran jangka panjang dengan baik. Oleh karena itu, mereka
cenderung melihat akibat KDP dari jangka pendeknya, cenderung melihat kekerasan fisik dan nonfisik secara diskret, serta cenderung menitikberatkan
faktor penyebab KDP pada kurangnya kemampuan interpersonal dan intrapersonal dan keinginan untuk menguasai pasangan. Walaupun demikian,
dengan latihan, pengarahan, dan informasi yang tepat, maka remaja dapat mengembangkan pemikiran-pemikirannya dengan lebih baik Bjork et.al
Chambers et.al dalam Papalia et.al., 2007. Di samping persamaan hasil seperti yang telah dipaparkan di atas,
penelitian ini juga menunjukkan perbedaan opini antara remaja putra dan putri PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
tentang fenomena kekerasan dalam pacaran. Perbedaan opini tersebut tampak sebagai hasil dari pengaruh lingkungan sosial budaya terhadap pengetahuan
remaja. Hal ini bisa terjadi karena manusia adalah makhluk sosial sehingga cara- cara kita berinteraksi dengan orang lain, mempersepsi diri sendiri maupun orang
lain sangat dipengaruhi oleh budaya dimana kita hidup Dayaskini Yuniardi, 2004. Dalam hal ini, pengaruh lingkungan sosial budaya yang dimaksud bisa
meliputi pengaruh dari in-groupnya seperti dari significant others dan teman sebaya, pengaruh dari out-group, ataupun pengaruh dari kondisi budaya setempat.
Pengaruh lingkungan sosial budaya tersebut salah satunya mendasari munculnya perbedaan sikap antara remaja putra dan putri dalam menilai perilaku
kekerasan. Dari hasil penelitian ini, terlihat bahwa remaja putra cenderung lebih menerima perilaku kekerasan. Penerimaan tersebut bisa saja terjadi karena sejak
kecil para remaja putra telah belajar bahwa untuk menjadi seorang laki-laki yang sesungguhnya, mereka harus kuat dan memiliki kontrol. Sayangnya, kata kuat dan
kontrol seringkali diasosiasikan dengan penggunaan kekerasan. Oleh karena itu, pada akhirnya hal tersebut menimbulkan pandangan bahwa kekerasan dari laki-
laki terhadap perempuan adalah hal yang biasa. Implikasinya, laki-laki yang memegang teguh nilai tersebut cenderung lebih mudah menerima dan melakukan
KDP O’Kefee, 1997. Hasil penelitian ini menggambarkan fenomena tersebut. Secara umum remaja putra lebih bisa menerima perilaku kekerasan yang terjadi
dalam hubungan pacaran daripada remaja putri. Perilaku kekerasan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang wajar, resiko dari pacaran, ataupun sebagai suatu
bentuk penyelesaian masalah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Penerimaan remaja putra terhadap kekerasan juga diperkuat oleh faktor banyaknya eksposur terhadap kekerasan yang terjadi dalam masyarakat, baik
lewat media ataupun dalam kehidupan nyata. Banyaknya eksposur kekerasan tersebut pada akhirnya membuat remaja semakin dapat menerima perilaku
kekerasan. Oleh karena itu, remaja menjadi terbiasa dengan pola kekuasaan dan kontrol yang menjadi dasar dari kekerasan Murray, 2000. Implikasinya, besar
kemungkinan dalam sebuah hubungan romantik remaja menginterpretaskan cinta sebagai hubungan yang bersifat dominasi atau submisif seperti yang biasa mereka
lihat dalam lingkungannya Close, 2005. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, laki-laki, termasuk juga remaja
putra, yang memegang teguh pandangan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar cenderung lebih mudah menerima dan melakukan KDP O’Kefee, 1997. Hal
inilah yang mungkin terjadi sehingga ketika diminta untuk menyebutkan faktor penyebab pelaku melakukan KDP, remaja putra cenderung menyebutkan faktor-
faktor yang bersifat intensional seperti kurangnya kemampuan interpersonal dan intrapersonalnya, serta karena ingin menguasai pasangannya.
Untuk remaja putri, ketika diminta untuk menyebutkan faktor penyebab seseorang melakukan KDP, selain karena kurangnya kemampuan interpersonal
dan intrapersonal serta sarana untuk menguasai pasangan, remaja putri juga menambahkan dua faktor lainnya. Kedua faktor tambahan yang mendorong
seseorang melakukan KDP tersebut adalah kekerasan sebagai hasil dari proses belajar sosial serta kekerasan sebagai wujud abnormalitas. Kedua faktor tersebut
bisa dipandang dari dua sisi yang saling berhubungan. Yang pertama, munculnya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
kedua faktor tersebut secara implisit menunjukkan permakluman yang diberikan remaja putri terhadap pelaku kekerasan. Yang kedua, munculnya kedua faktor
tersebut menunjukkan bahwa remaja putri memiliki pemahaman yang lebih luas tentang KDP.
Dari sudut pandang yang pertama, kedua faktor tersebut sebenarnya menujukkan permakluman yang diberikan remaja putri atas perilaku kekerasan
yang dilakukan oleh pelaku. Dari kedua faktor tersebut, terlihat bahwa remaja putri tidak melihat timbulnya kekerasan semata-mata karena intensi pelaku atau
menyalahkan pelaku sepenuhnya atas kekerasan yang dilakukannya, namun remaja putri melihat bahwa kekerasan juga terjadi karena sesuatu di luar diri
pelaku yang mendorong pelaku melakukan kekerasan, seperti perilaku kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya kekerasan sebagai hasil dari
proses belajar sosial dan abnormalitas. Itulah wujud permakluman yang diberikan remaja putri atas perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.
Dari sudut pandang yang kedua, kedua faktor tersebut menunjukkan pengetahuan remaja putri yang lebih luas tentang penyebab KDP dibanding
remaja putra. Jika menggunakan pengkategorian yang dilakukan oleh Luk Bond dalam Chen Mak, 2008, terlihat bahwa remaja putri mampu menangkap
faktor lingkungan-herediter sebagai faktor penyebab KDP, tidak hanya faktor sosial-personal seperti yang ditangkap oleh remaja putra. Lebih luasnya
pengetahuan yang dimiliki remaja putri tersebut bisa disebabkan karena dalam kebanyakan kasus, perempuan termasuk juga remaja putri lebih sering duduk
sebagai korban kekerasan Schissel, 2000; Walker, 1989. Korban biasanya lebih PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
waspada terhadap situasi, dalam hal ini KDP, sehingga pada akhirnya mereka memiliki pemahaman yang lebih luas terhadap KDP. Pemahaman yang lebih luas
tentang KDP ini remaja putri tunjukkan selain melalui variasi opini mereka tentang penyebab KDP, remaja putri juga lebih mampu memberikan saran-saran
untuk mengatasi KDP dalam konteks yang luas seperti memberi kritik ke stasiun televisi yang terlalu banyak menayangkan kekerasan atau meminta pemerintah
untuk menghentikan peredaran VCD porno. Dengan kata lain, remaja putri lebih sadar akan kontribusi lingkungan terhadap munculnya perilaku kekerasan.
Jika dikaitkan dengan sudut pandang pertama, ketika perempuan, termasuk juga remaja putri duduk dalam posisi korban dalam suatu bentuk kekerasan,
mereka akan cenderung lebih memaklumi perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Triandis dalam Setiadi, 2001
bahwa dalam budaya kolektivis, seperti misalnya budaya Jawa, individu biasanya lebih bisa menerima perilaku agresif dari otoritas kelompoknya ingroupnya
daripada outgroupnya. Hubungan ingroup sendiri merupakan hubungan yang ditandai dengan tingkat familiaritas, keintiman, dan kepercayaan yang tinggi
Dayaskini Yuniardi, 2004. Dalam konteks ini, hubungan pacaran dapat dikategorikan sebagai ingroup karena dalam pacaran, individu menjalin keintiman
dan familiaritas yang tinggi. Dengan demikian, ditambah dengan stereotipe yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan sebaiknya lebih sabar dan mampu
menerima, maka tidak menjadi hal yang asing jika remaja putri lebih memaklumi perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya.
86
Tabel 4.6 : Tabel Persamaan Hasil Remaja Putra dan Putri
Latar Belakang Faktor Biologis
Belum berkembangnya frontal corticol system dengan sempurna sehingga remaja kurang dapat melakukan pemikiran jangka
panjang dengan baik.
Faktor Kultural Tidak ditemukan faktor kultural yang mendasari munculnya
temuan penelitian tentang persamaan hasil antara remaja putra dan putri. Hal-hal yang disebutkan oleh remaja putra dan putri
tersebut merupakan hal-hal berkaitan dengan KDP yang banyak dipahami oleh masyarakat luas, seperti yang ditunjukkan dari
hasil penelitian berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Follingstad et.al 1991 dan O’Keefe 1997 menyebutkan bahwa kurangnya kemampuan
intrapersonal, seperti pelampiasan emosi, ekspresi kemarahan, dan cemburu merupakan alasan yang sering diungkapkan oleh
remaja putra dan putri dalam melakukan KDP.
Kurangnya kemampuan interpersonal, seperti konflik dalam hubungan pacaran dan masalah komunikasi juga telah
diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya KDP O’Kefee, 1997; Riggs O’Leary dalam Mahlstedt Welsh, 2005.
Keinginan untuk mengontrol pasangan merupakan salah satu motif pelaku melakukan KDP selain kemarahan dan cemburu
O’Keefe, 1997. 22 remaja putri dan 12 remaja putra mengalami kekerasan
fisik danatau psikologis serta 19 remaja putri dan 4 remaja putra mengalami kekerasan seksual Price et al, 2000.
Data dari Rifka Annisa WCC tahun 2001-2006 menunjukkan bahwa dari seluruh kasus KDP yang ada, terdapat 106 kasus
kekerasan emosi, 39 kasus kekerasan emosi-seksual, 30 kasus kekerasan seksual, dan 15 kasus kekerasan fisik.
Hasil penelitian Remaja Putra Putri Bentuk KDP
Kekerasan fisik nonfisik mental batin
Penyebab KDP
Kurangnya kemampuan interpersonal intrapersonal Sebagai sarana menguasai pasangan
Akibat KDP
Sama-sama menyebutkan akibat jangka panjang dan jangka pendek dari KDP, namun fokus perhatian lebih ke akibat jangka
pendek akibat langsung.
Pengatasan KDP Sama-sama menyarankan untuk memperbaiki kemampuan
interpersonal intrapersonal untuk mengatasi KDP.
87
Tabel 4.7 : Tabel Perbedaan Hasil Remaja Putra dan Putri
Latar Belakang
Stereotipe peran gender yang menyebutkan bahwa laki-laki
harus kuat dan memiliki kontrol.
Banyaknya paparan kekerasan yang terjadi di masyarakat, baik
lewat media atau kehidupan nyata.
Berkembang pandangan bahwa kekerasan dari laki-laki ke
perempuan merupakan hal yang biasa.
Stereotipe peran gender yang menyebutkan bahwa perempuan
harus lebih bisa memahami dan menerima.
Dalam budaya kolektivis, individu biasanya lebih dapat menerima
perilaku agresif dari otoritas ingroupnya.
Banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Korban kekerasan biasanya lebih waspada sehingga lebih mampu
menilai situasi. Ketika menjadi korban,
kebanyakan perempuan cenderung lebih memaklumi
perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasangannnya.
Remaja Putra Remaja Putri
Sikap terhadap
KDP
Cenderung lebih menerima kekerasan
Cenderung lebih menolak kekerasan
Penyebab KDP
Hanya menyebutkan penyebab yang bersifat intensional, yaitu:
Kurangnya kemampuan interpersonal dan intrapersonal
Sarana menguasai pasangan Melampaui sebab-sebab intensional
menambahkan: KDP karena hasil dari proses
belajar sosial KDP sebagai wujud abnormalitas
Kedua faktor tambahan yang disebutkan oleh remaja putri tersebut
menunjukkan permakluman mereka atas perilaku kekerasan.
Pengatasan KDP
Kebanyakan hanya berupa saran- saran untuk memperbaiki
hubungan interpersonal dan intrapersonal.
Melampaui cara-cara pengatasan yang bersifat interpersonal dan
intrapersonal menjangkau proses- proses belajar sosial lebih bervariasi
dalam menyebutkan cara-cara pengatasan yang melibatkan peran
lingkungan.