17
bantuan dan nasehat dari orang dewasa. Dalam hal ini, kelompok sebaya mampu menyediakan solusi bagi remaja.
2. Kemampuan Kognitif Remaja
Menurut Piaget, pada masa remaja individu mulai memasuki tahap operasional formal Morris Maisto, 2002. Tahap yang dimulai pada usia
11 tahun ini merupakan tahap tertinggi dalam perkembangan kognitif individu karena pada tahap ini kemampuan individu untuk berpikir abstrak
mulai berkembang Steinberg, 2002. Dengan demikian, pemikiran remaja menjadi lebih abstrak, logis, dan idealis. Pemikiran remaja tidak lagi terbatas
pada pengalaman konkret, namun remaja mulai mengembangkan situasi khayalan yang membuat mereka mampu membuat hipotesis Hockenbury
Hockenbury, 2003. Secara lebih detil, pemikiran remaja ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Berpikir tentang kemungkinan Hal ini berarti pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal
yang riil, namun mulai berkembang ke pemikiran abstrak Keating dalam Gazzaniga Heatherton, 2003; Santrock, 2003;
Steinberg, 2002. b. Berpikir ke depan
Remaja mampu merencanakan masa depan dengan berdasar pada pengalaman masa lalunya Keating dalam Gazzaniga
Heatherton, 2003. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
c. Berpikir dalam hipotesis Remaja mampu berpikir logis, membuat hipotesis untuk
memecahkan suatu masalah serta mampu menguji keefektifan pemecahan masalah tersebut. Remaja juga dapat menarik
kesimpulan secara sistematik, baik bersifat deduktif ataupun induktif Keating dalam Gazzaniga Heatherton, 2003;
Santrock, 2003; Steinberg, 2002. d. Metakognisi
Metakognisi merupakan pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses kognitif yang ada pada diri individu Matlin,
1994. Dengan metakognisi, remaja menjadi lebih introspektif serta lebih menyadari tentang diri dan pikiran-pikirannya
Steinberg, 2002. e. Berpikir multidimensi
Pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada satu hal atau satu isu saja, namun menjadi lebih kompleks Keating dalam Gazzaniga
Heatherton, 2003; Steinberg, 2002. f. Berpikir relatif
Remaja cenderung melihat sesuatu tidak hanya hitam dan putih, namun secara relatif Steinberg, 2002.
19
Selain hal-hal di atas, Schaie dalam Davis Palladino, 1997 menambahkan bahwa tugas perkembangan kognitif masa remaja adalah
untuk memperoleh informasi, pengetahuan, dan ketrampilan-ketrampilan dari lingkungan sekitarnya. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut nantinya
akan digunakan ketika mereka dewasa. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitarnya guna memenuhi
tugas perkembangan ini. Adanya tugas perkembangan yang disandang remaja tersebut serta
mulai berkembangnya kemampuan remaja dalam berpikir abstrak dan multidimensi mendorong remaja untuk mulai meluaskan ketertarikannya
pada hal-hal yang bersifat non-riil. Remaja mulai tertarik pada topik-topik seperti hubungan interpersonal, politik, filosofi, religiusitas, maupun moral
Steinberg, 2002. Topik-topik tersebut mengandung hal-hal yang abstrak seperti persahabatan, harapan, demokrasi, keadilan, dan kejujuran; hal-hal
tersebut hanya dapat dipahami dengan baik ketika kemampuan berpikir abstrak individu sudah berkembang. Oleh karena itu, jelaslah mengapa
remaja lebih tertarik dan lebih mampu memahami isu-isu sosial daripada anak-anak.
3. Remaja Sebagai Bagian dari Kelompok Sosial
Sebagai bagian dari masyarakat atau kelompok sosial, remaja seringkali berperilaku atau berpandangan sesuai dengan apa yang dianut
oleh kelompoknya. Remaja mengobservasi perilaku dan pandangan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
kelompok untuk kemudian diinternalisasi menjadi perilaku dan pandangan pribadinya. Dalam psikologi, fenomena ini disebut dengan modeling
Pervin, Cervone, John, 2005. Dalam ranah sosiologi, fenomena ketika remaja berperilaku dan berpandangan seperti anggota kelompok merupakan
hasil dari proses sosialisasi Berry et al., 1999. Konsep modeling dicetuskan oleh Albert Bandura. Menurut
Bandura, dalam situasi sosial individu dapat belajar lebih cepat dengan mengamati atau melihat tingkah laku orang lain Cloninger, 2004. Individu
belajar mengenali tipe-tipe perilaku yang diterima dan tidak diterima dengan cara mengobservasi perilaku anggota kelompoknya Pervin, Cervone,
John, 2005. Oleh karena itu, individu menjadi tahu perilaku yang diterima kelompok dan perilaku yang yang tidak diterima.
Berkaitan dengan sosialisasi, proses ini menunjukkan proses pembentukan individu dengan sengaja melalui cara-cara pengajaran. Dalam
proses ini, orang-orang di sekitar individu mewariskan nilai, ketrampilan, keyakinan, dan lain sebagainya melalui pewarisan tegak dari orang tua,
pewarisan miring dari orang dewasa lainnya, atau pewarisan mendatar dari teman sebaya Berry et.al., 1999.
Melalui kedua hal tersebut, sosialisasi dan modeling, individu dalam hal ini remaja menjadi bagian dari kelompok sosial. Remaja mendapat
sosialisasi tentang nilai-nilai atau perilaku yang berkembang di kelompoknya dan selanjutnya remaja meniru nilai-nilai dan perilaku
tersebut. Proses tersebut berlangsung terus-menerus sehingga lama- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
kelamaan remaja memiliki nilai-nilai dan perilaku yang relatif sama dengan yang dimiliki oleh kelompoknya. Dalam hal ini, remaja telah menjadi bagian
dari kelompok sosial tempat ia hidup.
C. Kekerasan Dalam Pacaran
1. Pacaran
Masa remaja merupakan suatu tahap ketika kebanyakan individu mulai menjalin komitmen personal dengan lebih loyal Davis Palladino,
1997. Salah satu komitmen personal yang dijalani individu terwujud dalam hubungan pacaran. Selain dilatarbelakangi oleh hal tersebut, pacaran identik
dengan masa remaja karena pada masa ini banyak terjadi perubahan hormonal pada diri individu yang menyebabkan mereka mulai tertarik pada
lawan jenis. Selain itu, hubungan heteroseksual yang diwujudkan dalam bentuk pacaran merupakan salah satu usaha untuk memenuhi tugas
perkembangan sosialisasi pada remaja Hurlock, 1980. Hal ini senada dengan yang disebutkan Fuhrmann Yarni, 2005 yang mengatakan bahwa
salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah mempersiapkan diri secara fisik, psikis, dan sosial untuk berkomitmen
dengan lawan jenis dan selanjutnya membentuk keintiman sebagai bentuk kematangan psikologis. Dowdy Howard Santrock, 2003 juga
menambahkan bahwa meskipun banyak remaja putra dan putri saling mempengaruhi secara sosial melalui teman sebaya, namun melalui
22
pacaranlah kontak yang serius antara dua orang yang berlainan jenis kelamin muncul.
Pacaran merupakan proses saling menyayangi antara dua manusia dengan jenis kelamin yang berbeda di mana didalamnya terdapat proses
saling mengenal, memahami, dan sekaligus proses belajar membina hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah Imran
dalam Yarni, 2005. Namun terdapat perbedaan dalam memandang fungsi pacaran pada remaja awal, pertengahan, dan akhir. Tidak semua remaja
memandang pacaran sebagai proses persiapan untuk menikah. Hanya remaja akhir saja yang memandang pacaran atau kencan sebagai sarana untuk
mencapai keakraban, kebersamaan, dan sosialisasi. Bagi remaja awal dan pertengahan, kencan atau pacaran dipandang sebagai sarana untuk mencari
kesenangan, keakraban, dan status sosial Berk, 2007. Arsih 2006 juga menambahkan bahwa pacaran saat ini tidak lebih dari sekedar trend. Pacaran
digunakan sebagai sarana untuk mencari teman having fun atau sebagai sarana pemenuhan harga diri. Bahkan yang lebih parah, pacaran kadang
hanya digunakan sebagai penyaluran hasrat biologis semata. Padahal, pacaran biasanya dimulai pada masa pubertas atau remaja awal Dickinson
dalam Santrock, 2003. Oleh karena itu, kemungkinan munculnya masalah- masalah dalam hubungan pacaran rentan terjadi pada masa tersebut,
misalnya kenakalan remaja dan penurunan prestasi akademik Berk, 2007 ataupun timbulnya kekerasan dalam pacaran Hickman, Jaycox, Aronoff,
2004; Smith, White, Holland, 2003. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
2. Kekerasan Dalam Pacaran
a. Pengertian kekerasan Untuk mendefinisikan konsep kekerasan
, Poerwandari 2004
menggunakan dua penekanan, yaitu pada sisi intensi dan sisi akibat. Dari sisi intensi, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang secara
sengaja dilakukan untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, dan menghancurkan melalui cara-cara fisik,
psikologis, deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya dalam bermacam- macam bentuk. Dari sisi akibat, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan
yang tidak disengaja, bukan intensional, tetapi didasarkan oleh ketidaktahuan, kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain yang
menyebabkan subjek secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dominasi, dan perendahan
manusia lain. Menurut WHO, kekerasan violence merupakan penggunaan
kekuatan atau kekuasaan, ancaman atau berupa tindakan langsung, secara sengaja pada seseorang atau sekelompok orang yang dapat
menyebabkan atau memungkinkan timbulnya luka, kematian, luka emosional, dan pertumbuhan yang terhambat Krug et.al, 2002. Dari
definisi tersebut, terlihat bahwa kekerasan lebih ditekankan pada sisi intensi.
24
Dari kedua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku atau ancaman, baik disengaja atau
tidak, yang merugikan pihak lain, baik dari segi fisik maupun emosional.
b. Pengertian Kekerasan Dalam Pacaran 1 Pengertian
Umum KDP
WHO dalam Krug et.al 2002 membagi kekerasan menjadi 3 kategori, yaitu kekerasan terhadap diri sendiri
self-directed violence, kekerasan kolektif
collective violence, dan kekerasan interpersonal interpersonal violence. Dari ketiga kategori tersebut,
kekerasan dalam pacaran KDP termasuk dalam kategori kekerasan interpersonal.
Secara umum, kekerasan dalam pacaran dilihat sebagai sebuah pola dalam penggunaan kekuasaan dan kontrol yang dilakukan seseorang
terhadap pasangannya Bernstein, et.al., 2004. Menurut Wolfe, et.al dalam Fredland, et.al, 2005 kekerasan dalam pacaran merupakan usaha
untuk mengontrol atau mendominasi pasangan secara fisik, seksual, ataupun psikologis yang dapat mengakibatkan luka. Sedangkan menurut
Riffka Annisa WCC 2006, kekerasan dalam pacaran diartikan sebagai segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan
pernikahan yang sah berdasar UU Perkawinan 11974, pasal 2 ayat 2, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan
pacar pasangan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Kekerasan dalam pacaran dapat terjadi pada siapa saja. Usia, jenis kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan, atau latar belakang ekonomi
tidak membatasi seseorang untuk menjadi korban atau pelaku kekerasan. Selain itu, kekerasan dalam pacaran juga tidak terbatas pada pasangan
heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan dengan jenis kelamin yang sama Alfonso Madera, 2004; Bernstein, et.al., 2000.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu jenis kekerasan interpersonal yang berupa
penggunaan kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya di luar hubungan pernikahan yang sah tanpa memandang
jenis kelamin dan latar belakang pelaku danatau korban.
2 Perbandingan KDP dengan Konsep Lain yang Sejenis
Terdapat konsep lain yang sejenis dengan konsep kekerasan dalam pacaran. Konsep tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga serta
bullying. Konsep kekerasan dalam rumah tangga KDRT menurut Undang-
Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai:
“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga pasal 1, ayat 1”.
26
Dari definisi tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara konsep KDRT dengan KDP. Persamaan yang nampak terutama
dari sisi bentuk-bentuk kekerasan, yaitu mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis, danatau penelantaran. Di sisi lain, perbedaannya
nampak dalam sisi ruang lingkup. Suatu kekerasan disebut dengan KDRT ketika kekerasan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga,
sedangkan disebut KDP ketika terjadi di luar hubungan pernikahan yang sah.
Selain KDRT, konsep lain yang sejenis dengan kekerasan dalam pacaran adalah bullying. Bullying dapat didefinisikan sebagai perilaku
agresif tipe proaktif yang didalamnya terdapat aspek kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau menyingkirkan, adanya
ketidakseimbangan kekuatan, serta dilakukan secara berulang oleh satu atau beberapa anak terhadap anak yang lain Olweus, 1993; Sheras
Tippins, 2002; Gini, 2004, Pereira dkk., 2004; Veenstra dkk., 2005; Bauman Del Rio, 2006. Menurut Olweus 1993, bullying memiliki
tiga bentuk, yaitu: Bullying yang dilakukan secara langsung bisa berbentuk
bullying fisik maupun verbal Bullying yang dilakukan secara tidak langsung bullying
psikologis Pelecehan seksual
27
Fenomena bullying dapat terjadi di mana saja, namun paling sering terjadi di lingkungan sekolah sehingga istilah bullying identik dengan
kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Jika dibandingkan dengan konsep kekerasan dalam pacaran,
terlihat bahwa konsep bullying dan kekerasan dalam pacaran KDP merupakan suatu himpunan bagian. Konsep bullying merupakan konsep
yang luas, dimana di dalamnya dapat mencakup kekerasan dalam pacaran serta KDRT. Hanya saja, kekerasan dalam pacaran membahas
secara lebih spesifik fenomena kekerasan yang terjadi dalam konteks hubungan romantik di luar pernikahan sedangkan istilah bullying sendiri
lebih sering digunakan untuk menyebut kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan.
c. Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran Menurut WHO, kekerasan interpersonal dapat meliputi bentuk-
bentuk kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan deprivatif atau penelantaran. Namun secara khusus, bentuk-bentuk kekerasan yang
biasa muncul dalam hubungan pacaran adalah kekerasan fisik, emosional, dan seksual Black et.al, 2006.
1 Kekerasan Fisik
Ketika memikirkan konsep kekerasan, kebanyakan orang langsung mengacu pada kekerasan fisik. Padahal dalam
kenyataannya, kekerasan fisik merupakan tingkat terakhir dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
kekerasan dalam pacaran. Ketika terjadi kekerasan fisik, dalam kebanyakan kasus, telah terdapat sejarah panjang kekerasan
emosional dan seringkali kekerasan seksual Murray, 2006. Sejauh ini tidak ada penjelasan yang menerangkan secara
implisit definisi kekerasan fisik. Biasanya untuk menjelaskan tentang kekerasan fisik, para ahli menggunakan contoh-contoh
perilaku yang termasuk dalam kekerasan fisik. Contoh-contoh perilaku tersebut adalah menampar, memukul, mendorong,
menjambak, menyakiti dengan senjata, dan lain-lain James, West, Deters, Armijo, 2000; Poerwandari, 2004. Dari contoh perilaku
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan
kekuatan fisik dan menyebabkan sakit secara fisik.
2 Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis atau kekerasan emosional merupakan kekerasan tingkat pertama dan merupakan jalan menuju kekerasan
fisik danatau kekerasan seksual Murray, 2006. Contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan psikologis adalah penyerangan
harga diri, membuat korban merasa cemburu, posesif yang berlebihan, melukai perasaan korban, membuat malu korban di
depan umum, menyalahkan korban atas tindakan agresif yang dilakukan pelaku, dan lain-lain James, West, Deters, Armijo,
29
2000. Menurut Poerwandari 2004, kekerasan jenis ini tidak hanya diekspresikan melalui ungkapan verbal kekerasan verbal,
tapi dapat pula dalam bentuk pengekangan, diskriminasi, dan penjauhan pemenuhan kebutuhan dasar deprivasi.
3 Kekerasan Seksual
Merupakan bentuk kekerasan yang terjadi ketika seseorang memaksa pasangannya untuk melakukan aktifitas seksual di luar
keinginannya Jejeebhoy Bott, 2003. Aktifitas seksual di luar keinginan yang dimaksud misalnya memaksa mencium, memaksa
memeluk, memaksa pasangan melakukan hubungan badan, ataupun bentuk pemaksaan lain yang berkaitan dengan perilaku
seksual.
d. Penyebab Kekerasan Dalam pacaran 1
Perspektif Feminis Menurut perspektif teori feminis, kekerasan terjadi karena
adanya ketidakseimbangan kekuatan antara laki-laki dan perempuan serta adanya pertarungan kepentingan Poerwandari,
2004. Dalam lingkungan yang bersifat patriarki, dominasi kaum laki-laki merupakan sesuatu yang wajar dan kekerasan adalah hal
yang diterima dan digunakan sebagai alat untuk mengontrol perempuan. Laki-laki belajar sejak kecil bahwa kekerasan terhadap
30
perempuan merupakan hal yang normal O’Kefee Treister, 1998..
2 Perspektif Belajar Sosial
Psikologi menekankan pada internalisasi nilai dan pemahaman internal dalam menjelaskan kekerasan, yang
menyebabkan pelaku terus melakukan kekerasan dan korban tetap tinggal dalam posisinya sebagai korban Poerwandari, 2004.
Internalisasi nilai dan pemahaman internal tersebut dapat dijelaskan melalui teori belajar sosial yang dikemukakan oleh
Bandura. Dalam teori belajar sosial, individu belajar mengenai suatu
hal dengan cara mengamati tingkah laku orang lain Cloninger, 2004; Pervin, Cervone, John, 2005. Anak-anak belajar tentang
nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan dasar dengan cara mengobservasi nilai-nilai dan perilaku significant others-nya
Gazzaniga Heatherton, 2003. Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya juga merupakan hasil
dari perilaku yang dipelajari.
e. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Menanggapi KDP Masa remaja merupakan periode gender intensification, yaitu
peride ketika terjadi peningkatan kepercayaan terhadap gender role PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
stereotype Berk, 2007. Gender role stereotype atau stereotip peran gender sendiri oleh Lefton 2000 didefinisikan sebagai kepercayaan-
kepercayaan tentang perilaku mana yang tepat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Stereotip peran gender ini sangat dipengaruhi oleh
kondisi budaya setempat. Selain itu, stereotip peran gender ini nantinya akan menetukan sikap dan perilaku individu Lips, 1988.
Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender pada awal masa remaja sangat berkaitan dengan perubahan-perubahan
biologis, sosial, dan kognitif yang terjadi remaja. Pertama, penampilan fisik yang berubah pada awal masa remaja karena efek pubertas
membuat remaja lebih terpusat pada penampilan fisik mereka dan berusaha membuat penampilan mereka sesuai dengan beban gender yang
disandangnya. Selain itu, dorongan dari orangtua juga semakin besar dalam mengarahkan remaja untuk berperilaku sesuai peran gender yang
dimilikinya. Ketika remaja mulai berpacaran, kecenderungan untuk berperilaku sesuai dengan peran gendernya lebih meningkat. Hal
tersebut dilakukan remaja dalam usaha untuk meningkatkan daya tarik mereka. Terakhir, perubahan kognitif yang terjadi pada awal masa
remaja, yaitu remaja mulai lebih peka terhadap pikiran dan pendapat orang lain, membuat remaja lebih responsif terhadap pengharapan-
pengharapan akan peran gender yang harus disandangnya Berk, 2007. Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender ini
membuat remaja memiliki tujuan yang berbeda dalam menjalin PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
hubungan sosial. Pada remaja putri, keintiman dan pengasuhan atau pemeliharaan menjadi tujuan yang utama, sedangkan pada remaja putra,
dominasi dan kepemimpinanlah yang terutama Jarvinen Nicholls dalam Baron, 1998. Perbedaan tujuan ini tentunya akan berdampak
pada respon pikiran dan perilaku yang ditampilkan remaja. Perbedaan respon tersebut salah satunya tampak dari hasil
penelitian O’Keefe 1997 yang menyebutkan bahwa selain sebagai ekspresi kemarahan, alasan remaja putra dalam melakukan kekerasan
dalam pacaran adalah keinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan
pada remaja putri sebagai upaya pertahanan diri. Selain itu, Cowan Quinton dalam Mahlstedt Welsh, 2005 mengungkap tentang
perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menganalisis fenomena perkosaan. Bagi laki-laki, mereka cenderung menyalahkan perempuan
atas kasus perkosaan yang dialaminya victim blaming, sedang bagi perempuan, perkosaan terjadi lebih disebabkan karena rasa permusuhan
dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan demikian, jelaslah bahwa stereotip peran gender yang berkembang di masyarakat membuat
individu dengan jenis kelamin yang berbeda menampilkan pikiran dan perilaku yang berbeda dalam menghadapi suatu masalah. Berdasar pada
hal-hal tersebut, maka ada kemungkinan remaja laki-laki dan perempuan juga akan menampilkan respon yang berbeda dalam menanggapi
fenomena kekerasan dalam pacaran. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
D. Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena KDP
Masa remaja awal merupakan periode ketika individu mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Pada masa ini individu mengalami perubahan biologis
yang menyebabkan individu mulai tertarik pada lawan jenis Berk, 2007. Oleh karena itu, pacaran biasanya mulai muncul pada masa ini Dickinson dalam
Santrock, 2003. Namun sayangnya, pada masa ini pacaran hanya dipandang sebagai sarana untuk mencari kesenangan, keakraban, dan status sosial Berk,
2007. Dengan demikian, hubungan pacaran yang dilakukan di masa ini besar kemungkinannya memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah kekerasan
dalam pacaran Hickman, Jaycox, Aronoff, 2004; Smith, White, Holland, 2003.
Kekerasan dalam pacaran KDP merupakan salah satu jenis kekerasan interpersonal yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya di luar hubungan
pernikahan yang sah tanpa memandang jenis kelamin dan latar belakang pelaku danatau korban. Kekerasan dalam pacaran tidak hanya terbatas pada pasangan
heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan homoseksual Alfonso Madera, 2004; Bernstein, et.al., 2000.
Sebagai sebuah masalah sosial, kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak negatif yang tidak bisa dikatakan ringan. Kekerasan dalam pacaran dapat
menimbulkan stres paska trauma, gejala disoasiatif, kecemasan, dan depresi Callahan, Tolman, Saunders, 2003. Selain itu, urgensi untuk menangani
masalah kekerasan dalam pacaran yang timbul di masa remaja menguat karena fenomena ini muncul pada tahap perkembangan dimana hubungan romantis mulai
34
terjalin. Individu biasanya akan mempelajari pola-pola interaksi pada hubungan tersebut dan membawanya sampai ke masa dewasa Werkerle Wolfe, 1999.
Oleh karena itu, kekerasan dalam pacaran muncul sebagai prediktor yang lebih baik daripada kekerasan pada masa kanak-kanak dalam memprediksi timbulnya
kekerasan di usia dewasa Smith, White, Holland, 2003. Sebagai langkah awal untuk mencegah semakin meluasnya fenomena
kekerasan dalam pacaran, hal yang bisa dilakukan adalah mencari tahu sejauh mana pengetahuan remaja, khususnya yang termasuk dalam kategori remaja awal
tentang fenomena ini. Dengan mengetahui bagaimana pengetahuan remaja tersebut, kita dapat menaksirkan sejauh mana remaja memahami atau tidak
memahami fenomena kekerasan dalam pacaran. Dengan demikian, langkah selanjutnya dapat disusun dengan lebih tepat.
Pengetahuan sendiri dapat diartikan sebagai pemahaman yang terorganisir mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar kita yang dapat diperoleh melalui
pengalaman langsung ataupun tidak langsung. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan remaja berkaitan dengan fenomena kekerasan dalam pacaran,
tentunya kita harus mempertimbangkan kedudukan remaja dalam kelompok sosial. Sebagai bagian dari kelompok sosial, tentunya remaja sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai yang berlaku di kelompoknya. Remaja akan berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok. Ditambah lagi,
masa remaja merupakan masa pencarian identitas Erikson, 1963 sehingga remaja akan banyak dipengaruhi oleh norma dan nilai kelompok Berk, 2007;
Gevrig Zimbardo, 2002. Awal masa remaja juga merupakan masa dimana PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
tingkat kepercayaan terhadap stereotip gender meningkat. Oleh karena itu, para remaja yang termasuk dalam kategori remaja awal akan lebih cenderung untuk
berpikiran dan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kelompok Berk, 2007.
Salah satu contoh yang membuktikan bahwa perilaku remaja dipengaruhi oleh nilai-nilai kelompok adalah respon remaja ketika ditanya tentang alasan
mereka melakukan kekerasan dalam pacaran. Alasan utama remaja putra dan putri dalam melakukan kekerasan dalam pacaran adalah sebagai ekspresi kemarahan.
Walaupun demikian, alasan kedua yang dikemukakan oleh remaja putra adalah keinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan alasan kedua remaja putri
adalah sebagai usaha untuk mempertahankan diri dari pasangan O’Keefe, 1997. Respon remaja tersebut dapat dikatakan dipengaruhi oleh nilai-nilai kelompok
karena respon tersebut sesuai dengan stereotip gender yang berkembang di masyarakat, yakni bahwa laki-laki harus dominan dan memiliki kontrol sedangkan
perempuan harus mengalah Lips, 1988. Dengan didasarkan pada hal tersebut, penelitian ini selain ingin mengetahui bagaimana pengetahuan remaja, khususnya
remaja awal terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran juga ingin mencari tahu apakah terdapat perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam
memahami kekerasan dalam pacaran. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Gambar 2.1 : Kerangka Penelitian Pengetahuan Remaja Terhadap KDP
Pengetahuan tentang bentuk perilaku KDP
Stereotipe peran gender
Pengetahuan tentang faktor penyebab KDP
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian studi deskriptif. Penelitian studi deskriptif memiliki tujuan untuk mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan
menginterpretasi suatu kondisi tertentu. Sebagai sebuah studi deskriptif, penelitian ini berfungsi sebagai penelitian dasar basic research yang bertujuan untuk
memahami bagaimana fenomena-fenomena terjadi di sekitar kita Patton, 2002. Secara khusus, penelitian ini ingin mendeskripsikan pengetahuan remaja tentang
fenomena kekerasan dalam pacaran sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena tersebut.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Mack et.al. 2005 mengemukakan bahwa pendekatan kualitatif efektif
digunakan dalam menggali data yang berupa informasi spesifik tentang nilai-nilai, opini, perilaku, dan konteks sosial budaya dari sebuah populasi. Selain itu,
pendekatan kualitatif juga mampu memfasilitasi peneliti dalam menyediakan deskripsi data yang menyeluruh tentang bagaimana respon individu terhadap suatu
topik atau isu tertentu. Berdasar pada hal asumsi itulah maka peneliti menggunakan kualitatif sebagai pendekatan dalam penelitian ini.
38
B. Metode Pengumpulan Data
1. Jenis Metode
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah focus groups discussion. Focus groups discussion FGD adalah metode
pengumpulan data pada penelitian kualitatif dimana satu atau dua peneliti dan beberapa partisipan bertemu dalam sebuah kelompok untuk mendiskusikan
sebuah topik yang diajukan oleh peneliti Mack, et.al., 2005. Dalam FGD, peneliti akan memimpin proses diskusi dengan meminta partisipan untuk
merespon pertanyaan-pertanyaan terbuka yang akan diajukan oleh peneliti. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan partisipan selama proses diskusi
merupakan data penting dalam FGD Morgan, 1998a. Focus groups discussion digunakan untuk memperoleh pemahaman yang
komprehensif berkaitan dengan pengalaman-pengalaman dan kepercayaan- kepercayan subjek dalam waktu yang relatif cepat Morgan, 1998a. Secara
lebih mendetil, Mack, et.al. 2005 menjelaskan bahwa FGD merupakan metode yang sangat efektif untuk mengidentifikasi norma-norma danatau
nilai-nilai kelompok, mendapatkan opini dari anggota kelompok tentang norma danatau nilai yang berlaku dalam kelompok, serta menangkap variasi
opini atau pandangan individu tentang suatu hal dalam sebuah populasi. Kelebihan FGD sebagai sebuah metode penelitian kualitatif tampak dari
kedinamisan serta keberagaman data dari kelompok. Dalam proses diskusi, antar partisipan akan saling mempengaruhi melalui reaksi mereka terhadap
apa yang diungkapkan oleh partisipan lain. Selain itu, karena dalam suatu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
kelompok tidak setiap partisipan memiliki pandangan dan pengalaman yang sama, maka akan muncul berbagai keberagaman pandangan atau opini
partisipan terhadap suatu topik yang diajukan Mack, et.al., 2005. Hal ini sesuai dengan saran Morgan 1998b yang meminta peneliti untuk
mempertimbangkan metode FGD ketika penelitian yang dilakukan bertujuan untuk memahami variasi pandangan partisipan tentang suatu hal.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa metode focus groups discussion merupakan metode yang tepat untuk penelitian ini. Hal ini disebabkan karena
karakteristik FGD, yaitu cocok untuk menggali variasi opini atau pandangan individu tentang suatu hal dalam waktu yang relatif cepat, sesuai dengan
tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui gambaran pengetahuan yang dimiliki remaja tentang kekerasan dalam pacaran.
2. Peran Peneliti dalam Pengumpulan Data
Dalam penelitian dengan focus groups discussion ini, peneliti berperan sebagai moderator, yaitu orang yang memoderatori jalannya diskusi Krueger,
1998b. Peneliti akan menjadi moderator dalam setiap diskusi yang dilakukan dalam penelitian ini.
Pada prakteknya, peneliti akan dibantu oleh seorang asisten moderator. Asisten moderator ini bertugas untuk memonitor jalannya diskusi, memastikan
tape recorder berjalan dengan sempurna selama proses diskusi berlangsung, mencatat hasil diskusi, serta bersama-sama dengan peneliti membangun
suasana agar para partisipan dapat merasa nyaman sehingga mereka dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
berdiskusi dengan baik. Dalam penelitian ini, yang berperan sebagai asisten moderator adalah rekan peneliti.
C. Partisipan Penelitian
1. Karakteristik Partisipan
Karakteristik partisipan penelitian ini adalah: a. Remaja yang berusia 11-14 tahun kategori remaja awal.
Partisipan secara khusus dipilih dari kategori remaja awal karena beberapa alasan berikut:
1. Dalam masa remaja awal, biasanya remaja mulai menjalin hubungan
pacaran untuk pertama kalinya Hickman, Jaycox, Aronoff, 2004.
2. Pada masa ini, remaja memandang pacaran hanya sebagai sarana untuk
mencari kesenangan, keakraban, dan status sosial sehingga banyak masalah timbul dalam masa ini Berk, 2007. Salah satu masalah yang
berpotensi muncul adalah kekerasan dalam pacaran Smith, White, Holland, 2003.
b. Antar remaja dalam satu kelompok diusahakan saling mengenal satu dengan yang lain.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggabungkan remaja- remaja yang sudah saling mengenal dalam satu kelompok. Hal ini
dilakukan dengan asumsi bahwa ketika antar remaja sudah saling mengenal, maka suasana menjadi lebih cair sehingga mereka menjadi
lebih leluasa dalam berpendapat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
2. Teknik Pengambilan Partisipan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, partisipan atau subjek penelitian tidak dipilih secara acak namun umumnya menggunakan pendekatan purposif, yaitu
dengan mengikuti kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, partisipan penelitian juga tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar,
melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian dan kecocokan konteks Poerwandari, 2005.
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan partisipan dilakukan dengan cara:
a. Memilih beberapa partisipan berdasar karakteristik yang telah ditentukan.
b. Berdasarkan pertimbangan bahwa peneliti tidak mengetahui lingkaran pertemanan diantara partisipan, maka peneliti meminta bantuan pada
beberapa partisipan untuk mengajak teman-temannya berpartisipasi dalam penelitian ini.
c. Peneliti mencocokkan karakteristik calon partisipan yang diajukan oleh beberapa partisipan dengan karakteristik yang telah ditentukan.
d. Setelah menemukan calon-calon partisipan yang cocok dengan karakteristik penelitian, peneliti menghubungi calon partisipan tersebut
untuk menanyakan kesediaan mereka berpartisipasi dalam penelitian ini.