BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Pacar saya sangatlah posesif. Hanya 4 bulan saja masa pacaran terasa indah, sisanya mulai keluar watak aslinya, yaitu temperamental. Jika ada hal-hal yang
tidak sesuai dengan kehendaknya maka dia akan mulai marah besar, dengan cara membanting barang pecah belah di kamar kosnya sampai dia harus
membeli piring dan gelas setiap minggu sekali. Dan memasuki tahun kedua, mulailah ringan tangan. Bahkan pernah kedua lengan saya dipegang erat-erat
dan digoncang-goncangkan saat ia marah besar sampai menyisakan tanda biru legam di lengan saya berhari-hari. Perilaku posesif ditunjukkan dengan kontrol
yang ketat, dia harus tahu kemanapun saya pergi dan dengan siapa. Bahkan pernah suatu ketika ia sedang berada di luar kota, namun saya tidak berani
pergi ke manapun karena takut jika ia menelepon ke tempat kos saya dan saya tidak ada, maka ia bisa marah besar. Saya hanya berani berdiam diri di kamar
sambil ketakutan. Hal paling buruk yang saya alami adalah pada saat kami sudah pacaran selama 2 tahun dan terjadi miskomunikasi yang menyebabkan
kami tidak bertemu di suatu tempat. Saat datang ke kos saya, tanpa bicara dia langsung menampar saya dan kami bertengkar hebat sesudahnya.”
Laily, 2004.
Peristiwa yang digambarkan dalam cuplikan di atas merupakan kisah nyata dari kasus kekerasan dalam pacaran. Banyak remaja yang memulai
hubungan pacaran beranggapan bahwa kekerasan seperti itu merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan. Hal tersebut disebabkan karena pacaran selalu
dikonotasikan dengan hal-hal yang indah, dimana janji-janji manis dan puji-pujian selalu dilontarkan. Namun ketika bentuk-bentuk kekerasan mulai tampak dalam
proses pacaran, kebanyakan remaja memandangnya sebagai sebuah peristiwa yang wajar dan dapat diterima. Hal itu dipandang sebagai resiko pacaran. Padahal,
kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu wujud kekerasan yang pastinya membawa dampak negatif bagi korbannya.
2
“Sesudah kejadian itu, R mengalami rasa takut yang luar biasa tiap bertemu pacarnya itu. Ketakutan ini ternyata berdampak pada fisiknya. Memang R dapat
dikatakan tidak menderita sakit fisik, tetapi sakit di hatinya menyebabkannya tidak mampu bangun dan berjalan, sampai dia harus menemui 4 orang dokter
spesialis, yaitu dokter saraf, ahli jantung, psikiater dan penyakit dalam dan mereka semua menganjurkan R untuk menghilangkan penyebab sakitnya itu,
yaitu memutuskan pacarnya. Namun berat bagi R untuk memutuskan pacarnya, karena setiap diputuskan, maka dia akan memohon-mohon untuk kembali.
Akhirnya, setelah 3 tahun pacaran, R berani memutuskan hubungan mereka dan setelah itu R menjadi pasien tetap seorang psikolog sampai 1 tahun lamanya
untuk menyembuhkan luka hatinya yang teramat dalam bahkan sampai 4 tahun lamanya setelah mereka putus, masih terasa sakit hatinya. Sampai saat inipun
dia masih trauma dan ingin marah bila bertemu dengannya.”
Laily, 2004.
Jelaslah bahwa kekerasan dalam pacaran membawa dampak yang negatif. Sayangnya, keterbatasan informasi yang didapat remaja mengenai fenomena
kekerasan dalam pacaran mengakibatkan fenomena tersebut tetap langgeng, bahkan dianggap sebagai hal yang normal Ratnadewi, 2007. Padahal kekerasan
dalam pacaran sejatinya termasuk dalam deretan panjang kasus kekerasan yang kemunculannya dapat dicegah.
Konsep kekerasan sendiri sebenarnya mengacu pada suatu bentuk opresi, penindasan, pemaksaan, dan berbagai bentuk perlakuan lain yang menyebabkan
seseorang dirugikan atau mengalami dampak negatif dalam berbagai bentuk Hayati dalam Hidayana, 2004. Kekerasan juga dapat diartikan sebagai perilaku
yang dapat menyebabkan perasaan dan tubuh fisik menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini dapat berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan,
ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Di sisi lain, keadaan fisik tidak yang nyaman dapat berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya
Putra dalam Sumiarni, 2006. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, salah satu jenis kekerasan yang muncul adalah kekerasan dalam pacaran. Kekerasan dalam pacaran KDP
merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan pernikahan yang sah berdasar UU Perkawinan 11974, pasal 2 ayat 2,
termasuk kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar Rifka Annisa WCC, 2006. Menurut Black et.al 2006 kekerasan dalam pacaran dapat
meliputi kekerasan fisik, seksual, atau psikologis.
Dewasa ini, kekerasan dalam pacaran semakin menjadi masalah sosial dan kesehatan yang serius bagi remaja Ocampo, Shelley, Jaycox, 2007. Hal ini
tampak dari prevalensi kasus KDP yang cukup banyak di masyarakat. Tabel 1.1 di bawah ini menunjukkan prevalensi terjadinya KDP dari beberapa penelitian.
Tabel 1.1 : Prevalensi Kasus KDP Dari Beberapa Penelitian
Sumber Sampel Hasil
Howard, Beck, Kerr, Shattuck
2005 Remaja etnik Latino
14-19 tahun dengan N = 446 215
perempuan dan 231 laki-laki
8,9 perempuan dan 8,8 laki- laki mengalami kekerasan fisik
dalam pacaran.
Libby, B. 1992 Siswa SLTA dengan
N = 631 337 perempuan dan 294
laki-laki 10,5 subjek mengalami
kekerasan seksual. 12 subjek mengalami
kekerasan fisik. 17,7 subjek mengalami
kombinasi antara kekerasan fisik dan seksual.
11,3 subjek mengalami kekerasan verbal.
28 subjek mengalami gabungan dari kekerasan verbal, seksual,
dan fisik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Sumber Sampel Hasil
Luthra Gidycz 2006
Mahasiswa berusia 18-24 tahun dengan
N = 200 100 perempuan dan 100
laki-laki 25 perempuan dan 10 laki-laki
pernah melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya.
Mikler, Goebert; Nishimura,
Caetano 2006
Siswa SLTA di Hawaii dengan N =
1242 683 perempuan dan 559
laki-laki 8,0 perempuan dan 7,6 laki-
laki mengalami kekerasan fisik dalam pacaran.
OKefee 1997 Siswa SLTA berusia
14-20 tahun dengan N = 939 554
perempuan dan 385 laki-laki
43 perempuan dan 39 laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik
terhadap pasangannya.
Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, prevalensi terjadinya kasus KDP dapat dilihat pada Tabel 1.2 di bawah ini.
Tabel 1.2 : Data Kasus Kekerasan Dalam Pacaran Tahun 1994-2006
No. Tahun Jumlah Kasus
1. 1994 3
2. 1995 20
3. 1996 24
4. 1997 54
5. 1998 51
6. 1999 50
7. 2000 92
8. 2001 103
9. 2002 97
10. 2003 58
11. 2004 48
12. 2005 35
13. 2006 31
Sumber: Annual Report Tahun 2006 Rifka Annisa WCC
Data di atas bersumber pada jumlah kasus KDP yang masuk ke LSM Rifka Annisa Women’s Crisis Center RAWCC selama tahun 1994-2006. Angka
tersebut bukanlah sebuah harga mati mengingat tidak semua korban kekerasan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
bersedia melapor. Oleh karena itu, fenomena kekerasan ini tampak seperti gunung es, dimana kasus yang sebenarnya masih jauh lebih besar, hanya tidak muncul ke
permukaan Zulfah, 2004. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah kasus KDP yang terjadi di masyarakat, khususnya DIY dan sekitarnya,
lebih banyak dari yang diketahui. Seperti layaknya sebuah fenomena kekerasan, kekerasan dalam pacaran
pastinya menimbulkan akibat-akibat yang negatif. Callahan, Tolman, Saunders 2003 menemukan bahwa KDP berkorelasi positif dengan timbulnya stres paska
trauma dan gejala disosiatif pada remaja perempuan, sedangkan pada remaja laki- laki berpotensi menimbulkan kecemasan, depresi, serta stres paskatrauma. Selain
itu, pada kedua kelompok jenis kelamin, KDP berkorelasi negatif dengan kepuasan hidup. Data Annual Report Rifka Annisa WCC tahun 2004
menunjukkan bahwa selain dampak fisik dan psikis, ternyata KDP juga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan reproduksi dan menimbulkan
perubahan perilaku pada remaja. Secara lebih spesifik, KDP menimbulkan perasaan cemas, malu, tidak aman, dan menimbulkan stres. Selain itu, KDP juga
dilaporkan menyebabkan cidera tulang ekor, kehamilan tidak diinginkan, dan juga memunculkan beberapa perubahan perilaku, seperti mulai merokok dan senang
melamun. Selain dampak fisik dan psikologis yang ditimbulkannya, kekerasan dalam
pacaran yang terjadi pada masa remaja juga merupakan prediktor yang lebih baik daripada kekerasan pada masa kanak-kanak dalam memprediksi timbulnya
kekerasan di usia dewasa Smith, White, Holland, 2003. Dengan kata lain, jika PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI