Pengetahuan remaja tentang fenomena kekerasan dalam pacaran.

(1)

ABSTRAK

Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran Elisabeth Haksi Mayawati

Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan fenomena yang banyak terjadi di masyarakat serta mendatangkan dampak negatif yang tidak ringan. Untuk mencegah semakin meluasnya fenomena tersebut, dibutuhkan langkah-langkah preventif yang efektif, salah satunya dengan menggali pengetahuan masyarakat tentang fenomena tersebut. Salah satu kelompok masyarakat yang rawan akan fenomena ini adalah para remaja. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan remaja tentang kekerasan dalam pacaran serta perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri tentang fenomena tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah focus groups discussions. 18 orang remaja putra dan 19 orang remaja putri ambil bagian dalam diskusi tentang KDP. Diskusi dilakukan dalam 6 kelompok: 3 kelompok remaja putra dan 3 kelompok remaja putri.

Lima tema muncul dalam penelitian ini: bentuk dan perilaku, faktor penyebab, akibat, pengatasan, dan sikap remaja terhadap kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan bentuk dan perilaku, secara umum remaja membagi kekerasan dalam pacaran menjadi dua bentuk, yaitu kekerasan fisik dan nonfisik. Kekerasan fisik dan nonfisik dipandang sebagai sesuatu yang tidak berhubungan. Selain itu, remaja juga kurang menyadari keberadaan kekerasan seksual dalam pacaran. Berkaitan dengan faktor penyebab dan pengatasan, remaja cenderung lebih menyoroti masalah interpersonal dan intrapersonal sebagai penyebab dan langkah pengatasan fenomena kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan akibat, remaja cenderung hanya melihat akibat jangka pendek atau akibat langsung dari kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan sikap remaja terhadap kekerasan, secara umum remaja putra lebih menerima perilaku kekerasan dibanding remaja putri.

Dari penelitian ini, terlihat bahwa secara umum remaja kurang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang fenomena kekerasan dalam pacaran. Oleh karena itu, perlu diberikan pendampingan dan pelatihan secara khusus pada remaja tentang kekerasan dalam pacaran dengan memperhatikan faktor jenis kelamin. Penelitian selanjutnya tentang fenomena ini juga sangat diperlukan.

Kata kunci

Kekerasan dalam pacaran, remaja, pengetahuan


(2)

viii

ABSTRACT

Adolescent’s Ideas About Dating Violence Elisabeth Haksi Mayawati

Dating violence is a common phenomenon in our society and creates a lot of heavy negative impacts. It needs effective ways to prevent the widespread of this phenomenon, one of them is to reveal people’s ideas about it. Adolescent is one of high risk group on dating violence. Therefore, the aim of this research is to understand adolescent’s ideas about dating violence and the difference between boy’s ideas and girl’s ideas.

This research is a descriptive research with qualitative approach. To collect the data, the researcher used focus group discussion. 18 boys and 19 girls took part in discussion on dating violence. Subjects are grouped in six groups: three boy groups and three girl groups.

Five themes arise from focus group discussion. They are form and behavior, cause factors, impacts, steps to overcome, and adolescent’s attitude toward dating violence. Regarding form and behavior, generally adolescent divide dating violence into two forms, they are physical and non physical violence, each is independent entity. In addition, adolescent doesn’t really aware about sexual violence in dating. Regarding to cause and prevention steps, adolescent tend to focus on interpersonal and intrapersonal matter as area of cause and prevention steps. Regarding to impact, adolescent tend to pay attention on short term impact or direct impact of dating violence. Regarding to adolescent’s attitude toward dating violence, generally boys more accept violence than girls.

From this research, generally we can see that adolescent has little knowledge about dating violence phenomenon. Therefore, guidance and training on dating violence are needed with respect to gender difference. More research in this phenomena is needed in the future.

Key words


(3)

PENGETAHUAN REMAJA TENTANG

FENOMENA KEKERASAN DALAM PACARAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Elisabeth Haksi Mayawati

NIM : 039114010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

Dos€n

/N'

Didik Suryo V.

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

PENGETAHUAFT REMAJA TENTAI\IG FENOMENA KDKERASAN DALAM PACARAN

Hartoko, S.Psi., M.Si. Tanggal; 19 November 2008

ll

ai

v,

oL


(5)

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

PENGETAITUAFT

REMATA TENTAI\TG

FENOMENA KEKERASAN DALAM PACARAN

Tanda Tangan

1 . 2. 3 .

v. Didik Prof. A. M.M. Nimas

ffi

/re$EnertanaS{gf i aepaf,qfo

rcn\

'\ bada tanesAli3 Desember 2f08

#t**ff*E

{ ffi,'B

Yogyakarta,

0 5 IYAR

zCCg

Dekan Fakultas Psikologi

{o ro^\[piversitas Sanata Dhanna

5'-- {''vtc\


(6)

Just like a butterfly, grow up through metamorphosis....


(7)

v

Un t u k se m u a r e m a j a

da n pa r a pe m e r h a t i r e m a j a


(8)

HALAMAI\ PER}IYATAAN KEASLIAI\ KARYA

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Elisabeth Haksi Mayawati N I M : 0 3 9 1 1 4 0 1 0

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran adalah hasil karya saya sendiri. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain baik sebagian atau keseluruhan, kecuali bentuk kutipan yang telah saya sebutkan di daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Maret 2009 Penulis,

\ 0 u

- - l l . . t I

(-

\\lE+\---.1 r X

---_/

Elisabeth Haksi Mayawati


(9)

ABSTRAK

Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran Elisabeth Haksi Mayawati

Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan fenomena yang banyak terjadi di masyarakat serta mendatangkan dampak negatif yang tidak ringan. Untuk mencegah semakin meluasnya fenomena tersebut, dibutuhkan langkah-langkah preventif yang efektif, salah satunya dengan menggali pengetahuan masyarakat tentang fenomena tersebut. Salah satu kelompok masyarakat yang rawan akan fenomena ini adalah para remaja. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan remaja tentang kekerasan dalam pacaran serta perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri tentang fenomena tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah focus groups discussions. 18 orang remaja putra dan 19 orang remaja putri ambil bagian dalam diskusi tentang KDP. Diskusi dilakukan dalam 6 kelompok: 3 kelompok remaja putra dan 3 kelompok remaja putri.

Lima tema muncul dalam penelitian ini: bentuk dan perilaku, faktor penyebab, akibat, pengatasan, dan sikap remaja terhadap kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan bentuk dan perilaku, secara umum remaja membagi kekerasan dalam pacaran menjadi dua bentuk, yaitu kekerasan fisik dan nonfisik. Kekerasan fisik dan nonfisik dipandang sebagai sesuatu yang tidak berhubungan. Selain itu, remaja juga kurang menyadari keberadaan kekerasan seksual dalam pacaran. Berkaitan dengan faktor penyebab dan pengatasan, remaja cenderung lebih menyoroti masalah interpersonal dan intrapersonal sebagai penyebab dan langkah pengatasan fenomena kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan akibat, remaja cenderung hanya melihat akibat jangka pendek atau akibat langsung dari kekerasan dalam pacaran. Berkaitan dengan sikap remaja terhadap kekerasan, secara umum remaja putra lebih menerima perilaku kekerasan dibanding remaja putri.

Dari penelitian ini, terlihat bahwa secara umum remaja kurang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang fenomena kekerasan dalam pacaran. Oleh karena itu, perlu diberikan pendampingan dan pelatihan secara khusus pada remaja tentang kekerasan dalam pacaran dengan memperhatikan faktor jenis kelamin. Penelitian selanjutnya tentang fenomena ini juga sangat diperlukan.

Kata kunci

Kekerasan dalam pacaran, remaja, pengetahuan


(10)

viii

ABSTRACT

Adolescent’s Ideas About Dating Violence Elisabeth Haksi Mayawati

Dating violence is a common phenomenon in our society and creates a lot of heavy negative impacts. It needs effective ways to prevent the widespread of this phenomenon, one of them is to reveal people’s ideas about it. Adolescent is one of high risk group on dating violence. Therefore, the aim of this research is to understand adolescent’s ideas about dating violence and the difference between boy’s ideas and girl’s ideas.

This research is a descriptive research with qualitative approach. To collect the data, the researcher used focus group discussion. 18 boys and 19 girls took part in discussion on dating violence. Subjects are grouped in six groups: three boy groups and three girl groups.

Five themes arise from focus group discussion. They are form and behavior, cause factors, impacts, steps to overcome, and adolescent’s attitude toward dating violence. Regarding form and behavior, generally adolescent divide dating violence into two forms, they are physical and non physical violence, each is independent entity. In addition, adolescent doesn’t really aware about sexual violence in dating. Regarding to cause and prevention steps, adolescent tend to focus on interpersonal and intrapersonal matter as area of cause and prevention steps. Regarding to impact, adolescent tend to pay attention on short term impact or direct impact of dating violence. Regarding to adolescent’s attitude toward dating violence, generally boys more accept violence than girls.

From this research, generally we can see that adolescent has little knowledge about dating violence phenomenon. Therefore, guidance and training on dating violence are needed with respect to gender difference. More research in this phenomena is needed in the future.

Key words


(11)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Elisabeth Haksi Mayawati

No. Mahasiswa : 03 9114 010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran. Dengan demikian saya

memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di Intemet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mernberi royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 5 Maret 2009 Yang menyatakan,

\ t \ I

w

Elisabeth Haksi Mayawati


(12)

KATA PENGANTAR

Akhirnya selesai sudah. Sebuah langkah awal menuju kemajuan yang lain. Terima kasih sekali untuk Pak Didik, atas segala kekritisan dan pengertiannya yang banyak membantu penulis dalam menyusun karya ini. Untuk Pak Siswa, terima kasih atas pemahaman awal tentang penelitian yang diberikan pada penulis. Banyak pemahaman baru yang penulis dapatkan selama kita berdiskusi bersama. Untuk Pak Praktik dan Bu Nimas, terimakasih atas segala masukannya di waktu sidang. Juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada segenap dosen Fakultas Psikologi, atas segala ilmu dan bimbingan yang membukakan mata penulis tentang apa itu psikologi. Tanpa sebuah kesempatan, tentunya karya ini tidak akan terwujud. Terima kasih pada Tante Siarsi dan Om Alwin, atas perhatian dan bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat merasakan indahnya bangku kuliah. Untuk Ibu, segala upaya yang Ibu lakukan membuat penulis menyadari bahwa penulis tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk kuliah. Untuk Momo, entah mengapa aku merasa sedih ketika harus menuliskan sebaris kata untukmu. Aku menyayangimu, dan aku tahu Momo juga tidak pernah berhenti menyayangiku.

Bagi semua partisipan penelitianku, berdiskusi bersama kalian membukakan mataku tentang kekerasan dalam pacaran. Terima kasih atas kesediannya berpartisipasi dan mengalahkan rasa malu dalam berdiskusi. Untuk Ayu, sang asisten moderator, great job non.. Makasih ya untuk segala bantuan dan dukungannya. Untuk Ratih, makasih untuk bantuannya mengganti format lampiran . Juga untuk Xna,


(13)

thanks for your notebook bro.. . Untuk teman-teman di FRIENDS –Rani, Pandji, Abe, Mba Yie, Dhajeng, Wiwid, Mba Hay, Amel, dan temen-temen lainnya– kita pernah belajar bersama, jadi mari kita tetap berkembang bersama.

Mas Muji, Mas Gandung, Mas Doni, Pak Gie, dan Mbak Nanik.. terima kasih atas bantuan yang diberikan selama penulis berkuliah. Rental komputer, workstation perpustakaan, dan akhirnya komputerku, perjalanan panjang sampai akhirnya bisa mengetik semua naskah skripsi. Kesabaran memang berujung kepuasan ya..

Dan di atas itu semua, syukur dan terimakasih terdalam kepada Yang Di Atas, atas kesadaran yang diberikan sehingga penulis mampu melewati hari dan berkembang dari hari ke hari. Life just like a butterfly, grow up through metamorphosis..

Akhirnya, sebelum menutup prolog ini penulis ingin menginformasikan bahwa di skripsi ini penulis tidak melampirkan naskah verbatim hasil diskusi. Walaupun demikian, naskah verbatim telah penulis lampirkan sebagai bahan ujian. Jika pembaca sekalian tertarik untuk mengetahui naskah verbatim penelitian ini, pembaca dapat menghubungi penulis melalui email di haksimayawati@yahoo.com. Segala bentuk saran, kritik, ataupun diskusi tentang penelitian ini dapat juga disampaikan melalui alamat email di atas. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca sekalian.

Salam,

Elisabeth Haksi Mayawati


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI iii

HALAMAN MOTTO iv

HALAMAN PERSEMBAHAN v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

ABSTRAK vii

ABSTRACT viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ix

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 12

D. Manfaat Penelitian 12

BAB II. KONSEP TEORITIS

A. Pengetahuan 13

B. Remaja 14

1. Remaja Secara Umum 14

2. Kemampuan Kognitif Remaja 17


(15)

3. Remaja Sebagai Bagian Dari Kelompok Sosial 19

C. Kekerasan Dalam Pacaran 21

1. Pacaran 21

2. Kekerasan Dalam Pacaran 23

a. Pengertian Kekerasan 23

b. Pengertian Kekerasan Dalam Pacaran 24

c. Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran 27

d. Penyebab Kekerasan Dalam Pacaran 29 e. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Menanggapi KDP 30 D. Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran 33

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis penelitian 37

B. Metode Pengumpulan Data 38

1. Jenis Metode 38

2. Peran Peneliti Dalam Pengumpulan Data 39

C. Partisipan Penelitian 40

1. Karakteristik Partisipan 40

2. Teknik Pengambilan Partisipan Penelitian 41

3. Jumlah Partisipan Dalam Tiap Kelompok 42

4. Komposisi Partisipan Dalam Tiap Kelompok 43

5. Waktu Diskusi Tiap kelompok 44

D. Instrumen Penelitian 44

1. Panduan Diskusi 44

2. Alat Perekam 47

E. Prosedur Penelitian 47

1. Tahap Persiapan 47

2. Tahap Pengambilan Data 47

a. Prosedur Pengambilan Data 47


(16)

b. Tanggal dan Waktu Pengambilan Data 51

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data 51

1. Kredibilitas 51

2. Dependability 53

G. Metode Analisis Data 54

1. Organisasi Data 54

2. Pengkodean Data 55

3. Interpretasi 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Utama dan Pembahasannya 58

1. Bentuk dan Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran 58

2. Penyebab Timbulnya Kekerasan Dalam Pacaran 62

B. Hasil Tambahan dan Pembahasannya 67

1. Sikap Remaja Terhadap Kekerasan Dalam Pacaran 67

2. Akibat Kekerasan Dalam Pacaran 70

3. Pengatasan Kekerasan Dalam Pacaran 73

C. Pembahasan Umum 77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 88

B. Saran 89

C. Refleksi Penelitian

1. Refleksi Diri 92

2. Keterbatasan Penelitian 93

DAFTAR PUSTAKA 95

LAMPIRAN 103


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Prevalensi Kasus KDP Dari Beberapa Penelitian 3

Tabel 1.2 Data Kasus Kekerasan Dalam Pacaran Tahun 1994-2006 4 Tabel 1.3 Jenis Kekerasan yang Dialami Subjek Tahun 2001-2006 9

Tabel 3.1 Panduan Diskusi Secara Umum 45

Tabel 3.2 Panduan Diskusi Secara Praktis 46

Tabel 3.3 Prosedur Pengambilan Data 50

Tabel 3.4 Pelaksanaan Pengambilan Data 51

Tabel 3.5 Pelaksanaan Konfirmasi Data Kepada Partisipan 53

Tabel 4.1 Bentuk dan Perilaku KDP 60

Tabel 4.2 Penyebab Timbulnya KDP 65

Tabel 4.3 Sikap Remaja Terhadap Kekerasan 69

Tabel 4.4 Akibat Kekerasan Dalam Pacaran 72

Tabel 4.5 Pengatasan Kekerasan Dalam Pacaran 75

Tabel 4.6 Persamaan Hasil Remaja Putra dan Putri 86

Tabel 4.7 Perbedaan Hasil Remaja Putra dan Putri 87


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Pendekatan Kesehatan Masyarakat untuk Pencegahan Kekerasan

Interpersonal 7

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Pengetahuan Remaja Terhadap KDP 36


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pengkategorian Tema Penelitian 104


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

“Pacar saya sangatlah posesif. Hanya 4 bulan saja masa pacaran terasa indah, sisanya mulai keluar watak aslinya, yaitu temperamental. Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya maka dia akan mulai marah besar, dengan cara membanting barang pecah belah di kamar kosnya sampai dia harus membeli piring dan gelas setiap minggu sekali. Dan memasuki tahun kedua, mulailah ringan tangan. Bahkan pernah kedua lengan saya dipegang erat-erat dan digoncang-goncangkan saat ia marah besar sampai menyisakan tanda biru legam di lengan saya berhari-hari. Perilaku posesif ditunjukkan dengan kontrol yang ketat, dia harus tahu kemanapun saya pergi dan dengan siapa. Bahkan pernah suatu ketika ia sedang berada di luar kota, namun saya tidak berani pergi ke manapun karena takut jika ia menelepon ke tempat kos saya dan saya tidak ada, maka ia bisa marah besar. Saya hanya berani berdiam diri di kamar sambil ketakutan. Hal paling buruk yang saya alami adalah pada saat kami sudah pacaran selama 2 tahun dan terjadi miskomunikasi yang menyebabkan kami tidak bertemu di suatu tempat. Saat datang ke kos saya, tanpa bicara dia

langsung menampar saya dan kami bertengkar hebat sesudahnya.” (Laily,

2004).

Peristiwa yang digambarkan dalam cuplikan di atas merupakan kisah nyata dari kasus kekerasan dalam pacaran. Banyak remaja yang memulai hubungan pacaran beranggapan bahwa kekerasan seperti itu merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan. Hal tersebut disebabkan karena pacaran selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang indah, dimana janji-janji manis dan puji-pujian selalu dilontarkan. Namun ketika bentuk-bentuk kekerasan mulai tampak dalam proses pacaran, kebanyakan remaja memandangnya sebagai sebuah peristiwa yang wajar dan dapat diterima. Hal itu dipandang sebagai resiko pacaran. Padahal, kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu wujud kekerasan yang pastinya membawa dampak negatif bagi korbannya.


(21)

“Sesudah kejadian itu, R mengalami rasa takut yang luar biasa tiap bertemu pacarnya itu. Ketakutan ini ternyata berdampak pada fisiknya. Memang R dapat dikatakan tidak menderita sakit fisik, tetapi sakit di hatinya menyebabkannya tidak mampu bangun dan berjalan, sampai dia harus menemui 4 orang dokter spesialis, yaitu dokter saraf, ahli jantung, psikiater dan penyakit dalam dan mereka semua menganjurkan R untuk menghilangkan penyebab sakitnya itu, yaitu memutuskan pacarnya. Namun berat bagi R untuk memutuskan pacarnya, karena setiap diputuskan, maka dia akan memohon-mohon untuk kembali. Akhirnya, setelah 3 tahun pacaran, R berani memutuskan hubungan mereka dan setelah itu R menjadi pasien tetap seorang psikolog sampai 1 tahun lamanya untuk menyembuhkan luka hatinya yang teramat dalam (bahkan sampai 4 tahun lamanya setelah mereka putus, masih terasa sakit hatinya). Sampai saat inipun

dia masih trauma dan ingin marah bila bertemu dengannya.(Laily, 2004).

Jelaslah bahwa kekerasan dalam pacaran membawa dampak yang negatif. Sayangnya, keterbatasan informasi yang didapat remaja mengenai fenomena kekerasan dalam pacaran mengakibatkan fenomena tersebut tetap langgeng, bahkan dianggap sebagai hal yang normal (Ratnadewi, 2007). Padahal kekerasan dalam pacaran sejatinya termasuk dalam deretan panjang kasus kekerasan yang kemunculannya dapat dicegah.

Konsep kekerasan sendiri sebenarnya mengacu pada suatu bentuk opresi, penindasan, pemaksaan, dan berbagai bentuk perlakuan lain yang menyebabkan seseorang dirugikan atau mengalami dampak negatif dalam berbagai bentuk (Hayati dalam Hidayana, 2004). Kekerasan juga dapat diartikan sebagai perilaku yang dapat menyebabkan perasaan dan tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini dapat berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan. Di sisi lain, keadaan fisik tidak yang nyaman dapat berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya (Putra dalam Sumiarni, 2006).


(22)

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, salah satu jenis kekerasan yang muncul adalah kekerasan dalam pacaran. Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan pernikahan yang sah (berdasar UU Perkawinan 1/1974, pasal 2 ayat 2), termasuk kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar (Rifka Annisa WCC, 2006). Menurut Black et.al (2006) kekerasan dalam pacaran dapat meliputi kekerasan fisik, seksual, atau psikologis.

Dewasa ini, kekerasan dalam pacaran semakin menjadi masalah sosial dan kesehatan yang serius bagi remaja (Ocampo, Shelley, & Jaycox, 2007). Hal ini tampak dari prevalensi kasus KDP yang cukup banyak di masyarakat. Tabel 1.1 di bawah ini menunjukkan prevalensi terjadinya KDP dari beberapa penelitian.

Tabel 1.1 : Prevalensi Kasus KDP Dari Beberapa Penelitian

Sumber Sampel Hasil

Howard, Beck, Kerr, & Shattuck (2005)

Remaja etnik Latino

(14-19 tahun) dengan N = 446 (215

perempuan dan 231 laki-laki)

8,9 % perempuan dan 8,8 % laki-laki mengalami kekerasan fisik dalam pacaran.

Libby, B. (1992) Siswa SLTA dengan N = 631 (337 perempuan dan 294 laki-laki)

 10,5% subjek mengalami

kekerasan seksual.

 12% subjek mengalami

kekerasan fisik.

 17,7% subjek mengalami

kombinasi antara kekerasan fisik dan seksual.

 11,3% subjek mengalami

kekerasan verbal.

 28% subjek mengalami gabungan dari kekerasan verbal, seksual, dan fisik).


(23)

Sumber Sampel Hasil Luthra & Gidycz

(2006)

Mahasiswa berusia 18-24 tahun dengan N = 200 (100 perempuan dan 100 laki-laki)

25 % perempuan dan 10 % laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya.

Mikler, Goebert; Nishimura, & Caetano (2006)

Siswa SLTA di Hawaii dengan N =

1242 (683 perempuan dan 559

laki-laki)

8,0 % perempuan dan 7,6 % laki-laki mengalami kekerasan fisik dalam pacaran.

O'Kefee (1997) Siswa SLTA berusia 14-20 tahun dengan N = 939 (554 perempuan dan 385 laki-laki)

43 % perempuan dan 39 % laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya.

Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, prevalensi terjadinya kasus KDP dapat dilihat pada Tabel 1.2 di bawah ini.

Tabel 1.2 : Data Kasus Kekerasan Dalam Pacaran Tahun 1994-2006

No. Tahun Jumlah Kasus

1. 1994 3

2. 1995 20

3. 1996 24

4. 1997 54

5. 1998 51

6. 1999 50

7. 2000 92

8. 2001 103

9. 2002 97

10. 2003 58

11. 2004 48

12. 2005 35

13. 2006 31

Sumber: Annual Report Tahun 2006 Rifka Annisa WCC

Data di atas bersumber pada jumlah kasus KDP yang masuk ke LSM Rifka Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC) selama tahun 1994-2006. Angka tersebut bukanlah sebuah harga mati mengingat tidak semua korban kekerasan


(24)

bersedia melapor. Oleh karena itu, fenomena kekerasan ini tampak seperti gunung es, dimana kasus yang sebenarnya masih jauh lebih besar, hanya tidak muncul ke permukaan (Zulfah, 2004). Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah kasus KDP yang terjadi di masyarakat, khususnya DIY dan sekitarnya, lebih banyak dari yang diketahui.

Seperti layaknya sebuah fenomena kekerasan, kekerasan dalam pacaran pastinya menimbulkan akibat-akibat yang negatif. Callahan, Tolman, & Saunders (2003) menemukan bahwa KDP berkorelasi positif dengan timbulnya stres paska trauma dan gejala disosiatif pada remaja perempuan, sedangkan pada remaja laki-laki berpotensi menimbulkan kecemasan, depresi, serta stres paskatrauma. Selain itu, pada kedua kelompok jenis kelamin, KDP berkorelasi negatif dengan kepuasan hidup. Data Annual Report Rifka Annisa WCC tahun 2004 menunjukkan bahwa selain dampak fisik dan psikis, ternyata KDP juga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan reproduksi dan menimbulkan perubahan perilaku pada remaja. Secara lebih spesifik, KDP menimbulkan perasaan cemas, malu, tidak aman, dan menimbulkan stres. Selain itu, KDP juga dilaporkan menyebabkan cidera tulang ekor, kehamilan tidak diinginkan, dan juga memunculkan beberapa perubahan perilaku, seperti mulai merokok dan senang melamun.

Selain dampak fisik dan psikologis yang ditimbulkannya, kekerasan dalam pacaran yang terjadi pada masa remaja juga merupakan prediktor yang lebih baik daripada kekerasan pada masa kanak-kanak dalam memprediksi timbulnya kekerasan di usia dewasa (Smith, White, & Holland, 2003). Dengan kata lain, jika


(25)

seseorang mengalami atau melakukan kekerasan dalam bentuk apapun selama ia berpacaran di usia remaja, besar kemungkinan ia juga akan menjadi korban atau pelaku kekerasan ketika dewasa. Oleh karena itu, jika KDP pada masa remaja dapat dicegah, maka secara tidak langsung kita turut mencegah timbulnya kekerasan pada pasangan di waktu selanjutnya.

Mencegah timbulnya suatu fenomena dapat dilakukan dengan baik apabila pengetahuan atau pemahaman terhadap fenomena tersebut sudah memadai. Demikian halnya dengan kasus kekerasan dalam pacaran. Dibutuhkan pemahaman yang baik dan utuh terhadap kasus tersebut ketika kita akan menyusun langkah preventif yang efektif. Salah satu caranya adalah dengan melalui penelitian. Sayangnya, sebagian besar penelitian tentang KDP seringkali menggunakan orang dewasa dan mahasiswa sebagai subjek penelitiannya (Sears, Byers, Whelan, & Pierre, 2006). Walaupun telah dilakukan, namun penelitian yang secara khusus meneliti KDP dengan subjek yang tergolong dalam remaja awal (12 atau 13 tahun hingga 17 atau 18 tahun) masih sangat diperlukan karena dalam rentang usia tersebut biasanya remaja mulai membangun hubungan pacaran untuk pertama kalinya sehingga kasus KDP rentan terjadi (Hickman, Jaycox, & Aronoff, 2004; Smith, White, & Holland, 2003).

“More descriptive research is needed to gain a foundation of knowledge about the phenomenon of violence between adolescent dating partners, including study

risk and protection factors beyond gender”. (Hickman, Jaycox, & Aronoff,

2004)

Pendapat tersebut didukung oleh Dickinson (Santrock, 2003) yang menyatakan bahwa kebanyakan remaja melakukan kencan pertama mereka pada usia 12-16 tahun. Data dari Annual Report Rifka Annisa WCC tahun 2003 dan


(26)

2005 juga menunjukkan bahwa kasus KDP mulai terjadi pada korban yang berusia kurang dari 15 tahun. Dengan demikian, penting untuk meneliti fenomena kekerasan dalam pacaran pada masa remaja awal agar semakin diperoleh pemahaman yang utuh terhadap fenomena tersebut.

Salah satu langkah penelitian yang dapat diambil untuk memahami suatu fenomena adalah dengan menggali sejauh mana pengetahuan masyarakat terhadap fenomena tersebut. Berkaitan dengan kekerasan interpersonal secara umum dan kekerasan dalam pacaran (KDP) secara khusus, terdapat empat buah langkah kesehatan masyarakat yang biasa digunakan untuk memahami dan mengatasi fenomena tersebut (Marais et.al, 2004).

Gambar 1.1 : Pendekatan Kesehatan Masyarakat untuk Pencegahan Kekerasan Interpersonal (dari Marais et.al, 2004)

1

Mendefinisikan Masalah

Mengungkapkan ukuran dan wilayah permasalahan

4

Mengimplementasikan

Meluaskan implementasi dan penyebarannya

3

Merencanakan dan mengevaluasi intervensi

Apa intervensinya dan untuk siapa intervensi itu diberikan?

2

Mengidentifikasi faktor resiko dan faktor protektif

Apa penyebab timbulnya masalah?

Menurut Marais et.al (2004), dalam langkah 1, hal yang dilakukan adalah menganalisis bagaimana, kapan, dimana, dan apa itu kekerasan. Dalam langkah 2, dilakukan pengidentifikasian faktor resiko dan faktor protektif dari kekerasan. Hasil atau informasi yang didapat dari langkah 1 dan 2 tersebut sangat diperlukan


(27)

untuk merencanakan dan mengevaluasi intervensi (langkah 3) dan perluasan implementasi (langkah 4).

Penelitian ini mengambil posisi dalam langkah 1, yaitu pendefinisian masalah. Pendefinisian masalah ini dilakukan dengan cara menggali bagaimana pengetahuan remaja, khususnya remaja awal, terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran. Hal ini dilakukan agar terdapat gambaran tentang kekerasan dalam pacaran dari sudut pandang remaja itu sendiri. Penelitian sebelumnya berkaitan dengan hal ini pernah dilakukan oleh Sears, Byers, Whelan, & Pierre (2006) serta Welsh & Mahistedt (2005). Kedua penelitian tersebut mengungkap tentang bagaimana opini masyarakat terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran. Hanya saja, Welsh & Mahistedt (2005) menggunakan mahasiswa sebagai subjek penelitiannya, sedangkan Sears, Byers, Whelan, & Pierre (2006) memilih remaja sebagai subjeknya. Sayangnya, kedua penelitian tersebut hanya membahas tentang kekerasan fisik dan psikologis dalam hubungan pacaran. Secara lebih spesifik, penelitian Welsh & Mahistedt (2005) membahas tentang kekerasan fisik, sedangkan penelitian Sears, Byers, Whelan, & Pierre (2006) mengungkap tentang kekerasan fisik dan psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Kekerasan seksual yang sebenarnya juga berpotensi timbul dalam hubungan pacaran tidak ditelah dalam kedua penelitian tersebut.

Sebenarnya potensi timbulnya kekerasan seksual dalam hubungan pacaran sudah dibuktikan dari beberapa penelitian. Salah satunya data Annual Report Rifka Annisa WCC tahun 2002-2006. Data seperti yang dipaparkan pada tabel 1.3 di bawah ini menunjukkan bahwa gabungan antara kekerasan emosi dan seksual


(28)

ternyata menduduki urutan kedua sebagai bentuk kekerasan yang paling sering diterima subjek, sedangkan yang menempati urutan ketiga adalah kekerasan seksual.

Tabel 1.3 : Jenis Kekerasan yang Dialami Subjek Tahun 2001-2006

Tahun

Jenis Kekerasan 2002 2003 2004 2005 2006 Total

Emosi 46 16 16 15 13 106

Fisik 14 0 1 0 0 15

Seksual 27 1 1 0 1 30

Ekonomi 10 1 0 2 0 13

Emosi-Fisik 3 6 2 3 14

Emosi-Ekonomi 4 3 3 2 12

Emosi-Seksual 19 4 7 9 39

Emosi-Sosial 0 1 0 0 1

Ekonomi-Seksual 0 1 1 0 2

Ekonomi-Fisik-Seksual 1 0 0 2 3

Emosi-Ekonomi-Seksual 1 0 2 0 3

Emosi-Fisik-Ekonomi 4 2 0 1 7

Emosi-Fisik-Seksual 6 2 1 0 9

Emosi-Fisik-Sosial 0 3 0 0 3

Emosi-Seksual-Sosial 0 1 0 0 1

Emosi-Ekonomi-Fisik-Seksual 2 3 2 0 7

Emosi-Ekonomi-Fisik-Sosial 0 1 0 0 1

Emosi-Ekonomi-Fisik-Seksual-Sosial 0 3 0 0 3

TOTAL 97 58 48 35 31 269

Sumber: Annual Report RAWCC tahun 2002-2006

Selain data tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Demartoto (2002) terhadap sepuluh orang korban KDP juga menampakkan hasil bahwa kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang pernah dialami oleh seluruh subjek.


(29)

Selain itu, review penelitian yang dilakukan oleh Jejeebhoy & Bott (2003) menambahkan data bahwa kekerasan seksual sebenarnya sering terjadi pada kaum muda, namun sayangnya tidak banyak penelitian dan intervensi yang dilakukan berkaitan dengan hal tersebut. Padahal kekerasan seksual juga menimbulkan efek negatif jangka pendek maupun jangka penjang yang tidak ringan, baik dalam aspek fisik, psikologis, dan sosial (Jejeebhoy & Bott, 2003; Zweig, Barber, & Eccles, 1997). Oleh karena itu, selain ingin mengungkap tentang bagaimana pemahaman remaja terhadap fenomena kekerasan fisik dan psikologis, penelitian ini juga akan menelusur tentang sejauh mana remaja memahami fenomena kekerasan seksual yang terjadi dalam hubungan pacaran.

Penelitian ini secara khusus juga akan melihat apakah terdapat perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam memandang fenomena kekerasan dalam pacaran. Langkah ini diambil karena dalam penelitian yang dilakukan oleh O’Keefe (1997), terlihat bahwa terdapat perbedaan alasan antara remaja putra dan putri dalam melakukan kekerasan dalam pacaran. Alasan utama yang dikemukakan oleh kedua remaja, baik putra dan putri adalah untuk mengekspresikan kemarahan. Walaupun demikian, keinginan untuk mengontrol pasangan adalah alasan kedua remaja putra dalam melakukan KDP, sedangkan untuk remaja putri lebih dilatarbelakangi oleh upaya pertahanan diri (self-defense) dari kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Dilatarbelakangi oleh hasil penelitian tersebut, penelitian ini ingin mengungkap apakah terdapat perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam memandang fenomena kekerasan dalam pacaran.


(30)

Berdasar pada fakta-fakta yang terkumpul, yaitu bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan fenomena yang cukup banyak terjadi di masyarakat dan mendatangkan dampak negatif yang tidak ringan serta pentingnya mengungkap pengetahuan remaja terhadap fenomena KDP sebagai langkah awal untuk menyusun tindakan preventif, maka penelitian ini disusun untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan remaja tentang fenomena kekerasan dalam pacaran. Secara khusus, peneliti ingin mengungkap tentang bagaimana pengetahuan remaja tentang kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang terjadi dalam proses pacaran. Dalam hal ini, peneliti juga akan melihat apakah terdapat perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam memandang fenomena kekerasan dalam pacaran. Dengan demikian, diharapkan dapat digali pemahaman yang utuh terhadap fenomena KDP dari sudut pandang remaja sehingga intervensi selanjutnya dapat disusun dengan tepat.

B.

Rumusan Masalah

1. Rumusan Masalah Umum

Bagaimana pengetahuan remaja terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran?

2. Rumusan Masalah Khusus

a. Apa bentuk dan contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan dalam pacaran menurut remaja putra dan putri?

b. Apa faktor penyebab munculnya kekerasan dalam pacaran menurut remaja putra dan putri?


(31)

C.

Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengetahuan remaja terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui bentuk dan perilaku yang termasuk dalam kekerasan dalam pacaran menurut remaja putra dan putri.

b. Mengetahui faktor penyebab munculnya kekerasan dalam hubungan pacaran menurut remaja putra dan putri.

D.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang bagaimana pengetahuan remaja putra dan putri terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran. Dengan demikian, intervensi selanjutnya dapat disusun dengan lebih akurat, misalnya dengan mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin dalam penyusunan langkah intervensi.


(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) oleh VandenBos (2007) didefinisikan sebagai informasi dan pemahaman tentang suatu topik tertentu atau hal-hal umum yang ada di sekitar kita yang biasanya didapat dari pengalaman atau proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Surajiyo (2007) yang menjabarkan pengetahuan sebagai suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal sesuatu atau hasil tahu manusia terhadap sesuatu.

Tidak semua pengetahuan merupakan ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan yang telah tersusun secara sistematik serta diperoleh dengan menggunakan metode ilmiahlah yang disebut dengan ilmu pengetahuan (Soekanto, 1990; Surajiyo, 2007). Oleh karena itu, pengetahuan senantiasa bertujuan untuk mendapatkan kepastian serta menghilangkan prasangka akibat dari adanya ketidakpastian (Soekanto, 1990). Hal ini sesuai dengan tujuan pengetahuan teoritikal menurut Henle (1983), yaitu memahami kenyataan dan merenungkan kebenaran.

Dalam psikologi, konsep pengetahuan sering disebut dengan pengetahuan umum (general knowledge). Pengetahuan ini merupakan bentuk dari sistem memori manusia yang terorganisasi mengenai segala sesuatu yang ada di kehidupan (Matlin, 1994).


(33)

Sebagai sebuah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, tentunya pengetahuan memiliki sumber. Sumber pengetahuan tersebut yang terutama adalah pengalaman, baik pengalaman langsung (pengalaman yang dialami sendiri) maupun pengalaman tidak langsung (pengalaman yang dialami oleh orang lain). Untuk pengalaman tidak langsung, pengetahuan bisa didapat individu melalui interaksinya dengan lingkungan atau melalui proses pewarisan budaya (Hadi, 1994; Surajiyo, 2007).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan pemahaman yang terorganisir mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar kita yang dapat diperoleh melalui pengalaman langsung ataupun tidak langsung.

B.

Remaja

1. Remaja Secara Umum

Dalam kehidupannya, individu akan mengalami berbagai macam tahap perkembangan. Salah satu tahap perkembangan yang dilalui individu adalah masa remaja. Masa remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Erikson (1963) menyebut masa ini sebagai masa pencarian identitas. Dalam proses menemukan identitasnya tersebut, Erikson mengemukakan bahwa remaja akan banyak dipengaruhi oleh norma dan nilai kelompok (Berk, 2007; Gevrig & Zimbardo, 2002).

Masa remaja yang dialami individu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu masa remaja awal, tengah, dan akhir. Remaja awal berlangsung antara usia 11 hingga 14 tahun, remaja tengah berlangsung antara usia 14 hingga 16


(34)

tahun, dan remaja akhir berlangsung dalam kurun usia 16-18 tahun (Berk, 2007).

Ketika memasuki masa remaja, individu mengalami banyak perubahan, yaitu dari segi fisik, emosi, sosial, maupun kognitif. Dari segi fisik, pada awal remaja individu mengalami pubertas, yaitu periode saat kematangan fisik dan seksual meningkat dengan pesat (Berk, 2007; Sdorow & Rickabaugh, 2002). Peningkatan kematangan fisik dan seksual tersebut mengakibatkan remaja mengalami perubahan-perubahan dalam tubuhnya. Remaja putri mengalami menarche yang kemudian diikuti dengan berkembangnya buah dada, pinggul yang membesar, dan mulai munculnya rambut di ketiak. Pada remaja putra, perubahan tersebut ditandai dengan mimpi basah, munculnya jakun, tumbuhnya kumis, dan suara yang memberat (Baron, 1998; Davis & Palladino, 1997).

Secara emosi, pada masa remaja individu biasanya mengalami fluktuasi emosi. Fluktuasi emosi tersebut dapat berhubungan dengan peningkatan hormon yang juga terjadi pada awal masa remaja ataupun karena faktor-faktor lain seperti pola makan, stres, atau relasi sosial (Santrock, 2003). Selain itu, para remaja khususnya remaja awal, belum sepenuhnya mampu mengekspresikan emosi mereka secara adekuat. Dengan sedikit provokasi, mereka dapat dengan mudah bertengkar dengan orangtua, teman, ataupun saudara. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon yang mereka tampilkan mungkin merefleksikan displacement perasaan mereka pada orang lain. Walaupun demikian, hal tersebut normal terjadi pada masa


(35)

remaja dan akan berkurang seiring mereka beranjak dewasa (Dye & Eckhardt, 2000; Santrock, 2003).

Selain perubahan fisik dan emosi, remaja juga mengalami perubahan sosial. Remaja mulai menjalin persahabatan secara intensif, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis (Baron, 1998). Berkumpulnya remaja dalam kelompok sebaya juga merupakan salah satu perubahan sosial yang menonjol pada masa remaja. Menurut Gevrig & Zimbardo (2002), kelompok sebaya memiliki pengaruh besar bagi nilai, sikap, dan perilaku remaja. Coleman (dalam Davis & Palladino, 1997) menjelaskan tiga fungsi penting kelompok sebaya bagi remaja, yaitu:

a. Menyediakan umpan balik yang dibutuhkan remaja berkaitan dengan perilaku-perilaku yang diterima kelompok dan yang tidak.

b. Kelompok sebaya mampu berperan sebagai kelompok

pendukung ketika remaja menghadapi masalah berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri mereka. Hal tersebut disebabkan karena kelompok sebaya turut mengalami perubahan-perubahan seperti yang dialami oleh remaja.

c. Masa remaja merupakan periode saat individu mulai mempertanyakan nilai-nilai dan perilaku yang ditanamkan oleh orang dewasa. Oleh karena itu, jika remaja mengalami masalah berkaitan dengan hal tersebut, sulit bagi remaja untuk mencari


(36)

bantuan dan nasehat dari orang dewasa. Dalam hal ini, kelompok sebaya mampu menyediakan solusi bagi remaja.

2. Kemampuan Kognitif Remaja

Menurut Piaget, pada masa remaja individu mulai memasuki tahap operasional formal (Morris & Maisto, 2002). Tahap yang dimulai pada usia 11 tahun ini merupakan tahap tertinggi dalam perkembangan kognitif individu karena pada tahap ini kemampuan individu untuk berpikir abstrak mulai berkembang (Steinberg, 2002). Dengan demikian, pemikiran remaja menjadi lebih abstrak, logis, dan idealis. Pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret, namun remaja mulai mengembangkan situasi khayalan yang membuat mereka mampu membuat hipotesis (Hockenbury & Hockenbury, 2003). Secara lebih detil, pemikiran remaja ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Berpikir tentang kemungkinan

Hal ini berarti pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang riil, namun mulai berkembang ke pemikiran abstrak (Keating dalam Gazzaniga & Heatherton, 2003; Santrock, 2003; Steinberg, 2002).

b. Berpikir ke depan

Remaja mampu merencanakan masa depan dengan berdasar pada pengalaman masa lalunya (Keating dalam Gazzaniga & Heatherton, 2003).


(37)

c. Berpikir dalam hipotesis

Remaja mampu berpikir logis, membuat hipotesis untuk memecahkan suatu masalah serta mampu menguji keefektifan pemecahan masalah tersebut. Remaja juga dapat menarik kesimpulan secara sistematik, baik bersifat deduktif ataupun induktif (Keating dalam Gazzaniga & Heatherton, 2003; Santrock, 2003; Steinberg, 2002).

d. Metakognisi

Metakognisi merupakan pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses kognitif yang ada pada diri individu (Matlin, 1994). Dengan metakognisi, remaja menjadi lebih introspektif serta lebih menyadari tentang diri dan pikiran-pikirannya (Steinberg, 2002).

e. Berpikir multidimensi

Pemikiran remaja tidak lagi terbatas pada satu hal atau satu isu saja, namun menjadi lebih kompleks (Keating dalam Gazzaniga & Heatherton, 2003; Steinberg, 2002).

f. Berpikir relatif

Remaja cenderung melihat sesuatu tidak hanya hitam dan putih, namun secara relatif (Steinberg, 2002).


(38)

Selain hal-hal di atas, Schaie (dalam Davis & Palladino, 1997) menambahkan bahwa tugas perkembangan kognitif masa remaja adalah untuk memperoleh informasi, pengetahuan, dan ketrampilan-ketrampilan dari lingkungan sekitarnya. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut nantinya akan digunakan ketika mereka dewasa. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitarnya guna memenuhi tugas perkembangan ini.

Adanya tugas perkembangan yang disandang remaja tersebut serta mulai berkembangnya kemampuan remaja dalam berpikir abstrak dan multidimensi mendorong remaja untuk mulai meluaskan ketertarikannya pada hal-hal yang bersifat non-riil. Remaja mulai tertarik pada topik-topik seperti hubungan interpersonal, politik, filosofi, religiusitas, maupun moral (Steinberg, 2002). Topik-topik tersebut mengandung hal-hal yang abstrak seperti persahabatan, harapan, demokrasi, keadilan, dan kejujuran; hal-hal tersebut hanya dapat dipahami dengan baik ketika kemampuan berpikir abstrak individu sudah berkembang. Oleh karena itu, jelaslah mengapa remaja lebih tertarik dan lebih mampu memahami isu-isu sosial daripada anak-anak.

3. Remaja Sebagai Bagian dari Kelompok Sosial

Sebagai bagian dari masyarakat atau kelompok sosial, remaja seringkali berperilaku atau berpandangan sesuai dengan apa yang dianut oleh kelompoknya. Remaja mengobservasi perilaku dan pandangan


(39)

kelompok untuk kemudian diinternalisasi menjadi perilaku dan pandangan pribadinya. Dalam psikologi, fenomena ini disebut dengan modeling (Pervin, Cervone, & John, 2005). Dalam ranah sosiologi, fenomena ketika remaja berperilaku dan berpandangan seperti anggota kelompok merupakan hasil dari proses sosialisasi (Berry et al., 1999).

Konsep modeling dicetuskan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura, dalam situasi sosial individu dapat belajar lebih cepat dengan mengamati atau melihat tingkah laku orang lain (Cloninger, 2004). Individu belajar mengenali tipe-tipe perilaku yang diterima dan tidak diterima dengan cara mengobservasi perilaku anggota kelompoknya (Pervin, Cervone, & John, 2005). Oleh karena itu, individu menjadi tahu perilaku yang diterima kelompok dan perilaku yang yang tidak diterima.

Berkaitan dengan sosialisasi, proses ini menunjukkan proses pembentukan individu dengan sengaja melalui cara-cara pengajaran. Dalam proses ini, orang-orang di sekitar individu mewariskan nilai, ketrampilan, keyakinan, dan lain sebagainya melalui pewarisan tegak (dari orang tua), pewarisan miring (dari orang dewasa lainnya), atau pewarisan mendatar (dari teman sebaya) (Berry et.al., 1999).

Melalui kedua hal tersebut, sosialisasi dan modeling, individu (dalam hal ini remaja) menjadi bagian dari kelompok sosial. Remaja mendapat sosialisasi tentang nilai-nilai atau perilaku yang berkembang di kelompoknya dan selanjutnya remaja meniru nilai-nilai dan perilaku tersebut. Proses tersebut berlangsung terus-menerus sehingga


(40)

lama-kelamaan remaja memiliki nilai-nilai dan perilaku yang relatif sama dengan yang dimiliki oleh kelompoknya. Dalam hal ini, remaja telah menjadi bagian dari kelompok sosial tempat ia hidup.

C.

Kekerasan Dalam Pacaran

1. Pacaran

Masa remaja merupakan suatu tahap ketika kebanyakan individu mulai menjalin komitmen personal dengan lebih loyal (Davis & Palladino, 1997). Salah satu komitmen personal yang dijalani individu terwujud dalam hubungan pacaran. Selain dilatarbelakangi oleh hal tersebut, pacaran identik dengan masa remaja karena pada masa ini banyak terjadi perubahan hormonal pada diri individu yang menyebabkan mereka mulai tertarik pada lawan jenis. Selain itu, hubungan heteroseksual yang diwujudkan dalam bentuk pacaran merupakan salah satu usaha untuk memenuhi tugas perkembangan sosialisasi pada remaja (Hurlock, 1980). Hal ini senada dengan yang disebutkan Fuhrmann (Yarni, 2005) yang mengatakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah mempersiapkan diri secara fisik, psikis, dan sosial untuk berkomitmen dengan lawan jenis dan selanjutnya membentuk keintiman sebagai bentuk kematangan psikologis. Dowdy & Howard (Santrock, 2003) juga menambahkan bahwa meskipun banyak remaja putra dan putri saling mempengaruhi secara sosial melalui teman sebaya, namun melalui


(41)

pacaranlah kontak yang serius antara dua orang yang berlainan jenis kelamin muncul.

Pacaran merupakan proses saling menyayangi antara dua manusia dengan jenis kelamin yang berbeda di mana didalamnya terdapat proses saling mengenal, memahami, dan sekaligus proses belajar membina hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah (Imran dalam Yarni, 2005). Namun terdapat perbedaan dalam memandang fungsi pacaran pada remaja awal, pertengahan, dan akhir. Tidak semua remaja memandang pacaran sebagai proses persiapan untuk menikah. Hanya remaja akhir saja yang memandang pacaran atau kencan sebagai sarana untuk mencapai keakraban, kebersamaan, dan sosialisasi. Bagi remaja awal dan pertengahan, kencan atau pacaran dipandang sebagai sarana untuk mencari kesenangan, keakraban, dan status sosial (Berk, 2007). Arsih (2006) juga menambahkan bahwa pacaran saat ini tidak lebih dari sekedar trend. Pacaran digunakan sebagai sarana untuk mencari teman having fun atau sebagai sarana pemenuhan harga diri. Bahkan yang lebih parah, pacaran kadang hanya digunakan sebagai penyaluran hasrat biologis semata. Padahal, pacaran biasanya dimulai pada masa pubertas atau remaja awal (Dickinson dalam Santrock, 2003). Oleh karena itu, kemungkinan munculnya masalah-masalah dalam hubungan pacaran rentan terjadi pada masa tersebut, misalnya kenakalan remaja dan penurunan prestasi akademik (Berk, 2007) ataupun timbulnya kekerasan dalam pacaran (Hickman, Jaycox, & Aronoff, 2004; Smith, White, & Holland, 2003).


(42)

2. Kekerasan Dalam Pacaran

a. Pengertian kekerasan

Untuk mendefinisikan konsep kekerasan, Poerwandari (2004) menggunakan dua penekanan, yaitu pada sisi intensi dan sisi akibat. Dari sisi intensi, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk memaksa, menaklukkan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, dan menghancurkan melalui cara-cara fisik, psikologis, deprivasi, ataupun gabungan-gabungannya dalam bermacam-macam bentuk. Dari sisi akibat, kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang tidak disengaja, bukan intensional, tetapi didasarkan oleh ketidaktahuan, kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain yang menyebabkan subjek secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dominasi, dan perendahan manusia lain.

Menurut WHO, kekerasan (violence) merupakan penggunaan kekuatan atau kekuasaan, ancaman atau berupa tindakan langsung, secara sengaja pada seseorang atau sekelompok orang yang dapat menyebabkan atau memungkinkan timbulnya luka, kematian, luka emosional, dan pertumbuhan yang terhambat (Krug et.al, 2002). Dari definisi tersebut, terlihat bahwa kekerasan lebih ditekankan pada sisi intensi.


(43)

Dari kedua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku atau ancaman, baik disengaja atau tidak, yang merugikan pihak lain, baik dari segi fisik maupun emosional.

b. Pengertian Kekerasan Dalam Pacaran 1) Pengertian Umum KDP

WHO dalam Krug et.al (2002) membagi kekerasan menjadi 3 kategori, yaitu kekerasan terhadap diri sendiri (self-directed violence), kekerasan kolektif (collective violence), dan kekerasan interpersonal (interpersonal violence). Dari ketiga kategori tersebut, kekerasan dalam pacaran (KDP) termasuk dalam kategori kekerasan interpersonal.

Secara umum, kekerasan dalam pacaran dilihat sebagai sebuah pola dalam penggunaan kekuasaan dan kontrol yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya (Bernstein, et.al., 2004). Menurut Wolfe, et.al (dalam Fredland, et.al, 2005) kekerasan dalam pacaran merupakan usaha untuk mengontrol atau mendominasi pasangan secara fisik, seksual, ataupun psikologis yang dapat mengakibatkan luka. Sedangkan menurut Riffka Annisa WCC (2006), kekerasan dalam pacaran diartikan sebagai segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan pernikahan yang sah (berdasar UU Perkawinan 1/1974, pasal 2 ayat 2), termasuk kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar/ pasangan.


(44)

Kekerasan dalam pacaran dapat terjadi pada siapa saja. Usia, jenis kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan, atau latar belakang ekonomi tidak membatasi seseorang untuk menjadi korban atau pelaku kekerasan. Selain itu, kekerasan dalam pacaran juga tidak terbatas pada pasangan heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan dengan jenis kelamin yang sama (Alfonso & Madera, 2004; Bernstein, et.al., 2000).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu jenis kekerasan interpersonal yang berupa penggunaan kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya di luar hubungan pernikahan yang sah tanpa memandang jenis kelamin dan latar belakang pelaku dan/atau korban.

2) Perbandingan KDP dengan Konsep Lain yang Sejenis

Terdapat konsep lain yang sejenis dengan konsep kekerasan dalam pacaran. Konsep tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga serta bullying.

Konsep kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1, ayat 1)”.


(45)

Dari definisi tersebut, terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara konsep KDRT dengan KDP. Persamaan yang nampak terutama dari sisi bentuk-bentuk kekerasan, yaitu mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran. Di sisi lain, perbedaannya nampak dalam sisi ruang lingkup. Suatu kekerasan disebut dengan KDRT ketika kekerasan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga, sedangkan disebut KDP ketika terjadi di luar hubungan pernikahan yang sah.

Selain KDRT, konsep lain yang sejenis dengan kekerasan dalam pacaran adalah bullying. Bullying dapat didefinisikan sebagai perilaku agresif tipe proaktif yang didalamnya terdapat aspek kesengajaan untuk mendominasi, menyakiti, atau menyingkirkan, adanya ketidakseimbangan kekuatan, serta dilakukan secara berulang oleh satu atau beberapa anak terhadap anak yang lain (Olweus, 1993; Sheras & Tippins, 2002; Gini, 2004, Pereira dkk., 2004; Veenstra dkk., 2005; Bauman & Del Rio, 2006). Menurut Olweus (1993), bullying memiliki tiga bentuk, yaitu:

Bullying yang dilakukan secara langsung (bisa berbentuk bullying fisik maupun verbal)

Bullying yang dilakukan secara tidak langsung (bullying psikologis)


(46)

Fenomena bullying dapat terjadi di mana saja, namun paling sering terjadi di lingkungan sekolah sehingga istilah bullying identik dengan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Jika dibandingkan dengan konsep kekerasan dalam pacaran, terlihat bahwa konsep bullying dan kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan suatu himpunan bagian. Konsep bullying merupakan konsep yang luas, dimana di dalamnya dapat mencakup kekerasan dalam pacaran (serta KDRT). Hanya saja, kekerasan dalam pacaran membahas secara lebih spesifik fenomena kekerasan yang terjadi dalam konteks hubungan romantik di luar pernikahan sedangkan istilah bullying sendiri lebih sering digunakan untuk menyebut kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan.

c. Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran

Menurut WHO, kekerasan interpersonal dapat meliputi bentuk-bentuk kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan deprivatif atau penelantaran. Namun secara khusus, bentuk-bentuk kekerasan yang biasa muncul dalam hubungan pacaran adalah kekerasan fisik, emosional, dan seksual (Black et.al, 2006).

1) Kekerasan Fisik

Ketika memikirkan konsep kekerasan, kebanyakan orang langsung mengacu pada kekerasan fisik. Padahal dalam kenyataannya, kekerasan fisik merupakan tingkat terakhir dari


(47)

kekerasan dalam pacaran. Ketika terjadi kekerasan fisik, dalam kebanyakan kasus, telah terdapat sejarah panjang kekerasan emosional dan seringkali kekerasan seksual (Murray, 2006).

Sejauh ini tidak ada penjelasan yang menerangkan secara implisit definisi kekerasan fisik. Biasanya untuk menjelaskan tentang kekerasan fisik, para ahli menggunakan contoh-contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan fisik. Contoh-contoh perilaku tersebut adalah menampar, memukul, mendorong, menjambak, menyakiti dengan senjata, dan lain-lain (James, West, Deters, & Armijo, 2000; Poerwandari, 2004). Dari contoh perilaku tersebut, dapat disimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik dan menyebabkan sakit secara fisik.

2) Kekerasan Psikologis

Kekerasan psikologis atau kekerasan emosional merupakan kekerasan tingkat pertama dan merupakan jalan menuju kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual (Murray, 2006). Contoh perilaku yang termasuk dalam kekerasan psikologis adalah penyerangan harga diri, membuat korban merasa cemburu, posesif yang berlebihan, melukai perasaan korban, membuat malu korban di depan umum, menyalahkan korban atas tindakan agresif yang dilakukan pelaku, dan lain-lain (James, West, Deters, & Armijo,


(48)

2000). Menurut Poerwandari (2004), kekerasan jenis ini tidak hanya diekspresikan melalui ungkapan verbal (kekerasan verbal), tapi dapat pula dalam bentuk pengekangan, diskriminasi, dan penjauhan pemenuhan kebutuhan dasar (deprivasi).

3) Kekerasan Seksual

Merupakan bentuk kekerasan yang terjadi ketika seseorang memaksa pasangannya untuk melakukan aktifitas seksual di luar keinginannya (Jejeebhoy & Bott, 2003). Aktifitas seksual di luar keinginan yang dimaksud misalnya memaksa mencium, memaksa memeluk, memaksa pasangan melakukan hubungan badan, ataupun bentuk pemaksaan lain yang berkaitan dengan perilaku seksual.

d. Penyebab Kekerasan Dalam pacaran 1) Perspektif Feminis

Menurut perspektif teori feminis, kekerasan terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara laki-laki dan perempuan serta adanya pertarungan kepentingan (Poerwandari, 2004). Dalam lingkungan yang bersifat patriarki, dominasi kaum laki-laki merupakan sesuatu yang wajar dan kekerasan adalah hal yang diterima dan digunakan sebagai alat untuk mengontrol perempuan. Laki-laki belajar sejak kecil bahwa kekerasan terhadap


(49)

perempuan merupakan hal yang normal (O’Kefee & Treister, 1998.).

2) Perspektif Belajar Sosial

Psikologi menekankan pada internalisasi nilai dan pemahaman internal dalam menjelaskan kekerasan, yang menyebabkan pelaku terus melakukan kekerasan dan korban tetap tinggal dalam posisinya sebagai korban (Poerwandari, 2004). Internalisasi nilai dan pemahaman internal tersebut dapat dijelaskan melalui teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura.

Dalam teori belajar sosial, individu belajar mengenai suatu hal dengan cara mengamati tingkah laku orang lain (Cloninger, 2004; Pervin, Cervone, & John, 2005). Anak-anak belajar tentang nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan dasar dengan cara mengobservasi nilai-nilai dan perilaku significant others-nya (Gazzaniga & Heatherton, 2003). Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya juga merupakan hasil dari perilaku yang dipelajari.

e. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Menanggapi KDP

Masa remaja merupakan periode gender intensification, yaitu peride ketika terjadi peningkatan kepercayaan terhadap gender role


(50)

stereotype (Berk, 2007). Gender role stereotype atau stereotip peran gender sendiri oleh Lefton (2000) didefinisikan sebagai kepercayaan-kepercayaan tentang perilaku mana yang tepat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Stereotip peran gender ini sangat dipengaruhi oleh kondisi budaya setempat. Selain itu, stereotip peran gender ini nantinya akan menetukan sikap dan perilaku individu (Lips, 1988).

Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender pada awal masa remaja sangat berkaitan dengan perubahan-perubahan biologis, sosial, dan kognitif yang terjadi remaja. Pertama, penampilan fisik yang berubah pada awal masa remaja karena efek pubertas membuat remaja lebih terpusat pada penampilan fisik mereka dan berusaha membuat penampilan mereka sesuai dengan beban gender yang disandangnya. Selain itu, dorongan dari orangtua juga semakin besar dalam mengarahkan remaja untuk berperilaku sesuai peran gender yang dimilikinya. Ketika remaja mulai berpacaran, kecenderungan untuk berperilaku sesuai dengan peran gendernya lebih meningkat. Hal tersebut dilakukan remaja dalam usaha untuk meningkatkan daya tarik mereka. Terakhir, perubahan kognitif yang terjadi pada awal masa remaja, yaitu remaja mulai lebih peka terhadap pikiran dan pendapat orang lain, membuat remaja lebih responsif terhadap pengharapan-pengharapan akan peran gender yang harus disandangnya (Berk, 2007).

Peningkatan kepercayaan terhadap stereotip peran gender ini membuat remaja memiliki tujuan yang berbeda dalam menjalin


(51)

hubungan sosial. Pada remaja putri, keintiman dan pengasuhan atau pemeliharaan menjadi tujuan yang utama, sedangkan pada remaja putra, dominasi dan kepemimpinanlah yang terutama (Jarvinen & Nicholls dalam Baron, 1998). Perbedaan tujuan ini tentunya akan berdampak pada respon pikiran dan perilaku yang ditampilkan remaja.

Perbedaan respon tersebut salah satunya tampak dari hasil penelitian O’Keefe (1997) yang menyebutkan bahwa selain sebagai ekspresi kemarahan, alasan remaja putra dalam melakukan kekerasan dalam pacaran adalahkeinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan pada remaja putri sebagai upaya pertahanan diri. Selain itu, Cowan & Quinton (dalam Mahlstedt & Welsh, 2005) mengungkap tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menganalisis fenomena perkosaan. Bagi laki-laki, mereka cenderung menyalahkan perempuan atas kasus perkosaan yang dialaminya (victim blaming), sedang bagi perempuan, perkosaan terjadi lebih disebabkan karena rasa permusuhan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan demikian, jelaslah bahwa stereotip peran gender yang berkembang di masyarakat membuat individu dengan jenis kelamin yang berbeda menampilkan pikiran dan perilaku yang berbeda dalam menghadapi suatu masalah. Berdasar pada hal-hal tersebut, maka ada kemungkinan remaja laki-laki dan perempuan juga akan menampilkan respon yang berbeda dalam menanggapi fenomena kekerasan dalam pacaran.


(52)

D.

Pengetahuan Remaja Tentang Fenomena KDP

Masa remaja awal merupakan periode ketika individu mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Pada masa ini individu mengalami perubahan biologis yang menyebabkan individu mulai tertarik pada lawan jenis (Berk, 2007). Oleh karena itu, pacaran biasanya mulai muncul pada masa ini (Dickinson dalam Santrock, 2003). Namun sayangnya, pada masa ini pacaran hanya dipandang sebagai sarana untuk mencari kesenangan, keakraban, dan status sosial (Berk, 2007). Dengan demikian, hubungan pacaran yang dilakukan di masa ini besar kemungkinannya memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah kekerasan dalam pacaran (Hickman, Jaycox, & Aronoff, 2004; Smith, White, & Holland, 2003).

Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan salah satu jenis kekerasan interpersonal yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya di luar hubungan pernikahan yang sah tanpa memandang jenis kelamin dan latar belakang pelaku dan/atau korban. Kekerasan dalam pacaran tidak hanya terbatas pada pasangan heteroseksual, namun juga dapat terjadi pada pasangan homoseksual (Alfonso & Madera, 2004; Bernstein, et.al., 2000).

Sebagai sebuah masalah sosial, kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak negatif yang tidak bisa dikatakan ringan. Kekerasan dalam pacaran dapat menimbulkan stres paska trauma, gejala disoasiatif, kecemasan, dan depresi (Callahan, Tolman, & Saunders, 2003). Selain itu, urgensi untuk menangani masalah kekerasan dalam pacaran yang timbul di masa remaja menguat karena fenomena ini muncul pada tahap perkembangan dimana hubungan romantis mulai


(53)

terjalin. Individu biasanya akan mempelajari pola-pola interaksi pada hubungan tersebut dan membawanya sampai ke masa dewasa (Werkerle & Wolfe, 1999). Oleh karena itu, kekerasan dalam pacaran muncul sebagai prediktor yang lebih baik daripada kekerasan pada masa kanak-kanak dalam memprediksi timbulnya kekerasan di usia dewasa (Smith, White, & Holland, 2003).

Sebagai langkah awal untuk mencegah semakin meluasnya fenomena kekerasan dalam pacaran, hal yang bisa dilakukan adalah mencari tahu sejauh mana pengetahuan remaja, khususnya yang termasuk dalam kategori remaja awal tentang fenomena ini. Dengan mengetahui bagaimana pengetahuan remaja tersebut, kita dapat menaksirkan sejauh mana remaja memahami atau tidak memahami fenomena kekerasan dalam pacaran. Dengan demikian, langkah selanjutnya dapat disusun dengan lebih tepat.

Pengetahuan sendiri dapat diartikan sebagai pemahaman yang terorganisir mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar kita yang dapat diperoleh melalui pengalaman langsung ataupun tidak langsung. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan remaja berkaitan dengan fenomena kekerasan dalam pacaran, tentunya kita harus mempertimbangkan kedudukan remaja dalam kelompok sosial. Sebagai bagian dari kelompok sosial, tentunya remaja sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berlaku di kelompoknya. Remaja akan berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok. Ditambah lagi, masa remaja merupakan masa pencarian identitas (Erikson, 1963) sehingga remaja akan banyak dipengaruhi oleh norma dan nilai kelompok (Berk, 2007; Gevrig & Zimbardo, 2002). Awal masa remaja juga merupakan masa dimana


(54)

tingkat kepercayaan terhadap stereotip gender meningkat. Oleh karena itu, para remaja yang termasuk dalam kategori remaja awal akan lebih cenderung untuk berpikiran dan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kelompok (Berk, 2007).

Salah satu contoh yang membuktikan bahwa perilaku remaja dipengaruhi oleh nilai-nilai kelompok adalah respon remaja ketika ditanya tentang alasan mereka melakukan kekerasan dalam pacaran. Alasan utama remaja putra dan putri dalam melakukan kekerasan dalam pacaran adalah sebagai ekspresi kemarahan. Walaupun demikian, alasan kedua yang dikemukakan oleh remaja putra adalah keinginan untuk mengontrol pasangan, sedangkan alasan kedua remaja putri adalah sebagai usaha untuk mempertahankan diri dari pasangan (O’Keefe, 1997). Respon remaja tersebut dapat dikatakan dipengaruhi oleh nilai-nilai kelompok karena respon tersebut sesuai dengan stereotip gender yang berkembang di masyarakat, yakni bahwa laki-laki harus dominan dan memiliki kontrol sedangkan perempuan harus mengalah (Lips, 1988). Dengan didasarkan pada hal tersebut, penelitian ini selain ingin mengetahui bagaimana pengetahuan remaja, khususnya remaja awal terhadap fenomena kekerasan dalam pacaran juga ingin mencari tahu apakah terdapat perbedaan pengetahuan antara remaja putra dan putri dalam memahami kekerasan dalam pacaran.


(55)

Gambar 2.1 : Kerangka Penelitian Pengetahuan Remaja Terhadap KDP

Pengetahuan tentang bentuk & perilaku KDP

Stereotipe peran gender

Pengetahuan tentang faktor penyebab KDP


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi deskriptif. Penelitian studi deskriptif memiliki tujuan untuk mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasi suatu kondisi tertentu. Sebagai sebuah studi deskriptif, penelitian ini berfungsi sebagai penelitian dasar (basic research) yang bertujuan untuk memahami bagaimana fenomena-fenomena terjadi di sekitar kita (Patton, 2002). Secara khusus, penelitian ini ingin mendeskripsikan pengetahuan remaja tentang fenomena kekerasan dalam pacaran sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena tersebut.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Mack et.al. (2005) mengemukakan bahwa pendekatan kualitatif efektif digunakan dalam menggali data yang berupa informasi spesifik tentang nilai-nilai, opini, perilaku, dan konteks sosial budaya dari sebuah populasi. Selain itu, pendekatan kualitatif juga mampu memfasilitasi peneliti dalam menyediakan deskripsi data yang menyeluruh tentang bagaimana respon individu terhadap suatu topik atau isu tertentu. Berdasar pada hal asumsi itulah maka peneliti menggunakan kualitatif sebagai pendekatan dalam penelitian ini.


(57)

B.

Metode Pengumpulan Data

1. Jenis Metode

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah focus groups discussion. Focus groups discussion (FGD) adalah metode pengumpulan data pada penelitian kualitatif dimana satu atau dua peneliti dan beberapa partisipan bertemu dalam sebuah kelompok untuk mendiskusikan sebuah topik yang diajukan oleh peneliti (Mack, et.al., 2005). Dalam FGD, peneliti akan memimpin proses diskusi dengan meminta partisipan untuk merespon pertanyaan-pertanyaan terbuka yang akan diajukan oleh peneliti. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan partisipan selama proses diskusi merupakan data penting dalam FGD (Morgan, 1998a).

Focus groups discussion digunakan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif berkaitan dengan pengalaman-pengalaman dan kepercayaan-kepercayan subjek dalam waktu yang relatif cepat (Morgan, 1998a). Secara lebih mendetil, Mack, et.al. (2005) menjelaskan bahwa FGD merupakan metode yang sangat efektif untuk mengidentifikasi norma-norma dan/atau nilai-nilai kelompok, mendapatkan opini dari anggota kelompok tentang norma dan/atau nilai yang berlaku dalam kelompok, serta menangkap variasi opini atau pandangan individu tentang suatu hal dalam sebuah populasi.

Kelebihan FGD sebagai sebuah metode penelitian kualitatif tampak dari kedinamisan serta keberagaman data dari kelompok. Dalam proses diskusi, antar partisipan akan saling mempengaruhi melalui reaksi mereka terhadap apa yang diungkapkan oleh partisipan lain. Selain itu, karena dalam suatu


(58)

kelompok tidak setiap partisipan memiliki pandangan dan pengalaman yang sama, maka akan muncul berbagai keberagaman pandangan atau opini partisipan terhadap suatu topik yang diajukan (Mack, et.al., 2005). Hal ini sesuai dengan saran Morgan (1998b) yang meminta peneliti untuk mempertimbangkan metode FGD ketika penelitian yang dilakukan bertujuan untuk memahami variasi pandangan partisipan tentang suatu hal.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa metode focus groups discussion merupakan metode yang tepat untuk penelitian ini. Hal ini disebabkan karena karakteristik FGD, yaitu cocok untuk menggali variasi opini atau pandangan individu tentang suatu hal dalam waktu yang relatif cepat, sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui gambaran pengetahuan yang dimiliki remaja tentang kekerasan dalam pacaran.

2. Peran Peneliti dalam Pengumpulan Data

Dalam penelitian dengan focus groups discussion ini, peneliti berperan sebagai moderator, yaitu orang yang memoderatori jalannya diskusi (Krueger, 1998b). Peneliti akan menjadi moderator dalam setiap diskusi yang dilakukan dalam penelitian ini.

Pada prakteknya, peneliti akan dibantu oleh seorang asisten moderator. Asisten moderator ini bertugas untuk memonitor jalannya diskusi, memastikan tape recorder berjalan dengan sempurna selama proses diskusi berlangsung, mencatat hasil diskusi, serta bersama-sama dengan peneliti membangun suasana agar para partisipan dapat merasa nyaman sehingga mereka dapat


(59)

berdiskusi dengan baik. Dalam penelitian ini, yang berperan sebagai asisten moderator adalah rekan peneliti.

C.

Partisipan Penelitian

1. Karakteristik Partisipan

Karakteristik partisipan penelitian ini adalah:

a. Remaja yang berusia 11-14 tahun (kategori remaja awal).

Partisipan secara khusus dipilih dari kategori remaja awal karena beberapa alasan berikut:

1. Dalam masa remaja awal, biasanya remaja mulai menjalin hubungan pacaran untuk pertama kalinya (Hickman, Jaycox, & Aronoff, 2004).

2. Pada masa ini, remaja memandang pacaran hanya sebagai sarana untuk mencari kesenangan, keakraban, dan status sosial sehingga banyak masalah timbul dalam masa ini (Berk, 2007). Salah satu masalah yang berpotensi muncul adalah kekerasan dalam pacaran (Smith, White, & Holland, 2003).

b. Antar remaja dalam satu kelompok diusahakan saling mengenal satu dengan yang lain.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggabungkan remaja-remaja yang sudah saling mengenal dalam satu kelompok. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa ketika antar remaja sudah saling mengenal, maka suasana menjadi lebih cair sehingga mereka menjadi lebih leluasa dalam berpendapat.


(60)

2. Teknik Pengambilan Partisipan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, partisipan atau subjek penelitian tidak dipilih secara acak namun umumnya menggunakan pendekatan purposif, yaitu dengan mengikuti kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, partisipan penelitian juga tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian dan kecocokan konteks (Poerwandari, 2005).

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan partisipan dilakukan dengan cara:

a. Memilih beberapa partisipan berdasar karakteristik yang telah ditentukan.

b. Berdasarkan pertimbangan bahwa peneliti tidak mengetahui lingkaran pertemanan diantara partisipan, maka peneliti meminta bantuan pada beberapa partisipan untuk mengajak teman-temannya berpartisipasi dalam penelitian ini.

c. Peneliti mencocokkan karakteristik calon partisipan yang diajukan oleh beberapa partisipan dengan karakteristik yang telah ditentukan.

d. Setelah menemukan calon-calon partisipan yang cocok dengan karakteristik penelitian, peneliti menghubungi calon partisipan tersebut untuk menanyakan kesediaan mereka berpartisipasi dalam penelitian ini.


(61)

Pada awalnya, terdapat 37 orang remaja yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini (18 remaja putra dan 19 remaja putri). Namun dalam prosesnya, enam orang remaja berhalangan hadir ketika proses diskusi berlangsung. Dari keenam orang tersebut, empat diantaranya tidak hadir dengan memberikan konfirmasi pada saat pelaksanaan dan dua sisanya tidak hadir tanpa konfirmasi. Dengan demikian, pada akhirnya penelitian ini berjalan dengan 31 orang partisipan, yaitu 15 partisipan laki-laki dan 16 partisipan putri.

3. Jumlah Partisipan Dalam Tiap Kelompok

Dalam focus groups discussion, penting untuk mempertimbangkan berapa jumlah partisipan yang akan digunakan dalam tiap kelompok (Mack, et.al., 2005). Morgan (1998b) membedakan kelompok dalam FGD menjadi dua, yaitu kelompok besar dan kelompok kecil. Kelompok besar beranggotakan 10 partisipan atau lebih sedangkan kelompok kecil beranggotakan 6 partisipan atau kurang.

Peneliti disarankan menggunakan kelompok besar ketika:

a. Partisipan memiliki sedikit keterlibatan dengan topik penelitian.

b. Tujuan penelitian untuk mengetahui tanggapan-tanggapan singkat tentang suatu hal (seperti brainstorming).


(62)

Peneliti disarankan menggunakan kelompok kecil bila:

a. Partisipan memiliki keterlibatan yang mendalam dengan topik penelitian.

b. Emosi-emosi partisipan dapat terungkap lewat topik penelitian. c. Partisipan mengetahui banyak hal berkaitan dengan topik penelitian. d. Topik penelitian merupakan hal yang kontroversial dan kompleks. e. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tanggapan mendalam

partisipan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan mendalam subjek tentang fenomena kekerasan dalam pacaran. Berdasar pada tujuan tersebut serta mengingat bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan fenomena yang kompleks serta memungkinkan banyak emosi partisipan terlibat di dalamnya, maka peneliti akan menggunakan kelompok kecil dalam penelitian ini. Partisipan dalam tiap kelompok berjumlah kurang lebih 6 orang.

4. Komposisi Partisipan Dalam Tiap Kelompok

Tiap kelompok beranggotakan partisipan dengan jenis kelamin yang sama. Hal ini dilakukan mengingat topik penelitian ini adalah kekerasan dalam pacaran, dimana tidak menutup kemungkinan penjelasan tentang gender timbul dalam diskusi tentang topik ini. Dengan hanya mengumpulkan partisipan berjenis kelamin sama dalam satu kelompok, diharapkan partisipan dapat merasa lebih nyaman dan bebas dalam mengungkapkan pengetahuannya tanpa perlu merasa malu dan segan pada partisipan lain.


(63)

5. Waktu diskusi tiap kelompok

Waktu diskusi dalam tiap kelompok dialokasikan kurang lebih 90 menit. Walaupun demikian, waktu 90 menit di sini bukan menjadi patokan baku. Jika ternyata proses diskusi membutuhkan waktu yang lebih panjang atau lebih singkat, maka proses akan berjalan sesuai dengan waktu yang dibutuhkan.

D.

Instrumen Penelitian

1. Panduan Diskusi

Diskusi dilakukan dengan menggunakan panduan diskusi yang telah disusun sebelumnya. Tabel 3.1 di bawah ini merupakan panduan diskusi secara umum sedangkan tabel 3.2 merupakan panduan diskusi secara praktis. Panduan diskusi umum disusun berdasar pada pertanyaan penelitian dan kerangka teoritis pada Bab II, sedangkan panduan diskusi praktis disusun berdasar kaidah-kaidah penyusunan pertanyaan dalam FGD, yaitu meliputi pertanyaan pembuka, pertanyaan transisi, pertanyaan kunci, dan pertanyaan penutup (Krueger, 1998a).


(64)

Tabel 3.1 : Panduan Diskusi Secara Umum

1. Kekerasan dalam pacaran secara umum

Apa yang terbesit di pikiran kalian ketika mendengar kekerasan dalam pacaran?

2. Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran

a. Apa saja macam-macam kekerasan yang biasanya timbul dalam pacaran? b. Apa maksud dari masing-masing kekerasan yang kalian sebutkan tadi?

c. Apa saja contoh perilaku yang termasuk dalam jenis kekerasan yang kalian sebutkan tadi?

3. Faktor penyebab munculnya kekerasan dalam hubungan pacaran

a. Menurut kalian, mengapa dalam pacaran terjadi kekerasan?

b. Sebelumnya kalian sudah menyebutkan macam-macam kekerasan yang biasa timbul dalam pacaran. Menurut kalian, mengapa kekerasan A dapat terjadi dalam hubungan pacaran? Bagaimana dengan kekerasan B dan C?

(catatan: pertanyaan untuk mengungkap tentang faktor penyebab timbulnya bentuk-bentuk kekerasan secara spesifik bergantung dari variasi jawaban subjek pada pertanyaan no. 2a.


(65)

Tabel 3.2 : Panduan Diskusi Secara Praktis

Pertanyaan Pembuka

1. Nah, yang pertama-tama nih, temen-temen yang ada di sini itu udah pada pernah pacaran belum?

2. Kalau melihat orang pacaran udah pernah atau belum? 3. Nah, biasanya orang pacaran itu ngapain sih?

4. Kira-kira hal-hal negatif apa yang terjadi dalam proses pacaran? (catatan:ditanyakan jika jawaban pertanyaan no. 3 hanya menyebutkan hal-hal positif dalam proses pacaran).

Pertanyaan Transisi

5. Kalo temen-temen denger kata “pacaran”, kira-kira apa yang terbersit di pikiran kalian?

6. Nah kalau denger kata kekerasan, yang terbersit di pikiran kalian apa? 7. Nah, kekerasan itu kira-kira perilaku yang bisa diterima nggak? 8. Jadi sebaiknya dilakukan atau tidak?

9. Temen-temen di sini pernah melihat seorang pacar yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya?

10. Jika ya, kekerasan seperti apa yang kalian lihat?

Pertanyaan Kunci

11. Menurut temen-temen nih, kekerasan dalam pacaran itu apa to?

12. Contoh-contoh perilaku apa yang bisa dikatakan kekerasan dalam pacaran?

13. Jadi kalau dari contoh-contoh perilaku itu sebenernya kekerasan dalam pacaran itu dapat berupa kekerasan apa saja sih?

14. Kira-kira apa yang termasuk dalam kekerasan fisik?

15. Kalau yang termasuk dalam kekerasan mental itu yang seperti apa? 16. Kalau didefinisikan, kekerasan fisik itu kira-kira apa to?

17. Kalau kekerasan mental itu apa?

18. Tapi pada kenyataannya di dalam pacaran itu ya terjadi kekerasan gitu to. Itu kira-kira kenapa?

19. Kira-kira kenapa sih kok pelaku itu melakukan kekerasan? 20. Kok bisa sih korban itu dikenai kekerasan ? Kira-kira kenapa?

21. Nah, kalau untuk faktor lainnya (di luar sisi pelaku atau korban ) ada nggak kira-kira yang berpengaruh sehingga kekerasan itu bisa terjadi?

22. Nah, kalau menurut temen-temen sendiri nih baik nggak kalau dalam pacaran itu ada kekerasan?

23. Jadi mereka baru mulai pacaran gimana caranya biar tidak mengalami kekerasan? 24. Nah, tapi nek misalnya nih mereka sudah terlanjur terjadi kekerasan dalam pacaran,

sudah terlanjur pasangannya melakukan kekerasan terhadap pasangan yang lainnya. Itu kira-kira apa nih yang bisa kita lakukan?

25. Bagaimana supaya remaja tidak mengalami kekerasan dalam pacaran secara umum? Kira-kira ide-ide apa yang ada?

Pertanyaan Penutup

26. Apakah ada hal lain yang ingin disampaikan berkaitan dengan kekerasan dalam pacaran?


(66)

2. Alat perekam

Peneliti menggunakan alat perekam (tape recorder), kaset, dan baterai untuk membantu mendokumentasikan data. Alat-alat ini selalu digunakan dalam proses diskusi.

E.

Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Menghubungi calon partisipan.

b. Menanyakan kesediaan partisipan untuk menjadi partisipan dalam penelitian.

c. Membuat janji untuk berdiskusi.

d. Meminta partisipan mengisi form kesediaan sebagai bukti kesediaannya berpartisipasi dalam diskusi yang akan dilangsungkan pada tanggal dan waktu yang telah disepakati bersama.

2. Tahap Pengambilan Data

a. Prosedur Pengambilan Data 1) Gameuntuk ice breaking

Sebelum diskusi dimulai, peneliti mengajak partisipan bermain dalam permainan yang bersifat menghibur. Tidak hanya partisipan, peneliti dan/atau asisten moderator juga turut dalam permainan tersebut. Tujuan peneliti memberikan permainan sebelum diskusi adalah agar tercipta suasana yang lebih cair dan akrab, baik antar partisipan


(67)

maupun antara partisipan dengan peneliti dan asisten moderator. Alokasi waktu untuk permainan kurang lebih 15 menit.

2) Istirahat

Setelah permainan, peneliti mempersilakan partisipan untuk beristirahat. Peneliti juga mempersilakan partisipan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Pada kesempatan itu, peneliti dan asisten moderator lebih mengakrabkan diri dengan partisipan melalui obrolan singkat seputar pengalaman partisipan dalam permainan yang dilakukan sebelumnya. Alokasi waktu untuk istirahat kurang lebih 15 menit.

3) FGD Pembuka

Setelah istirahat, peneliti langsung mengajak partisipan untuk berdiskusi namun tidak dengan tema kekerasan dalam pacaran, melainkan dengan tema masa depan. Hal ini dilakukan agar partisipan terbiasa dengan proses diskusi. Diskusi “Masa Depan” ini memiliki standar aturan yang sama dengan diskusi “Kekerasan Dalam Pacaran” sehingga partisipan dapat mempelajari bagaimana sebuah proses diskusi itu berlangsung. Di akhir diskusi “Masa Depan” ini, peneliti meminta partisipan untuk mengevaluasi performansi peneliti sebagai moderator. Sebaliknya, peneliti juga mengevaluasi performansi peserta. Evaluasi yang diberikan peneliti kurang lebih berkaitan dengan volume suara dan ajakan agar partisipan lebih terbuka dalam


(1)

Saya png bertanda tangan di bawatr ini:

Inisial

, .nL

usia

: .!?..ta.h9.r,

Bersedia menjadi partisipan dalam diskusi yang akan dilaksanakan oleh Sdri. Elisabeth Haksi Mayawati pada Minggq 3 Febnrari 2008. Adapun diskusi tersebut diselenggarakan dalam rangka pengambilan data untuk keperluan pe,nelitian Sdri. Elisabeth Haksi Mayawati.

Mengetahui,


(2)

Inisiar

'

....A..{Y(.f

usia

, ...tl.JI

Bersedia menjadi partisipan dalam diskusi yang akan dilaksanakan oleh Sdri. Elisabeth Haksi Mayawati pada Minggq 3 Februari 2008. Adapun diskusi tersebut diselenggarakan dalam rangka pengambilan data rmtuk penelitian Sdri. Elisabeth Halci Mayawati.


(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

rnisial

, .h9.t....

Usia

, .|.1...

Aramat, ful$h...lylJ,.

l...lhlt

/C....Y-og.g*ls?'Ra

Bersedia meqiadi partisipan dalam dislusi yang akan dilaksanakan oleh Sdri. Elisabeth Haksi Mayawati pada Minggq 3 Februari 2008. Adapun dislusi tersebut diselenggarakan dalam rangka pengambilan data untuk keperluan penelitian Sdri. Elisabeth Haksi Mayawati.


(4)

rnisial

, Lhi.B..

Usia

, .!3...

Bersedia menjadi partisipan dalam diskusi frang akan dilaksanakan oleh Sdri. Elisabeth Halsi Mayawati pada Minggrr, 3 Februari 2008. Adapun diskusi tersebut diselenggarakan dalam rangka pengambilan data untuk keperluan penelitian Sdri. Elisabeth Halsi Mayawati.


(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Inisial

Usia

AIamat

r t , t t O

.r../..y..,J..1.. 13 t"rhvn

1.t suc\$cL^rllo\Yqtn

Bersdia meqiadi partisipan dalam diskusi png akan dilaksanakan oleh Sdri. Elisabeth Haksi Mapwati pada Minggu, 3 Febnrari 2008. Adapun diskusi tersebut diselenggarakan dalam rangka pengambilan data unhrk penelitian Sdri. Elisabeth Hal$i Mayawati.


(6)

Inisial

Usia

Alamat

' ['..N,

Bersedia menjadi partisipan dalam dislusi yang akan dilaksanakan oleh Sdri. Elisabeth Hal$i Mayawati pada Minggu, 3 Februari 2008. Adapun diskusi tersebut diselenggarakan dalam rangka pengambilan data untuk keperluan penelitian Sdri. Elisabeth Hal$i Mayawati.