66
Dari hasil di atas terlihat persamaan antara remaja putra dan putri dalam menyebut penyebab KDP, yaitu bahwa KDP terjadi karena ketidakmampuan diri
kurangnya ketrampilan intrapersonal dan interpersonal serta sarana untuk menguasai pasangan. Sejalan dengan hal tersebut, remaja putra dan putri juga
berpendapat bahwa seseorang dapat menjadi korban KDP karena ia melakukan kesalahan, seperti salah bicara, selingkuh, atau melakukan perilaku salah lainnya
danatau karena orang tersebut korban KDP kurang mampu dalam mempertahankan diri
. Jadi, dari kedua opini tersebut opini tentang penyebab seseorang melakukan KDP dan penyebab korban terkena KDP terlihat
kecocokannya antara satu sama lain.
“Jadi cowoknya itu main sama cewek lain terus nggak mau ngaku gitu lho terus ya udah habis itu ya ceweknya sebel kan ya trus cowoknya
ditampar.” Partisipan A, VI.181-183 “Karena dia pelakunya . . . karena dia melakukannya . . . perselingkuhan
atau apa.” Partisipan C, IV.1159-1163
Selain persamaan opini antara remaja putra dan putri, hasil penelitian ini juga menunjukkan perbedaan opini remaja putra dan putri dalam mengidentifikasi
faktor penyebab KDP. Secara lebih rinci, yang membedakan penyebab KDP menurut remaja putra dan putri adalah disebutkannya faktor kekerasan sebagai
hasil dari belajar sosial serta kekerasan sebagai wujud abnormalitas. Kedua hal tersebut hanya disebutkan oleh remaja putri. Walaupun demikian, perlu
diperhatikan bahwa tema kekerasan sebagai wujud abnormalitas hanya disebutkan
Lampiran halaman 111 dan 113
67
oleh dua orang remaja putri sehingga terdapat kemungkinan bahwa tema ini kurang mewakili remaja putri secara keseluruhan.
B. Hasil Tambahan dan Pembahasannya
1. Sikap Remaja terhadap Kekerasan Dalam Pacaran
a Remaja putra
Dalam menilai perilaku kekerasan, secara umum remaja putra lebih menerima perilaku kekerasan dibandingkan dengan remaja putri. Hal ini
dinyatakan dari sikap mereka yang walaupun menyetujui bahwa kekerasan merupakan perilaku yang tidak baik dan sebaiknya tidak dilakukan, namun
sebagian dari mereka juga menyebutkan secara spontan beberapa indikator yang mengarah pada penerimaan mereka terhadap perilaku kekerasan. Indikator
tersebut berupa pendapat-pendapat mereka yang mengungkapkan bahwa bahwa kekerasan merupakan perilaku yang wajar terjadi dalam pacaran, merupakan
resiko dari pacaran, serta merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah sebagai bentuk hukuman ketika pasangan melakukan kesalahan, sebagai alat kontrol agar
pasangan mau berubah, atau sebagai alat untuk membela yang lemah. Selain itu, beberapa dari mereka juga cenderung lebih menerima kekerasan dalam konteks
verbal dibandingkan fisik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
“Oke, aku mau pesen buat yang pacaran ya terutama. Kalau yang kekerasan itu gunakanlah dengan pikiran, maksudnya ya ada waktunya
gitu lho. Terus nggak terus salah dikit, kekerasan, salah dikit, kekerasan. Waktunya itu dipakai. Kekerasan sebenernya boleh tapi dalam konteks itu
keras tapi tidak keras maksudnya itu.”
Partisipan C,
V.1417-1422 “Jika pasangan kita bersalah haruslah dimaafkan tapi kalau sudah
keterlaluan ya kekerasan itu perlu.” Partisipan D, IV.1384-1385
b Remaja Putri
Untuk remaja putri, sikap menolak kekerasan secara umum lebih mereka tunjukkan. Mereka berpendapat bahwa kekerasan merupakan perilaku yang tidak
baik dilakukan dalam proses pacaran.
“Suatu kekerasan itu harus dijauhkan dari pacaran yang sehat.” Partisipan
D, I.187-188
“Kalau memang niat pacaran ya kalau bisa ya saling jaga jangan sampai ada kekerasan.”
Partisipan F, VI.1056-1057
Walaupun demikian, ketika peneliti memberikan pertanyaan tambahan inquiry kepada beberapa orang remaja putri, terlihat bahwa mereka juga
menyetujui bahwa kekerasan ada saatnya dilakukan, terutama untuk menyelesaikan masalah.
“Ya kalau dilakukan dengan kebaikan ya kenapa nggak? . . . Ya nampar itu tadi. Ya biar ya nampar cowoknya yang main sama cewek lain gitu
lho biar cowoknya itu kapok gitu lho pernah ketahuan kayak gitu jadi mungkin nggak akan ngulangi lagi. Tapi kalau nggak punya hati ya
mungkin tamparannya cuma lewat aja.” Partisipan A, VI.828; 831-835
69
Tabel 4.3 : Sikap Remaja Terhadap Kekerasan
Sikap Remaja Terhadap Kekerasan Remaja Putra
Menyebutkan bahwa kekerasan merupakan perilaku yang tidak baik dan
sebaiknya tidak dilakukan, namun juga menerima kekerasan sebagai:
Suatu bentuk penyelesaian masalah Sebagai resiko pacaran
Sebagai perilaku yang wajar terjadi dalam pacaran
Menerima kekerasan dalam konteks verbal, seperti adu mulut dan bukan
dalam konteks tindakan. Remaja Putri
Menyebutkan bahwa kekerasan merupakan perilaku yang tidak baik
dan sebaiknya tidak dilakukan serta sebaiknya dijauhkan dari pacaran,
namun juga menyetujui kekerasan sebagai bentuk penyelesaian masalah.
Persamaan dan Perbedaan Remaja Putra dan Putri Persamaan
Remaja putra dan putri sama-sama menyebutkan bahwa kekerasan merupakan perilaku yang tidak baik dan sebaiknya tidak dilakukan.
Sama-sama menerima kekerasan sebagai suatu bentuk penyelesaian masalah, hanya yang perlu diperhatikan adalah untuk remaja putra, hal tersebut keluar
dengan sendirinya namun menurut remaja putri, hal tersebut keluar setelah peneliti memberikan pertanyaan tambahan dan itu juga hanya pada 1 kelompok
sehingga hasilnya mungkin kurang representatif untuk remaja putri.
Perbedaan Remaja putra menerima kekerasan sebagai resiko pacaran
Remaja putra menerima kekerasan sebagai perilaku yang wajar terjadi dalam pacaran
Remaja putra menerima kekerasan dalam konteks verbal, seperti adu mulut dan bukan dalam konteks tindakan.
Secara umum, remaja putra lebih menerima perilaku kekerasan dibandingkan remaja putri.
Dari hasil tersebut terlihat bahwa remaja putra dan putri sama-sama beranggapan bahwa kekerasan merupakan perilaku yang tidak baik dan sebaiknya
tidak dilakukan. Namun, remaja putra dan putri juga sama-sama menerima kekerasan sebagai suatu bentuk penyelesaian masalah walaupun kemungkinan hal
ini kurang representatif untuk remaja putri. Walaupun demikian, secara umum PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
remaja putra tampak lebih mampu menerima perilaku kekerasan dibandingkan dengan remaja putri.
Dualisme yang terjadi pada remaja putra dan putri, di satu sisi menyebutkan bahwa kekerasan merupakan perilaku yang tidak baik namun di sisi lain
menerimanya sebagai suatu bentuk penyelesaian masalah, mengafirmasi hasil penelitian yang dilakukan oleh Fredland et.al 2005 yang mengungkapkan bahwa
walaupun secara umum remaja tidak menyetujui adanya tindak kekerasan dalam hubungan pacaran, namun di sisi lain mereka juga berpendapat bahwa kekerasan
bisa dilakukan ketika suatu hal sudah tidak dapat dibicarakan lagi. Dengan kata lain, alasan munculnya kekerasan merupakan titik kunci penerimaan remaja
terhadap perilaku kekerasan Geary, et.al. 2006. Situasi ini bisa saja terjadi karena peran media dan proses sosialisasi dalam kehidupan remaja. Secara
kognitif remaja memahami bahwa kekerasan sebaiknya tidak dilakukan namun mereka dibingungkan dengan contoh perilaku yang biasa mereka lihat sehari-hari.
2. Akibat Kekerasan Dalam Pacaran a
Remaja Putra
Dari hasil diskusi, kedua kelompok remaja mengidentifikasi akibat-akibat KDP yang dapat dikategorikan menjadi akibat jangka pendek dan akibat jangka
panjang. Bagi remaja putra, akibat jangka pendek KDP misalnya seperti melukai fisik, mati, menimbulkan sakit hati, merusak nama baik, menimbulkan
71
perpecahan, dan merusak silahturahmi. Untuk akibat jangka panjangnya, remaja putra menyebut stres dan gangguan jiwa sebagai akibat jangka panjang KDP.
“Kekerasan yang membuat orang sakit hati.” Partisipan A, II.575 “Kekerasan yang menyebabkan orang itu . . . mengalami gangguan jiwa.”
Partisipan E, IV.856-859
b Remaja putri
Bagi remaja putri, melukai fisik, nyawa melayang, menimbulkan sakit hati, kekecewaan, dan menimbulkan ketidakharmonisan setelah putus merupakan
akibat jangka pendek dari KDP. Selain akibat jangka pendek, remaja putri juga menyebut stres, trauma, serta berperilaku dan berpenampilan menjadi seperti laki-
laki sebagai akibat jangka panjang KDP.
“Suatu tindakan yang menyebabkan anggota tubuh terluka.” Partisipan B, I.580
“Dulu waktu kelas IV SD dia pacaran. Terus disakiti secara fisik, terus sejak kelas IV sampai sekarang dia jadi kayak cowok persis: potongannya
cowok, suka ngrokok, miras, pokoknya gitu-gitu lah.” Partisipan B, III.525-529