19
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca
Burhan, 2007: 165-167. Sementara itu, menurut Jones dalam Burhan, 2007:165 penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Dengan demikian,
istilah “penokohan” memiliki pengertian yang lebih luas daripada
istilah “tokoh” dan “perwatakan” karena ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana
penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan juga menyaran
pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita Burhan, 2007:166.
Tokoh-tokoh dalam sebuah novel memiliki peran yang berbeda-beda dalam membentuk keseluruhan cerita. Dilihat dari segi peranan atau tingkat
pentingnya, tokoh dibedakan menjadi dua, yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritanya dalam
novel yang bersangkutan, tokoh yang dianggap penting sehingga ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian isi cerita. Tokoh utama dalam
sebuah novel mungkin saja lebih dari satu orang walau kadar keutamaannya tidak selalu sama. Keberadaan tokoh-tokoh utama dalam sebuah novel inilah
yang menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam
cerita dan dalam porsi penceritaan yang lebih pendek Burhan, 2007: 176-177.
20
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tokoh sederhana Simple atau Flat Character dan tokoh kompleks atau
bulat complex atau round character. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja.
Tokoh sederhana tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca, cenderung bersifat datar, monoton, hanya
mencerminkan satu watak tertentu. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadian, jati dirinya. Pengkategorian seorang tokoh kedalam sederhana atau bulat harus didahului dengan analisis perwatakan Burhan, 2007: 181-183.
2. Kajian Semiotik
Teori Saussure memandang semiotik dalam bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda, bahasa mewakili sesuatu yang lain yang
disebut makna. Bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan menyaran pada dua sistem makna, yaitu first-order semiotic system dan second-
order semiotic system . Secara definitif, semiotik adalah ilmu atau metode
analitis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-
lain. Dewasa ini teori semiotik dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu
semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan diri pada teori produksi tanda dan mensyaratkan adanya pengirim
informasi, sumber, tanda-tanda, saluran, proses pembacaan, dan kode.
21
Sedangkan semiotik signifikasi menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda serta bagaimana proses kognisi atau interpretasinya.
Dengan kata lain dapat diartikan sebagai bentuk pemberian makna suatu tanda Burhan, 2007: 39-41.
3. Kajian Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Secara lebih khusus
dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sebelumnya pada karya yang lebih muncul
kemudian dengan tujuan untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap suatu karya tersebut. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh
baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan. Karya sastra yang ditulis lebih kemudian biasanya mendasarkan
diri pada karya sastra yang sebelumnya telah ada dan hal itu menunjukkan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatar belakanginya
Burhan, 2007: 50-51. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian
disebut sebagai hipogram hypogram. Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan
pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya. Adanya karya -karya yang ditransformasikan dalam penulisan
karya sesudahnya ini yang menjadi perhatian utama kajian intertekstual. Meski mengambil unsur tertentu dari teks-teks yang dianggap sebagai hipogramnya,
22
namun suatu karya baru itu tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian pengarangnya karena pengarang mengolah dengan pandangan dan
daya kreativitas dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya sendiri. Sebuah teks yang dihasilkan dengan cara kerja demikian dapat dipandang sebagai karya
yang baru Burhan, 2007: 51-53. Prinsip utama kajian intertekstual adalah prinsip memahami dan
memberikan makna yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Hubungan
intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Penunjukan terhadap adanya
unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca. Dengan prinsip utama itu,
pembacalah yang berperan memecahkan masalah intertekstual dengan memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya
yang lain yang menjadi hipogramnya Burhan, 2007: 54.
C. Teologi
Teologi dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan adikodrati yang objektif lagi kritis dan yang disusun secara metodis, sistematis dan
koheren; pengetahuan ini menyangkut hal-hal yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan dengan wahyu itu. Pengetahuan iman bersifat adikodrati
karena didasarkan pada wahyu Allah yang mengatasi daya kemampuan insani. Sifat adikodrati ini berlaku juga bagi teologi yang berbentuk ilmiah. Kebenaran
yang dicari oleh teologi, yang direnungkan dan diuraikan olehnya bukanlah