Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
3
terus digemakan untuk merangsang amarah kerbau agar kerbau itu mengamuk. Para lelaki yang merasa dirinya cukup berani memiliki kesempatan untuk
melukai kerbau. Meski begitu, para lelaki ini dilarang keras untuk membunuh kerbau. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh luka ditubuh kerbau itu membuat
kerbau semakin mengamuk dan mengejar orang-orang yang berkeliling ditengah halaman kampung. Lambat laun kerbau akan rebah karena kehabisan darah dan
rasa sakit yang dideritanya. Kerbau yang telah roboh tetap dibiarakan seperti itu sampai seluruh kerbau yang dikorbankan selesai dipotong Banawiratma, 1986:
48. Inti dari upacara ini adalah pembersihan kampung dan seluruh isi nya
dengan binatang korban. Dengan korban ini diharapkan warga kampung akan mendapatkan panen yang baik, hewan peliharaan terhindar dari wabah,
kesejahteraan warga kampung dan tentunya keselamatan Banawiratma, 1986: 48.
Selain korban hewan, sepertinya terjadi pula korban manusia. Dalam bukunya, Banawiratma 1986: 50 mengutip tulisan Rachmat Subagya tentang
korban manusia pada zaman kuno. Dalam perang Brotoyudo, akan dipilih seorang korban untuk disembelih sebelum perang agar memperoleh kemenangan.
Dalam Babad Tanah Jawi ±1750 diberitakan tentang korban manusia untuk Roh Bumi yang bahurekso atau disebut dengan wadal. Ada pula nama-nama lain
selain wadal yang digunakan untuk merajuk kea rah korban manusia, yakni tawur, bebanten, tumbal
dan landhesan. Di Sulawesi Tengah, anak-anak bangsa To Seko, tandasong ada pula korban manusia di sana. Sebelum ia dibunuh, ia
4
diantar untuk keliling di seluruh daerah dengan alasan agar daya hidupnya menguntungkan seluruh daerah itu. Pada puncak perayaan akhirnya ia dibunuh
untuk memancarkan daya hidupnya. Banjir lahar menimpa desa-desa di sekitar lereng merapi pada tahun
1929. Dan untuk menentramkan kemarahan Kyai Semar, keempat lurah dari desa-desa yang dilanda banjir itu melemparkan diri mereka ke dalam kawah
merapi. Tahun 1972, pipa minyak bawah tanah dipasang dari Cilacap sampai Yogyakarta. Dan untuk hasil yang baik dari pembangunan itu, orang-orang
memiliki keyakinan bahwa di Kedu Selatan seorang anak telah diculik untuk dijadikan korban persembahan tumbal Banawiratma, 1986: 51-52.
Korban, ternyata tak hanya terjadi dalam dunia nyata saja. Dalam novel “The Devil and Miss Prym” karya Paulo Coelho yang penulis baca, juga memuat
kisah tentang korban. Dikisahkan bahwa seorang musafir yang mengaku bernama Carlos datang ke sebuah desa yang damai dan terpencil bernama
Viscos. Kedatangan Carlos ke Viscos tak hanya sekedar untuk berlibur. Ia memiliki misinya sendiri, yakni untuk menemukan jawaban atas pergulatan
hidupnya tentang sisi hidup atau jati diri manusia , yaitu “baik” atau “jahat”.
Dengan membawa 11 batang emas, ia mempertaruhkan segalanya untuk menemukan jawaban atas pergulatannya itu. Ia menanam 1 batang emas di satu
tempat, dan 10 batang emas di tempat lainnya. Carlos memanfaatkan seorang gadis termuda di desa itu, Chantal Prym untuk melaksanakan misinya dengan
imbalan 1 batang emas yang ia tanam. Carlos meminta Chantal untuk memberitahukan kepada penduduk desa yang berjumlah 281 orang itu, bahwa
5
ada 10 batang emas di gunung. Semua emas itu akan menjadi milik penduduk jika dalam waktu 1 minggu ada serang penduduk yang meninggal sebagai
korban. Dengan emas 10 batang yang masing-masing beratnya sekitar dua kilogram, tentu dapat menjamin kesejahteraan penduduk Viscos. Selain itu juga
dapat menjadikan desa yang telah dianggap tidak memiliki masa depan itu berkesempatan mengembangkan dirinya dari berbagai aspek. Baik dari segi
kehidupan, pertaniannya maupun pariwisata. Pertanyaan besar bagi penduduk adalah siapakah yang hendak
dikorbankan ? Apakah Chantal Prym, gadis yang telah membawakan kabar mengenai keberadaan emas itu? Ataukah Berta, orang paling tua di Vicos yang
dianggap penduduk sebagai seorang penyihir? Ataukah Pastor, yang memiliki keyakinan bahwa mengorbankan satu orang dapat menyelamatkan banyak
orang? Ataukah emas itu dibiarkan tetap pada tempatnya hingga batas waktu yang ditentukan tanpa seorangpun yang dikorbankan, dan itu artinya emas itu
tetap menjadi milik pria asing? Selama berhari-hari penduduk mengadakan pertemuan untuk menemukan hal terbaik yang dapat mereka pilih dan lakukan
demi kepentingan bersama Coelho, 2005: 15-179. Dalam sejarah keselamatan Kristiani, umat tentu menyakini akan
Pengorbanan Yesus. Ia yang rela wafat di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Yesus menjadi kurban kebencian dan permusuhan para pemimpin
agama Yahudi. Atas nama hukum Allah, Yesus disingkirkan. Yesus dianggap berbahaya bagi kedudukan dan kuasa para pemimpin agama Yahudi karena
pewartaan yang dilakukan-Nya KWI, 2012: 274.
6
Dari berbagai contoh di atas, baik tentang upacara korban, maupun “korban” yang diceritakan dalam novel “The Devil and Miss Prym”, dapat
dilihat bahwa pada dasarnya pengorbanan itu dilakukan untuk mendapatkan keselamatan universal. Namun ada beberapa fakta lain yang tidak dapat
terpisahkan dari beberapa contoh di atas, yakni tentang kekerasan. Pengorbanan tidak lepas dari kekerasan entah fisik maupun mental juga dalam beberapa hal
dapat dilihat pula unsur ketidakadilan. Pada kenyataannya, hidup bersama dalam masyarakat memang memiliki
hubungan dengan mitos dan upacara korban. Kekerasan yang terkandung dalam upacara korban sengaja ditutupi bahkan dilaksanakan secara kolektif untuk
memenuhi kepuasan masyarakat akan kehidupan yang damai dan selamat. Tidak jarang pula pada akhirnya muncul tokoh yang disebut sebagai “kambing hitam”
dalam upacara korban. Baik apa yang dilakukan pastor dalam kisah “The Devil and Miss Prym”,
maupun kisah pengorbanan Yesus, satu hal yang terlihat di sana adalah adanya mekanisme kambing hitam. Mekanisme kambing hitam ini tak hanya menandai
religi-religi dan kebudayaan-kebudayaan sederhana, namun tetap terjadi sampai saat ini. Sayangnya mekanisme ini dapat disembunyikan. Dalam kehidupan
bermasyarakat modern, praktek mekanisme kambing hitam yang akhirnya menuju kepada upacara korban memang tampak masih ada. Misalnya dalam
kekuasaan yang sewenang-wenang Banawiratma, 1986: 52-53 Menjadi suatu tantangan tersendiri bagi penulis bahwa menemukan
makna pengorbanan Yesus dalam suatu novel adalah suatu hal yang mungkin
7
terjadi. Bagi penulis, novel memiliki jiwanya tersendiri. Di balik kemelut para tokoh yang memainkan perannya masing-masing, pengarang memberikan suatu
gambaran yang luar biasa mengenai jiwa yang dimiliki novel itu. Novel karya Paolo Coelho yang berjudul “The Devil and Miss Prym” memberikan daya tarik
tersendiri bagi penulis. Alur cerita yang jelas dan pergulatan batin dari setiap tokoh di dalamnya memberikan inspirasi nyata bagi penulis untuk menemukan
makna pengorbanan. Untuk menanggapi hal ini, penulis akan menggali makna pengorbanan dari novel karya Paolo Coelho yang berjudul “The Devil and Miss
Prym ” menggunakan sudut pandang teologi. Penulis juga menjabarkan contoh
program katekese yang relevan bagi umat katolik melalui katekese model Shared Christian Praxis SCP.
Untuk itu penulis memilih judul untuk skripsi ini:
BELAJAR DARI NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM”: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS DAN APLIKASINYA MELALUI
KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS SCP.