59
kemampuan untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada kita. Pemahaman merupakan sebentuk partisipasi karena untuk bisa memahami seseorang harus siap
untuk mempercayai. Keyakinan bahwa simbol memiliki kekuatan pengungkap untuk menyampaikan dan memulihkan makna yang hilang atau tersembunyi
menghidupi hermeneutika, sehingga dalam pengertian ini, interpretasi adalah sebuah ingatan akan makna a recollection of meaning Kaplan, 2010: 30-31.
b. Appropriasi
Appropriasi menjadi tujuan utama dari semua hermeneutika. Ricoeur
melihat pendekatan struktural sebagai suatu kutub objektif dalam proses interpretasi yang mempersiapkan kutub subjektif yang dinamakan appropiasi.
Pendekatan struktural dan pemahaman hermeneutik dilihat oleh Ricoeur secara dialektik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Teks memiliki struktur imanen
yang membutuhkan cara pendekatan struktural dan teks juga memiliki referensi luar yang mengatasi bidang filsafat bahasa. Struktur imanen dari teks ini membuat
teks menjadi otonom oleh karena adanya proses distansi. Konsekuensi proses distansi
inilah yang menjadi lahan bagi proses appropriasi, sehingga appropriasi berarti membuat apa yang asing menjadi milik sendiri lewat pembacaan kembali
teks yang membuka cakrawala dunia teks baru yang harus dimengerti dalam arti esensial, yakni sebagai suatu cara baru untuk memahami realitas Triatmoko,
1993:73-74.
60
2. Teori Hasrat Segitiga dan Teori Kambing Hitam
a. Teori Hasrat Segitiga
Hasrat segitiga merupakan teori fase pertama yang ditemukan oleh Rene Girard berdasarkan hasil analisis novel karya Gustave Flaubert 1821-1880,
Stendhal 1783-1842, Marcel Proust 1871-1922, dan Fyodor Dostojevsky 1821-1881 Sindhunata, 2007: 22. Girard menolak adanya garis linear yang
menghubungkan secara langsung antara objek dengan subjek, melainkan karena ada mediator hasrat mediator of desire yang memilihkan dan menentukan objek-
objek dari hasrat subjek. Jadi, subjek dan objek tidak berada dalam satu garis linear langsung, melainkan dalam hubungan segitiga di mana mediator sebagai
titik tengahnya Sindhunata, 2007: 19-21, model inilah yang disebut hasrat segitiga triangular desire.
Girard berpendapat bahwa semua pengetahuan manusia itu adalah sistematik. Realitas manusia meskipun terlihat tidak menentu, irasional, dan tidak
sistematis, namun memiliki kekuatan untuk membentuk dirinya sebagai realitas tertentu. Realitas manusia itu mempunyai logika untuk membentuk dirinya
sebagai realitas. Dalam artian inilah realitas manusia merupakan suatu sistem, yaitu pandangan dasar tertentu dalam perilaku manusia, yang menghasilkan pola
hubungan antar manusia yang menentu pula. Pola hubungan ini berakibat pada setiap aspek kehidupan, termasuk dalam karya sastra. Teori hasrat segitiga
merupakan pengetahuan sistematis yang eksplisit atas sistematika karya sastra. Dengan teori hasrat segitiga dapat terlihat dengan jelas bagaimana pola hubungan
61
manusia dalam masyarakat. Hasrat segitiga adalah sistem dari masyarakat itu sendiri Sindhunata, 2007: 21-22.
Girard menemukan bahwa hasrat segitiga itu selalu ada, tidak terelakkan, karena mediator selalu hadir dalam setiap objek yang diinginkan subjek. Hasrat
segitiga bukanlah pola mati. Hasrat segitiga ini tidak dapat ditentukan dan dilihat jelas pada suatu tempat, dan ia tampak tidak memiliki realitas. Ia adalah sistem
yang dikejar, dihayati, dan dihidupi oleh subjek. Dalam artian ini, subjek tidak lagi menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi peniru mediator. Dari sini
terbukalah kenyataan dalam masyarakat yang kehidupannya berjalan berdasarkan sistem tiru-meniru Sindhunata, 2007: 22-23.
Girard menemukan adanya dua jenis mediasi berdasarkan hasil penelitiannya, yaitu mediasi ekstern dan mediasi intern. Mediasi ekstern keadaan
di mana adanya jarak spiritual yang sangat jauh antara subjek dan mediator yang membuat subjek merasa rendah diri padahal hatinya terbakar untuk meniru
mediator. Jarak spiritual yang dimaksud di sini adalah perbedaan derajat atau pangkat. Sedangkan mediasi intern adalah keadaan di mana subjek dan mediator
berada pada lingkungan yang satu dan sama dan hampir tidak memiliki perbedaan derajat. Subjek atau si peniru dapat mendekati objek yang dibela atau diinginkan
mediator, bahkan bisa merebutnya Sindhunata, 2007: 25. Mediasi intern ini pada akhirnya memunculkan rivalitas antara subjek dan
mediator. Hal ini terjadi karena baik subjek maupun mediator sama-sama mengingkari peniruannya, menjaga gengsi keaslian dirinya, dan menyembunyikan
imitasinya. Subjek tidak mau dikatakan meniru mediator meskipun dalam