Teologi Dalam Sastra Teologi
28
yakni kurban permohonan, kurban syukuran, kurban pujian dan kurban silihan. Sementara menurut bentuknya, kurban dibedakan menjadi tiga jenis, yakni
kurban darah, kurban bakaran dan kurban pemberian Heuken, 2005: 95 Perbedaan antara kurban binatang dan kurban manusia merupakan
masalah yang cukup problematik bagi para ahli. Yoseph de maistre mengatakan bahwa prinsip substitusi kurban tidak dapat dikenakan pada
kurban manusia: Orang tidak dapat membunuh orang untuk menyelamatkan orang.
Hubert dan Mauss tampaknya enggan membicarakan masalah kurban manusia ini dalam teorinya, meski dalam penyelidikannya mereka tak
mengecualikan kurban manusia. Dan banyak ahli lain yang terlalu moralis mendekati kurban manusia ini, sehingga terbenam dalam
aspeknya yang sadis dan biadab. Menurut Girard, dalam suatu ritus kurban perbedaan kurban binatang
dan manusia itu tidak relevan. Pelaksanaan ritus kurban tidak bertolak dari suatu pandangan nilai, tapi bertolak dari kenyataan adanya
kekerasan yang menjangkiti masyarakat Sindhunata, 2006: 108-109.
Sindhunata, pada kutipan di atas memaparkan pandangan para ahli tentang pendapat-pendapat mereka sehubungan dengan arti kurban. Pembedaan
antara kurban hewan dan kurban manusia menjadi hal pokok di dalamnya. Manusia tak dapat dikurbankan dengan alasan apapun. Baik kurban manusia
maupun kurban hewan tak dapat lepas dari unsur kekerasan, oleh karena alasan itu beberapa ahli tak dapat membenarkan kurban manusia.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kurban merupakan penyerahan sesuatu hanya kepada Yahwe yang berdaulat atas segala-galanya. Manusia
mempersembahkan kurban kepada-Nya untuk memperoleh pengampunan dan penghapusan atas dosa mereka sehingga manusia menjadi bersih dan selamat.
Terdapat berbagai macam kurban dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Kurban bakar, kurban tumpahan dan kurban santapan. Menurut pandangan orang dahulu,
29
darah binatang adalah kurban yang mengandung kehidupan dan oleh karena itu, kurban darah menjadi kurban yang paling bernilai serta menjadi milik Tuhan.
Bagi umat Israel, darah tidak boleh dimakan. Darah harus ditumpahkan di kaki altar untuk melambangkan keilahian. Sementara daging kurban itu dibakar di
atas altar entah sebagian atau seluruhnya dan sisanya diberikan kepada pembawa kurban untuk disantap sebagai santapan kurban. Santapan ini melambangkan
persekutuan Yahwe dengan bangsa-Nya dan karenanya mempersatukan umat. Berdasarkan Kitab Keluaran 12: 21-27, Musa memanggil tua-tua Israel
dan menyuruh mereka untuk menyembelih anak domba paskah. Domba paskah merupakan satu-satunya kurban santapan yang termasyur pada waktu itu.
Kurban disembelih di Bait Allah dan dimakan oleh keluarga di rumah dengan mengingat pembebasan dari perbudakan di Mesir berkat kekuatan Allah pada
waktu paskah pertama. Namun pengertian kurban semacam ini ditentang oleh Nabi Amos dan Nabi Yesaya. Kedua Nabi ini mengkritik cara dan sikap orang-
orang yang mempersembahkan kurban, karena menurut mereka kurban yang sesungguhnya adalah syukur. Dalam Kitab Mazmur 50, 23 dikatakan bahwa
“Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai kurban, dia memuliakan Allah” Heuken, 2005: 96
Pengertian kurban dalam Perjanjian Baru sama sekali berbeda dengan pengertian kurban dalam Perjanjian Lama. Di sini kurban berarti pendekatan
Tuhan dengan manusia. Bukan manusia yang mendamaikan diri dengan Tuhan, tetapi Allah mendamaikan diri-Nya dengan manusia dalam Kristus.