68 •
PKMK FK UGM
a. Sinkronisasi sistem informasi
Sinkronisasi sistem informasi HIV dan AIDS memungkinkan tersedianya data yang berguna bagi daerah dalam mengembangkan perencanaan dan desain program
intervensi berbasis situasi epidemi dan kebutuhan daerah. Ketika bisa mengembangkan perencanaannya sendiri, daerah dapat memiliki posisi tawar yang lebih kuat saat
berhadapan dengan donor atau pihak-pihak yang akan mengembangkan kerjasama dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, kemampuan daerah untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan mengelola informasi HIV dan AIDS untuk pengem bangan upaya penangggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti menjadi
sangat penting. Sayangnya, ditemukan bahwa daerah memiliki berbagai sumber data yang dikelola secara terpisah-pisah, sehingga sulit untuk disinkronisasikan dan
dimanfaatkan.
Dilihat dari infrastrukturnya, ada beragam variasi sistem informasi yang dite- mukan. Pertama, ditemukan variasi dari metode pengumpulannya, di mana sebagian
besar daerah sudah menggunakan teknologi informasi yang bersifat komputerisasi, tetapi ada pula daerah yang masih menggunakan pencatatan secara manual seperti
ditemukan di Manokwari. Kedua, jenis sistem informasi yang bersifat online itu sendiri sangat bervariasi tergantung pihak pemangku kepentingan mana yang berkepentingan
atas data tersebut. Untuk data program, pemerintah pusat Kemenkes, KPAN, maupun MPI memiliki sistemnya masing-masing yang tidak sinkron antara satu sama
lain. Ada pula sistem informasi kesehatan yang juga saling tidak sinkron. Di daerah ditemukan ada Sistem Informasi Kesehatan Daerah SIKDA, Sistem Informasi
Puskesmas SIMPUS, serta berbagai sistem informasi lainnya. Pada dasarnya mereka dikembangkan untuk menjawab kebutuhan spesifik direktorat atau unit tertentu
dalam sektor kesehatan, sehingga tidak saling kompatibel.
Data program HIV dan AIDS yang dikumpulkan oleh beberapa MPI juga saling tidak sinkron. Contohnya, sistem informasi terkait program yang ditemukan di daerah
seperti Sistem Informasi HIV dan AIDS SIHA, Recording and Reporting RR, dan Inventory Order Management System IOMS. SIHA dikembangkan oleh Kemenkes
dengan dukungan Global Fund untuk mendapatkan informasi terkait data cakupan layanan pencegahan VCT, PITC, IMS dan distribusi kondom yang dilakukan di
tingkat layanan primer dan sekunder sesuai target. Penerapannya juga bisa berbeda: SIHA untuk VCTPITC di tingkat puskesmas sementara sistem informasi obat di
rumah sakit menggunakan IOMS.
Ada pula sistem informasi milik lembaga tertentu seperti Sistem Informasi Napza SINAPZA milik Biro Napza di Sulawesi Selatan, atau sistem informasi
yang dikembangkan oleh lembaga yang menjadi Principal Recipient PR Global
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 69
Fund seperti NU dengan SINU Sistem Informasi Nahdlatul Ulama dan PKBI yang mengem bangkan Sistem Informasi PKBI SI-PKBI.
“Di PKBI kita mengumpulkan informasi dan membuat laporan berdasarkan format Global Fund yang mendanai program kita. Jadi kita mengumpulkan
data seperti berapa jumlah kondom, jumlah jarum suntik, jumlah KIE yang terdistribusi. Juga misalnya jumlah pecandu baru di wilayah kerja kita.
Jadi bentuknya spesifik pada program yang kita lakukan. DKT, Program Manager PKBI Sulawesi Selatan, 2 Juni 2014, Laporan Tim Unhas
Berbagai sistem informasi yang tidak sinkron baik untuk sistem informasi kese- hatan daerah maupun sistem informasi program membawa beberapa akibat. Pertama,
pengumpulan data oleh para petugas kesehatan tidak efisien. Di Medan, misalnya, ditemukan bahwa data satu pasien harus diisi di tiga format sistem informasi yang
berbeda. Kedua, banyaknya jenis sistem informasi menuntut kemampuan yang berbeda-beda untuk penggunaannya. Tim Peneliti Unhas 2014 menunjukkan ada-
nya salah satu sistem informasi program yang tidak digunakan karena tidak ada pela- tihan untuk petugasnya. Ketiga, terdapat variasi sumber data dan informasi mengenai
keluaran program HIV dan AIDS dari berbagai segmen. Tidak sinkronnya berbagai sistem informasi ini menyulitkan proses analisis data, terlebih untuk digu nakan
sebagai bahan perencanaan dan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti.
Pada akhirnya, sebagaimana dinyatakan oleh Tim Peneliti Unud 2014, sis- tem informasi masih sebatas untuk pengumpulan data dan belum ada analisisnya.
Akibat nya, penggunaan data SIHA selama ini pun belum maksimal karena tidak ada pengolahan data dalam bentuk sheet yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan
pembuatan keputusan. b. Diseminasi dan Pemanfaatan
Dalam situasi tidak sinkronnya sistem informasi sebagaimana dipaparkan, data yang digunakan untuk membuat kebijakan dan perencanaan program di daerah
hanya berasal dari pusat seperti STBP yang dikembangkan oleh lembaga donor, Survei Cepat Perilaku dari KPAN, Sistem Demografi dan Kesehatan Indonesia SDKI yang
dikembangkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana BKKBN, Riset Kesehatan Dasar yang dikembangkan BPS, serta survei-survei lainnya yang
diselenggarakan oleh MPI.
Masalahnya, data-data survei tersebut bersifat agregat dan sulit untuk diinter- pretasikan di tingkat lokal. Selain itu, data survei yang dimiliki oleh pusat tersebut
cenderung sulit untuk diakses oleh pemangku kepentingan di tingkat lokal. Ada juga kesulitan dalam memanfaatkan hasil survei karena masing-masing lembaga
70 •
PKMK FK UGM
penyelenggaranya memiliki mekanisme dan standar sendiri. Ini berdampak pada adanya variasi hasil dan kualitas informasi yang sulit digunakan sebagai basis
penyusunan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS, terutama bagi daerah. Bentuk peman faatan data survei yang sudah terlihat di tingkat daerah baru sebatas
untuk pengem bangan kegiatan advokasi.
Jenis sumber informasi lain ialah penelitian yang dikembangkan oleh universitas dan LSM. Temuan-temuan mereka kemudian dimanfaatkan sebagai informasi untuk
pemangku kepentingan, bahan dialog dengan media, sosialisasi situasi epidemi dan strategi penanggulangannya, serta sebagai data untuk advokasi ke rumah sakit,
seperti di Merauke Tim Uncen, 2014.
Tidak terintegrasinya diseminasi dan pemanfaatan informasi dalam penang- gulangan HIV dan AIDS di daerah menyebabkan pengembangan intervensi program
tidak bisa optimal. Pengembangan program lebih banyak mengandalkan desain dari pusat yang belum tentu mencerminkan situasi epidemi daerah. Pengembangan untuk
diseminasi dan kampanye pendidikan masalah HIV dan AIDS juga terbatas.
5 Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dimaksudkan untuk melihat produk medis, teknologi yang dijamin kualitasnya, keamanan, efikasi, serta efektivitas
pembiayaan cost-effectiveness dan penggunaannya. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan meliputi: 1 Regulasi penyediaan, penyimpanan, dan distribusi
diagnostik; terapi yang mengatur ketersediaan reagen obat ARV, mesin CD4, dan viral load, sebagai bagian dari mekanisme yang dianggrakan dalam anggaran Dinkes
atau ditanggung oleh JKN; dan 2 Sumber daya yang mencakup sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan perlengkapan medik
untuk HIV dan AIDS masuk dalam mekanisme anggaran Dinkes atau ditanggung oleh JKN.
a. Regulasi penyediaan, penyimpanan, dan distribusi diagnostik, serta
terapi Terdapat beberapa jenis regulasi mengenai penyediaan, penyimpanan, serta
distribusi obat dan perlengkapan medik HIV dan AIDS yang bervariasi tingkat dan lingkup berlakunya. Kebanyakan daerah mengacu pada regulasi penyediaan obat di
tingkat pusat berupa Keputusan Menkes tentang pengobatan HIV dan AIDS. Selain itu, ada pula regulasi dalam bentuk Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen PP
dan PL tentang komposisi pembiayaan reagensia HIV, obat IO, dan IMS, serta alat medis habis pakai yang berlaku untuk semua wilayah. Ada juga beberapa wilayah