Mekanisme Pembayaran Layanan Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

62 • PKMK FK UGM ODHA. Contoh fungsi yang dilakukan oleh SDM HIV dan AIDS termasuk dukungan sebaya buddies, manajer kasus, dan konselor. Selama ini, fungsi-fungsi SDM HIV dan AIDS ini dilaksanakan oleh LSM dengan pendanaan dari MPI. Koordinasi peran dari LSM-LSM ini juga lebih dilakukan oleh KPA setempat daripada oleh Dinkes. Kondisi inilah yang mengakibatkan berkembangnya sistem pengelolaan SDM di luar sistem kesehatan. Di 11 lokasi penelitian, belum ada kebijakan yang mengatur tentang penge- lolaan SDM HIV dan AIDS. Kebijakan yang diacu oleh pemda di sebagian besar daerah penelitian ialah kebijakan dari pusat seperti Permenkes Nomor 212013 yang mengatur tentang bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dengan instansi atau lembaga lain dalam penanggulangan HIV dan AIDS seperti LSM, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kesehatan lain Pasal 49. Meskipun demikian, tetap terdapat pengelolaan SDM yang berjalan paralel dengan sistem kesehatan di mana sebagian besar mekanisme rekrutmen dan penggajian didukung oleh pembiayaan dari MPI. Pengecualian untuk Kota Surabaya yang pemerintahnya telah menganggarkan dalam APBD penggajian SDM HIV dan AIDS seperti konselor, manager kasus, dan penjangkau lapangan yang mengacu pada peraturan tersebut Tim Peneliti Unair, Surabaya, 2014. Ketidakmampuan daerah dalam mengelola dua sistem manajemen SDM ini disebabkan oleh adanya perbedaan nomenklatur antara SDM kesehatan dengan SDM HIV dan AIDS, sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Perbedaan nomenklatur ini mempertegas tidak adanya kebijakan yang mengatur kebutuhan SDM HIV dan AIDS seperti tenaga penjangkau, tenaga lapangan, manajer kasus, pendamping ODHA buddies, termasuk dalam hal pendanaan serta standar kompetensi teknisnya. Masalah lain terkait kebijakan dan sistem manajemen SDM ialah soal beban kerja petugas kesehatan yang berhubungan dengan jumlah petugas. Di sebagian daerah penelitian Surabaya, Jayapura, Makassar, Parepare, Medan, Deli Serdang, Merauke, dan Manokwari berkembang pandangan bahwa penyediaan layanan HIV dan AIDS oleh tenaga kesehatan merupakan pekerjaan tambahan, bukan sebagai bagian dari tugas pokok seperti penanganan penyakit menular lain. Tenaga kesehatan yang melakukan layanan HIV dan AIDS dianggap melakukan rangkap tugas double jobs. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 63 Tabel 5. Perbedaan Nomenklatur Tenaga Kesehatan Umum dengan Tenaga HIV dan AIDS nomenklatur tenaga kesehatan uu nomor 362014 nomenklatur kebutuhan tenaga HiV dan aiDs sran 2010–2014 a. Tenaga Medis meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. b. Tenaga psikologi klinis. c. Tenaga keperawatan. d. Tenaga kebidanan. e. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. f. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog, tenaga promosi kesehatan dan ilmu prilaku, pembibingan kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga. g. Tenaga kesehatan lingkungan meliputi tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan. h. Tenaga gizi. i. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis, terapis wicara, dan akupuntur. j. Tenaga teknisi medis meliputi perekam medis dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien, teknisi gigi, penata anestisi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis. k. Teknik biomedika meliputi radiographer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, radio trafis, ortotik prostetik. l. Tenaga kesehatan tradisional meliputi tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga tradisonal keterampilan. m. Tenaga kesehatan lain. A. Tenaga Lapangan Peer educator Petugas penjangkau Supervisor program lapangan Manajer program tingkat lapangan B. Tingkat Layanan Petugas konselor untuk berbagai layanan CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM Dokter spesialis layanan CST Dokter umum untuk berbagai layanan CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM Petugas laboratorium untuk berbagai layanan CST, VCT, IMS, PMTCT Perawat untuk berbagai layanan CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM Petugas administrasi untuk pencatatan dan pelaporan dari berbagai layanan CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM Ahli gizi Bidan Manajer kasus C. Manajemen di tingkat Kabupaten Pengelola program Pengawasan dan evaluasi, serta surveilans Keuangan dan administrasi Sekertaris atau manajer 64 • PKMK FK UGM “SDM kami itu masih batas minimal jumlahnya. Dan terkait dengan kualitas, kita harus sangat sangat sangat jarang bahkan ketinggalan dalam melakukan update pengetahuan, update knowledge, pelatihan-pelatihan kita tinggal. Nah, jadi bayangkan posyansus yang selalu berdiri klinik VCT pertama…, jumlah SDMnya sama dengan klinik yang baru berdiri yang pastinya sering saya istilahkan masih doremifasol. Sementara, kami masih 61 persen, artinya kami SDM masih kekurangan.” DKT, Posyansus RS Adam Malik Medan, dalam laporan Tim Peneliti USU, 2014 “Petugas HIV dan AIDS pada rangkap semua, satu orang bertanggung jawab terhadap beberapa program...” WM, Puskesmas Kotaraja Kota Jayapura, dalam laporan Tim Peneliti Uncen, 2014. Permasalahan kekurangan tenaga kesehatan yang memiliki kapasitas dalam layanan HIV dan AIDS ini semakin kompleks dengan adanya mekanisme mutasi. Di sebagian besar daerah penelitian termasuk Badung dan Denpasar dilaporkan bahwa tenaga kesehatan klinis seperti dokter, perawat, bidan, laborat, dan tenaga RR Report and Recording yang terlatih dan memiliki kecakapan yang bekerja untuk layanan HIV dan AIDS sering kali dimutasi oleh Badan Kepegawaian Daerah BKD tanpa memperhatikan kebutuhan layanan. Ini sangat berdampak pada keberlanjutan layanan. b. Pembiayaan SDM Sumber pembiayaan SDM HIV dan AIDS untuk tenaga kesehatan dan non- kesehatan berasal dari pemerintah dan dana hibah MPI yang tidak mengikat. Ditemu kan bahwa tenaga kesehatan di layanan kesehatan pemerintah dibiayai melalui anggaran daerah untuk sektor kesehatan, tetapi ketika mereka melakukan tugas untuk HIV dan AIDS maka mereka mendapatkan insentif tambahan dari pro- gram yang didanai oleh MPI khususnya Global Fund. Ini berlaku di semua daerah penelitian kecuali Merauke dan Jayapura karena Global Fund sudah menarik diri dari Papua. Sedangkan sumber pembiayaan SDM HIV dan AIDS tenaga non- kese hatan sebagian besar berasal dari pendanaan MPI, khususnya di daerah yang menjadi bagian dari lingkup kerja Global Fund seperti Denpasar, Badung, Medan, Deli Serdang, Makassar, Parepare, Surabaya, Sidoarjo, dan Manokwari. Dilihat dari kategori program, pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan PP seba- gian besar berasal dari MPI, bukan dari anggaran pemda. Kegiatan-kegiatan PP ini umumnya dilakukan oleh tenaga non-kesehatan seperti LSM, sehingga tidak dibiayai oleh pemerintah. Di Jayapura dan Merauke yang tidak lagi menjadi wilayah kerja Global Fund, program PP banyak diselenggarakan oleh tenaga-tenaga non-kesehatan dan masyarakat dengan sumber pembiayaan yang bersifat terbatas dari berbagai donor luar negeri. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 65 Peran LSM untuk menjangkau ODHA dan populasi kunci sangat besar, namun sejauh ini belum ada regulasi atau kebijakan yang mengatur pembiayaan SDM tenaga non-kesehatan penanggulangan AIDS Tim Peneliti Unipa, 2014. Sementara untuk petugas yang sudah dilatih pencegahan dan PDP baik pemerintah atau dinas kesehatan maupun non-pemerintah berasal dari HCPI untuk puskesmas dan dinas kesehatan setempat, ….[s]alah satu pembiayaan bagi SDM kesehatan di puskesmas yaitu berasal dari dana BOK. Misalnya seperti honor untuk satgas kondom. Sedangkan LSM mendapatkan beberapa dukungan dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan Global Fund berupa tenaga penjangkau untuk VCT dan petugas lapangan Tim Peneliti Unair, 2014. Sebagian besar pembiayaan untuk SDM kesehatan dalam program HIV di Kota Denpasar masih bersumber dari dana APBD khususnya buat tenaga kesehatan dari sektor pemerintah, sedangkan SDM di LSM masih mengandalkan pembiayaan dari donor asing. Sektor pemerintah yang juga mendapatkan bantuan dari donor asing juga mendapatkan insentif berbasis kinerja Tim Peneliti Udayana, Bali. Sementara untuk program yang terkait dengan perawatan dan pengobatan, karena umumnya dilakukan oleh tenaga kesehatan dari sektor kesehatan daerah, maka pembiayaannya berasal dari alokasi dana daerah. Ini ditemukan di Jayapura, Merauke, Surabaya, dan Sidoarjo. Di daerah-daerah ini tenaga kesehatan juga menda patkan insentif pendanaan yang bersumber dari APBD. Sementara di daerah- daerah lainnya, tenaga kesehatan yang memberikan pengobatan dan perawatan di rumahsakit atau puskesmas mendapatkan insentif dari sumber pendanaan di luar APBD, yaitu dari Global Fund melalui mekanisme yang disebut insentif berbasis kinerja. Di sebagian besar daerah yang masih dalam skema Global Fund, proporsi pendanaan sudah semakin besar digantikan oleh APBD atau BOK dari APBN, meskipun dalam beberapa aspek ketergantungan pada donor masih kuat. SDM yang saat ini tersedia adalah SDM kesehatan secara umum yang tidak hanya bertanggung jawab menangani HIV dan AIDS tetapi juga program lainnya. RSUD DOK 2 saat ini mempunyai tenaga kontrak yang bekerja pada ruang kolaborasi ATM tetapi tenaga tersebut merupakan tenaga magangsukarela yang bekerja membantu selama ini. Sumber penggajian dari dana APBD Provinsi Papua Tim Peneliti Universitas Cenderawasih, Jayapura,2014. Dinas Kesehatan Kota Surabaya menyebutkan bahwa pembiayaan dokter umum untuk CST, VCT, IMS, PMTCT, LASS, PTRM serta manajer kasus dan pengelola program berasal dari dana APBD I dan APBD II dari Tahun 66 • PKMK FK UGM 2011 sampai Tahun 2013. Pembiayaan yang digunakan untuk sumber daya manusia terdapat pengeluaran untuk sumber daya manusia sebagai proporsi pengeluaran pemerintah. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo pengeluaran sumber daya manusia sebagai proporsi pengeluaran pemerintah tahun 2011 sebanyak Rp15 juta. Pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp16 juta dan pada tahun 2013 menjadi Rp17 juta Tim Peneliti Unair, Surabaya, 2014. Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa pembiayaan SDM HIV dan AIDS dari tenaga non-medis untuk pencegahan berbeda dengan sistem pembiayaan SDM kesehatan yang ada. Sedangkan SDM kesehatan yang melakukan kegiatan- kegiatan pengobatan dan perawatan sudah mengikuti sistem pembiayaan SDM kesehatan umum.

c. Kompetensi SDM

Semua tenaga kesehatan termasuk yang bekerja untuk layanan HIV dan AIDS perlu memiliki standar kompetensi tertentu. Misalnya, tenaga dokter, perawat, bidan, dan laborat secara khusus telah melalui sistem pendidikan kesehatan sehingga memi- liki standar kompentensi tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Standar kompetensi diperoleh baik melalui jalur lembaga pendidikan kesehatan formal maupun pelatihan-pelatihan dari kemenkes dan lembaga kesehatan lainnya yang tersertifikasi. Secara umum untuk layanan pengobatan dan perawatan, sudah ada prasyarat standar kompetensi sumber daya kesehatan yang dapat menangani jenis-jenis penya- kit menular seperti HIV dan AIDS. Selain itu, dalam penyediaan layanan sehari-hari sudah ada panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas kesehatan primer untuk menangani penyakit khusus, termasuk HIV dan AIDS Permenkes Nomor 52014. Namun, untuk layanan PP dan MD yang dilakukan oleh ragam tenaga di luar tenaga kesehatan formal, belum ada standar kompetensi yang ditetapkan. Di semua daerah penelitian, SDM yang terlibat dalam PP dan MD terdiri atas tenaga-tenaga sukarela, LSM, dan komunitas, sebagaimana ditemukan oleh tim peneliti universitas di Badung, Denpasar, Merauke, Makassar, Parepare, Medan, dan Deli Serdang. Tenaga-tenaga non-kesehatan ini di semua daerah tersebut tidak memiliki kompe- tensi standar yang diatur seperti pada tenaga kesehatan umum. Tidak adanya rujukan kompetensi yang diatur dalam sistem kesehatan ini terjadi karena kompetensi petugas penjangkau, pendamping, konselor, atau manajer kasus tidak dikenal dalam istilah SDM kesehatan yang berlaku. Karena ketiadaan standar kompetensi yang bisa dijadikan acuan, pelatihan untuk SDM non-kesehatan pada layanan PP dan MD dilakukan tidak dalam kerangka INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 67 untuk memenuhi standar kompetensi, melainkan sebatas untuk meningkatkan kapa- sitas dalam menjalankan kegiatan-kegiatan penyediaan layanan. Ketiadaan standar kompetensi juga membuat pelatihan terkait layanan PP dan MD bisa dilakukan oleh siapa saja. Tenaga yang memberikan pengembangan kapasitas juga belum tentu memiliki standar kompetensi yang berlaku. Umumnya pelatihan terkait program-program pencegahan maupun perawatan ODHA diberikan oleh MPI dengan melibatkan LSM dan Dinkes atau SKPD lainnya. “Kita-kita yang dari [SKPD] kesehatan sudah banyak mengikuti pelatihan. Itu sejak pertengahan tahun ‘90-an pada saat AusAID masih ada. Tahun ’90-an masih lebih banyak fokus pada pencegahan. Bersama teman-teman LSM waktu itu dalam setahun sangat sering kita mengikuti pelatihan di Makassar ini. Juga sebenarnya beberapa teman dari dinas-dinas lain seperti Dinas Sosial, tapi karena kita di kesehatan dan teman-teman LSM bisa dikatakan juga setiap hari mengurus HIV jadi dari segi kompetensi mungkin lebih baik. Seingat saya kira-kira akhir ’90-an itu mulai banyak pelatihan untuk CST [PDP] karena ODHA makin banyak. Jadi kita tidak bisa lagi hanya fokus pada pencegahan.” DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014. Sebagaimana diungkapkan oleh informan tersebut, meskipun LSM dianggap memiliki kemampuan teknis yang baik dalam melakukan program-program pencegah- an, tetapi kompetensi mereka tidak diakui secara formal atau diatur sebagaimana halnya untuk SDM kesehatan. Demikian pula dengan kesempatan-kesempatan pengem bangan kapasitas, di mana dinkes hanya mengatur SDM kesehatannya, tetapi tidak untuk SDM HIV dan AIDS non-kesehatan. 4 Pengelolaan informasi strategis Informasi strategis didefinisikan sebagai sistem dalam produksi, analisis, dise- minasi, dan penggunaan informasi yang terpercaya tentang determinan kesehat an, kinerja sistem kesehatan, dan status kesehatan yang dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dimensi-dimensi dalam informasi strategis meliputi: 1 Sinkronisasi dan koordinasi sistem informasi, yaitu terdiri atas infrastruktur, jenis sumber data, pengumpulan data, dan mekanisme pengolahan data—kesemuanya merupakan bagian dari sistem yang digunakan oleh pemerintah dalam pengelolaan informasi dari survei, pemantauan, dan evaluasinya mulai input, proses, dan output; dan 2 Diseminasi dan pemanfaatan terkait hasil pengolahan data sistem informasi program HIV dan AIDS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan pengembangan program HIV dan AIDS di daerah. 68 • PKMK FK UGM

a. Sinkronisasi sistem informasi

Sinkronisasi sistem informasi HIV dan AIDS memungkinkan tersedianya data yang berguna bagi daerah dalam mengembangkan perencanaan dan desain program intervensi berbasis situasi epidemi dan kebutuhan daerah. Ketika bisa mengembangkan perencanaannya sendiri, daerah dapat memiliki posisi tawar yang lebih kuat saat berhadapan dengan donor atau pihak-pihak yang akan mengembangkan kerjasama dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, kemampuan daerah untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengelola informasi HIV dan AIDS untuk pengem bangan upaya penangggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti menjadi sangat penting. Sayangnya, ditemukan bahwa daerah memiliki berbagai sumber data yang dikelola secara terpisah-pisah, sehingga sulit untuk disinkronisasikan dan dimanfaatkan. Dilihat dari infrastrukturnya, ada beragam variasi sistem informasi yang dite- mukan. Pertama, ditemukan variasi dari metode pengumpulannya, di mana sebagian besar daerah sudah menggunakan teknologi informasi yang bersifat komputerisasi, tetapi ada pula daerah yang masih menggunakan pencatatan secara manual seperti ditemukan di Manokwari. Kedua, jenis sistem informasi yang bersifat online itu sendiri sangat bervariasi tergantung pihak pemangku kepentingan mana yang berkepentingan atas data tersebut. Untuk data program, pemerintah pusat Kemenkes, KPAN, maupun MPI memiliki sistemnya masing-masing yang tidak sinkron antara satu sama lain. Ada pula sistem informasi kesehatan yang juga saling tidak sinkron. Di daerah ditemukan ada Sistem Informasi Kesehatan Daerah SIKDA, Sistem Informasi Puskesmas SIMPUS, serta berbagai sistem informasi lainnya. Pada dasarnya mereka dikembangkan untuk menjawab kebutuhan spesifik direktorat atau unit tertentu dalam sektor kesehatan, sehingga tidak saling kompatibel. Data program HIV dan AIDS yang dikumpulkan oleh beberapa MPI juga saling tidak sinkron. Contohnya, sistem informasi terkait program yang ditemukan di daerah seperti Sistem Informasi HIV dan AIDS SIHA, Recording and Reporting RR, dan Inventory Order Management System IOMS. SIHA dikembangkan oleh Kemenkes dengan dukungan Global Fund untuk mendapatkan informasi terkait data cakupan layanan pencegahan VCT, PITC, IMS dan distribusi kondom yang dilakukan di tingkat layanan primer dan sekunder sesuai target. Penerapannya juga bisa berbeda: SIHA untuk VCTPITC di tingkat puskesmas sementara sistem informasi obat di rumah sakit menggunakan IOMS. Ada pula sistem informasi milik lembaga tertentu seperti Sistem Informasi Napza SINAPZA milik Biro Napza di Sulawesi Selatan, atau sistem informasi yang dikembangkan oleh lembaga yang menjadi Principal Recipient PR Global