komitmen Politik konteks kebijakan dan Program Penanggulangan HiV dan AiDs pada Tingkat Pusat dan Daerah

INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 21 pemda untuk berkomitmen dan menyediakan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS secara memadai. Dalam beberapa kasus, faktor yang lebih menentukan sejauh mana daerah memprioritaskan masalah HIV dan AIDS ialah perhatian pribadi dari pejabat KPAD, seperti ditemukan di Makassar. “Regulasi-regulasi itu penting, namun yang paling penting sebenarnya adalah membuat program HIV ini menjadi prioritas walikota atau bupati... Jadi kemampuan kita meyakinkan mereka sangat penting. Jadi bagaimana cara meyakinkan mereka bahwa ini sesuatu yang berbahaya atau tidak... Di tingkat praktis, komitmen walikota itu seringkali sebenarnya lebih penting dibanding regulasi-regulasi.” WM, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Kota Makassar, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014. Konsekuensi dari kurangnya dukungan instansi pemda yang bersifat multisektor yakni tanggung jawab dari KPAD dan sektor kesehatan menjadi sangat besar. Padahal, sebagaimana dipaparkan tadi, struktur dan kewenangan KPAD dalam politik pemda tidak jelas, sehingga membuat kemampuannya untuk mengoordinasikan dan meme- nga ruhi kebijakan pemda dalam penanggulangan HIV dan AIDS menjadi sangat terbatas. Dengan konteks politik daerah seperti ini, HIV dan AIDS sulit menjadi isu yang diprioritaskan oleh daerah.

b. Hukum dan Peraturan

Di tingkat daerah masih ditemukan berbagai peraturan yang belum mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta cenderung membatasi akses populasi kunci untuk memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkan. Ini misalnya bisa dilihat pada berbagai bentuk perda yang terkait dengan kesusilaan dan ketertiban seperti anti-prostitusi, penyakit masyarakat, penutupan lokalisasi, dan kriminalisasi pekerja seks. Keberadaan perda tersebut misalnya di Kota Surabaya Perda Nomor 71999 berdampak pada hilangnya kontrol terhadap para pekerja seks yang menjadi sasaran program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual PMTS yang berbasis lokasi. Adanya kebijakan tentang kesusilaan tersebut membuat para pekerja seks menyebar ke berbagai tempat sehingga sulit untuk dijangkau oleh petugas kesehatan. Akibatnya, program PMTS menjadi tidak efektif. Tim peneliti Udayana mensinyalir bahwa kebijakan penutupan lokalisasi di Surabaya mengakibatkan berpindahnya pekerja seks dari Surabaya ke Bali. Akibatnya, pekerja seks kesulitan mengakses layan an kesehatan melalui JKN. Mereka bermasalah dengan kartu identitas pendu- duk KTP yang berbeda dengan tempat di mana mereka bermigrasi karena untuk mengakses JKN diperlukan kartu identitas yang sama dengan domisili. Demikian juga Undang-Undang UU Otonomi Khusus Otsus yang di satu sisi tujuannya melindungi masyarakat Papua melalui jaminan bagi penduduk 22 • PKMK FK UGM asli Papua agar memperoleh layanan kesehatan yang lebih baik, serta merupakan upaya aksi afirmatif affirmative action untuk masyarakat Papua dalam mendapatkan kesem patan bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Namun, di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menjadi diskriminatif karena membatasi akses penduduk non-Papua untuk memperoleh jaminan layanan kesehatan. Selain masalah akses, hambatan terkait hukum lainnya muncul karena tidak adanya sanksi terhadap pengabaian kewajiban yang dilakukan oleh SKPD sebagai penanggung jawab upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Di banyak daerah, perda tentang penanggulangan HIV dan AIDS hanya mengatur pemberian sanksi kepada petugas kesehatan, penyedia fasilitas kesehatan, dan pengelola atau pemilik tempat hiburan. Tidak ada insentif dan disinsentif bagi SKPD untuk melakukan kewajibannya dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

c. Ekonomi

Kasus penularan HIV dan AIDS pada dasarnya bisa ditemukan lebih banyak pada kota-kota yang menjadi pusat ekonomi bagi wilayah-wilayah di sekitarnya, seperti Medan, Surabaya, Makassar dan Jayapura yang merupakan kota-kota pusat perdagangan dan industri dengan jumlah kasus HIV dan AIDS yang tergolong tinggi. Pada kenyataannya, besarnya kasus HIV dan AIDS di daerah-daerah tersebut tidak direspons secara memadai oleh pemda sehingga mendorong MPI untuk menginisiasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tersebut. Keberadaan MPI di daerah telah mampu mendorong pengembangan program dan layanan HIV dan AIDS secara lebih lengkap dan meningkatkan cakupan pemanfaatan layanan yang tersedia. Tetapi, di sisi yang lain, situasi ini telah mengakibatkan keengganan pemda untuk mengalokasikan anggaran daerah bagi penanggulangan HIV dan AIDS. Keter- gantungan daerah terhadap MPI telah berakibat pada menurunnya secara signifikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah begitu MPI memutuskan untuk tidak bekerja di wilayah tersebut, seperti terjadi di Sulawesi Selatan dan Papua. “Kita masih sangat tergantung pada donor. Kira-kira proporsinya 80-an persen masih dari donor. Seperti tahun 2014 ini, dari APBD kami hanya dapat 46 juta rupiah. Kita mau apa dengan dana yang hanya 46 juta itu?... Jadi memang masih sangat tergantung pada Global Fund. Tapi itupun saya harus mengakali dana-dana GF itu yang juga masih kurang mencukupi. Misalnya untuk supervisi-supervisi yang harusnya saya ke kabupaten A... kadang saya akali dengan memindahkan ke kabupaten lain yang lebih prioritas demi pengembangan.” DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014 Selain itu, di daerah-daerah yang menjadi pusat ekonomi, sektor swasta belum terlibat secara aktif dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Sebagaimana dilaporkan INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 23 Tim Peneliti Unair, Sidoarjo sebagai kota industri memiliki potensi untuk memobilisasi peran sektor swasta agar berpartisipasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui skema pembiayaan. Di daerah yang sudah ada pendanaan dari sektor swasta melalui Corporate Social Responsibility CSR pun, pengelolaannya masih dilakukan oleh sektor swasta secara sendiri-sendiri dan hanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pencegahan dalam bentuk sosialisasi dengan mengundang nara sumber dari Dinkes atau KPA. Di Kota Makassar, beberapa perusahaan seperti PT Angkasa Pura, Pabrik Semen Bosowa, BNI, BRI dan PT Vale di Kabupaten Luwu Timur sudah mengalokasikan dana CSR untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS. Tetapi, pengelolaan pendanaan terbatas pada kegiatan yang sifatnya insidental dan belum dijadikan bagian dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang strategis dan berkelanjutan.

d. Permasalahan kesehatan

Dalam konteks pembangunan sektor kesehatan, ditemukan bahwa pemda belum memprioritaskan HIV dan AIDS sebagai isu strategis pembangunan kesehatan daerah. Ini bisa dilihat dari masih terbatasnya kapasitas daerah dalam menyusun peren canaan dan mengembangkan kebijakan berdasarkan bukti-bukti situasi kese- hatan masyarakat di wilayahnya. Di satu sisi daerah belum mampu memproduksi data kesehatan daerah yang akurat, sementara di sisi lain data yang tersedia dan berman faat bagi perencanaan pembangunan kesehatan seperti survei demografi dan survei kesehatan tingkat populasi tidak dimiliki oleh pemda. Untuk data strategis seperti Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku STBP, misalnya, walaupun pemda melalui Dinkes terlibat dalam pengumpulan data surveinya, tetapi kepemilikan data ini tetap ada pada pemerintah pusat. Akibatnya, pemda tidak bisa sepenuhnya menggunakannya untuk mengembangkan perencanaan di wilayahnya. Ada beberapa akibat lebih jauh dari situasi tersebut. Pertama, karena tidak mengetahui besaran dan sebaran masalah yang ada di wilayahnya, inisiatif daerah untuk mengembangkan respons dalam bentuk program maupun kebijakan menjadi kurang. Daerah cenderung menjadi pelaksana dari program-program yang direnca- nakan oleh pemerintah pusat Kemenkes maupun oleh lembaga donor. Program penanggulangan HIV dan AIDS lantas dipahami sebagai program pemerin tah pusat yang bersifat vertikal. Target-target pun ditentukan di tingkat pusat, padahal dalam desentralisasi sesungguhnya kekuasaan untuk menentukan target sesuai dengan kondisi daerah dimiliki oleh daerah itu sendiri. Kedua, perencanaan yang lemah secara langsung juga berdampak pada lemah- nya penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS di daerah yang bersumber dari