Pengelolaan Sumber Pembiayaan Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 59 Dalam Renstra Kota Jayapura tahun 2011–2015, kebutuhan biaya dari tahun ke tahun berkisar antara Rp7–9 miliar. Jika kita bandingkan dengan realisasi alokasi dana APBD tahun 2011 yang hanya Rp1,7 miliar, maka dapat dikatakan bahwa alokasi dana tersebut sangat sedikit dibanding dengan dana yang direncanakan Tim Peneliti Uncen, 2014. Untuk pendanaan yang sudah berhasil dianggarkan dalam APBD, terdapat alokasi untuk program PP, PDP, dan MD. Umumnya dinkes mendapatkan alokasi pen- da naan untuk pencegahan dan pengobatan. Contohnya, dana APBD Kota Parepare yang dialokasikan untuk Dinkes Kota umumnya dikombinasikan dengan penda- naan pencegahan dan penyediaan layanan dalam konteks pengobatan, termasuk membiayai pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh staf, menunjang pembelian reagen dan untuk pengadaan obat-obatan IMS. Sementara itu, SKPD di luar dinkes umumnya mendapatkan alokasi pendanaan untuk program PP dan MD. Misalnya di Surabaya, anggaran dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Dinas Pendidikan masuk dalam anggaran Unit Kesehatan Siswa UKS, sementara anggaran dana pencegahan di Dinas Kominfo digunakan untuk pembuatan brosur Tim Peneliti Unair, 2014. Tim Peneliti Unud 2014 juga menyebutkan bahwa Dinsos, Disnaker, Disdikpora, Dinas Pemberdayaan Perempuan, dan Dinas Pariwisata memiliki anggaran untuk PP dan MD. Namun, tidak semua SKPD di luar Dinkes mempunyai dana pencegahan HIV dan AIDS. Contohnya di Jayapura, walaupun di dalam Renstra tahun 2011–2015 telah ada rencana program dan alokasi anggaran bagi SKPD-SKPD, tetapi dalam pelaksanaannya sampai saat ini belum ada realisasi ketersediaan dana khusus untuk program HIV dan AIDS di SKPD selain Dinkes dan Kantor Kesehatan Pelabuhan Tim Peneliti Uncen, 2014. Selain itu, ada kesan bahwa pengalokasian pendanaan tidak sesuai dengan kebutuhan, baik dari segi proporsi maupun peruntukan. Misalnya untuk KPA Kabupaten Badung, proporsi anggaran untuk kebutuhan operasional dinilai masih terlalu besar dibandingkan dengan alokasi dana program. Dana untuk mitigasi dampak yang disediakan oleh Kemensos dan Dinsos juga dinilai oleh komunitas dan LSM sebagai program yang salah sasaran. Lebih jauh lagi, secara umum responden juga mengeluhkan masih lambatnya mekanisme pengajuan dan realisasi anggaran yang bersumber dari APBD ataupun APBN Laporan Tim Peneliti Unud, 2014. Untuk peruntukkannya, dana yang berasal dari MPI dialokasikan sesuai dengan program yang direncanakan MPI. Kalaupun ada yang dialokasikan untuk Dinkes, KPA dan LSM, peruntukannya tetap tidak terlepas dari pelaksanaan program yang sudah ditentukan sesuai perencanaan MPI. Gambaran ini menunjukkan bahwa 60 • PKMK FK UGM alokasi pendanaan program HIV dan AIDS masih sporadis dan belum terkoordinasi dengan baik. Implikasinya, terjadi ketimpangan intervensi program karena proporsi anggaran yang tidak sesuai, sehingga akses layanan HIV dan AIDS tertentu menjadi terbatas.

c. Mekanisme Pembayaran Layanan

Pada aspek pembayaran pelayanan kesehatan, ODHA dan populasi kunci dapat mengakses JKN dengan ketentuan yang sama dengan masyarakat umum. Mereka dapat mengakses pembiayaan layanan melalui beberapa mekanisme, seperti sebagai anggota BPJS, sebagai warga tidak mampu dengan bukti Surat Keterangan Tidak Mampu SKTM, atau mengurus kartu terlantar dari Dinsos. Tim Peneliti Unipa 2014 melaporkan bahwa di Manokwari tersedia Jamkesmas dan Jampersal untuk semua orang termasuk ODHA dan populasi kunci. Di daerah ini, total dana layanan kesehatan dasar yang diterima terdiri dari Jamkesmas dan Jampersal pada tahun 2012 mencaai Rp2.904.895.000 dan telah membiayai 245.640 pasien. Perawatan infeksi oportunistik terkait dengan HIV dan AIDS telah ditanggung oleh JKN. Tetapi, ada beberapa layanan yang dibutuhkan oleh populasi kunci atau ODHA yang tidak masuk dalam skema layanan JKN. Contohnya, pengobatan ARV tidak ditanggung oleh JKN karena masih ditanggung oleh program. Demikian pula dengan serangkaian tes yang perlu dilalui sebelum inisiasi ARV pra-ARV, dan perawatan bagi pengguna narkoba yang mengalami kecanduan. Bagi yang tidak memiliki kepesertaan asuransi tersebut, mereka harus membayar sendiri biaya-biaya layanan. Mekanisme ini menunjukkan bahwa pembayaran layanan HIV dan AIDS masih berbeda dengan mekanisme pembayaran layanan kesehatan umum. Walaupun adanya JKN sering kali disebut-sebut sebagai hal yang positif bagi ODHA, namun sampai saat ini hanya komponen IO yang sudah masuk dalam skema pembiayaan JKN. Dalam JKN sayangnya skema untuk pengobatan HIV belum dimasukkan karena adanya argumen bahwa sampai saat ini obat ARV masih ditanggung pemerintah melalui bantuan lembaga asing. Selanjutnya dalam JKN, biaya untuk pemeriksaan pra-ARV juga belum dimasukkan sehingga biaya tersebut harus dibayar sendiri oleh klien atau ditanggung oleh LSM yang mendapat bantuan dari donor asing Tim Peneliti Unud, 2014. Kondisi di atas mengakibatkan pemanfaat program sulit mengakses layanan terkait HIV dan AIDS melalui mekanisme JKN. Keadaan ini diperparah dengan persya ratan administratif seperti identitas untuk dapat mengakses layanan kesehatan, di mana ditentukan bahwa seseorang yang ingin mengakses JKN harus berdomisili sesuai KTP. Ini membuat populasi kunci yang memiliki mobilitas tinggi sulit untuk dapat mengakses layanan kesehatan dengan menggunakan JKN. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 61

3 sumber Daya manusia

SDM di sini meliputi segala aspek ketersediaan dan kualitasnya untuk memas- tikan bahwa SDM yang terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS responsif, efisien, kompeten, adil, terdistribusi merata sesuai dengan sumber daya yang tersedia dan situasi yang ada, serta mencukupi jumlahnya. Komponen SDM terdiri atas 1 Kebijakan dan sistem manajemen yang mengatur ketersediaan tenaga dari luar Dinkes yang dikontrak oleh Dinkes sebagai staf program penanggulangan HIV dan AIDS; 2 Pembiayaan yang mengelola sumber pembiayaan kesehatan untuk HIV dan AIDS dari sektor pemerintah maupun non-pemerintah; dan 3 Kompetensi sumber daya memastikan ketersediaan kebijakan yang mengatur standarisasi kompentensi tenaga penanggulangan HIV dan AIDS serta ketersediaan tenaga yang sudah dilatih dan tersertifikasi sesuai standar yang berlaku. a. Kebijakan dan Sistem Manajemen Kebijakan dan sistem manajemen mengenai fungsi pengelolaan sumber daya kesehatan bertujuan untuk mengatur ketersediaan SDM, baik yang berasal dari sektor kesehatan maupun non-kesehatan. Ditemukan bahwa ada beberapa masalah terkait kebijakan dan sistem manajemen. Pertama, telah berkembang sistem pengelo- laan SDM di luar sistem kesehatan dan tidak adanya kebijakan untuk mengatur merekrut, melatih, membiayai tenaga-tenaga di luar tenaga kesehatan selanjutnya akan disebut sebagai SDM HIV dan AIDS. Berkembangnya dua sistem pengelolaan SDM ini terjadi karena HIV dan AIDS merupakan masalah kesehatan yang erat kaitannya dengan masalah sosial, di mana populasi yang terdampak umumnya tersembunyi dan sulit dijangkau. Selain karena posisinya yang marjinal, stigma dan diskriminasi menjadi salah satu penghambat bagi populasi kunci untuk mengakses layanan. Oleh karena adanya hambatan-hambatan ini, layanan HIV dan AIDS membutuhkan pendekatan yang khusus dan berbeda dari layanan kesehatan yang konvensional di mana penyedia kesehatan lebih bersifat pasif melayani pasien yang datang saja serta terbatas pada layanan medis saja. Petugas kesehatan telah dilatih agar dapat memberikan layanan dari sisi medis di fasilitas kesehatan. Misalnya, mereka dilatih agar dapat memberikan konseling serta layanan-layanan HIV dan AIDS, seperti VCTPITC, IMS, PMTCT, LASS dan lain sebagainya. Tetapi, pada saat yang sama, untuk mengatasi hambatan sosial yang telah dibahas sebelumnya, telah berkembang layanan yang disediakan oleh SDM HIV dan AIDS. Mereka telah menyediakan berbagai layanan yang sama pentingnya dengan layanan medis yang disediakan oleh petugas kesehatan, khususnya dalam memastikan populasi kunci dapat mengakses layanan dan adanya dukungan bagi 62 • PKMK FK UGM ODHA. Contoh fungsi yang dilakukan oleh SDM HIV dan AIDS termasuk dukungan sebaya buddies, manajer kasus, dan konselor. Selama ini, fungsi-fungsi SDM HIV dan AIDS ini dilaksanakan oleh LSM dengan pendanaan dari MPI. Koordinasi peran dari LSM-LSM ini juga lebih dilakukan oleh KPA setempat daripada oleh Dinkes. Kondisi inilah yang mengakibatkan berkembangnya sistem pengelolaan SDM di luar sistem kesehatan. Di 11 lokasi penelitian, belum ada kebijakan yang mengatur tentang penge- lolaan SDM HIV dan AIDS. Kebijakan yang diacu oleh pemda di sebagian besar daerah penelitian ialah kebijakan dari pusat seperti Permenkes Nomor 212013 yang mengatur tentang bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dengan instansi atau lembaga lain dalam penanggulangan HIV dan AIDS seperti LSM, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kesehatan lain Pasal 49. Meskipun demikian, tetap terdapat pengelolaan SDM yang berjalan paralel dengan sistem kesehatan di mana sebagian besar mekanisme rekrutmen dan penggajian didukung oleh pembiayaan dari MPI. Pengecualian untuk Kota Surabaya yang pemerintahnya telah menganggarkan dalam APBD penggajian SDM HIV dan AIDS seperti konselor, manager kasus, dan penjangkau lapangan yang mengacu pada peraturan tersebut Tim Peneliti Unair, Surabaya, 2014. Ketidakmampuan daerah dalam mengelola dua sistem manajemen SDM ini disebabkan oleh adanya perbedaan nomenklatur antara SDM kesehatan dengan SDM HIV dan AIDS, sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Perbedaan nomenklatur ini mempertegas tidak adanya kebijakan yang mengatur kebutuhan SDM HIV dan AIDS seperti tenaga penjangkau, tenaga lapangan, manajer kasus, pendamping ODHA buddies, termasuk dalam hal pendanaan serta standar kompetensi teknisnya. Masalah lain terkait kebijakan dan sistem manajemen SDM ialah soal beban kerja petugas kesehatan yang berhubungan dengan jumlah petugas. Di sebagian daerah penelitian Surabaya, Jayapura, Makassar, Parepare, Medan, Deli Serdang, Merauke, dan Manokwari berkembang pandangan bahwa penyediaan layanan HIV dan AIDS oleh tenaga kesehatan merupakan pekerjaan tambahan, bukan sebagai bagian dari tugas pokok seperti penanganan penyakit menular lain. Tenaga kesehatan yang melakukan layanan HIV dan AIDS dianggap melakukan rangkap tugas double jobs.