Tingkat integrasi Berdasarkan Wilayah Penelitian
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 93
lain. Para pemangku kepentingan ini termasuk penguasa politik daerah, aktor dalam sistem kesehatan, dan aktor dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Mengikuti
kerangka tersebut, faktor-faktor yang berpotensi memengaruhi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan bisa diidentifikasikan
sebagai berikut: 1. Kuat atau lemahnya sistem kesehatan di tingkat daerah akan memengaruhi inte-
grasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Dalam analisis tingkat integrasi tersebut, diidentifikasi bahwa sejumlah fungsi sistem
kesehatan di tingkat daerah belum berjalan secara optimal, misalnya dalam fungsi pembiayaan kesehatan, SDM, dan pengelolaan informasi strategis. Ini misalnya
sejalan dengan hasil tinjauan sektor kesehatan yang dilakukan pada tahun 2014 AIPHSS, 2014. Ketika fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan
HIV dan AIDS diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang belum kuat, justru kemungkinan hasil yang dicapai selama ini malah semakin memburuk.
Oleh sebab itu, pilihan untuk melakukan integrasi atau tidak akan bergantung pada kesiapan dari sistem kesehatan itu sendiri. Jika fungsi kesehatan daerah
tidak baik maka akan menjadi faktor penentu tingkat integrasi program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang ada. Secara umum sistem kesehatan di
Indonesia belum berfungsi secara baik seperti hasil tinjauan AIPHSS 2014.
2. Diterimanya upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai program daerah juga bergantung pada komitmen pemda. Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa
sebagian besar pemda cenderung membangun komitmen politik yang bersi fat normatif dalam bentuk peraturan atau kebijakan. Tetapi, seperti halnya gejala
umum di negara-negara berkembang, persoalan pembangunan bukan terle tak pada kapasitas menyusun kebijakan, melainkan pada kapasitas untuk meng-
im ple mentasikannya Pritchett, 2014. Oleh karena itu, hambatan-hambat- an operasionalisasi kebijakan yang telah ditetapkan di tingkat daerah menjadi
isu yang selalu berulang disampaikan oleh informan dalam penelitian ini dari berbagai daerah. Tentunya dengan situasi seperti ini menjadi sulit untuk meng-
harapkan adanya komitmen operasional yang tinggi guna mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di tingkat
daerah. Situasi ini ditandai dengan rendahnya kapasitas KPAD untuk melakukan advokasi terhadap pelaksanaan komitmen politik tersebut karena kedudukannya
bukan sebagai SKPD dan bersifat ad hoc. Tidak mengherankan jika pemain utama dalam perencanaan dan anggaran Bappeda dan DPRD tidak memberikan
perhatian yang lebih besar kepada penanggulangan HIV dan AIDS di daerahnya.
94 •
PKMK FK UGM
3. Adanya peraturan atau hukum di luar sektor kesehatan yang membatasi popu- lasi kunci untuk mengakses pelayanan kesehatan seperti Perda Pekat, Anti
Pros titusi atau Ketertiban Umum akan menjadi perdebatan di antara para pemang ku kebijakan di tingkat daerah. Pada satu sisi, ada argumentasi bahwa
perda-perda tersebut untuk melindungi masyarakat umum, tetapi pada sisi yang lain ada kebutuhan untuk mengontrol penyakit. Solusi yang dipilih tentunya
yang lebih populis daripada perda penanggulangan HIV dan AIDS. Atau, jika penanggulangan HIV dan AIDS diakomodasi, kegiatan-kegiatannya harus disin-
kronisasikan dengan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam perda ketertiban umum tersebut.
4. Fungsi dan peran pemangku kepentingan memengaruhi integrasi upaya penang- gulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Komitmen politik para
pemang ku kepentingan kunci secara formal tanpa diikuti oleh komitmen operasio nal susah menjadikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai
prioritas daerah. Selain itu, dominasi peran pemerintah pusat secara administratif dan teknis menjadikan program upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai
penghambat integrasi dengan sistem kesehatan di daerah. Sikap pemerintah pusat yang masih menjadi perencana dan pemegang kendali pembiayaan menjadi
penghambat penerimaan dan tingkat komitmen pemda terhadap upaya penang- gulangan HIV dan AIDS. Akibatnya, upaya penanggulangan HIV dan AIDS
masih bersifat vertikal dan daerah cenderung menjadi pelaksana saja.
5. Dalam pemetaan pemangku kepentingan strategis di daerah teridentifikasi bahwa MPI merupakan aktor yang berkepentingan dan bersumber daya tinggi dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Di satu sisi ini sangat mendorong terlaksananya program-program di daerah. Tetapi, di sisi lain, programnya yang
bersifat vertikal khususnya dalam aspek administrasi bisa menghambat upaya integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke sistem kesehatan di tingkat daerah
karena terbatasnya kontrol dari dinas kesehatan atau KPAD atas perencanaan dan anggaran dari MPI di daerah. Penelitian ini telah mendokumentasikan
bahwa berakhirnya MPI di suatu wilayah Papua dan Papua Barat telah menjadi sebuah kesempatan bagi pemda untuk lebih memperhatikan dan bertanggung
jawab terhadap penanggulangan HIV dan AIDS dengan menggali berbagai sumber daya yang tersedia di wilayahnya, meskipun program yang dikembangkan
tidak sebesar dan seluas yang dilakukan pada saat MPI masih bekerja di wilayah tersebut.