Ekonomi konteks kebijakan dan Program Penanggulangan HiV dan AiDs pada Tingkat Pusat dan Daerah

24 • PKMK FK UGM APBD. Memang ditemukan adanya daerah yang memiliki kapasitas untuk mengem- bangkan data lokal serta menyediakan dana sektor kesehatan yang mencukupi seperti Provinsi Bali. Namun, di banyak daerah lainnya, termasuk Makassar dan Sidoarjo, ketiadaan dokumen perencanaan seperti Strategi dan Rencana Aksi Daerah SRAD Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai dasar penganggaran lintas-instansi pemerintah mengakibatkan pengajuan anggaran dari sektor non-kesehatan sering kali ditolak oleh Bappeda yang menilai bukan sebagai tupoksinya. Padahal, alokasi anggaran untuk sektor kesehatan sendiri pun masih belum mencapai 10 dari APBD di luar gaji sebagaimana diamanatkan oleh UU Kesehatan Nomor 362009 Pasal 171 ayat 2.

B. situasi Epidemi dan Perilaku Berisiko di Daerah Penelitian

Diagram 1. Prevalensi HIV per 100.000 Penduduk Sumber: Kemenkes 2014 Situasi epidemi di setiap daerah semestinya memengaruhi variasi respons yang perlu dilaksanakan oleh daerah dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS. Situasi epidemi di lokasi penelitian pada dasarnya bervariasi dalam artian besaran dan sebaran kasus HIV dan AIDS. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kemenkes pada bulan September 2014, terlihat bahwa Papua merupakan daerah dengan prevalensi tertinggi 566,50 kasus per 100.000 penduduk, disusul Papua Barat 356,91 kasus per 100.000 penduduk. Sementara dari penelitian daerah, terungkap bahwa Jawa Timur merupakan daerah dengan prevalensi terendah, yaitu sebesar 51,36 per 100.000 penduduk. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 25 Kasus-kasus HIV dan AIDS di Papua dan Papua Barat lebih banyak ditemukan pada populasi umum generalisata. Sedangkan di daerah lain, kasus HIV dan AIDS lebih terkonsentrasi pada populasi kunci seperti WPS, waria, LSL, penasun, dan pelanggan WPS. Diagram 2. Faktor Risiko penularan HIV dan AIDS Sumber: STBP 2011 dan STBP 2013 Faktor perilaku berisiko penularan HIV dan AIDS juga bervariasi seperti tergambar pada Diagram 2, dengan rincian sebagai berikut: • Faktor perilaku berisiko kelompok penasun paling tinggi berada di Surabaya 48,6, kemudian Medan 39,2, dan yang paling rendah Sidoarjo 6. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan perilaku berisiko secara signifikan terjadi di daerah yang menjadi pusat perkembangan ekonomi dan modernisasi. • Faktor perilaku berisiko pada kelompok WPSTL tertinggi di Denpasar 8,8 , kemudian Jayapura dan Medan 3,2 , dan terendah Makassar dan Surabaya 2 . Perkembangan perilaku berisiko WPSTL terjadi pada daerah perkotaan yang menjadi pusat berkembangnya tempat-tempat hiburan seperti bar, karaoke, panti pijat dan spa, serta diskotek Tim Peneliti Undana, 2014.