28 •
PKMK FK UGM
jawab untuk ambil bagian dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Di samping itu, dukungan terhadap ODHA lebih banyak dilakukan oleh LSM dan tokoh masyarakat
yang dalam praktiknya juga banyak tidak berkoordinasi dengan dinas terkait.
Diagram 3. Cascade Perawatan HIV dan AIDS
Berbeda dengan daerah lain, mitigasi dampak di Papua cukup berjalan dengan adanya UU Otsus. Di Manokwari misalnya, upaya mitigasi dampak lebih berfokus
pada kegiatan pendampingan dan konseling pada ODHA dan keluarganya, serta menyalurkan bantuan dana dan pemberian makanan tambahan bagi ODHA
yang bersumber dari pendanaan Otsus. Sementara di Merauke, dukungan kepada ODHA berbentuk makanan tambahan dan gizi berasal dari inisiatif dan partisipasi
masyarakat luas yang dikembangkan oleh aktivis, tokoh gereja, serta lembaga adat. Hal yang kurang lebih sama terjadi di Parepare dan Makassar di mana mitigasi
dampak banyak dilakukan oleh LSM dengan dukungan donor dan pendanaan dari swasta lewat program CSR. Program mitigasi dampak juga berkembang di Bali,
khususnya di Denpasar dan Badung, yang dilakukan oleh masyarakat sipil dengan mengembangkan pemberdayaan untuk WPS dan program rehabilitasi untuk penasun.
Program mitigasi dampak tersebut telah dilakukan oleh banyak pemain yang berbeda dari berbagai kelompok, tetapi berjalan sendiri-sendiri dan belum menjadi program
intervensi yang sistematis.
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 29
A. Pengantar
Analisis pemangku kepentingan kunci stakeholder analysis adalah metode untuk memahami perilaku, kepentingan, interelasi antar-pemangku kepentingan,
serta mengetahui bagaimana pengaruh pemangku kepentingan terhadap penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Varvasovszky dan Brugha, 2000. Dalam penelitian ini,
stake holder analysis digunakan untuk memetakan posisi pemangku kepentingan yang berpe ngaruh terhadap pengembangan dan implementasi program penanggulangan
HIV dan AIDS. Pemangku kepentingan merupakan para aktor yang secara langsung berpengaruh atau dapat memengaruhi otoritas penentu kebijakan kunci serta
memengaruhi implementasinya Brinkerhoff dan Crosby, 2002; Varvasovszky dan Brugha, 2000. Secara umum, analisis pemangku kepentingan didasarkan pada dua
elemen pokok, yakni kepentingan interest dan kekuasaan power yang dimiliki oleh masing-masing pemangku kepentingan.
Penelitian ini memaknai kekuasaan sebagai seberapa jauh pemangku kepen- tingan memiliki sumber daya baik dari segi politik, ekonomi, sosial budaya, serta
kemam puan memobilisasi sumber daya tersebut untuk memengaruhi kebijakan pihak lain. Untuk mengukur tinggi-rendahnya kekuasaan, penelitian ini melihat sumber
daya dan otoritas yang dimiliki oleh pemangku kepentingan berdasarkan posisi formal nya dalam pengambilan kebijakan. Pemangku kepentingan dianggap memiliki
kekua saan tinggi apabila mereka memiliki sumber daya yang tinggi sekaligus mampu
ANALisis PEmANGku kEPENTiNGAN kuNCi DALAm
PENANGGuLANGAN HiV DAN AiDs
III
30 •
PKMK FK UGM
memo bilisasi sumber daya tersebut untuk menetapkan kebijakan dan penerapan program penanggulangan HIV dan AIDS.
Kepentingan diartikan sebagai peran yang diinginkan atau diharapkan agar memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan dalam penanggulangan HIV dan
AIDS di daerah. Tinggi-rendahnya kepentingan dilihat dari latar belakang dan posisi pemangku kepentingan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, baik dalam bentuk
normatif maupun faktualnya. Pemangku kepentingan dengan kepentingan tinggi adalah pemangku kepentingan yang karena perannya saat ini memberikan manfaat
signifikan terhadap kebijakan dan implementasi program penanggulangan HIV dan AIDS di lokasi penelitian.
B. Peran dan interaksi Pemangku kepentingan dalam Penanggulangan HiV dan AiDs di Daerah
Diagram 4. Kepentingan dan Kekuasaan Pemangku Kepentingan Penanggulangan HIV dan AIDS di Lokasi Penelitian
Dari pemetaan yang dilakukan oleh Tim Peneliti universitas didapat gambaran bahwa kepentingan KPAD, Dinkes, dan LSM terbilang tinggi di 11 kabupatenkota
lokasi penelitian; sementara kepentingan Rumah Sakit Umum Daerah RSUD, Puskesmas dan Populasi Kunci terbilang tinggi di 10 lokasi penelitian. Sedangkan
kepentingan DPRD, SKPD dan Bappeda terhitung rendah di 10 lokasi penelitian. Berdasarkan tingkat kekuasaannya, Dinkes terbilang tinggi di 11 lokasi penelitian
dan WalikotaBupati tinggi di 9 daerah. Kekuasaan MPI tergolong tinggi di lokasi
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 31
penelitian rerata 8,5. Sedangkan Puskesmas, LSM, Populasi Kunci, SKPD dan Lembaga AdatAgama kekuasaannya rendah di semua lokasi penelitian. Diagram 4
menggambarkan rincian pemetaan tersebut.
Lebih jauh lagi, hasil pemetaan pemangku kepentingan daerah yang berperan dan berfungsi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di 11 lokasi penelitian bisa
dikategorikan ke dalam empat variasi interaksi atas kepemilikan kepentingan dan kekuasaannya. Keempat kategori tersebut ialah: 1 Kepentingan Tinggi dan Kekua-
saan Tinggi; 2 Kepentingan Tinggi dan Kekuasaan Rendah; 3 Kepentingan Ren- dah dan Kekuasaan Tinggi; dan 4 Kepentingan Rendah dan Kekuasaan Ren dah.
Gambar 2 menunjukkan posisi pemangku kepentingan strategis dalam penang gu- langan HIV dan AIDS di daerah berdasarkan pembagian kategori ini:
Gambar 2. Posisi Pemangku Kepentingan di Daerah
2
3
Ke pe
nt in
gan
Kekuasaan
Tinggi Rendah
Tinggi
4
1
Dinkes MPI
Walikota Bupati
KPAD RSUD
PKM LSM
Populasi Kunci
Lembaga Adat SKPD
DPRD Bappeda
Posisi pemangku kepentingan berdasarkan kepentingan dan kekuasaan sebagai- mana digambarkan tersebut menentukan bagaimana mereka berperan dan berinteraksi
dalam memengaruhi penerimaan pemda terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Berikut ini pembahasan mengenai masing-masing pemangku kepentingan
berdasarkan posisinya.
1. Posisi Pemangku kepentingan a. kepentingan Tinggi dan kekuasaan Tinggi
Pemangku kepentingan dengan kepentingan dan kekuasaan tinggi sangat berpengaruh dalam menentukan bagaimana penerimaan daerah terhadap upaya
penanggulangan HIV dan AIDS. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa Bupati