Hukum dan Peraturan konteks kebijakan dan Program Penanggulangan HiV dan AiDs pada Tingkat Pusat dan Daerah

INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 23 Tim Peneliti Unair, Sidoarjo sebagai kota industri memiliki potensi untuk memobilisasi peran sektor swasta agar berpartisipasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui skema pembiayaan. Di daerah yang sudah ada pendanaan dari sektor swasta melalui Corporate Social Responsibility CSR pun, pengelolaannya masih dilakukan oleh sektor swasta secara sendiri-sendiri dan hanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pencegahan dalam bentuk sosialisasi dengan mengundang nara sumber dari Dinkes atau KPA. Di Kota Makassar, beberapa perusahaan seperti PT Angkasa Pura, Pabrik Semen Bosowa, BNI, BRI dan PT Vale di Kabupaten Luwu Timur sudah mengalokasikan dana CSR untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS. Tetapi, pengelolaan pendanaan terbatas pada kegiatan yang sifatnya insidental dan belum dijadikan bagian dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang strategis dan berkelanjutan.

d. Permasalahan kesehatan

Dalam konteks pembangunan sektor kesehatan, ditemukan bahwa pemda belum memprioritaskan HIV dan AIDS sebagai isu strategis pembangunan kesehatan daerah. Ini bisa dilihat dari masih terbatasnya kapasitas daerah dalam menyusun peren canaan dan mengembangkan kebijakan berdasarkan bukti-bukti situasi kese- hatan masyarakat di wilayahnya. Di satu sisi daerah belum mampu memproduksi data kesehatan daerah yang akurat, sementara di sisi lain data yang tersedia dan berman faat bagi perencanaan pembangunan kesehatan seperti survei demografi dan survei kesehatan tingkat populasi tidak dimiliki oleh pemda. Untuk data strategis seperti Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku STBP, misalnya, walaupun pemda melalui Dinkes terlibat dalam pengumpulan data surveinya, tetapi kepemilikan data ini tetap ada pada pemerintah pusat. Akibatnya, pemda tidak bisa sepenuhnya menggunakannya untuk mengembangkan perencanaan di wilayahnya. Ada beberapa akibat lebih jauh dari situasi tersebut. Pertama, karena tidak mengetahui besaran dan sebaran masalah yang ada di wilayahnya, inisiatif daerah untuk mengembangkan respons dalam bentuk program maupun kebijakan menjadi kurang. Daerah cenderung menjadi pelaksana dari program-program yang direnca- nakan oleh pemerintah pusat Kemenkes maupun oleh lembaga donor. Program penanggulangan HIV dan AIDS lantas dipahami sebagai program pemerin tah pusat yang bersifat vertikal. Target-target pun ditentukan di tingkat pusat, padahal dalam desentralisasi sesungguhnya kekuasaan untuk menentukan target sesuai dengan kondisi daerah dimiliki oleh daerah itu sendiri. Kedua, perencanaan yang lemah secara langsung juga berdampak pada lemah- nya penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS di daerah yang bersumber dari 24 • PKMK FK UGM APBD. Memang ditemukan adanya daerah yang memiliki kapasitas untuk mengem- bangkan data lokal serta menyediakan dana sektor kesehatan yang mencukupi seperti Provinsi Bali. Namun, di banyak daerah lainnya, termasuk Makassar dan Sidoarjo, ketiadaan dokumen perencanaan seperti Strategi dan Rencana Aksi Daerah SRAD Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai dasar penganggaran lintas-instansi pemerintah mengakibatkan pengajuan anggaran dari sektor non-kesehatan sering kali ditolak oleh Bappeda yang menilai bukan sebagai tupoksinya. Padahal, alokasi anggaran untuk sektor kesehatan sendiri pun masih belum mencapai 10 dari APBD di luar gaji sebagaimana diamanatkan oleh UU Kesehatan Nomor 362009 Pasal 171 ayat 2.

B. situasi Epidemi dan Perilaku Berisiko di Daerah Penelitian

Diagram 1. Prevalensi HIV per 100.000 Penduduk Sumber: Kemenkes 2014 Situasi epidemi di setiap daerah semestinya memengaruhi variasi respons yang perlu dilaksanakan oleh daerah dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS. Situasi epidemi di lokasi penelitian pada dasarnya bervariasi dalam artian besaran dan sebaran kasus HIV dan AIDS. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kemenkes pada bulan September 2014, terlihat bahwa Papua merupakan daerah dengan prevalensi tertinggi 566,50 kasus per 100.000 penduduk, disusul Papua Barat 356,91 kasus per 100.000 penduduk. Sementara dari penelitian daerah, terungkap bahwa Jawa Timur merupakan daerah dengan prevalensi terendah, yaitu sebesar 51,36 per 100.000 penduduk.