Formulasi Kebijakan Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

56 • PKMK FK UGM melalui media internet pemerintah kota situs, media elektronik radio maupun melalui buletin dan surat kabar. Untuk populasi kunci, informasi mengenai pengembangan program dan layanan bisa diperoleh melalui LSM dan penjangkau lapangan. Sebagai Leading Sector, Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan KPA Kota Surabaya memiliki peran dalam akses publik terhadap informasi mengenai program HIV dan AIDS Tim Peneliti Unair, 2014. Agar masyarakat selalu mendapatkan informasi terbaru maka sosialisasi HIV dan AIDS selalu dilakukan melalui media RRI, selebaran, spanduk, billboard dan sosialisasi pada hari-hari besar misalnya Hari AIDS Sedunia yang dilaksanakan oleh KPA dan Dinas Kesehatan melalui seksi promosi kesehatan bekerjasama dengan LSM dan lembaga donor Tim Peneliti Uncen, 2014. Dari sisi daya tanggap, pemda kurang melibatkan masyarakat dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan rencana strategis program penanggulangan HIV dan AIDS. Penelitian ini tidak menemukan adanya mekanisme yang dibuat agar masyarakat bisa mengevaluasi implementasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah penelitian. Sistem monitoring dan evaluasi sudah ada, tetapi sifatnya internal. Pengawasan dan evaluasi dilakukan oleh pelaksana program saja seperti Dinkes dan KPAD. Hasil pengawasan dan evaluasi hanya untuk kebutuhan internal pelaksana program. Selain itu, tidak ditemukan forum- forum yang melibatkan masyarakat atau populasi kunci di daerah penelitian untuk melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program HIV dan AIDS. 2 Pembiayaan Pembiayaan dalam penelitian ini dimaknai sebagai pengelolaan berbagai upaya penggalian, alokasi, dan belanja dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya. Komponen pembiayaan terdiri atas 1 Pengelolaan sumber-sumber pembiayaan dalam artian sejauh mana pemda mengoordinasikan, mengumpulkan, dan mengelola berbagai sumber pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS seperti APBN, APBD dan donor; 2 Penganggaran, proporsi, dan distribusi pengeluaran pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu bagaimana pemda menganggarkan penanggulangan HIV dan AIDS dengan proporsi dan distribusi yang sesuai; 3 Mekanisme pembayaran layanan, yaitu bagaimana membiayai pelayanan kesehatan dalam kaitannya dengan pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN. Pendanaan program penanggulangan HIV dan AIDS dalam penelitian ini difokuskan pada area program PP, PDP, dan MD. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 57

a. Pengelolaan Sumber Pembiayaan

Program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah memiliki beragam sumber pendanaan, yakni dari MPI, pemerintah pusat, pemda, dan pihak lain yang tidak mengi kat sebagaimana diamanatkan dalam regulasi penanggulangan HIV dan AIDS. Di semua daerah penelitian, sumber utama pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS adalah MPI. Sementara untuk APBD, di beberapa daerah telah ada kecenderungan peningkatan seperti di Denpasar dan Badung Tim Peneliti Unud, 2014. Tetapi, di daerah lain seperti di Sidoarjo, terjadi fluktuasi persentase penda naan yang bersumber dari APBD, demikian pula yang bersumber dari donor Tim Peneliti Unair, 2014. Gambaran persentase pendanaan donor dan APBD di Kabupaten Sidoarjo dapat dilihat pada Diagram 5. Diagram 5. Proporsi Dana Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sidoarjo Sumber: KPA Kabupaten Sidoarjo dalam Laporan Tim Peneliti Unair, 2014 Sejauh ini belum tampak berbagai sumber pendanaan tersebut dikelola dan dikoordinasikan dengan baik oleh KPAD atau Dinkes. Penelitan ini tidak menemukan adanya mekanisme pooling resources di mana pemda melakukan perkiraan kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS di daerah dan kemudian mengumpulkan berbagai sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. BappedaBappeko belum berfungsi optimal dalam sinkronisasi dan koordinasi perencanaan dan penganggaran, dan hanya mengoordinasikan anggaran yang berasal dari APBD. Sedangkan dana dari pihak lain seperti MPI diberikan langsung ke pelaksana kegiatan seperti LSM atau fasilitas pelayanan. Masing-masing MPI mempunyai mekanisme perencanaan dan penganggaran sendiri termasuk peruntukannya. 58 • PKMK FK UGM …[d]ana program-program HIV dan AIDS di bidang pencegahan dan PDP yang rutin dilakukan oleh LSM, Dinas Kesehatan Kota, Puskesmas Madising dan Rumah Sakit Andi Makkasau sebagian besar atas dukungan Global Fund. Dana APBD Kota Parepare yang dialokasikan kepada Dinas Kesehatan Kota umumnya dipakai untuk membiayai pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh staf, menunjang pembelian reagen dan juga untuk pengadaan obat-obat untuk IMS Tim Peneliti Unhas, 2014. Hanya di Jayapura saja yang ditemukan adanya koordinasi berbagai sumber pendanaan, termasuk pendanaan dari MPI. Di Bappeko Jayapura terdapat bagian Kemitraan yang memainkan peran ini. Meskipun demikian, tidak semua pendanaan dikoordinasikan, seperti pendanaan dari donor yang jumlahnya tidak signifikan dan diberikan kepada penerima manfaat tanpa dikoordinasikan melalui Bappeko. Pendanaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang berasal dari berbagai sumber dikelola berbeda dengan pendanaan upaya penanggulangan penyakit menular lainnya. Artinya, belum ada mekanisme untuk mengoordinir berbagai sumber penda- naan di daerah sehingga berimplikasi terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang berjalan sendiri-sendiri menurut kepentingan lembaga pendukung program. b. Pengalokasian Pendanaan Pendanaan penanggulangan HIV dan IDS sebagai penyakit yang kompleks dan ditangani oleh multisektor belum terakomodasi dalam skema penganggaran APBD. Anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS terbatas pada dinkes saja, dan usulan anggaran oleh SKPD anggota KPAD sering kali tidak disetujui oleh Bappeda karena dianggap tidak sesuai tupoksinya. Salah satu informan di Parepare mengung- kapkan: “Orang-orang di Bappeda dan DPRD itu memakai kacamata kuda tupoksi. Kalau menyebut spesifik HIV, SKPD-SKPD seperti Dinsos atau Dikbud sering ditolak. Makanya kita di KPA selalu meminta mereka untuk menyiasatinya dengan mengintegrasikannya dalam tupoksi mereka. Sayangnya, masih banyak SKPD seperti itu mogok, kita di KPA imbau mereka berkali-kali tapi banyak yang belum jalan-jalan juga. Kelihatannya masih banyak SKPD yang tidak mau repot dan tidak percaya diri menghadapi Bappeda dan DPRD.” DKT, staf KPA Kota Parepare, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014 Sementara di daerah lain seperti di Surabaya, Sidoarjo, dan Jayapura, usulan alokasi dana penanggulangan HIV dan AIDS sering tidak mendapat persetujuan DPRD jika tidak berkaitan langsung dengan kepentingan politik ekonomi DPRD. ….rencana awal anggaran penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Surabaya mencapai angka Rp10 miliar, namun dalam realisasinya dana yang disetujui oleh APBD tahun 2014 sebesar Rp3,9 miliar Tim peneliti Unair, 2014. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 59 Dalam Renstra Kota Jayapura tahun 2011–2015, kebutuhan biaya dari tahun ke tahun berkisar antara Rp7–9 miliar. Jika kita bandingkan dengan realisasi alokasi dana APBD tahun 2011 yang hanya Rp1,7 miliar, maka dapat dikatakan bahwa alokasi dana tersebut sangat sedikit dibanding dengan dana yang direncanakan Tim Peneliti Uncen, 2014. Untuk pendanaan yang sudah berhasil dianggarkan dalam APBD, terdapat alokasi untuk program PP, PDP, dan MD. Umumnya dinkes mendapatkan alokasi pen- da naan untuk pencegahan dan pengobatan. Contohnya, dana APBD Kota Parepare yang dialokasikan untuk Dinkes Kota umumnya dikombinasikan dengan penda- naan pencegahan dan penyediaan layanan dalam konteks pengobatan, termasuk membiayai pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh staf, menunjang pembelian reagen dan untuk pengadaan obat-obatan IMS. Sementara itu, SKPD di luar dinkes umumnya mendapatkan alokasi pendanaan untuk program PP dan MD. Misalnya di Surabaya, anggaran dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Dinas Pendidikan masuk dalam anggaran Unit Kesehatan Siswa UKS, sementara anggaran dana pencegahan di Dinas Kominfo digunakan untuk pembuatan brosur Tim Peneliti Unair, 2014. Tim Peneliti Unud 2014 juga menyebutkan bahwa Dinsos, Disnaker, Disdikpora, Dinas Pemberdayaan Perempuan, dan Dinas Pariwisata memiliki anggaran untuk PP dan MD. Namun, tidak semua SKPD di luar Dinkes mempunyai dana pencegahan HIV dan AIDS. Contohnya di Jayapura, walaupun di dalam Renstra tahun 2011–2015 telah ada rencana program dan alokasi anggaran bagi SKPD-SKPD, tetapi dalam pelaksanaannya sampai saat ini belum ada realisasi ketersediaan dana khusus untuk program HIV dan AIDS di SKPD selain Dinkes dan Kantor Kesehatan Pelabuhan Tim Peneliti Uncen, 2014. Selain itu, ada kesan bahwa pengalokasian pendanaan tidak sesuai dengan kebutuhan, baik dari segi proporsi maupun peruntukan. Misalnya untuk KPA Kabupaten Badung, proporsi anggaran untuk kebutuhan operasional dinilai masih terlalu besar dibandingkan dengan alokasi dana program. Dana untuk mitigasi dampak yang disediakan oleh Kemensos dan Dinsos juga dinilai oleh komunitas dan LSM sebagai program yang salah sasaran. Lebih jauh lagi, secara umum responden juga mengeluhkan masih lambatnya mekanisme pengajuan dan realisasi anggaran yang bersumber dari APBD ataupun APBN Laporan Tim Peneliti Unud, 2014. Untuk peruntukkannya, dana yang berasal dari MPI dialokasikan sesuai dengan program yang direncanakan MPI. Kalaupun ada yang dialokasikan untuk Dinkes, KPA dan LSM, peruntukannya tetap tidak terlepas dari pelaksanaan program yang sudah ditentukan sesuai perencanaan MPI. Gambaran ini menunjukkan bahwa