Sumber Daya Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

74 • PKMK FK UGM secara mandiri guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Partisipasi masyarakat ini meliputi dua unsur: 1 Terselenggaranya pertemuan-perte- muan koordinasi oleh pemangku kepentingan dan masyarakat misalnya, perwakilan populasi kunci, adanya dana yang dialokasikan bagi masyarakat sipil dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, serta adanya pengembangan kapasitas seperti pelatihan dan bantuan teknis yang secara strategis diikuti sebagai bagian dari proses perencanaan, implementasi, dan evaluasinya; 2 Akses atas layanan baik kesehatan umum maupun layanan HIV dan AIDS yang menggambarkan proporsi populasi kunci, dan proposi populasi kunci yang dapat mengakses JKN atau Jamkesda. a. Dimensi Partisipasi Masyarakat Partisipasi dalam sektor kesehatan dikembangkan untuk menggerakkan pelibatan masyarakat secara lebih bermakna dalam proses perencanaan, implementasi, serta pengawasan dan evaluasi program. Kemampuan menggerakkan partisipasi masya- rakat menjadi unsur penting dalam membangun mekanisme akuntabilitas sekaligus kesadaran kolektif untuk memerangi epidemi HIV dan AIDS bersama-sama. Jenis partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi: 1 Partisipasi aktif dalam pembentukan paguyuban di tingkat komunitas, seperti pem- bentukan Warga Peduli AIDS WPA. WPA merupakan perwakilan masyarakat umum di sebagian besar daerah sebagai bentuk solidaritas dan perhatian dalam penang gulangan AIDS; 2 Partisipasi secara strategis dalam bentuk keterwakilan LSM, populasi kunci, kader masyarakat sebagai anggota KPAD agar secara aktif mengikuti proses pembuatan keputusan dan perencanaan program intervensi. Bentuk partisipasi lainnya ialah pelibatan dalam berbagai pertemuan rutin yang dikoor- dinasikan oleh KPA, seperti ditemukan di Medan; 3 Partisipasi melalui pengem- bangan kegiatan mandiri oleh masyarakat sebagai bagian dari kepedulian terhadap HIV dan AIDS. Misalnya, berbagai kegiatan penyuluhan dan sosialisasi tentang HIV dan AIDS dilakukan oleh kader-kader dari masyarakat umum. “Di 21 kecamatan ada semua, cuma kalau kita tanya keaktifannya ya... mungkin separuhnya yang aktif. Makanya ini kita coba masukkan ke Perwal yang sedang disusun. Jadi di Perwal itu nanti ada tentang pokja HIV Kecamatan, malah ada WPA. WPA itu nanti di tingkat kelurahan.” KPA Kota Medan, dalam laporan Tim Peneliti USU, 2014. “Kita di Balla’ta mencoba memberdayakan teman-teman ODHA dan populasi kunci. Dari Biro Bina Napza kita dapat bantuan berupa rumah yang bisa kita tinggali [untuk] beraktivitas sekarang ini. Ini juga menjadi rumah singgah bagi teman-teman dari luar Makassar yang datang berobat atau mencari dukungan dari sesama ODHA. Dari Dinas Sosial juga ada INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 75 beberapa kali bantuan untuk pemberdayaan ekonomi. Baru-baru ini kita diberi bantuan mesin cuci untuk usaha laundry. Ini kami syukuri. Tetapi kendalanya ketika pada saat implementasi sering kali kita diminta cepat- cepat menyelesaikan program, akhirnya hasil yang kita harapkan itu tidak maksimal.” DKT, LSM PKNM Kota Makassar, 16 Juli 2014, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014 Pada dasarnya praktik partisipasi masyarakat seperti ini cenderung lebih bermakna daripada model partisipasi masyarakat pada sektor kesehatan pada umum- nya. Peran partisipasi masyarakat di sektor kesehatan hanya diarahkan sebatas untuk memanfaatkan layanan daripada pelibatan untuk pengembangan layanan seperti dalam pelibatan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Meskipun demikian, terdapat kritik bahwa walaupun partisipasi masyarakat dalam penang gu- langan HIV dan AIDS lebih terlihat, partisipasi masyarakat tersebut masih bersifat simbolik. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat lebih digunakan sebagai sarana legitimasi dari mekanisme proyek yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat luas, khususnya populasi kunci, sebagai penerima manfaat utama program Tim Peneliti Udayana, 2014. Akibatnya, partisipasi masyarakat menjadi sebatas sebagai pelak- sana program di tingkat lapangan, belum berada pada partisipasi strategis yang lebih bermakna dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program. b. Akses dan Pemanfaatan Layanan Akses dan pemanfaatan layanan kesehatan kelompok populasi kunci dan masyarakat marjinal terhadap jaminan kesehatan dalam skema JKN menjadi cara penting untuk pemenuhan hak kesehatan. Ada sebagian ODHA dan populasi kunci yang dapat memanfaatkan JKN sebagai jaminan pembiayaan dengan membayar premi. Namun, tidak sedikit yang mengalami kesulitan untuk membayar premi secara rutin karena faktor kerentanan ekonomi, seperti dialami sebagian komunitas ODHA di Bali, Makassar, dan Parepare. Meskipun sudah menjadi anggota JKN, tidak semua layanan dapat dijamin oleh JKN. Pembiayaan untuk serangkaian tes sebelum inisiasi ARV tidak ditanggung JKN, padahal ini memakan biaya tidak sedikit. Meskipun bisa didapat secara gratis, ARV tidak dijamin JKN karena sudah ditanggung oleh pembiayaan dari program. Selain itu, banyak pula ODHA dan populasi kunci yang tidak dapat meman- faatkan pembiayaan layanan kesehatan lewat JKN karena tidak mempunyai kartu identitas yang menjadi syarat untuk akses JKN. Di Denpasar dan Badung misalnya, ODHA lebih memilih memanfaatkan layanan dengan jaminan dari daerah berupa Jamkesda karena prosesnya tidak serumit JKN. 76 • PKMK FK UGM Sudah ada ODHA dan populasi kunci yang memanfaatkan JKN, tetapi masih terbatas tanggungannya untuk IO; ARV masih dari pusat CST dan beberapa komponen pra-ARV tidak ditanggung oleh JKN. Sebagian besar ODHA yang mengakses layanan kesehatan di RSUD Badung memanfaatkan JKBM Jamkesda dan hanya sedikit ODHA yang memanfaatkan JKN Tim Peneliti Udayana, 2014. “Kemarin ada dua orang teman ODHA kita bantu uruskan BPJS. Kelengkapan administrasi penting sekali untuk mengurus BPJS. KPA Kota membantu kita untuk mengatasi masalah-masalah kelengkapan administrasi ini, lewat koordinasi dengan bagian Kesra. Di BPJS kami tidak menyebut B20 karena disebut otomatis akan ditolak. Kami hanya memasukkan infeksi penyertanya untuk mendapatkan akses BPJS mandiri. Kita sudah ada komunikasi dengan teman di Kesra, Dinkes dan di Rumah Sakit Andi Makkasau mengenai hal ini.” DKT, staf LP2EM Kota Parepare, 3 Juni 2014 JKN juga lebih fokus pada pembiayaan untuk aspek kuratif PDP dengan memberikan jaminan pembiayaan pada obat untuk IO. Sementara untuk pencegahan seperti metadon ditanggung oleh pemerintah melalui dana program, sehingga tidak masuk dalam skema pembayaran yang ditanggung oleh JKN. Biaya-biaya untuk mitigasi dampak juga tidak ditanggung. Secara khusus, kota Manokwari, Jayapura, dan Merauke melalui Otsus memberikan dukungan mitigasi dampak dalam bentuk makan tambahan dan biaya transportasi kepada ODHA untuk mengakses layanan bagi yang berada di wilayah pedalaman atau jauh dari pusat akses layanan di daerahnya. 7 Penyediaan Layanan Penyediaan layanan adalah semua layanan atau intervensi kesehatan personal maupun masyarakat yang efektif, aman, dan berkualitas yang disediakan bagi mereka yang membutuhkan di tempat dan waktu tertentu. Komponen penyediaan layanan terdiri dari tiga unsur: 1 Layanan untuk HIV dan AIDS tersedia di fasilitas pelayanan primer dan sekunder di lokasi penelitian; 2 Koordinasi dan rujukan berupa layanan HIV dan AIDS yang dikoordinasikan Dinkes melalui KPA KotaKabupaten di lokasi penelitian; 3 Jaminan kualitas layanan dalam bentuk adanya mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan AIDS yang sama dengan jaminan kualitas layanan kesehatan lainnya. a. Ketersediaan Layanan Berbagai layanan HIV dan AIDS terdapat di daerah penelitian, yang bisa dikelompokkan menjadi layanan pencegahan, PDP, dan MD. Layanan-layanan ini disediakan oleh fasilitas layanan pemerintah maupun swasta, LSM, dan masyarakat. IN TE G R AS I U PA YA P EN AN G G U LA N G AN H IV D AN A ID S K E D AL AM S IS TE M K ES EH AT AN • 77 Tabel 6. Layanan HIV dan AIDS di Daerah Penelitian Lokasi Jenis Layanan keterangan pencegahan pDp mitigasi Dampak kie Vct ppia ptrm Lass arV ims medan OR PS 8 PKM, 5 RS, 1 Klinik 1 KKP 5 PKM 3 RS 2 RS 3 PKM 3 LSM 3 PKM 5 RS 10 PKM Bantuan Modal untuk ODHA dari Kemensos, Pelatihan Manajemen ODHA dari KPA OR= Outreach oleh LSM; PS = Penyuluhan Sosialisasi oleh LSM, Dinkes, RS, Puskesmas, KPA dan SKPD anggota KPAD, dan LSM. X= tidak ada layanan PIKM = Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat ; KPP= Klinik Kesehatan Pelabuhan Deli serdang OR, PS 3 X 1 PKM 1 3 surabaya OR, PS 8 PKM 7 RS 5 PKM 3 RS 2 PKM 2 RS 6 PKM 7 RS RS 18 PM Pemberian makan tambahan dari dana APBD Dinkes, Pemberdayaan ODHA dengan dana Dinas sosial sidoarjo OR, PS, PIKM 4 PKM 1 RS 1 X 2 1 2 Bantuan gerobak dan mesin tebu, bantuan hukum Denpasar OR, PS, KSPAN 11 PKM 1 RS 11 PKM 1 RS 2 3 1 RSUD 9 PKM 1 RS Dinsos dan BNK memiliki program rehabilitasi bagi populasi kunci dan Odha 2 satelit ARV di puskesmas; KSPAN Dinas Pendidikan 78 • PKMK FK UGM Lokasi Jenis Layanan keterangan pencegahan pDp mitigasi Dampak kie Vct ppia ptrm Lass arV ims Badung OR, PS, KSPAN 11 PKM dan RS 1 2 1 1 RSUD 8 PKM dan RS Dinsos dan BNK program rehabilitasi korban napza dan ODHA; pengadaan bibit sapi dan pemberian makanan tambahan. 1 satelit ARV di Bali Medica untuk LSL KSPAN Dinas Pendidikan makassar OR, PS 13 6 4 2 9 13 Menjahit, bengkel elektronik dan bantuan modal dari Dinsos parepare OR PS PIKR BKR 7 X 1 1 1 RSUD 1 32 PIK KRR di SMP dan SMA Bina Keluarga Remaja BKR di 22 kelurahan manokwari OR, PS 9 2 X X 1 RSUD 9 Mobile VCT Jayapura OR, PS 6 rs X X 2 RSUD 13 merauke OR, PS 18 PKM X X 1 RSUD PKR Dinas Sosial Kartu Sehat pekerja bar dan panti pijat Layan PKR di PKM Sumber: Laporan Tim Peneliti Universitas, 2014 INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 79 Secara ringkas gambaran program pencegahan di lokasi penelitian menunjukkan tersedianya jenis-jenis program yang sama kecuali beberapa program untuk penasun yang tidak ada di Merauke, Jayapura, dan Manokwari. Dari tabel di atas terlihat bahwa di darah penelitian layanan terkait HIV dan AIDS sudah tersedia di semua fasilitas layanan kesehatan primer dan sekunder yang dapat diakses populasi kunci, ODHA, dan masyarakat umum. Layanan yang dibe- rikan oleh berbagai pihak ini telah memungkinkan terciptanya continuum of care, mulai dari layanan pencegahan, perawatan sampai mitigasi dampak. Berikut ini penjelasan masing-masing layanan berdasarkan tiga kategori ini. Pencegahan merupakan upaya terpadu untuk memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS yang merupakan tanggung jawab pemerintah, pemda, masyarakat, dan swasta. Program pencegahan di daerah penelitian dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi kesehatan umum melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi KIE yang dilakukan oleh Dinkes, KPAD, SKPD anggota KPAD seperti Dinas Pendidikan dan Pariwisata di Denpasar dan Badung. Penyediaan layanan pencegahan berupa alat dan materi tes VCT dan PITC; tersedianya material pencegahan seperti kondom, pelicin, dan alat suntik steril; dan terapi metadon di layanan kesehatan yang ada seperti rumahsakit, puskesmas, dan LSM. Peran petugas penjangkau dalam distri busi material pencegahan sangat penting karena mereka dapat secara langsung menjang- kau dan mendampingi kelompok populasi kunci, seperti ditemukan di Makassar. Di bidang pencegahan HIV dan AIDS di Kota Makassar, kegiatan-kegiatan pencegahan rutin lebih banyak dilakukan oleh tenaga-tenaga penjangkau outreach workers dari LSM-LSM. Selain tenaga-tenaga penjangkau dari LSM, khususnya di wilayah-wilayah Puskesmas LKB Layanan Komprehensif Berkelanjutan terdapat community organizers yang berfungsi membentuk Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat PIKM. PIKM memiliki kader- kader dari masyarakat dan dari populasi kunci yang sudah dilatih. PIKM ini menyediakan media-media komunikasi, informasi dan edukasi HIV dan AIDS yang disebarkan oleh kader-kader ke masyarakat dan populasi kunci Tim Peneliti Unhas, 2014. Penyediaan layanan PDP di daerah penelitian dilakukan dengan pendekatan berbasis klinis, keluarga danatau masyarakat dan diadakan oleh fasilitas layanan primer dan sekunder. Di semua daerah penelitian tersedia layanan pengobatan ARV baik di RSUD maupun di puskesmas satelit ARV. Menariknya, ada pelibatan LSM dan klinik swasta dalam penyediaan layanan pengobatan untuk populasi kunci. Seperti ditemukan Tim Peneliti Unud 2014, beberapa layanan memiliki segmen populasi kunci yang khusus, misalnya Bali Medical Center terutama menyasar LSL, sedangkan yKP lebih dikenal sebagai penyedia layanan bagi WPS walaupun yKP juga melayani 80 • PKMK FK UGM semua kelompok populasi kunci termasuk ibu hamil rujukan puskesmas. Selain itu, di salah satu puskesmas di Kota Denpasar, telah disiapkan penyediaan layanan bagi kelompok waria karena kedekatan lokasi dengan ‘pangkalan’ waria. Terkait dengan cakupan layanan PDP, ditemukan bahwa terdapat peningkatan jumlah cakupan seiring dengan bertambahnya jumlah penyedia layanan di Makassar, Pare-pare, Denpasar, Badung, Surabaya, dan Sidoarjo. Sebagaiaman dilaporkan Tim Peneliti Unud 2014, ada kecenderungan peningkatan cakupan VCT Kota Denpasar, yaitu dari 202 orang pada pertengahan 2011 menjadi 5.042 orang pada pertengahan 2013. Sementara di Kabupaten Badung, jumlahnya meningkat dari 48 orang pada Juli–September 2011 menjadi 2.539 orang pada pertengahan 2013. Begitu juga ditemukan untuk cakupan ARV, meningkat dari 87,4 tahun 2012 menjadi 90,9 pada tahun 2013 Dinkes Provinsi Bali dalam Laporan Tim Peneliti Unud, 2014. Perawatan ODHA dilakukan dengan pendekatan klinis, agama, dan berbasis keluarga. Layanan perawatan klinis ada di fasilitas layanan primer dan sekunder, sementara layanan berbasis masyarakat atau keluarga biasanya dikelola oleh LSM. Contohnya di Medan, penyediaan layanan berbasis masyakaratkeluarga home based care disediakan oleh LSM Perempuan Peduli Pedila Medan, dan ada pula pemulihan adiksi berbasis masyarakat PABM yang dilakukan oleh LSM Caritas PSE dan Medan Plus Tim Peneliti USU, 2014. Layanan mitigasi dampak bertujuan untuk mengurangi dampak HIV dan AIDS terutama dalam kehidupan sosial dan ekonomi ODHA. Sejauh ini ditemukan bahwa layanan ini lebih banyak dilakukan oleh SKPD anggota KPAD di luar Dinkes, dengan program dan pendanaan yang tersedia secara sporadis. Umumnya sumber pembiayaannya dari pemerintah pusat, seperti Kemensos dan BNN di Denpasar dan Badung, atau dari Kemenkes berupa pemberian modal untuk ODHA di Medan, walaupun ada juga pendanaan dari APBD lewat Dinkes dalam penyediaan makanan tambahan bagi ODHA di Surabaya. Ini mengindikasikan bahwa layanan mitigasi dampak berjalan sendiri sesuai dengan perencanaan pemberi dana dan tidak dikoordinasikan oleh sektor kesehatan. Lebih jauh lagi, seperti ditemukan oleh Tim Peneliti Unhas 2014, sering kali program-program mitigasi dampak seperti ini berjalan tanpa persiapan matang, tanpa melalui proses penilaian kebutuhan yang mendalam, dan penyelesaiannya dilakukan secara terburu-buru sehingga keberlanjutannya tidak diprioritaskan. Penyediaan layanan terkait HIV dan AIDS untuk PP dan PDP sama dengan sistem layanan kesehatan umum sehingga ODHA dapat mengakses layanan pada fasilitas layanan kesehatan umum. Dengan demikian, ODHA bisa mendapatkan layanan kesehatan seperti masyarakat pada umumnya di fasilitas-fasilitas kesehatan INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 81 primer maupun sekunder di daerah. Sedangkan penyediaan layanan MD tersedia secara insidental, yang umumnya tergantung ketersediaan dana dan program dari pusat. b. Koordinasi dan Rujukan Rujukan yang terkoordinasi dalam sistem kesehatan akan memudahkan ODHA untuk mendapatkan layanan yang dibutuhkan antar-fasilitas layanan primer dan sekunder. Rujukan terkoordinasi juga memungkinkan ODHA untuk mengakes layanan antar-wilayah. Sebaliknya, jika layanan HIV dan AIDS saja yang terkoor- dinasi, layanan untuk ODHA menjadi eksklusif dan terpisah dari layanan umum sehingga bisa membatasi kesediaannya. Ditemukan bahwa koordinasi dan rujukan antar-layanan terdepan frontline services telah berjalan. Misalnya, tenaga penjangkau dari LSM akan merujuk pasien ke tenaga kesehatan di puskesmas. Apabila diperlukan layanan lanjutan, maka pasien tersebut akan dirujuk ke rumah sakit. Di Parepare dan Makassar, terselenggara koordinasi rutin antara tenaga penjangkau dan tenaga kesehatan di puskesmas atau rumah sakit. Di Deli Serdang dan Medan, Dinkes berkoordinasi lewat pertemuan tiga bulanan. KPA KotaKabupaten juga memfasilitasi pertemuan koordinasi seperti di Surabaya, Sidoarjo, Badung, dan Denpasar. Laporan Tim Peneliti Unhas 2014 menyatakan bahwa koordinasi dan rujukan lebih terlihat pada program PDP, di mana kerjasama dan keterpaduan antara LSM, dinkes, rumahsakit, puskesmas, dan KPA Kota lebih intensif dibanding program pencegahan. Ini salah satunya terlihat dalam program perawatan berbasis masyarakat terhadap ODHA seperti yang dilakukan yKPDS di Kota Makassar. “Kalau kita di Rumah Sakit Wahidin, kita sangat terbantu dengan kawan- kawan LSM. Mereka yang jadi jembatan kami ke teman-teman ODHA misalnya untuk konseling kepatuhan ARV. Mereka juga yang rutin dampingi kawan-kawan ODHA setelah kembali ke rumahnya, membantu supaya keluarga bisa lebih supportif ke teman-teman ODHA itu. Tenaga kita di Pokja Rumah Sakit ‘kan terbatas, jadi tidak mungkin kita bisa melakukan itu.” WM, staf Pokja RS Wahidin Sudirohusodo Makassar, 25 Juli 2014, dalam Laporan Tim Peneliti Unhas, 2014 Koordinasi dan rujukan memang seharusnya menjadi lebih kuat lagi dengan strategi LKB, yang saat penelitian dilakukan mulai diluncurkan di daerah-daerah penelitian. Misalnya, di Kota Surabaya terdapat lima Puskesmas yang memiliki layanan komprehensif pencegahan HIV dan AIDS, lengkap dengan IMS, yang sifatnya berkesinambungan Tim Peneliti Unair, 2014. Memang dalam implementasinya masih ditemukan kendala-kendala yang muncul dalam hal rujukan dan koordinasi 82 • PKMK FK UGM baik karena alasan personal, prosedur maupun pembiayaan. Untuk mengatasinya, diadakan pertemuan-pertemuan koordinasi antar-pemangku kepentingan yang terlibat. Sementara laporan Tim Peneliti USU 2014 menyebutkan bahwa dalam kerangka LKB, KPA Kota Medan sudah menyusun MoU antara Forum LSM Peduli AIDS, Dinkes dan RS Pirngadi Medan. Sistem koordinasi dan rujukan selalu dibahas dalam pertemuan rutin KPA Kota Medan bekerjasama dengan Dinkes Kota. “Jadi... [k]alau perencanaan pelayanan kita ada rapat koordinasi dengan Dinkes. Sebetulnya bukan cuma Dinkes, LSM itu setiap 3 bulan namanya rapat koordinasi. Itu memang ada dananya di KPA, jadi di situ kita sekaligus umpamanya menentukan titik-titik layanan apa aja yang mesti kita perkuat IMS-nya, mana yang mesti VCT-nya, kenapa mesti di situ. Medan itu ‘kan jadi salah satu pusat percontohannya ya untuk program LKB, jadi kita berusaha meningkatkan kemampuan Puskesmas yang terkait LKB... kemudian layanan kesehatannya. Makanya kemarin kita ada juga semacam MoU antara layanan, LSM dan KPA... Dinkes itu untuk bagaimana agar dijaring LKB ini berjalan sebaik-baiknya.” Tim Peneliti USU, 2014

c. Jaminan Kualitas Layanan

Jaminan kualitas layanan HIV dan AIDS di layanan kesehatan umum diperlukan untuk memastikan kenyamanan, keamanan, dan kerahasiaan bagi ODHA dan popu- lasi kunci ketika mengakses layanan. Jaminan kualitasnya dapat dilihat dari sejauh mana SOP layanan diterapkan, ketaatan terhadap petunjuk pelaksanaan, akreditasi, maupun survei kepuasan klien. Mekanisme pengawasan dan evaluasi serta penyediaan bimbingan teknis dari Dinkes juga sangat menentukan kualitas layanan. Upaya untuk mewujudkan kualitas layanan HIV dan AIDS bervariasi antar- layanan di daerah-daerah penelitian. Ada yang terjadi di tingkat internal layanan, ada pula di tingkat Dinkes. Di Surabaya, jaminan kualitas layanan di tingkat rumah sakit dilakukan dengan supervisi terhadap program atau kasus terlapor, misalnya RSUD dr. Soetomo melakukan supervisi internal saban tiga bulan sekali dengan menga dakan rapat tim untuk membahas program dan perkembangan kasus. Untuk perkem bangan yang lebih bersifat jangka pendek, rumah sakit melakukan pertemuan dan diskusi saban hari Selasa. Kegiatan pengendalian kualitas serupa juga ditemukan di RSUD Dr. Soewandhi, di mana supervisi dilakukan pada layanan VCT setiap tiga bulan sekali untuk membahas kasus-kasus yang memerlukan perhatian khusus. Upaya lain untuk menjamin kualitas layanan ialah dengan mengukur kepuasan pasien terhadap layanan melalui survei kepuasan klien. Di RSUD dr. Soetomo Surabaya survei untuk tujuan ini telah dilakukan, tetapi di daerah lain seperti Makassar dan Deli Serdang, praktik pengukuran kepuasan ini masih belum umum khusus nya untuk layanan terkait HIV dan AIDS. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 83 Sementara itu, pengawasan dan evaluasi serta bimbingan teknis dilakukan oleh Dinkes. Di Surabaya, pengawasan ditujukan per program, misalnya untuk program HR, program Aku Bangga Aku Tahu ABAT, program CST, dan program PMTS. Kegiatan pengawasan dan evaluasi dilakukan setiap tiga bulan sekali atau kondisional jika dibutuhkan. Di Manokwari, Jayapura, dan Merauke, Dinkes juga melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap fasilitas layanan IMS dan VCT secara reguler selama dua tahun terakhir. Sementara di Medan dan Deli Serdang, pengawasan kualitas layanan unit pelayanan sektor swasta, pemerintah, dan LSM dilakukan di dinkes kota bekerjasama dengan KPA kota. Mekanisme serupa juga ditemukan di Badung dan Denpasar, rapat koordinasi yang difasilitasi oleh Dinkes Provinsi dan Kota untuk perbaikan layanan. Namun, Tim Peneliti Unud 2014 melaporkan bahwa proses pengawasan dan evaluasi masih dilakukan secara paralel sesuai dengan kebu tuhan penyandang dana, tidak dilakukan sebagai satu kesatuan proses yang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di lokasi penelitian. Dari uraian di atas terlihat bahwa mekanisme penjaminan kualitas lebih mudah dilakukan untuk program-program yang terkait dengan perawatan dan pengobatan serta sebagian layanan pencegahan yang dilakukan oleh layanan kesehatan. Namun, untuk penyediaan layanan pencegahan dan mitigasi dampak yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar layanan kesehatan seperti LSM maupun SKPD anggota KPAD selain Dinkes, mekanisme penjaminan kualitas layanan berlangsung di luar tanggung jawab Dinkes. Untuk program-program pencegahan yang dilakukan oleh LSM, mekanisme pengawasan dan evaluasinya dilakukan oleh masing-masing lembaga donor, terpisah dari sistem kesehatan.

C. Tingkat integrasi Berdasarkan Dimensi Fungsi sistem kesehatan

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan tingkat integrasi masing-masing dimensi fungsi sistem kesehatan sebagaimana dirinci Tabel 7. Di semua daerah penelitian telah dihasilkan berbagai produk kebijakan lokal dalam berbagai level seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan walikota bupati dan berbagai surat keputusan yang berhubungan dengan penanggulangan HIV dan AIDS. Berbagai kebijakan ini diformulasikan dengan mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda, sehingga bisa disimpulkan bahwa dimensi regulasi dan dimensi formulasi kebijakan telah terintegrasi penuh dengan sistem kesehatan. Namun, dalam implementasinya, ditemukan masih ada berbagai kendala termasuk kurangnya informasi kepada publik bagaimana kebijakan dijalan- 84 • PKMK FK UGM kan. Publik menjadi sangat terbatasi untuk mengontrol program-program yang dilak sanakan di daerah, sehingga akuntabilitas kebijakan-kebijakan tersebut sangat lemah dan tidak memiliki daya tanggap yang tinggi terhadap kebutuhan publik. Ini berbeda dengan kegiatan di sektor lain yang didanai oleh APBD yang bisa diketahui pencapaiannya, walaupun memang tidak selalu mudah. Dengan demikian, dimensi akuntabilitas dan daya tanggap tidak terintegrasi. Tabel 7. Tingkat Integrasi berdasarkan Dimensi Fungsi Sistem Kesehatan Fungsi sistem kesehatan Dimensi p pDp mD

1. manajemen dan regulasi

1. Regulasi +++ +++ +++ 2. Formulasi Kebijakan +++ +++ +++ 3. Akuntabilitas dan Daya Tanggap + + +

2. pembiayaan 4. Pengelolaan Sumber Pembiayaan

+ + NA 5. Penganggaran, Proporsi, Distribusi dan pengeluaran + + + 6. Mekanisme pembayaran layanan + + +

3. sDm 7. Kebijakan dan sistem manajemen

+ + NA 8. Pembiayaan + ++ NA 9. Kompetensi + +++ NA

4. penyediaan obat dan

perlengkapan medik 10. Regulasi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi + +++ NA 11. Sumber daya + +++ NA

1. sistem informasi

12. Sinkronisasi sistem informasi + + + 13. Diseminasi dan pemafaatan + + +

2. partisipasi masyarakat

14. Partisipasi Masyarakat + + + 15. Akses dan Pemanfaatan layanan ++ ++ ++

3. penyediaan layanan

16. Ketersediaan layanan +++ +++ +++ 17. Koordinasi dan rujukan +++ +++ + 18. Jaminan kualitas layanan ++ ++ + Keterangan: +++ = terintegrasi penuh; ++ = terintegrasi sebagian; + = tidak terintegrasi P = Pencegahan; PDP = Pengobatan, Dukungan dan Perawatan; MD = Mitigasi Dampak