interaksi Antar-Pemangku kepentingan kekuasan Rendah dan kepentingan Rendah

50 • PKMK FK UGM Peran Perguruan Tinggi dalam Penanggulangan HiV dan AiDs di Daerah Perguruan tinggi merupakan institusi yang memiliki peran dalam memproduksi pengetahuan dan mengembangkan sumber daya kesehatan. Sebagai lembaga yang memiliki kekuatan untuk menemukan dan menggali permasalahan kesehatan se cara sistematis dan terukur, perguruan tinggi memainkan peran penting dalam meng- hasilkan pengetahuan sebagai basis pengambilan keputusan dan perencanaan. Di daerah penelitian seperti di Medan, Sidoarjo, Surabaya, Bali, Jayapura, dan Merauke, ditemukan bahwa perguruan tinggi melakukan pengumpulan, analisis, dan produksi informasi terkait HIV dan AIDS melalui riset-riset yang dilakukan. Peran strategis perguruan tinggi lainnya ialah sebagai pusat pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya melalui pendidikan secara formal. Perguruan tinggi mendidik dan menghasilkan tenaga kesehatan seperti dokter, dokter spesialis, perawat, tenaga kesehatan masyarakat, dan tenaga kefarmasian. Perguruan tinggi juga memiliki peran dalam melakukan pemberdayaan masyakarat melalui pengembangan sistem informasi seperti di Parepare. “Kami juga telah membentuk PIK-KRR Remaja Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja yang fokus pada pencegahan narkoba, HIV dan AIDS serta seks bebas. Ini yang tersebar di SMP, SMA, dan sekolah-sekolah tinggi di sini. Remaja dilatih untuk konseling di mana remaja ini didampingi konselor sebaya dan pendidik sebaya yang seumuran remaja.” DKT, Staf BKBPP Parepare, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014 Peran-peran pengabdian masyarakat yang dikembangkan oleh perkumpulan Mahasiswa yang melakukan riset terkait HIV dan AIDS, dan pengembangan kegiatan kepedulian untuk HIV dan AIDS dengan melakukan pendidikan HIV dan AIDS pada mahasiswa bekerjasama dengan KPA seperti di Sidoarjo. Tim Peneliti Unair, 2015 Namun, terlepas dari berbagai peran strategis perguruan tinggi tersebut, ditemu- kan bahwa perguruan tinggi masih belum terlibat secara optimal dalam penang- gulangan HIV dan AIDS di daerah. Pertama, perguruan tinggi sering kali belum dili- batkan secara formal dalam penyusunan perencanaan program maupun evaluasi nya, seperti yang diungkapkan oleh informan di Kota Jayapura berikut. “Kami belum pernah melibatkan perguruan tinggi dalam penyusunan perencanaan program HIV dan AIDS... [k]ami belum ada kerjasama selama ini.” WM, Dinkes Kota Jayapura, dalam laporan Tim Peneliti Uncen, 2014 Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi sendiri sering kali lebih dalam bentuk komitmen di tingkat individu daripada di tingkat lembaga. Akibatnya, peran serta perguruan tinggi cenderung fluktuatif tergantung dari banyak-sedikitnya personel yang memiliki perhatian terhadap isu HIV dan AIDS di wilayahnya. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 51

A. Pengantar

Integrasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat adopsi dan asimilasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan dalam pengendalian penyakit menular Atun et al., 2010. Fungsi-fungsi upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilihat integrasinya ke dalam sistem kesehatan meliputi Manajemen Regulasi, Pembiayaan, Sumber Daya Manusia, Pengelo laan Informasi Strategis, Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, Partisipasi Masyarakat, dan Penyediaan Layanan Kesehatan. Penelitian ini juga menjelas kan berbagai faktor yang memungkinkan terjadi atau tidaknya integrasi dalam sistem kesehatan. Faktor-faktor tersebut berupa komponen-komponen yang ada dalam sistem kesehatan atau di luar sistem kesehatan sendiri, yakni konteks, aktor, institusi, dan sumber daya. Bagian ini akan menguraikan tiga hal, yaitu 1 Gambaran tingkat integrasi program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dan penilaian tingkat integrasi berdasarkan dimensi fungsi sistem kesehatan, jenis intervensi, dan wilayah; 2 Faktor-faktor yang memengaruhi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan; dan 3 Keterkaitan antara integrasi dengan efektivitas program HIV dan AIDS. Tingkat integrasi upaya penangulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dinilai dalam bentuk integrasi penuh, integrasi sebagian, dan tidak terintegrasi. Analisis tingkat integrasi dijelaskan pada bagian analisis data dalam laporan ini. IV PoLA iNTEGRAsi 52 • PKMK FK UGM

B. Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

Tingkat integrasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan diukur melalui 18 dimensi dari 7 subsistem dalam fungsi- fungsi sistem kesehatan. Sebelum melakukan penilaian tingkat integrasi di bagian akhir, terlebih dahulu akan disajikan deskripsi tentang masing-masing dimensi tersebut. 1 manajemen dan Regulasi Manajemen dan regulasi adalah pengelolaan yang menghimpun berbagai upaya kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, pengaturan hukum kesehatan, serta pengelolaan data dan informasi kesehatan untuk menjamin adanya kerangka kebijakan strategis yang dikombinasikan dengan pengawasan, pengembangan kemi- traan, akun tabilitas, peraturan, insentif dan kesesuaian dengan disain sistem kese- hatan yang ada. Subsistem ini terdiri atas tiga dimensi, yakni 1 Regulasi, berupa pera turan daerah pemda kabupatenkota terkait penanggulangan HIV dan AIDS, seperti Perda HIV dan AIDS, Peraturan BupatiWalikota, RenstraSRAD tentang HIV dan AIDS; 2 Formulasi Kebijakan, berupa proses pengembangan kebijakan peren canaan, penganggaran, alokasi dana, dan pertanggungjawaban untuk pro- gram HIV dan AIDS dengan mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda penelitian; dan 3 Akuntabilitas dan Daya Tanggap, berupa akses masyarakat untuk mengetahui program dan kebijakan HIV dan AIDS di daerahnya serta apakah program dan kebijakan tersebut menggunakan prinsip pelayanan publik yang baik.

a. Regulasi

Regulasi tentang penanggulangan HIV dan AIDS mengatur pemangku kepen- tingan yang bertanggung jawab dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, sumber daya yang digunakannya, serta sanksi jika tidak dilaksanakannya ketetapan sebagai mekanisme kontrol terhadap berjalannya aturan. Ditemukan bahwa semua daerah memiliki regulasi penanggulangan HIV dan AIDS dalam bentuk Perda, Surat Keputusan SK Bupati, Renstra dan kebijakan teknis dari dinas. Kebijakan ini menga tur upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup PP, PDP, dan MD; mengatur pemangku kepentingan yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya serta sumber daya yang diperlukan. Perda tentang penanggulangan HIV dan AIDS terda pat di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kota Surabaya, Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kota Jayapura, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Manokwari. Sementara ada pula kota dan kabupaten yang mengacu pada perda provinsi, seperti di Kota Makassar dan Kabupaten Parepare. Selain perda, regulasi yang dijadikan acuan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ialah Renstra Penanggulangan HIV INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 53 dan AIDS di Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Denpasar, Badung, Manokwari, dan Jayapura. Penerapan regulasi yang ada belum dilaksanakan dengan baik, sebagaimana terungkap dalam salah satu kutipan dari Makasar berikut. “Kalau berbicara soal regulasi terkait HIV, ada cukup banyak sebenarnya. Mulai dari SRAN, Permen Peraturan Menteri dari berbagai kementerian sampai perda. Masalahnya, apakah regulasi itu dibaca dan diketahui oleh mereka SKPD-SKPD? Pengalaman saya selaku sekretaris KPA Provinsi, regulasi-regulasi ini sering kali tidak banyak diketahui. Akibatnya, tidak mudah mendapatkan pendanaan dari pemda. Adalah tidak mudah bekerja secara terpadu dengan semua lintas-sektor. Kan lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan HIV ini banyak. HIV kan seharusnya bukan hanya urusan SKPD kesehatan seperti Dinkes.” DKT, KPAP Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014 Banyak faktor yang menyebabkannya, antara lain kurangnya sosialisasi regulasi yang sudah ada, lebih berpengaruhnya komitmen dan kemauan politik kepala daerah walikota, bupati, maupun gubernur daripada regulasi yang ada, serta rendahnya komitmen pemda untuk memprioritaskan masalah HIV dan AIDS di daerah. Selain itu, dalam perda tidak secara tegas disebutkan siapa yang akan menjadi penanggung jawab utama penanggulangan HIV dan AIDS, baik di tingkat provinsi ataupun kabupatenkota. Ini berdampak pada tumpang-tindihnya kegiatan dan program di level pelaksana khususnya di SKPD terkait Tim Peneliti Udayana, 2014. Selain itu, keberadaan regulasi penanggulangan HIV dan AIDS di daerah belum diikuti dengan petunjuk pelaksanaannya sehingga belum bisa diimplementasikan sepenuhnya. Misalnya di Denpasar dan Badung telah ada regulasi untuk pencegahan di kalangan penasun, tetapi ketiadaan petunjuk teknis membuat terjadinya ketidak- jelasan dalam penganggaran logistik LASS. ...[k]arena tidak tersedianya petunjuk teknis implementasi, responden juga menyebutkan bahwa posisi penanggulangan HIV dalam perda masih belum dirumuskan dengan eksplisit. Secara lebih spesifik, dalam Perda HIV komponen terkait dengan pengadaan logistik dan material untuk program NSP masih belum diatur secara jelas. Akibatnya adalah sampai saat ini program NSP tidak mendapat penganggaran dana dari APBD Tim Peneliti Unud, 2014. Terlepas dari tantangan-tantangan di level implementasi ini, upaya penang- gulangan HIV dan AIDS telah sesuai dengan regulasi upaya penanggulangan penya kit menular lainnya. Artinya, telah ada aturan yang menjadi landasan upaya penang gulangan HIV dan AIDS, dan telah ada pengaturan dan peruntukkan sumber