18 •
PKMK FK UGM
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 19
A. konteks kebijakan dan Program Penanggulangan HiV dan AiDs pada Tingkat Pusat dan Daerah
Konteks di sini dimaknai sebagai faktor eksternal yang memengaruhi jalannya suatu program penanggulangan penyakit menular. Konteks biasanya terdiri dari
beberapa aspek kunci seperti politik, hukum dan peraturan, ekonomi maupun masalah kesehatan Cooker et al., 2010. Dalam penelitian ini, konteks kebijakan
meng gam barkan variasi proses desentralisasi di daerah penelitian, yang meliputi faktor komitmen politik, hukum dan peraturan, ekonomi, dikaitkan dengan perma-
salahan kesehatan. Bagian ini menjelaskan bagaimana konteks, proses, dan substansi kebijakan serta program penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan
daerah dalam sistem kesehatan yang berlaku dan berpengaruh terhadap integrasi dan efektivitas program.
a. komitmen Politik
Permasalahan HIV dan AIDS merupakan isu kompleks yang penanganannya membutuhkan keterlibatan berbagai pihak yang bersifat multisektoral. Untuk meng-
ge rakkan respons multisektor tersebut, diperlukan komitmen politik yang tinggi dari para pemimpin daerah. Penelitian ini menemukan bahwa di sebagian besar daerah
penelitian, komitmen politik pemda masih lemah. Meskipun secara normatif pemda sudah menunjukkan komitmen awalnya dengan menghasilkan kebijakan pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah melalui Peraturan Daerah Perda,
k o N T E k s
II
20 •
PKMK FK UGM
pada kenyataannya HIV dan AIDS tetap belum menjadi prioritas daerah. Ini bisa dilihat dari keengganan pemda untuk mengalokasikan penganggaran yang memadai
bagi penanggulangan HIV dan AIDS. Di sebagian besar daerah penelitian, pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS yang bersumber dari APBD melalui SKPD terkait
masih terbatas. Komitmen penganggaran masih sekedar memenuhi kewajiban dari amanat Perda sehingga jumlah dana yang dialokasikan tidak memadai. Contohnya
bisa dilihat antara lain di Sulawesi Selatan.
“Seperti tahun 2014 ini, dari APBD kami hanya dapat 46 juta rupiah. Kita mau apa dengan dana yang hanya 46 juta itu?... Jadi memang masih sangat
tergantung pada Global Fund.” DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014
Sedangkan di Surabaya, komitmen pendanaan sudah diwujudkan meskipun belum memenuhi kebutuhan yang direncanakan. Tim peneliti Unair 2014 menemu-
kan bahwa dari perencanaan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS yang diajukan oleh Dinkes Kota Surabaya sebesar Rp 10 miliar, hanya Rp 3 miliar yang disetujui
oleh DPRD. Pemangkasan jumlah anggaran yang signifikan ini mempertegas bahwa daerah belum memprioritaskan program penanggulangan HIV dan AIDS.
Pada tahun 2013 jumlah dana yang diterima oleh KPA Kota Surabaya dari APBD mengalami penurunan, sementara dana yang diberikan oleh
Global Fund relatif mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar Rp80.860.000 menjadi Rp84.203.000. Pada tahun yang sama, RS Bhakti
Dharma Husada memperoleh dana dari Global Fund sebesar Rp20.475.000. Tim Peneliti Unair, 2014
Selain pemangkasan jumlah anggaran, pemahaman bahwa isu HIV dan AIDS membutuhkan respons multisektor masih belum dimiliki oleh banyak pemda. Penang-
gulangan HIV dan AIDS lebih dilihat sebagai persoalan medis semata yang menjadi tanggung jawab Dinkes dan unit-unit pelayanan kesehatan, sehingga keterlibatan
dari SKPD atau instansi pemda non-kesehatan menjadi minimal atau bahkan di beberapa daerah absen. Indikasi ini terlihat dari dua hal, pertama ialah tidak adanya
atau minimnya alokasi APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS bagi SKPD non-kesehatan, dan kedua ialah ketakaktifan SKPD dalam KPAD walaupun secara
struktur merupakan bagian dari KPAD.
Permasalahan ini semakin rumit dengan posisi KPAD yang dalam politik daerah tidak memiliki struktur dan kewenangan yang jelas. KPAD dipimpin oleh pejabat
daerah yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang tinggi sehingga berpotensi untuk mendorong respons HIV dan AIDS sebagai prioritas daerah. Namun, ditemukan
bahwa keberadaan pejabat daerah dalam struktur KPAD belum mampu mendorong
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 21
pemda untuk berkomitmen dan menyediakan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS secara memadai. Dalam beberapa kasus, faktor yang lebih menentukan sejauh
mana daerah memprioritaskan masalah HIV dan AIDS ialah perhatian pribadi dari pejabat KPAD, seperti ditemukan di Makassar.
“Regulasi-regulasi itu penting, namun yang paling penting sebenarnya adalah membuat program HIV ini menjadi prioritas walikota atau bupati... Jadi
kemampuan kita meyakinkan mereka sangat penting. Jadi bagaimana cara meyakinkan mereka bahwa ini sesuatu yang berbahaya atau tidak... Di
tingkat praktis, komitmen walikota itu seringkali sebenarnya lebih penting dibanding regulasi-regulasi.” WM, Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Kota Makassar, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014. Konsekuensi dari kurangnya dukungan instansi pemda yang bersifat multisektor
yakni tanggung jawab dari KPAD dan sektor kesehatan menjadi sangat besar. Padahal, sebagaimana dipaparkan tadi, struktur dan kewenangan KPAD dalam politik pemda
tidak jelas, sehingga membuat kemampuannya untuk mengoordinasikan dan meme- nga ruhi kebijakan pemda dalam penanggulangan HIV dan AIDS menjadi sangat
terbatas. Dengan konteks politik daerah seperti ini, HIV dan AIDS sulit menjadi isu yang diprioritaskan oleh daerah.
b. Hukum dan Peraturan
Di tingkat daerah masih ditemukan berbagai peraturan yang belum mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta cenderung membatasi akses populasi
kunci untuk memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkan. Ini misalnya bisa dilihat pada berbagai bentuk perda yang terkait dengan kesusilaan dan ketertiban
seperti anti-prostitusi, penyakit masyarakat, penutupan lokalisasi, dan kriminalisasi pekerja seks. Keberadaan perda tersebut misalnya di Kota Surabaya Perda Nomor
71999 berdampak pada hilangnya kontrol terhadap para pekerja seks yang menjadi sasaran program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual PMTS yang berbasis
lokasi. Adanya kebijakan tentang kesusilaan tersebut membuat para pekerja seks menyebar ke berbagai tempat sehingga sulit untuk dijangkau oleh petugas kesehatan.
Akibatnya, program PMTS menjadi tidak efektif. Tim peneliti Udayana mensinyalir bahwa kebijakan penutupan lokalisasi di Surabaya mengakibatkan berpindahnya
pekerja seks dari Surabaya ke Bali. Akibatnya, pekerja seks kesulitan mengakses layan an kesehatan melalui JKN. Mereka bermasalah dengan kartu identitas pendu-
duk KTP yang berbeda dengan tempat di mana mereka bermigrasi karena untuk mengakses JKN diperlukan kartu identitas yang sama dengan domisili.
Demikian juga Undang-Undang UU Otonomi Khusus Otsus yang di satu sisi tujuannya melindungi masyarakat Papua melalui jaminan bagi penduduk