kepentingan Tinggi dan kekuasaan Rendah

INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 37 sebatas koordinasi program yang dijalankan, belum sampai pada koordinasi strategis untuk mendorong peran multisektor dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Peran KPAD untuk mendorong semua SKPD anggota KPAD selain Dinkes agar dapat mengakses pendanaan daerah serta membuat program yang relevan dengan tupoksi SKDP tersebut belum berjalan. Kedua, terjadi konflik kepentingan antara KPAD yang seharusnya menjadi koordinator upaya pengendalian HIV dan AIDS di daerah dengan anggotanya yang melaksanakan program. Ketiga, konsekuensi KPAD sebagai lembaga ad hoc ialah ketergantungannya terhadap aktor lain menjadi sangat tinggi, terutama dalam hal akses dana. Dengan situasi demikian, tuntutan terha dap sekretaris KPAD yang secara operasional bekerja untuk penanggulangan HIV dan AIDS menjadi sangat berat karena secara personal ia harus melakukan lobi- lobi atau advokasi terhadap SKPD anggota KPAD untuk memastikan pendanaan bagi sekretariat KPAD maupun program HIV dan AIDS di daerah. Lembaga Swadaya Masyarakat Sesuai dengan karakteristiknya, LSM merupakan bagian dari komunitas yang berada dalam posisi strategis untuk menjangkau, mendampingi, dan menerjemahkan kebutuhan populasi yang diwakilinya, serta menuntut pemenuhan hak-hak dan kebutuhan kesehatan populasi tersebut. Ini membuat LSM memiliki kepentingan yang tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di level pelaksanaan. LSM memiliki kemampuan khusus yang tidak bisa dilakukan oleh sektor lain, yaitu menjangkau populasi kunci seperti penasun, WPS, LSL, waria, serta populasi marjinal lainnya. Di semua lokasi penelitian, ditemukan banyak LSM yang bekerja dalam penanggulangan HIV dan AIDS terutama pada lingkup program pencegahan. Sumber daya LSM bervariasi, tetapi umumnya mereka mengandalkan dukungan dana dari MPI seperti GFATM, HCPI, SUM dan lain-lain PKMK, 2015. Belum ada skema khusus agar LSM bisa mengakses pendanaan dari pemerintah APBN dan APBD. Kalau pun ada, biasanya berupa dana hibah atau honor untuk personel LSM yang terlibat dalam acara atau kegiatan pemerintah sehingga skema pendanaan seperti ini tidak rutin dan tidak berkelanjutan. Peningkatan kapasitas SDM LSM masih sangat tergantung pada berbagai pelatihan yang diinisiasi oleh MPI. Kondisi inilah yang mengindikasikan bahwa LSM memiliki kekuasaan yang rendah. Dari semua daerah penelitian, hanya ada satu LSM di Kabupaten Badung yang dilaporkan memiliki kekuasaan tinggi. Tingginya kekuasaan LSM ini karena ia memiliki SDM berkualitas yang terdiri atas tim profesional seperti dokter, epidemiologis, ahli kesehatan masyarakat, antropolog, dan tenaga perawat terlatih. Dengan sumber daya seperti ini, LSM tersebut menjadi 38 • PKMK FK UGM model bagi organisasi sejenis dalam bidang kesehatan dan penelitian sehingga memiliki pengaruh cukup besar. Tetapi secara keseluruhan, sebagian besar LSM di lokasi penelitian tidak memiliki kekuasaan seperti ini. Ada beberapa implikasi dari posisi LSM yang demikian terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Pertama, dengan kepentingannya yang tinggi berdasarkan kemampuan teknisnya, LSM telah menjadi penyedia layanan terdepan dalam men jang kau populasi kunci sekaligus memobilisasi mereka beserta ODHA untuk mengak ses layanan. Kedua, karena keterbatasan sumber daya khususnya pendanaan, LSM memiliki ketergantungan yang besar terhadap MPI sebagai sumber utama penda naannya. Ketergantungan ini membuat LSM yang seharusnya sebagai pengge- rak respons penanggulangan HIV dan AIDS di daerah cenderung bertindak hanya sebagai pelaksana program MPI. Dengan kesibukannya dalam mengejar target-target programatik yang diberikan kepadanya, LSM tidak bisa optimal dalam memerankan diri sebagai pihak yang memberikan masukan kritis terhadap kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerahnya. Populasi Kunci Populasi kunci seharusnya menjadi pusat dari semua kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Mereka mempunyai peran yang strategis, bukan hanya sebagai target group dan penerima manfaat saja, tetapi juga sebagai penentu kebutuhan dan tujuan program. Aspek-aspek ini membuat mereka memiliki kepentingan yang tinggi. Namun, di sisi lain, populasi kunci memiliki kekuasan yang rendah karena sumber daya yang mereka miliki terbatas. Lebih jauh lagi, tidak ada mekanisme yang mendu kung mereka agar dapat mengakses sumber dana dan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan. Laporan Tim Peneliti Universitas menunjukkan bahwa layanan untuk populasi kunci direncanakan dan ditentukan oleh pemangku kepentingan lain. Contohnya, Dinkes Kota Jayapura membentuk unit pelaksana teknis berupa klinik PKR, dan klinik inilah yang menentukan apa yang dibutuhkan oleh populasi kunci di Jayapura. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang melibatkan populasi kunci bentuknya masih insidental di mana mereka menjadi penerima manfaat pasif. Ini bisa dilihat di Merauke di mana Dinas Sosial memberikan pelatihan bagi WPS untuk meningkatkan keterampilan sebagai bekal jika hendak keluar dari pekerjaannya, sementara pelatihan yang diberikan belum tentu sesuai dengan kebutuhan WPS Tim peneliti Uncen, 2014. Sebagai penerima manfaat dan target program, posisi tawar populasi kunci rendah sehingga tidak dapat memengaruhi pemangku kepentingan lainnya. Misalnya, INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 39 populasi kunci yang tinggal di daerah yang belum ada layanan PDP-nya harus pergi ke pusat kota untuk mengakses layanan pengobatan. Populasi Kunci di Deli Serdang tidak bisa menuntut penyediaan layanan di Deli Serdang. Mereka selalu ke Medan untuk perawatan. Di Medan keterlibatan populasi kunci dalam forum-forum perencanaan kebanyakan karena ada dorongan dari donor kepada Pemda untuk melibatkan mereka. Posisi tawar lemah karena mereka sebagai penerima manfaat. Tim Peneliti USU, 2014 Gambaran tersebut menunjukkan bahwa saat ini populasi kunci sebatas menjadi objek dan target capaian program. Peran populasi kunci masih bersifat instrumental dan belum menjadi subjek dari program penanggulangan HIV dan AIDS yang secara aktif terlibat dalam perencanaan serta menentukan nasib mereka sendiri. Ini mengindikasikan bahwa program-program yang ada belum mencerminkan kebutuhan populasi kunci. Rumah Sakit Umum Daerah RSUD RSUD mempunyai kepentingan yang tinggi karena fungsi dan kemampuan teknisnya ialah memberikan layanan medis, asuhan keperawatan, rujukan, pendi- dikan, pelaksanaan penelitian, dan pembiayaan. Dalam penanggulangan HIV dan AIDS, RSUD menjadi tempat rujukan puskesmas dan memberikan berbagai layanan, seperti yang ditunjukkan di Tabel 3. Tabel 3. RSUD dan Layanan HIV dan AIDS di Lokasi Penelitian Lokasi nama rumah sakit Jenis Layanan HiV dan aiDs medan RSDU Pringadi VCT, PITC, ARV, IMS, PTRM Deli serdang RSUD Deli Serdang VCT, PITC, ARV, IMS makassar RS Daya VCT, PITC, PMTCT, IMS, ARV pare-pare RS Andi Makassau VCT, PITC, IMS, ARV surabaya RS Mohammad Soewandi VCT, PITC, PMTCT, ARV sidoarjo RSUD Sidoarjo VCT, PITC, ARV Denpasar RS Wangaya VCT, PITC, PMTCT, ARV Badung RSUD Badung VCT, PITC, ARV, HR merauke RSUD Merauke VCT, PITC, ARV manokwari RSUD Manokwari VCT, PITC, ARV Jayapura RSUD Dok II Jayapura RSUD Abepura VCT, PITC, ARV VCT, PITC, ARV, CD4 test 40 • PKMK FK UGM Sebagai rujukan layanan ARV, RSUD mempunyai berbagai tugas yang telah ditentukan oleh Kemenkes dengan SK Kemenkes Nomer 451MenkesSKXII2012. 6 Di lokasi penelitian, selain ditemukannya RSUD sebagai rujukan ARV, ditemukan juga variasi rujukan terkait dengan layanan HIV dan AIDS. Contohnya RS Daya di Makassar yang merupakan rujukan PPIA dari RSUD Andi Makassau di Parepare karena layanan tersebut belum tersedia di Parepare Tim Peneliti Unhas, 2014. RSUD Merauke berfungsi sebagai rumah sakit rujukan yang memiliki Pokja HIV dan AIDS. Dengan ketentuan Pokja HIV dan AIDS, RSUD Merauke menerima rujukan dan melakukan perawatan kepada penderita, memberikan dukungan kepada penderita dan keluarga, serta memberikan pengobatan kepada seluruh pasien yang ditemukan positif IMS dan HIV di unit teknis lapangan Tim Peneliti Uncen, 2014. Walaupun memiliki peran dan kepentingan yang tinggi, kekuasaan RSUD dalam penanggulangan HIV dan AIDS secara keseluruhan dikategorikan rendah. Alasannya, beberapa otoritas administratif RSUD masih sangat tergantung kepada pusat termasuk dalam hal perencanaan, pembiayaan, maupun pengadaan logistik seperti ARV dan reagen. Pembiayaan peningkatan kapasitas SDM terkait HIV dan AIDS juga masih tergantung pada donor terutama GFATM, seperti dilaporkan di Jayapura. ….[b]erkaitan dengan upaya peningkatan kapasitas melalui pelatihan tahun- tahun sebelumnya saat Global Fund masih ada, selalu terlaksana, namun saat sekarang ini sudah tidak ada lagi walaupun selalu direncanakan dan diusulkan ke pihak manajemen rumah sakit, tetapi sampai saat ini belum terjawab. Tim Peneliti Uncen, 2014 Kapasitas perencanaan dan pembiayaan RSUD yang terbatas menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, peran rumah sakit dalam penanggulanggan HIV dan AIDS menjadi terbatas pada penyedia layanan kesehatan konvensional yang bersifat pasif. Artinya, mereka cenderung menunggu adanya pasien HIVAIDS yang datang atau dirujuk. Kedua, karena ketergantungan yang besar terhadap perencanaan dan pembiayaan dari pihak pusat atau donor, mereka menjadi sangat rentan terhadap berbagai perubahan secara politik di tingkat pemda atau perubahan secara teknis lainnya berdasarkan perubahan komposisi pendanaan dari MPI. Layanan yang sudah tersedia dengan jenis yang cukup lengkap dan bervariasi bisa saja berhenti setelah tidak tersedianya pendanaan dari lembaga donor. 6 Tugas RSUD sebagai rujukan ARV termasuk menyusun Standard Operasiting Procedure SOP; menjamin kertersedian obat ARV dan obat Infeksi Oportunistik IO yang secara langsung didistribusikan oleh Kemenkes sesuai dengan prosedur khusus yang berlaku; menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai dengan pedoman; menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter spesialis, dokterdokter gigi, perawat, apoteker, analis kesehatan, konselor dan manajer kasus; membentuk tim kelompok kerja khusus HIV dan AIDS yang terdiri dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilatih melalui pelatihan khusus HIV dan AIDS; dan melaporkan pelaksanaan pelayanan ODHA kepada Menteri melalui Dirjen Bina Upaya Kesehatan. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 41 Puskesmas Puskesmas mempunyai kepentingan tinggi karena merupakan salah satu fasilitas kesehatan primer yang dimiliki masyarakat sekaligus penyedia layanan kesehatan terdepan terkait HIV dan AIDS. Selain itu, puskesmas berkewajiban memastikan kese hatan masyarakat di wilayah kerjanya, termasuk dalam penanggulangan HIV dan AIDS Tim Peneliti Unair, 2014. Terkait penanggulangan HIV dan AIDS ini, ter dapat variasi dari kegiatan yang dilakukan puskesmas di masing-masing daerah. Di Parepare, Puskesmas Mario Madising memberikan layanan pencegahan dan PDP, sementara Puskesmas di Medan melakukan kegiatan pencegahan dalam bentuk VCT dan LASS Tim Peneliti Unhas, USU, 2014. Program yang dilakukan Puskesmas Kota Raja ialah preventif dan promotif di luar gedung melalui VCT dan PPIA yang diintegrasikan ke dalam kegiatan penyuluhan rutin 3 kali dalam setahun ke masya- rakat umum, tempat-tempat berisiko, sekolah-sekolah, dan tempat ibadah di setiap kelurahan Tim Peneliti Uncen, 2014. Kekuasaan puskesmas dalam penanggulangan HIV dan AIDS rendah, karena sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinkes puskesmas tidak memiliki otoritas untuk menentukan jumlah SDM, pembiayaan, dan pengadaan logistik. Posisi ini mene gas- kan bahwa puskesmas sebagai sektor terdepan frontline tidak memiliki akses untuk berkontribusi secara lebih signifikan dalam menyusun kebijakan yang relevan dengan kebutuhan daerah. Beberapa alasan yang diidentifiksi Tim Peneliti Universitas ter- kait dengan rendahnya kekuasaan puskesmas yaitu kekurangan SDM terlatih dan pendanaan. Sumber dana Puskesmas Kotaraja awalnya berasal dari Global Fund, namun saat sekarang ini sudah tidak ada dana yang dialokasikan dari Dinas Kesehatan Provinsi, sedangkan Dinas Kesehatan Kota hanya memberikan dana Rp2.550.000 untuk 3 orang dalam setahun yang dibagi untuk 9 orang petugas program HIV dan AIDS. Petugas yang menangani program HIV dan AIDS berjumlah 7 orang, yang terdiri dari dokter terlatih 1 orang, perawat terlatih 2 orang, laboratorium terlatih 2 orang, bidan terlatih 1 orang dan farmasi yang belum terlatih 1 orang. Tim Peneliti Uncen, 2014 Implikasi dari posisi puskesmas dengan posisi tersebut antara lain: 1 Layanan HIV dan AIDS terkait pencegahan dan PDP di puskesmas telah mendekatkan layanan ke pemanfaat program, tetapi belum bisa maksimal karena keterbatasan sumber daya dan fasilitas; 2 Layanan terkait HIV dan AIDS di puskesmas belum bisa berjalan secara mandiri karena adanya keterbatasan otoritas puskesmas dalam mengakses dana dan memenuhi kebutuhan SDM-nya; 3 Keberlanjutan layanan HIV dan AIDS di puskesmas sangat tergantung pada kemampuan untuk mengintegrasikan layanan- 42 • PKMK FK UGM layanan yang ada ke sistem kesehatan daerah dengan skema pembiayaan bersumber dari APBD. Kapasitas puskesmas dalam mengembangkan perencanaan rutin yang melibatkan pemangku kepentingan lain melalui mekanisme seperti minilokakarya menjadi sangat penting.

c. kekuasan Tinggi dan kepentingan Rendah

Pemangku kepentingan yang termasuk kategori ini ialah mereka yang secara normatif memiliki kekuasaan yang tinggi khususnya dalam perencanaan dan penganggaran daerah tetapi memiliki kepentingan yang rendah. Pemangku kepen- tingan yang termasuk kategori ini antara lain DPRD KabupatenKota dan Bappeda. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD KabupatenKota Peran dan fungsi DPRD terkait dengan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah berkaitan dengan legislasi dan penganggaran. Dalam penelitian ini, kepentingan DPRD tergolong rendah karena DPRD tidak melihat HIV dan AIDS sebagai bagian dari kepentingan politik yang menguntungkan sekaligus memandangnya sebagai masalah yang tidak populis dan sensitif. Namun, di sisi lain kekuasaan DPRD tinggi karena secara normatif DPRD memiliki kekuasaan politik untuk menyetujui atau mengesahkan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya, usulan pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah sering tidak didukung oleh DPRD. Pendanaan program-program HIV dan AIDS di SKPD-SKPD di luar SKPD kesehatan juga sering kali terhambat khususnya di Bappeda dan DPRD karena HIV dan AIDS sering kali dianggap bukan bagian dari tupoksi mereka. Tim peneliti Unhas, 2014 Implikasinya, penanggulangan AIDS susah menjadi isu yang diprioritaskan daerah. Pengecualian ditemukan dalam penyusunan perda terkait HIV dan AIDS, namun keterlibatan ini pun bisa dimungkinkan karena adanya dorongan aktor lain dalam bentuk dana dan SDM dari pusat donor dan APBN. Karena DPRD sering kali menolak usulan-usulan tentang pembiayaan HIV dan AIDS di daerah, maka daerah memiliki ketergantungan yang besar terhadap pembiayaan dari donor. Dengan kondisi ini, pengaruh dan kekuasaan MPI menjadi besar—padahal seharusnya MPI justru bisa dikontrol dengan kebijakan yang jelas dari DPRD. Kepentingan DPRD yang rendah bisa didorong menjadi lebih besar jika ada upaya advokasi yang memadai dari KPAD dan pemangku kepentingan lainnya untuk meyakinkan DPRD dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Sayangnya, kapasitas KPAD dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengupayakannya cenderung sangat terbatas. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 43 Badan Perencana Pembangunan Daerah BappedaBappeko Fungsi dan peran Bappeda sebagai lembaga teknis daerah yang bertanggung jawab terhadap perencanaan pembangunan seharusnya mempunyai kepentingan tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Namun, semua daerah pene litian kecuali Parepare dilaporkan bahwa kepentingan BappedaBappeko rendah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS. Rendahnya kepentingan Bappeda ini karena penanggulangan HIV dan AIDS bukan merupakan tupoksi langsung Bappeda. Tupoksi mereka yang tidak terkait langsung dengan kesehatan dan HIV dan AIDS membuat kepentingan mereka tidak sebesar lembaga-lembaga atau SKPD kesehatan. Sementara itu, akses mereka yang lebih sedikit pada pelatihan teknis maupun manajemen terkait HIV dan AIDS membuat sumber daya mereka rata-rata lebih rendah dibandingkan lembaga-lembaga atau SKPD kesehatan. Tim Peneliti Unhas, 2014 Meskipun demikian, ada contoh di mana Bappeda mendukung penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Ini ditemukan di Jayapura, di mana Bappeda sudah sejak lama mendukung program penanggulangan HIV dan AIDS melalui pengalokasian dana untuk KPAD, Dinkes, dan SKPD lainnya sesuai dengan perencanaan yang diusulkan Tim Peneliti Uncen, 2014. Walaupun kepentingannya rendah, di semua lokasi penelitian kecuali Kabupaten Sidoarjo dilaporkan bahwa kekuasaan Bappeda tinggi. Tingginya kekuasaan Bappeda Bappeko ini karena merekalah yang menyetujui usul dari Dinas dan meneruskannya ke DPRD, seperti di Surabaya. Bappeko menampung usulan-usulan dari SKPD terkait rencana program penanggulangan HIV dan AIDS serta memiliki kewenangan dalam memasukkan usulan tersebut atau tidak ke dalam rencana program pembangunan Kota Surabaya setiap tahunnya Tim Peneliti Unair, 2014. Di Denpasar juga dilaporkan bahwa kekuasaan Bappeda kuat karena merekalah yang berperan dalam perencanaan anggaran, memastikan agar penganggaran tidak tumpang tindih dan akuntabel, serta melakukan eveluasi perencanaan anggaran dari SKPD Tim Peneliti Unud, 2014. Posisi BappedaBappeko yang tergambar di atas berimplikasi pada penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dalam hal pengalokasian pendanaan program. Usulan pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS dari SKPD bisa diusulkan ke DPRD jika sudah disetujui BappedaBappeko sebagai badan koordinasi perencanaan pembangunan daerah. Akan tetapi karena kepentingannya yang rendah, seringkali BappedaBappeko tidak meluluskan usulan anggaran HIV dan AIDS dari SKPD di luar Dinkes. Akibatnya, selain jumlahnya terbatas, anggaran penanggulangan HIV dan AIDS daerah juga hanya tersedia untuk Dinkes sehingga 44 • PKMK FK UGM respons yang diberikan tidak bisa bersifat multisektor. Selain itu, BappedaBappeko tidak melakukan peran perencanaan penganggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS, melainkan secara pasif menerima pendanaan dari pihak MPI berapapun jumlahnya.

d. kekuasan Rendah dan kepentingan Rendah

Pemangku kepentingan dalam kategori ini memiliki kekuasaan yang rendah karena tidak memiliki sumber daya yang besar maupun posisi politik yang dominan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Kepentingan mereka pun rendah karena pada kenyataannya tidak menunjukkan kepedulian yang besar terhadap isu HIV dan AIDS meskipun secara normatif mereka seharusnya memiliki tanggung jawab dan kepentingan yang tinggi. Pemangku kepentingan yang termasuk dalam kate gori ini ialah lembagatokoh adat dan agama serta SKPD di luar Dinkes. LembagaTokoh Adat dan Agama Secara normatif, lembagatokoh adat dan agama seharusnya memiliki kepen- tingan dan kekuasaan yang tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Mereka berkepentingan untuk memastikan kesejahteraan warga atau umatnya, serta memiliki kekuasaan dalam bentuk pengaruh serta kapasitas untuk memberikan arah- an karena posisi mereka yang didengar atau dihormati masyarakat. Namun, pada kenyataannya, semua lokasi penelitian melaporkan bahwa kekuasaan lembagatokoh adat dan agama terbilang rendah. Hanya di Denpasar, Badung, dan Papua yang menyebutkan bahwa mereka memiliki kepentingan yang cukup tinggi dalam penang- gulangan HIV dan AIDS. Di Denpasar dan Badung, tokoh adat menjadi aktor pemberdayaan masyarakat yang bisa memengaruhi opini masyarakat. Di Merauke juga ditemukan tokoh agama dan tokoh masyarakat lainnya yang berperan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Ada 4 orang tenaga di kantor agama yang berasal dari tenaga penyuluh, tokoh pemuda, tokoh agama untuk mengikuti sosialisasi HIV dan AIDS di Jayapura dengan harapan sekembalinya mereka, juga dapat mensosialisasikan ke tokoh agama dan pemuda di kabupaten Merauke. Tim Peneliti Universitas Cenderawasih, 2014 Promosi dan Pencegahan melalui hari-hari besar misalnya Hari AIDS Sedunia melalui berbagai kegiatan, mendorong LSM, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Perempuan, Tokoh PemudaRemaja dan lembaga lainnya melalui pertemuan koordinasi dan dukungan dana khususnya program pencegahan dan mitigasi dampak berupa pemberian nutrisi bagi ODHA di klinik perawatan atau rumah singgah. Wujud kegiatan lainnya adalah