70 •
PKMK FK UGM
penyelenggaranya memiliki mekanisme dan standar sendiri. Ini berdampak pada adanya variasi hasil dan kualitas informasi yang sulit digunakan sebagai basis
penyusunan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS, terutama bagi daerah. Bentuk peman faatan data survei yang sudah terlihat di tingkat daerah baru sebatas
untuk pengem bangan kegiatan advokasi.
Jenis sumber informasi lain ialah penelitian yang dikembangkan oleh universitas dan LSM. Temuan-temuan mereka kemudian dimanfaatkan sebagai informasi untuk
pemangku kepentingan, bahan dialog dengan media, sosialisasi situasi epidemi dan strategi penanggulangannya, serta sebagai data untuk advokasi ke rumah sakit,
seperti di Merauke Tim Uncen, 2014.
Tidak terintegrasinya diseminasi dan pemanfaatan informasi dalam penang- gulangan HIV dan AIDS di daerah menyebabkan pengembangan intervensi program
tidak bisa optimal. Pengembangan program lebih banyak mengandalkan desain dari pusat yang belum tentu mencerminkan situasi epidemi daerah. Pengembangan untuk
diseminasi dan kampanye pendidikan masalah HIV dan AIDS juga terbatas.
5 Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dimaksudkan untuk melihat produk medis, teknologi yang dijamin kualitasnya, keamanan, efikasi, serta efektivitas
pembiayaan cost-effectiveness dan penggunaannya. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan meliputi: 1 Regulasi penyediaan, penyimpanan, dan distribusi
diagnostik; terapi yang mengatur ketersediaan reagen obat ARV, mesin CD4, dan viral load, sebagai bagian dari mekanisme yang dianggrakan dalam anggaran Dinkes
atau ditanggung oleh JKN; dan 2 Sumber daya yang mencakup sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan perlengkapan medik
untuk HIV dan AIDS masuk dalam mekanisme anggaran Dinkes atau ditanggung oleh JKN.
a. Regulasi penyediaan, penyimpanan, dan distribusi diagnostik, serta
terapi Terdapat beberapa jenis regulasi mengenai penyediaan, penyimpanan, serta
distribusi obat dan perlengkapan medik HIV dan AIDS yang bervariasi tingkat dan lingkup berlakunya. Kebanyakan daerah mengacu pada regulasi penyediaan obat di
tingkat pusat berupa Keputusan Menkes tentang pengobatan HIV dan AIDS. Selain itu, ada pula regulasi dalam bentuk Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen PP
dan PL tentang komposisi pembiayaan reagensia HIV, obat IO, dan IMS, serta alat medis habis pakai yang berlaku untuk semua wilayah. Ada juga beberapa wilayah
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 71
yang memiliki regulasi di tingkat daerah terkait logistik, seperti di Sidoarjo ada Surat Keputusan Camat tentang pokjatim distribusi kondom di Kecamatan Benowo
dan Surat Keputusan Kepala Puskesmas Sememi tentang tim distribusi kondom. Sementara RSJ Menur di Surabaya memiliki SOP tentang pelayanan ARV untuk
ODHA serta mekanisme pinjam-meminjam obat.
Secara umum, regulasi untuk penyediaan, distribusi, dan penyimpanan alat kese hatan dan farmasi telah menyesuaikan dengan kebijakan yang berlaku secara
umum di sektor kesehatan, khususnya untuk ARV dan obat IO yang pembiayaannya didanai oleh APBN atau APBD dengan dikoordinasikan oleh Dinkes.
…[u]ntuk regulasi mengikuti yang ada dari pusat. Pengelolaan obat HIV dan AIDS sama dengan proses pengadaan obat lainnya. Tim Peneliti Uncen, 2014
Dulu itu semua dari pemerintah pusat, tapi sekarang sejak edaran Menkes tahun 2013 ada pembagian logistik antara pusat dan daerah. Kalau ARV itu
memang masih 100 persen dari pusat, tapi kalau yang lainnya beda. Kalau kondom, reagen HIV, dan obat-obat untuk IO dan IMS, 40 persen ditanggung
pusat dan 60 persen ditanggung daerah. Tim Peneliti Unhas, 2014 Demikian pula dengan penyimpanan dan distribusi obat, mekanismenya
mengikuti kebijakan yang ada dalam sistem kesehatan daerah. Semua obat disimpan di tempat penyimpanan obat yang dimiliki oleh Provinsi, Dinkes KotaKabupaten,
Rumah Sakit, dan Puskesmas. Mekanisme distribusi dari tempat penyimpanan obat masing-masing diatur oleh Dinkes Provinsi dan KotaKabupaten. Seperti di Surabaya,
penyimpanan obat di Rumah Sakit berdasarkan standar penyimpanan dengan SOP khusus dan dikelola oleh petugas berkompeten Tim Peneliti Unair, 2014.
Dalam pengelolaan logistik obat, masalah yang paling sering ditemui ialah stock out, yaitu habisnya persediaan obat dari sediaan yang telah direncanakan. Sebagian
besar daerah penelitian pernah mengalami stock out reagensia HIV, obat IO, dan obat IMS disebabkan oleh: 1 Ketidakmampuan daerah dalam melakukan peren-
canaan penyediaan obat secara tepat. Contohnya, Tim Peneliti Uncen 2014 di Merauke dan Tim Peneliti Unipa 2014 di Kabupaten Manokwari menemukan
bahwa keterlambatan logistik obat dan alat medis disebabkan oleh ketidakmampuan daerah dalam melakukan perencanaan dengan baik, khususnya untuk beberapa jenis
obat yang memerlukan sharing budget antara pemerintah provinsi dan kabupaten; 2 Acapkali rentang waktu keguaan obat dalam persediaan sangat pendek sehingga
kadaluarsa sebelum didistribusikan dan dikonsumsi. Selain itu, kadaluarsanya obat itu dipengaruhi juga oleh belum adanya kontrol kualitas obat seperti ditemukan di
Sidoarjo Tim Peneliti Unair, 2014.
72 •
PKMK FK UGM
Apabila ada masalah dalam penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan alat medis, penyelesaiannya dikoordinasikan oleh Dinkes. Misalnya, untuk
menga tasi stock out, strategi yang digunakan ialah mengembangkan perencanaan dengan mekanisme buffer system untuk mencegah terjadinya kehabisan obat dalam
jangka waktu 3–6 bulan. Besaran buffer system tersebut antara 10–30. Daerah yang mengem bangkan buffer system antara lain Denpasar, Badung, dan Surabaya.
Mekanisme buffer system ini terbukti dapat mengatasi masalah stock out obat. Selain itu, ada juga upaya peningkatan kapasitas pengembangan perencanaan penyediaan
obat sesuai dengan proyeksi kebutuhan daerah berbasis pada jumlah kasus yang dilapor kan secara periodik ke Dinkes daerah.
Di sisi lain, terdapat kebijakan yang berbeda untuk beberapa alat pencegahan seperti kondom dan alat suntik steril. Penyediaan, distribusi, dan penyimpanan bebe-
rapa alat pencegahan tersebut tidak dilakukan oleh sektor kesehatan, melainkan oleh KPA Nasional yang didistribusikan ke daerah melalui KPAD, bukan melalui
dinkes. Ini berlaku di sebagian besar daerah penelitian. Di daerah-daerah yang memiliki program Harm Reduction seperti Medan, Makassar, Sidoarjo, dan Surabaya,
kebijakan pengadaan LASS untuk pengendalian HIV pada penasun mengacu pada regulasi dan kebijakan donor. Pengecualian ditemukan di Denpasar dan Badung, di
mana kebijakan pengadaan jarum suntik untuk program LASS diatur oleh pemda- pemda. Pengecualian juga ditemukan di Manokwari, Merauke, dan Kota Jayapura
yang kebijakan logistiknya sudah diintegrasikan ke dalam sektor kesehatan umum setelah Global Fund tidak lagi memberikan dukungan di Papua sejak akhir 2013. Di
ketiga daerah ini, semua mekanisme pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat diatur oleh kebijakan daerah termasuk pembiayaan dengan mekanisme APBD.
b. Sumber Daya
Sumber daya untuk pengadaan, penyimpanan, dan distribusi logistik obat dan alat kesehatan meliputi pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat, pemda,
dukungan MPI, dan masyarakat. Pembiayaan dari pemerintah pusat berupa dana program, dana alokasi khusus DAK yang bersumber dari APBN, dan dana hibah
dari MPI., sedangkan dana daerah bersumber dari APBD. Pendanaan masyarakat berbentuk CSR dari swasta dan dukungan solidaritas masyarakat.
Mekanisme keterlibatan pemda dalam mengalokasikan dana untuk obat telah didorong oleh pemerintah pusat dengan Surat Edaran Dirjen PP dan PL Kemenkes Ri
Nomor HK.02.03DIII.28232013 tentang pembiayaan logistik obat dan alat medis untuk penanggulangan HIVAIDS dan IMS dengan strategi sharing pembiayaan
antara pemerintah pusat dan daerah. Komposisi sharing biaya untuk beberapa obat