Hubungan antara integrasi dan Efektivitas Program Penanggulangan HiV dan AiDs

INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 97 kecenderungan peningkatan efektivitas sesuai jumlah tingkat integrasi, hubungan tersebut masih belum kuat. Sedangkan untuk perubahan perilaku, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada pola yang linear antara peningkatan efektivitas dengan peningkatan jumlah dimensi yang terintegrasi. Di Medan, pada tingkat integrasi 5, perubahan perilakunya 51,5, lebih tinggi daripada Jayapura yang peru bahan perilakunya 48,8 padahal ada 7 dimensi yang terintegrasi. Diagram 6 mengga- bungkan perbandingan antara tingkat integrasi dengan cakupan program pencegahan keterpaparan program pada WPS dan tingkat perubahan perillaku. Diagram 6. Hubungan Integrasi dengan Efektivitas: Cakupan Keterpaparan Program dan Perubahan Perilaku dibandingkan Tingkat Integrasi Untuk mengukur pengaruh integrasi terhadap layanan PDP, penelitian ini melihat sejauh mana tingkat integrasi memengaruhi efektivitas PDP khususnya terkait dengan jumlah ODHA yang on treatment pengobatan ART. Data Kemenkes 2014 tidak merinci jumlah ODHA on treatment berdasarkan kotakabupaten, sehingga data yang dipakai ialah data cakupan provinsi. Diagram 7 menunjukkan hasil analisis jumlah ODHA on treatment dibandingkan dengan tingkat integrasi. Dari diagram 7 terlihat bahwa persentase ODHA on treatment ART tidak berkorelasi dengan hasil pengukuran tingkat integrasi. Variasi tingkat integrasi dengan jumlah on treatment ini sangat besar dan tidak menunjukkan adanya pola 98 • PKMK FK UGM yang mengindikasikan bahwa tingkat integrasi di sebagian besar daerah penelitian berkorelasi dan berkontribusi pada tingkat efektivitas program. Diagram 7. Hubungan Integrasi dan Jumlah ODHA On Treatment ARV Tidak konsistennya tingkat integrasi dengan perubahan cakupan serta perubahan perilaku dengan jumlah ODHA on treatment turut dipengaruhi oleh kinerja dari sistem kesehatan di tingkat daerah. Rendahnya tingkat integrasi terjadi karena berbagai faktor yang telah dijelaskan bagian sebelumnya, diantaranya belum adanya dukungan kebijakan operasional dan rendahnya peran pemangku kepentingan kunci untuk mendorong pemda memprioritaskan upaya pananggulangan HIV dan AIDS. Dalam kondisi begini, sulit bagi upaya program penanggulangan HIV dan AIDS untuk mencapai target capaian yang ditentukan. Misalnya, ketiadaan dukungan operasional untuk memenuhi kebutuhan SDM HIV dan AIDS non-kesehatan seperti tenaga penjangkau menjadi salah salah satu tantangan dalam meningkatkan cakupan penjangkauan untuk populasi kunci. Demikan juga halnya dengan tidak adanya kebijakan operasional pembiayaan, maka sulit untuk meningkatkan kinerja program HIV dan AIDS di daerah. Di sisi lain, integrasi diasumsikan bisa berkontribusi terhadap efektivitas program apabila program tersebut diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang juga efektif. Namun, ada indikasi bahwa sistem kesehatan sendiri belum mendukung terinte grasinya upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Akibatnya, integrasi yang terjadi pada sistem kesehatan yang ada saat ini belum mencukupi untuk menjelaskan secara memadai bagaimana kontribusinya dan mekanis menya dalam memperkuat efektifitas program HIV dan AIDS. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 99

A. kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan permasalahan kebijakan tentang keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia dengan melihat: 1 Sejauh mana kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia terintegrasi ke dalam sistem kesehatan yang berlaku; 2 Dalam komposisi dan bentuk seperti apa pendekatan vertikal bisa diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan agar mampu meningkatkan efektivitas dan keberlanjutannya dengan memperhatikan fungsi-fungsi sistem kesehatan, karakteristik para aktor yang terlibat dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS, serta konteks eksternal di mana interaksi tersebut terjadi baik dari aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Melalui serangkaian penelitian yang sudah dilakukan oleh Tim Peneliti Universitas, kesimpulan yang bisa ditarik mengacu pada permasalahan dan pertanyan-pertanyaan yang dikembangkan ialah sebagai berikut: 1. Pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerah dipengaruhi oleh konteks politik daerah, dukungan eksternal, dan situasi epidemi. Konteks politik daerah memengaruhi apakah isu HIV dan AIDS akan diprioritaskan atau tidak karena ia bukanlah isu populis. Semua daerah telah mengembangkan kebijakan dan melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, tetapi implementasinya belum optimal. Regulasi masih belum memiliki akuntabilitas dan daya tanggap, terbukti dengan belum adanya kebijakan operasional untuk pelaksanaan regulasi yang ada sehingga pembiayaan dan penyediaan SDM HIV dan AIDS oleh pemda masih minim. kEsimPuLAN DAN REkomENDAsi V 100 • PKMK FK UGM Penyusunan kebijakan dan inisiasi program HIV dan AIDS dilakukan oleh pemerintah pusat dengan dukungan MPI sehingga programnya bersifat vertikal. Situasi epidemi di daerah yang menjadi pusat perekonomian dengan ketersediaan infrastruktur layanan kesehatan yang baik menarik perhatian MPI untuk menyelenggarakan program HIV dan AIDS di sana. Namun, pemda belum memanfatkan peluang inisiasi MPI ini untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. 2. Pemangku kepentingan dengan kekuasaan dan kepentingan tinggi Dinkes, MPI, dan Kepala Daerah memengaruhi kepedulian terhadap permasalahan HIV dan AIDS di tingkat daerah. Kepala Daerah yang juga menjabat sebagai ketua KPAD menjadi penentu apakah upaya penanggulangan HIV dan AIDS menjadi prioritas daerah atau tidak. Peran Kepala Daerah di daerah penelitian antara lain membuat regulasi tentang HIV dan AIDS sebagai landasan hukum program penanggulangan. Namun, pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS di daerah belum menjadi perhatian kepala daerah karena dukungan pelaksanaannya belum optimal, seperti penyediaan pendanaan dan SDM HIV dan AIDS. Dinkes sebagai penanggung jawab sektor kesehatan mempunyai otoritas penuh untuk melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Otoritas ini akan optimal jika mendapat dukungan dari Kepala Daerah yang konsisten mengimplementasikan regulasi terkait HIV dan AIDS. Tetapi, saat ini sumber daya dan sumber dana HIV dan AIDS di Dinkes masih bergantung pada MPI. Akibatnya, peran MPI dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih dominan. Dominasi MPI dan pemerintah pusat mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan menyebabkan program penanggulangan HIV dan AIDS tidak terintegrasi ke dalam sistem kesehatan daerah. 3. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS cenderung belum terintegrasi karena bersifat sentralistik sehingga menyebabkan peran daerah menjadi minimal. a. Meski ada berbagai jenis regulasi di tingkat daerah tetapi implementasinya belum berjalan dengan optimal. Regulasi sebagai salah satu dimensi dalam subsistem kesehatan akan menjadi landasan formal untuk mendorong integrasi jika dilaksanakan dengan konsisten. Namun, implementasi regulasi HIV dan AIDS di daerah belum konsisten, seperti tampak dari kecilnya sumber dana dan sumber daya yang disediakan pemerintah untuk program HIV dan AIDS. Selain itu, pelaksanaan regulasi tergantung pada kemauan kepala daerah terhadap upaya penanggulangan AIDS. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 101 b. Pembiayaan sebagian besar masih bergantung pada pusat dengan kewenangan pengelolaan yang minimal dari daerah. Program HIV dan AIDS yang bersifat vertikal dengan dukungan dana pemerintah pusat dan MPI direspons oleh pemda dengan persepsi bahwa urusan HIV dan AIDS adalah urusan pusat dan MPI. Karena sudah ada dana pusat maka pemda tidak mengalokasikan lagi. Ini berkaitan dengan keterbatasan pemberian wewenang administratif pengelolaan sumber dana dan sumber daya yang berasal dari pemerintah pusat ke pemda. Artinya, wewenang perencanaan, pengelolaan, dan alokasi pendanaan dan penentuan target program masih dipegang pemerintah pusat dan MPI. c. Dualisme pengelolaan SDM antara tenaga HIV dan AIDS dan tenaga sektor kesehatan masih dominan pada intervensi PDP dan terlebih pada pence- gahan. Belum ada kebijakan untuk menjamin ketersediaan SDM HIV dan AIDS non-medis di penyedia layanan yang dapat digunakan untuk mengatur mekanisme perekrutan, standar kompetensi, dan pembiayaannya. Akibatnya, pemenuhan SDM HIV dan AIDS non-medis berjalan sendiri dan tidak terintegrasi dengan mekanisme pengadaan SDM kesehatan. d. Sistem informasi strategis HIV dan AIDS belum menjadi bagian sistem penga wasan dan evaluasi program kesehatan daerah sehingga belum optimal dimanfaatkan untuk perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Sistem informasi strategis HIV dan AIDS dikembangkan oleh banyak pihak sesuai kebutuhan programnya. Dinkes belum memainkan perannya sebagai otoritas tertinggi sektor kesehatan di daerah untuk menyinkronisasikan semua informasi HIV dan AIDS ke dalam satu sistem strategis kesehatan daerah. Pengawasan dan evaluasi program HIV dan AIDS dilakukan oleh pemberi dana program dan hasilnya tidak dikoordinasikan ke Dinkes sehingga pemanfaatan hasilnya hanya digunakan oleh pemilik program. e. Kebijakan dan pola pengelolaan logistik farmasi dan alkes PDP telah sesuai dengan kebijakan sistem kesehatan, tetapi kebijakan untuk pencegahan berjalan paralel. Pengaturan pengelolaan logistik farmasi dan alkes PDP yang mengikuti sistem penyediaan logistik farmasi dan alkes kesehatan umum menjamin kepastian hukum pemerintah pusat dan pemda untuk mengalo- kasikan pembiayaannya agar dapat memenuhi kebutuhan daerah. Banyaknya pihak dan ketidakjelasan regulasi untuk logistik farmasi dan alkes untuk pencegahan menjadi penghambat adopsi pemerintah dalam penyediaan dan distribusinya.