72 •
PKMK FK UGM
Apabila ada masalah dalam penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan alat medis, penyelesaiannya dikoordinasikan oleh Dinkes. Misalnya, untuk
menga tasi stock out, strategi yang digunakan ialah mengembangkan perencanaan dengan mekanisme buffer system untuk mencegah terjadinya kehabisan obat dalam
jangka waktu 3–6 bulan. Besaran buffer system tersebut antara 10–30. Daerah yang mengem bangkan buffer system antara lain Denpasar, Badung, dan Surabaya.
Mekanisme buffer system ini terbukti dapat mengatasi masalah stock out obat. Selain itu, ada juga upaya peningkatan kapasitas pengembangan perencanaan penyediaan
obat sesuai dengan proyeksi kebutuhan daerah berbasis pada jumlah kasus yang dilapor kan secara periodik ke Dinkes daerah.
Di sisi lain, terdapat kebijakan yang berbeda untuk beberapa alat pencegahan seperti kondom dan alat suntik steril. Penyediaan, distribusi, dan penyimpanan bebe-
rapa alat pencegahan tersebut tidak dilakukan oleh sektor kesehatan, melainkan oleh KPA Nasional yang didistribusikan ke daerah melalui KPAD, bukan melalui
dinkes. Ini berlaku di sebagian besar daerah penelitian. Di daerah-daerah yang memiliki program Harm Reduction seperti Medan, Makassar, Sidoarjo, dan Surabaya,
kebijakan pengadaan LASS untuk pengendalian HIV pada penasun mengacu pada regulasi dan kebijakan donor. Pengecualian ditemukan di Denpasar dan Badung, di
mana kebijakan pengadaan jarum suntik untuk program LASS diatur oleh pemda- pemda. Pengecualian juga ditemukan di Manokwari, Merauke, dan Kota Jayapura
yang kebijakan logistiknya sudah diintegrasikan ke dalam sektor kesehatan umum setelah Global Fund tidak lagi memberikan dukungan di Papua sejak akhir 2013. Di
ketiga daerah ini, semua mekanisme pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat diatur oleh kebijakan daerah termasuk pembiayaan dengan mekanisme APBD.
b. Sumber Daya
Sumber daya untuk pengadaan, penyimpanan, dan distribusi logistik obat dan alat kesehatan meliputi pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat, pemda,
dukungan MPI, dan masyarakat. Pembiayaan dari pemerintah pusat berupa dana program, dana alokasi khusus DAK yang bersumber dari APBN, dan dana hibah
dari MPI., sedangkan dana daerah bersumber dari APBD. Pendanaan masyarakat berbentuk CSR dari swasta dan dukungan solidaritas masyarakat.
Mekanisme keterlibatan pemda dalam mengalokasikan dana untuk obat telah didorong oleh pemerintah pusat dengan Surat Edaran Dirjen PP dan PL Kemenkes Ri
Nomor HK.02.03DIII.28232013 tentang pembiayaan logistik obat dan alat medis untuk penanggulangan HIVAIDS dan IMS dengan strategi sharing pembiayaan
antara pemerintah pusat dan daerah. Komposisi sharing biaya untuk beberapa obat
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 73
jenis obat seperti reagensia HIV dan CD4 ditanggung pemerintah pusat 45 dan 55 daerah, obat IO dan IMS ditanggung pemerintah pusat 40 dan 60 daerah,
sementara regaen Sipilis RPR ditanggung 50 pusat dan 50 daerah, dan jenis obat GO dan habis pakai sepenuhnya ditanggung oleh daerah.
Pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS yang bersumber dari pemerintah pusat dialokasikan untuk pengadaan obat ARV dan tercakup dalam program yang
dibiayai APBN dengan melibatkan koordinasi langsung antara Dinkes dan pemerintah pusat. Selain ARV, pembiayaan untuk logistik obat metadon juga sepenuhnya ditang-
gung oleh pusat dengan dana nasional yang dianggarkan melalui Kemenkes. Sumber pembiayaan dari pusat ini berlaku di semua daerah dan diakses melalui rumah
sakit rujukan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk memberikan layanan pengobatan ARV.
Sementara itu, sumber pembiayaan yang berasal dari MPI untuk logistik obat terkait HIV dan AIDS meliputi pengadaan materi pencegahan dan alat medis seperti
LASS, berbagai jenis obat ARV lini 2, kondom, pelicin, dan tes CD4 secara terbatas. Pembiayaan yang mengandalkan pada dukungan MPI ini bersifat sementara dan
tidak berkelanjutan. Untuk daerah yang tidak lagi mendapatkan dukungan Global Fund untuk penyediaan kondom gratis seperti di Papua, ada yang telah berhasil
mengem bangkan keterlibatan masyarakat dalam pengadaan kondom mandiri dengan mekanisme iuran seperti dikembangkan oleh komunitas pekerja seks dan mucikari di
Merauke Tim Peneliti Uncen, 2014.
Sumber daya pembiayaan untuk jarum suntik belum diadopsi pemda kecuali di Denpasar dan Badung yang sudah menggunakan dana APBD. Pengadaan
jarum suntik di Medan, Parepare, Surabaya, dan Sidoarjo masih bergantung pada penda naan dari donor, sedangkan pemda belum mengambil-alih tanggung jawab
pembiayaan pengadaannya. Pengadaan kondom di Kabupaten Deli Serdang juga tidak terintegrasi karena kondom bisa langsung diperoleh dari pusat melalui KPAN,
kemudian didistribusikan melalui tiga jalur, yakni ke KPAK untuk disalurkan ke LSM-LSM non-Global Fund, PKBI, dan NU untuk selanjutnya disalurkan ke SSR-
nya masing-masing, serta melalui Dinkes untuk disalurkan ke puskesmas dengan pembiayaan langsung dari donor.
6 Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat didefinisikan sebagai pengelolaan penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan baik perorangan, kelompok maupun masyarakat dengan
melibatkan masyarakat secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan. Tujuannya agar masyarakat mampu memanfaatkan berbagai layanan kesehatan yang dibutuhkan
74 •
PKMK FK UGM
secara mandiri guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Partisipasi masyarakat ini meliputi dua unsur: 1 Terselenggaranya pertemuan-perte-
muan koordinasi oleh pemangku kepentingan dan masyarakat misalnya, perwakilan populasi kunci, adanya dana yang dialokasikan bagi masyarakat sipil dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS, serta adanya pengembangan kapasitas seperti pelatihan dan bantuan teknis yang secara strategis diikuti sebagai bagian dari proses
perencanaan, implementasi, dan evaluasinya; 2 Akses atas layanan baik kesehatan umum maupun layanan HIV dan AIDS yang menggambarkan proporsi populasi
kunci, dan proposi populasi kunci yang dapat mengakses JKN atau Jamkesda. a. Dimensi Partisipasi Masyarakat
Partisipasi dalam sektor kesehatan dikembangkan untuk menggerakkan pelibatan masyarakat secara lebih bermakna dalam proses perencanaan, implementasi, serta
pengawasan dan evaluasi program. Kemampuan menggerakkan partisipasi masya- rakat menjadi unsur penting dalam membangun mekanisme akuntabilitas sekaligus
kesadaran kolektif untuk memerangi epidemi HIV dan AIDS bersama-sama.
Jenis partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi: 1 Partisipasi aktif dalam pembentukan paguyuban di tingkat komunitas, seperti pem-
bentukan Warga Peduli AIDS WPA. WPA merupakan perwakilan masyarakat umum di sebagian besar daerah sebagai bentuk solidaritas dan perhatian dalam
penang gulangan AIDS; 2 Partisipasi secara strategis dalam bentuk keterwakilan LSM, populasi kunci, kader masyarakat sebagai anggota KPAD agar secara aktif
mengikuti proses pembuatan keputusan dan perencanaan program intervensi. Bentuk partisipasi lainnya ialah pelibatan dalam berbagai pertemuan rutin yang dikoor-
dinasikan oleh KPA, seperti ditemukan di Medan; 3 Partisipasi melalui pengem- bangan kegiatan mandiri oleh masyarakat sebagai bagian dari kepedulian terhadap
HIV dan AIDS. Misalnya, berbagai kegiatan penyuluhan dan sosialisasi tentang HIV dan AIDS dilakukan oleh kader-kader dari masyarakat umum.
“Di 21 kecamatan ada semua, cuma kalau kita tanya keaktifannya ya... mungkin separuhnya yang aktif. Makanya ini kita coba masukkan ke
Perwal yang sedang disusun. Jadi di Perwal itu nanti ada tentang pokja HIV Kecamatan, malah ada WPA. WPA itu nanti di tingkat kelurahan.” KPA
Kota Medan, dalam laporan Tim Peneliti USU, 2014. “Kita di Balla’ta mencoba memberdayakan teman-teman ODHA dan
populasi kunci. Dari Biro Bina Napza kita dapat bantuan berupa rumah yang bisa kita tinggali [untuk] beraktivitas sekarang ini. Ini juga menjadi
rumah singgah bagi teman-teman dari luar Makassar yang datang berobat atau mencari dukungan dari sesama ODHA. Dari Dinas Sosial juga ada