54 •
PKMK FK UGM
dayanya mulai dari PP, PDP, dan MD. Ini menunjukkan bahwa secara formal regulasi untuk program HIV dan AIDS sudah mengacu pada regulasi yang berlaku di sektor
kesehatan guna memobilisasi pemangku kepentingan dan sumber daya daerah dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
b. Formulasi Kebijakan
Proses pengembangan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS menggunakan mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda dengan melibatkan
pemang ku kepentingan atau tokoh kunci, termasuk Dinkes, KPAD, SKPD anggota KPA, LSM, perwakilan populasi kunci, penerima manfaat, serta MPI. Di Badung dan
Denpasar proses pengembangan kebijakan mulai dari perencanaan hingga pertang- gungjawaban untuk skema APBD mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang
berlaku di daerah, sedangkan pendanaan program yang bersumber dari donor asing tetap mengikuti mekanisme yang dikeluarkan oleh donor Tim Peneliti Unud, 2015.
Di Sulawesi Selatan, proses pengembangan kebijakan meli batkan banyak pihak, tetapi penyelesaian akhir perda lebih banyak melibatkan lembaga-lembaga yang
terkait langsung dengan permasalahan HIV dan AIDS seperti Dinkes, KPAD, serta individu-individu yang sudah terlibat lama dalam program penanggulangan HIV dan
AIDS.
“Pada tahap-tahap awal penyusunan perda itu kita tentu mengundang banyak pihak untuk berdiskusi. Pertemuan-pertemuan besar membahas mengapa
perda itu penting, apa-apa saja yang harus dimasukkan dalam Perda dan seterusnya, namun kan ada tenggat waktu kapan perda itu harus jadi sehingga
kita harus membuat tim-tim inti. Anggota tim-tim inti ya orang-orang yang banyak tahu tentang teknis pencegahan dan penanggulangan HIV. Tentu
teman-teman dari Dinkes, KPAD, Unhas dan juga kawan-kawan LSM. Mereka-mereka yang memang sudah lama di dunia HIV... Prosesnya seperti
itu. Namun seperti sudah dikatakan tadi, kelemahan utamanya regulasi ini adalah di sosialisasinya. Yang cukup paham mengenai perda ini saya kira
hanya diketahui kalangan-kalangan yang saya sebut tadi.” DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014.
Mekanisme penyusunan kebijakan HIV dan AIDS mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang ada di daerah, seperti rapat koordinasi penyusunan kebijakan dan pro-
gram serta pertemuan rutin KPA dan laporan rutin dinkes. Contohnya di Surabaya, pengambilan keputusan untuk kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dilaku-
kan dengan koordinasi antar-SKPD terkait melalui Bappeko guna menentukan program apa yang akan dilaksanakan Tim Peneliti Unair, 2014. Di Deli Serdang,
perencanaan kegiatan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS dikembangkan berdasarkan laporan pertemuan rutin KPAD dan laporan rutin dinkes yang bersumber
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 55
dari laporan rutin layanan rumah sakit, puskesmas, dan LSM pendamping. Sampai saat ini kebijakan yang disusun masih berdasarkan pada bukti-bukti kecenderungan
epidemiologis atau evaluasi atas kegiatan pada masa sebelumnya Tim Peneliti USU, 2014.
Penyusunan kebijakan HIV dan AIDS menggunakan data epidemi daerah dari berbagai sumber data yang dikumpulkan melalui assessment, survei, STBP, dan Survei
Cepat. Contohnya di Sidoarjo, hasil assessment menjadi dasar dalam penentuan lokasi untuk penambahan klinik VCT dan LASS Tim Peneliti Unair, 2015. Di Denpasar
dan Badung proses perencanaan dan pengembangan layanan termasuk untuk advokasi alokasi anggaran telah menggunakan data epidemi dari STBP, estimasi
dari Kemenkes, data passive surveillance dan zero survey Tim Peneliti Unud, 2015. Sementara di Medan dan Deli Serdang telah ada pemetaan populasi kunci dengan
pendanaan APBD, yang hasilnya kemudian digunakan dalam penyusunan kebijakan.
Dalam menyusun formulasi dibutuhkan banyak data sebagai dasar. Data tersebut dapat diperoleh dengan segala metode terutama penelitian dan
assessment. Sampai saat ini, penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah pemetaan populasi kunci yang didanai hibah APBD 2014. Selain
itu penelitian lainnya adalah STBP yang didanai Kemenkes RI Tim Peneliti USU, 2014.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa formulasi kebijakan HIV dan AIDS di lokasi penelitian telah mengadopsi proses formulasi kebijakan sistem kesehatan yang
ada. Proses penyusunannya telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait kesehatan, menggunakan data epidemi yang tersedia, serta mengikuti mekanisme
penyusunan kebijakan daerah. c. Akuntabilitas dan Daya Tanggap
Secara normatif program HIV dan AIDS menerapkan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 252009 tentang Pelayanan Publik, sehingga masyarakat
mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan layanan HIV dan AIDS serta masyarakat dapat mengevaluasi kebijakan dan program. Di
11 lokasi penelitian, ada mekanisme yang memungkinkan publik dapat mengakses informasi program HIV dan AIDS, yakni melalui media promosi kesehatan, media
elektronik radio, situs, media cetak, dan kegiatan penyuluhan kesehatan oleh dinkes, KPAD, LSM, dan penyedia layanan.
Guna mendukung akses publik terhadap informasi mengenai program HIV dan AIDS, masyarakat bisa mengetahui program HIV dan AIDS
melalui media promosi kesehatan di layanan kesehatan, penyuluhan dan sosialisasi di masyarakat dalam kegiatan Community Health Nursing,
56 •
PKMK FK UGM
melalui media internet pemerintah kota situs, media elektronik radio maupun melalui buletin dan surat kabar. Untuk populasi kunci, informasi
mengenai pengembangan program dan layanan bisa diperoleh melalui LSM dan penjangkau lapangan. Sebagai Leading Sector, Dinas Kesehatan Kota
Surabaya dan KPA Kota Surabaya memiliki peran dalam akses publik terhadap informasi mengenai program HIV dan AIDS Tim Peneliti Unair,
2014. Agar masyarakat selalu mendapatkan informasi terbaru maka sosialisasi
HIV dan AIDS selalu dilakukan melalui media RRI, selebaran, spanduk, billboard dan sosialisasi pada hari-hari besar misalnya Hari AIDS Sedunia
yang dilaksanakan oleh KPA dan Dinas Kesehatan melalui seksi promosi kesehatan bekerjasama dengan LSM dan lembaga donor Tim Peneliti
Uncen, 2014. Dari sisi daya tanggap, pemda kurang melibatkan masyarakat dalam mengawasi
dan mengevaluasi pelaksanaan rencana strategis program penanggulangan HIV dan AIDS. Penelitian ini tidak menemukan adanya mekanisme yang dibuat agar
masyarakat bisa mengevaluasi implementasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah penelitian. Sistem monitoring dan evaluasi sudah ada,
tetapi sifatnya internal. Pengawasan dan evaluasi dilakukan oleh pelaksana program saja seperti Dinkes dan KPAD. Hasil pengawasan dan evaluasi hanya
untuk kebutuhan internal pelaksana program. Selain itu, tidak ditemukan forum- forum yang melibatkan masyarakat atau populasi kunci di daerah penelitian untuk
melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program HIV dan AIDS. 2 Pembiayaan
Pembiayaan dalam penelitian ini dimaknai sebagai pengelolaan berbagai upaya penggalian, alokasi, dan belanja dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan
pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya. Komponen pembiayaan terdiri atas 1 Pengelolaan sumber-sumber
pembiayaan dalam artian sejauh mana pemda mengoordinasikan, mengumpulkan, dan mengelola berbagai sumber pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS seperti
APBN, APBD dan donor; 2 Penganggaran, proporsi, dan distribusi pengeluaran pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu bagaimana pemda menganggarkan
penanggulangan HIV dan AIDS dengan proporsi dan distribusi yang sesuai; 3 Mekanisme pembayaran layanan, yaitu bagaimana membiayai pelayanan kesehatan
dalam kaitannya dengan pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN. Pendanaan program penanggulangan HIV dan AIDS dalam penelitian ini difokuskan pada area
program PP, PDP, dan MD.