situasi Epidemi dan Perilaku Berisiko di Daerah Penelitian

26 • PKMK FK UGM • Faktor perilaku berisiko pada WPSL tertinggi berada di Denpasar dan Jayapura 16, diikuti Makassar 13, Surabaya 10,4 , Sidoarjo 10 , dan Deli Serdang 3,6. Secara umum, faktor perilaku berisiko tinggi pada WPSL terjadi pada hampir semua daerah yang memiliki kawasan hotspot pusat transaksi seks antara WPS dan pelanggannya yang melakukan seks takaman. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa situasi epidemi dan faktor perilaku berisiko di masing-masing daerah penelitian memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga perlu direspons secara proporsional, baik dari segi model intervensi maupun target populasinya.

C. Respons Daerah terhadap HiV dan AiDs

Walaupun situasi epidemi berbeda di masing-masing daerah, ada kecenderungan kesamaan pola dalam respons pencegahan HIV dan AIDS di daerah penelitian, khususnya terkait dengan model intervensi dan target standar penjangkauan dan pendam pingan. Misalnya, di Papua dan Papua Barat, fokus pencegahan masih menya- sar pada populasi kunci dengan besaran target yang sama, sementara model penjang- kauanya juga sama dengan daerah lain. Belum ditemukan adanya model pendidikan masyarakat yang secara khusus mengantisipasi pola penularan pada populasi umum di Papua. Satu hal yang membedakan intervensi di Tanah Papua dari daerah lain ialah semakin kuatnya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak PPIA di berbagai KabupatenKota Provinsi Papua dan Papua Barat. Jenis-jenis respons pencegahan yang ada di daerah antara lain tes dan konseling HIV, PPIA, PMTS dengan pendistribusian kondom, program LASS, dan terapi metadon untuk kelompok penasun, serta berbagai program komunikasi, informasi dan edukasi KIE yang menyasar kepada popolasi umum khususnya remaja, ibu-ibu rumah tangga, dan laki-laki berisiko rendah. Secara umum, LSM menjadi salah satu pemain penting dalam program-program pencegahan ini. Kegiatan yang dilakukan oleh LSM di daerah-daerah penelitian berdasarkan laporan Tim Universitas menca- kup penjangkauan pada kelompok populasi kunci, pendampingan ODHA, pendi- dikan masyarakat berupa penyuluhan HIV dan AIDS pada individu, kelom pok dan masyarakat, dukungan sosial dan psikologis, serta advokasi kebijakan dan program. Sementara untuk program PDP, karena titik beratnya pada aspek medis dan kuratif, semua daerah penelitian menggunakan pola dan model serta target serupa. Contohnya terapi ARV, semua daerah memiliki mekanisme yang sama karena penga- daan, penyediaan, dan distribusi ARV ditentukan secara vertikal dari pemerin tah pusat dengan pendanaan APBN. Variasinya tampak pada kesiapan dari tenaga dan fasilitas kesehatan dalam memenuhi standar pelayanan ARV sesuai ketentuan INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 27 Kemenkes. Aspek psikososial dari ODHA belum memperoleh perhatian karena keter batasan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyediakan layanan sesuai standar. Padahal ketersediaan dukungan psikososial dalam perawatan ARV meru pakan unsur penting kaitannya dengan tingkat drop out dan kepatuhan berobat. Berda sarkan data Kemenkes 2014, kasus drop out 3 secara berurutan tertinggi di Provinsi Papua 33,1, Sumatera Utara 27,06, Bali 25,07, Papua Barat 23,40, Jawa Timur 27,77, dan Sulawesi Selatan 15,66. Sementara di enam provin si lokasi penelitian ini, jumlah cakupan ODHA yang konsisten on treatment tertinggi berada di Jawa Timur 4885, Bali 3784, Papua 3528, Sumatera Utara 2336, Sulawesi 1329, dan Papua Barat 765. 4 Sebagian daerah penelitian sudah menjalankan pendekatan Layanan Kompre- hensif Berkesinambungan LKB. Mereka mengembangkan integrasi layanan mulai dari koordinasi pemangku kepentingan kunci HIV dan AIDS lintas-sektor dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Pendekatan LKB cukup berkembang di beberapa lokasi seperti Surabaya, Sidoarjo, Denpasar, Badung, Makassar, dan Parepare. Ini merupakan upaya mengintegrasikan layanan HIV dan AIDS yang didelegasikan sampai ke tingkat layanan primer mulai dari diagnosis, tes HIV Voluntary Counselling TestVCT dan Provider-initiated Counselling and TestingPICT, link to care, dan pendam pingan kepatuhan bagi ODHA yang terapi ARV. Meskipun demikian, dalam praktiknya, jumlah layanan kesehatan primer yang dapat memberikan dan melan- jutan terapi ARV masih sangat terbatas karena ketidaksiapan dari sumber daya kesehatan daerah. Di samping itu, beberapa daerah juga sudah menerapkan pendekatan Strategic Use of ARV SUFA. Ini merupakan upaya untuk memastikan semakin banyaknya jumlah ODHA yang masuk ke perawatan HIV. Namun, seperti yang ditunjukkan Diagram 3, kesenjangan estimasi antara jumlah ODHA dan jumlah yang masuk ke perawatan HIV masih lebar. Ini disebabkan antara lain oleh tahap pra-pengobatan ARV yang membutuhkan proses dan prosedur panjang dengan biaya yang takmurah. Laporan dari penelitian daerah mengungkapkan bahwa mitigasi dampak merupa kan respons paling minimal dalam penanggulangan HIV dan AIDS di berba- gai daerah. Respons mitigasi dampak di seluruh daerah penelitian terindikasi belum berjalan dan tidak terkoordinasi. Ini mengindikasikan bahwa pemahaman SKPD anggota KPAD terkait continuum of care PDP ODHA masih terbatas—selain ketak- jelasan peran SKPD sebagai anggota KPAD yang memiliki peran dan tanggung 3 Terdiri atas loss to follow up dan berhenti ART. 4 Dihitung dari proporsi jumlah yang masuk ART dikurangi jumlah meninggal, jumlah yang berhenti, loss to follow up, dan rujukan keluar. 28 • PKMK FK UGM jawab untuk ambil bagian dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Di samping itu, dukungan terhadap ODHA lebih banyak dilakukan oleh LSM dan tokoh masyarakat yang dalam praktiknya juga banyak tidak berkoordinasi dengan dinas terkait. Diagram 3. Cascade Perawatan HIV dan AIDS Berbeda dengan daerah lain, mitigasi dampak di Papua cukup berjalan dengan adanya UU Otsus. Di Manokwari misalnya, upaya mitigasi dampak lebih berfokus pada kegiatan pendampingan dan konseling pada ODHA dan keluarganya, serta menyalurkan bantuan dana dan pemberian makanan tambahan bagi ODHA yang bersumber dari pendanaan Otsus. Sementara di Merauke, dukungan kepada ODHA berbentuk makanan tambahan dan gizi berasal dari inisiatif dan partisipasi masyarakat luas yang dikembangkan oleh aktivis, tokoh gereja, serta lembaga adat. Hal yang kurang lebih sama terjadi di Parepare dan Makassar di mana mitigasi dampak banyak dilakukan oleh LSM dengan dukungan donor dan pendanaan dari swasta lewat program CSR. Program mitigasi dampak juga berkembang di Bali, khususnya di Denpasar dan Badung, yang dilakukan oleh masyarakat sipil dengan mengembangkan pemberdayaan untuk WPS dan program rehabilitasi untuk penasun. Program mitigasi dampak tersebut telah dilakukan oleh banyak pemain yang berbeda dari berbagai kelompok, tetapi berjalan sendiri-sendiri dan belum menjadi program intervensi yang sistematis.