INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 85
Semua dimensi dalam subsistem pembiayaan tidak terintegrasi. Di dimensi pengelolaan sumber pembiayaan, tidak ditemukan adanya mekanisme koordinasi atas
berbagai sumber pembiayaan yang ada. Tidak ada koordinasi sumber pendanaan dari pusat dan MPI, di mana dana dari pusat bisa secara langsung dialokasikan kepada pihak
LSM, KPAD ataupun Dinkes. BappedaBappeko juga tidak melakukan prakiraan kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS lalu kemudian mengumpulkan
berbagai sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga besaran pengang garan sangat fluktuatif tergantung ketersediaannya. Sementara sinkronisasi
pengalokasian dana berdasarkan kebutuhan juga tidak berjalan. Pada dimensi pemba yaran layanan kesehatan, mekanisme pembayaran layanan HIV dan AIDS
masih berbeda dengan mekanisme pembayaran layanan kesehatan umum. JKN tidak menanggung pengobatan ARV karena masih ditanggung oleh program. JKN juga
tidak menanggung serangkaian tes yang perlu dilalui sebelum inisiasi ARV pra- ARV dan perawatan bagi pecandu narkoba.
Pengelolaan SDM tidak terintegrasi karena ada sistem pengelolaan SDM HIV dan AIDS yang berjalan paralel dengan pengelolaan SDM kesehatan. Di semua lokasi
penelitian, belum ada kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan SDM HIV dan AIDS di luar SDM kesehatan, seperti tenaga penjangkau, tenaga lapangan, manajer
kasus, pendamping ODHA buddies yang kebanyakan dari LSM. Terkait pembiayaan SDM, tenaga kesehatan di layanan kesehatan pemerintah yang melakukan tugas-
tugas pengobatan dibiayai melalui anggaran daerah untuk sektor kesehatan. Namun, di daerah yang masih didanai oleh MPI, tenaga kesehatan ini mendapat insentif
tambahan apabila melakukan tugas terkait HIV dan AIDS. Ini mengakibatkan HIV dan AIDS dipandang sebagai tugas tambahan oleh tenaga kesehatan, sehingga tidak
bisa dikatakan terintegrasi penuh. Pengaturan standar kompetensi teknis hanya terintegrasi untuk tenaga kesehatan yang melakukan layanan pengobatan. Tetapi,
untuk layanan PP dan MD yang dilakukan oleh lebih banyak tenaga di luar tenaga kesehatan formal, tidak ada standar kompetensi yang ditetapkan.
Fungsi penyediaan farmasi dan alat kesehatan dalam intervensi PDP telah terintegrasi dengan fungsi yang sama dalam sistem kesehatan. Kebijakan penyediaan,
distribusi, dan penyimpanan alat kesehatan dan farmasi sudah sesuai dengan yang berlaku secara umum di sektor kesehatan. Namun, untuk alat pencegahan seperti
kondom dan alat suntik steril tidak terintegrasi karena dari pengadaan sampai distribusi dan penyimpanannya tidak dilakukan oleh sektor kesehatan. Pembiayaan
pun menunjukkan hal serupa di mana pembiayaan alat pencegahan ditanggung oleh MPI sementara obat ARV dan obat IO disediakan oleh APBN atau APBD.
86 •
PKMK FK UGM
Sistem informasi merupakan salah satu fungsi kesehatan yang paling sulit untuk diintegrasikan sebab memang tidak ada lembaga di daerah yang bertanggung
jawab untuk mengelola sistem informasi yang berbeda-beda. Sistem informasi sektor kesehatan seperti SIKDA dan SIMPUS yang ada di daerah sendiri tidak terintegrasi,
sehingga menjadi sulit untuk mengintegrasikan sistem informasi program HIV dan AIDS yang juga sama-sama tidak sinkron satu dengan yang lain seperti SIHA, SINU,
SIPKBI dan sebagainya. Akibatnya, pengumpulan data menjadi tidak terkoordinasi, hasilnya bervariasi dan sulit untuk dimanfaatkan. Untuk mengembangkan program
dan kebijakan, survei tingkat populasilah yang cenderung digunakan oleh daerah dan itu pun sulit karena kepemilikan data-data tersebut bukan di daerah melainkan
di pusat.
Fungsi partisipasi masyarakat juga tidak terintegrasi karena berbeda dari sektor kesehatan di mana masyarakat sekedar diarahkan untuk memanfaatkan
layanan. Dalam penanggulangan HIV dan AIDS, partisipasi masyarakat diarahkan untuk pengembangan layanan dan pelibatan dalam respons bersama. Meskipun
demikian, partisipasi masyarakat tersebut masih lebih bersifat simbolik dan terbatas pada pelaksanaan di tingkat lapangan, belum untuk partisipasi strategis yang lebih
bermakna dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program. Akses dan peman faatan layanan untuk pencegahan juga tidak terintegrasi, karena meskipun
ODHA dan populasi kunci yang memiliki identitas bisa mengakses JKN, komponen pembiayaan yang ditanggung JKN itu sendiri masih terbatas pada pengobatan IO.
Obat maupun alat pencegahan yang masih ditanggung program tidak masuk dalam skema pembiayaan yang ditanggung oleh JKN.
Terakhir, ketersediaan layanan cenderung sudah lengkap dan memenuhi rentang pelayanan mulai dari program pencegahan, PDP, dan MD. Layanan tersedia
di fasilitas primer dan sekunder, serta sudah ada koordinasi dan rujukan yang berjalan dengan baik antara tenaga di dalam dan di luar sektor kesehatan, misalnya antara
petugas penjangkau dengan petugas kesehatan di puskesmas. Dengan demikian, baik dimensi ketersediaan layanan maupun koordinasi dan rujukan sudah terintegrasi.
Sementara untuk dimensi kualitas layanan, sektor kesehatan lebih mengontrol penjaminan kualitas yang terkait dengan perawatan dan pengobatan serta sebagian
layanan pencegahan yang dilakukan oleh layanan kesehatan. Ini tidak berlaku untuk penyediaan layanan pencegahan dan mitigasi dampak yang dilakukan oleh pihak-
pihak di luar layanan kesehatan seperti LSM, sehingga dimensi ini hanya terintegrasi sebagian.
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 87
D. Tingkat intregasi Berdasarkan Jenis intervensi
Apabila dilihat berdasarkan jenis intervensinya, gambaran tingkat integrasi fungsi-fungsi sistem kesehatan bisa dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Tingkat Integrasi Program HIV dan AIDS berdasarkan Jenis Intervensi
no Dimensi
pen - cegah an
pengobatan, Dukungan dan
perawatan mitigasi
Dampak 1 Regulasi
+++ +++
+++
2 Formulasi Kebijakan +++
+++ +++
3 Akuntabilitas +
+ +
4 Pengelolaan Sumber Pembiayaan +
+ NA
5 Penganggaran, proporsi, distribusi
dan pengeluaran +
+ +
6 Mekanisme Pembayaran Layanan +
+ +
7 Ketersediaan Layanan +++
+++ +++
8 Koordinasi dan Rujukan +++
+++ ++
9 Jaminan Kualitas Layanan ++
++ +
10 Kebijakan dan Sistem Manajemen
SDM +
+ NA
11 Pembiayaan SDM +
++ NA
12 Kompetensi SDM +
+++ NA
13 Regulasi Penyediaan,
Penyimpanan, diagnostik dan terapi
+ +++
NA
14 Sumber daya +
+++ NA
15 Sinkronisasi Sistem Informasi +
+ +
16 Diseminasi dan Pemanfaatan +
+ +
17 Partisipasi Masyarakat +
+ +
18 Pemanfaatan Layanan ++
++ ++
Sumber: Laporan Tim Peneliti Universitas 2014
Keterangan: +++ = Terintegrasi penuh; ++ = Terintegrasi sebagian; + = Tidak terintegrasi
88 •
PKMK FK UGM
1. Tingkat integrasi untuk Program Pencegahan
Tabel 8 menggambarkan bahwa program pencegahan secara umum tidak terintegrasi, di mana hanya ada 4 dari 18 dimensi yang memiliki integrasi penuh
antara program dengan sistem kesehatan, 2 dimensi terintegrasi sebagian, dan 12 dimensi fungsi sistem kesehatan lainnya tidak terintegrasi.
Dimensi regulasi dan formulasi kebijakan untuk intervensi pencegahan terin- tegrasi penuh karena regulasi di tingkat daerah telah mengatur intervensi pence-
gahan, dan diformulasikan sesuai dengan proses penyusunan kebijakan daerah. Dimensi ketersediaan layanan juga sudah terintegrasi penuh karena layanan pence-
gahan sudah menjadi bagian dari sistem kesehatan umum yang didukung oleh sektor non-kesehatan seperti LSM, kelompok dukungan, kader kesehatan, dan tokoh
masyarakat. Program pencegahan yang disediakan di fasilitas kesehatan seperti VCT, PITC, LASS, PTRM, dan PMTS telah menjadi bagian dari layanan fasilitas
kesehatan primer. Demikian juga dimensi koordinasi dan rujukan terintegrasi penuh karena koordinasi dan rujukan menjadi unsur pokok dari pendekatan LKB yang telah
dilaksanakan di sebagian besar daerah penelitian melalui mekanisme koordinasi rutin antar-pemangku kepentingan lintas-sektor yang terdiri atas KPA, Dinkes Kota,
rumah sakit, fasilitas layanan primer, LSM, KDS, tokoh, dan kader kesehatan.
Dimensi yang terintegrasi sebagian mencakup jaminan kualitas layanan dan pemanfaatan akses layanan. Secara umum sudah ada mekanisme jaminan kualitas
layanan melalui sertifikasi dan berbagai pelatihan untuk tenaga kesehatan yang terli- bat dalam program-program pencegahan. Misalnya, tenaga kesehatan yang mela-
kukan peran konseling mendapatkan pelatihan dan pendidikan dari Kemenkes. Selain pelatihan, ada pula berbagai panduan yang bertujuan untuk memastikan petugas
kesehatan mampu melakukan tugasnya sesuai standar kompetensi yang ditetapkan. Meskipun demikian, sebagian besar tenaga non-kesehatan yang mayoritas melakukan
program-program pencegahan tidak bersertifikasi. Secara umum, tenaga non-kese- hatan yang bekerja dalam intervensi pencegahan melakukan tugasnya dengan basis
keahlian yang diperoleh dari pengalaman lapangan serta melalui pelatihan yang diberikan oleh Dinkes dan MPI.
Dimensi pemanfaatan layanan juga terintegrasi sebagian. Obat dan alat pence- gahan memang sudah bisa diakses secara gratis oleh populasi kunci karena dibia yai
oleh pemerintah melalui dana program, tetapi akses melalui JKN tidak dimung kinkan karena alat pencegahan seperti kondom dan jarum suntik serta metadon tidak masuk
dalam skema pembiayaan yang ditanggung oleh JKN.
INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN
• 89
Pembiayaan untuk pencegahan yang dianggarkan melalui banyak sektor di luar kesehatan menyebabkan pembiayaan tidak terintegrasi ke dalam sistem kesehatan.
Sumber pendanaan yang berasal dari MPI sulit untuk dikoordinasikan. Alokasi pembiayaannya untuk program-program pencegahan yang dibuat berdasarkan peren-
canaan serta prioritas dari MPI, bukan perencanaaan dan prioritas sektor kesehatan. Program-program pencegahan yang dibiayai oleh MPI juga tidak ditanggung oleh
JKN. Pengelolaan SDM-nya juga tidak terintegrasi karena untuk program-program pencegahan ada banyak penyedia layanan di luar tenaga kesehatan pemerintah yang
terlibat, seperti LSM, KDS, dan kader masyarakat. Sektor kesehatan tidak melakukan koordinasi bagi SDM non-kesehatan ini, baik dari aspek regulasi, pembiayaan
maupun standar kompetensi.
Hal yang sama untuk fungsi penyediaan, penyimpanan, diagnostik dan terapi baik dari dimensi regulasi dan sumber daya. Belum adanya regulasi untuk penga-
turan logistik pencegahan dan skema pembiayaannya menjadikan dimensi logistik pencegahan tidak menjadi bagian dari sistem kesehatan. Pembiayaan untuk penga-
daan logistik terkait pencegahan seperti metadon, kondom, pelicin dan alat suntik masih mengandalkan MPI.
2. Tingkat integrasi untuk Program PDP
Dibanding program pencegahan, PDP cenderung lebih terintegrasi ke dalam sistem kesehatan karena telah memanfaatkan infrastruktur dan sumber daya kese-
hatan umum. Selain itu, peran tradisional sektor kesehatan memang pada aspek kuratif sehingga intervensi yang mengarah pada kontrol medis cenderung lebih
mudah untuk diintegrasikan. Dari 18 dimensi, ada 7 yang terintegrasi penuh, 3 terintegrasi sebagian, dan sisanya 8 dimensi tidak terintegrasi.
Sama seperti program pencegahan, dimensi regulasi dan formulasi kebijakan pada PDP terintegrasi penuh karena aspek regulasi dan formulasi kebijakan tentang
PDP sudah menjadi bagian dari sistem penanggulangan penyakit menular lainnya. Di luar fungsi manajemen dan regulasi ini, semua dimensi yang terintegrasi ialah
dimensi-dimensi yang berhubungan erat dengan kompetensi utama sektor kesehatan saat ini, yaitu dalam pengobatan. Pertama, fungsi penyediaan layanan PDP terinte-
grasi penuh karena disediakan di fasilitas kesehatan sekunder dengan prosedur pem- berian layanan yang diperlakukan sebagaimana penyakit lainnya. Kedua, layanan
pengobatan tersebut disediakan oleh SDM kesehatan yang standar kompetensinya diatur oleh sistem kesehatan. Ketiga, regulasi dan sumber daya yang digunakan untuk
pengadaan, distribusi, dan penyimpanan obat serta alat kesehatan untuk layanan PDP telah menggunakan mekanisme dalam sistem kesehatan.