Faktor-faktor yang memengaruhi integrasi di Daerah

94 • PKMK FK UGM 3. Adanya peraturan atau hukum di luar sektor kesehatan yang membatasi popu- lasi kunci untuk mengakses pelayanan kesehatan seperti Perda Pekat, Anti Pros titusi atau Ketertiban Umum akan menjadi perdebatan di antara para pemang ku kebijakan di tingkat daerah. Pada satu sisi, ada argumentasi bahwa perda-perda tersebut untuk melindungi masyarakat umum, tetapi pada sisi yang lain ada kebutuhan untuk mengontrol penyakit. Solusi yang dipilih tentunya yang lebih populis daripada perda penanggulangan HIV dan AIDS. Atau, jika penanggulangan HIV dan AIDS diakomodasi, kegiatan-kegiatannya harus disin- kronisasikan dengan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam perda ketertiban umum tersebut. 4. Fungsi dan peran pemangku kepentingan memengaruhi integrasi upaya penang- gulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Komitmen politik para pemang ku kepentingan kunci secara formal tanpa diikuti oleh komitmen operasio nal susah menjadikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai prioritas daerah. Selain itu, dominasi peran pemerintah pusat secara administratif dan teknis menjadikan program upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai penghambat integrasi dengan sistem kesehatan di daerah. Sikap pemerintah pusat yang masih menjadi perencana dan pemegang kendali pembiayaan menjadi penghambat penerimaan dan tingkat komitmen pemda terhadap upaya penang- gulangan HIV dan AIDS. Akibatnya, upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih bersifat vertikal dan daerah cenderung menjadi pelaksana saja. 5. Dalam pemetaan pemangku kepentingan strategis di daerah teridentifikasi bahwa MPI merupakan aktor yang berkepentingan dan bersumber daya tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Di satu sisi ini sangat mendorong terlaksananya program-program di daerah. Tetapi, di sisi lain, programnya yang bersifat vertikal khususnya dalam aspek administrasi bisa menghambat upaya integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke sistem kesehatan di tingkat daerah karena terbatasnya kontrol dari dinas kesehatan atau KPAD atas perencanaan dan anggaran dari MPI di daerah. Penelitian ini telah mendokumentasikan bahwa berakhirnya MPI di suatu wilayah Papua dan Papua Barat telah menjadi sebuah kesempatan bagi pemda untuk lebih memperhatikan dan bertanggung jawab terhadap penanggulangan HIV dan AIDS dengan menggali berbagai sumber daya yang tersedia di wilayahnya, meskipun program yang dikembangkan tidak sebesar dan seluas yang dilakukan pada saat MPI masih bekerja di wilayah tersebut. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 95 6. Dalam analisis tingkat integrasi telah ditunjukkan bahwa intervensi PDP cenderung lebih terintegrasi di berbagai wilayah penelitian dibandingkan dengan intervensi pencegahan dan mitigasi dampak. Situasi ini menyiratkan bahwa integrasi akan lebih dimungkinkan bagi intervensi yang bersifat kuratif karena lebih sesuai dengan karakteristik peran sektor kesehatan selama ini. Kegiatan dalam PDP cenderung didominasi oleh hubungan tenaga kesehatan dan pasien untuk hal-hal yang bersifat medis di mana berbagai pedoman atau SOP perawatan dan pengobatan telah tersedia. Kompleksitas intervensi ini menjadi jauh lebih sederhana daripada intervensi pencegahan yang harus memperhatikan aspek sosial dan perilaku yang relatif sulit untuk diantisipasi serta melibatkan lintas-sektor. Oleh karena itu, penerimaan aktor di sektor kesehatan terhadap kompleksitas intervensi dalam penanggulangan HIV dan AIDS juga berpengaruh terhadap tingkat integrasi bandingkan dengan kesimpulan Atun et al., 2010.

G. Hubungan antara integrasi dan Efektivitas Program Penanggulangan HiV dan AiDs

Pada bagian sebelumnya telah dibahas bagaimana interaksi antara karakteristik permasalahan HIV dan AIDS, aktor-aktor di dalamnya, konteks, serta pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan sendiri menentukan tingkat integrasi penyediaan layanan kesehatan, baik dalam aspek pencegahan, perawatan dan pengobatan, dan mitigasi dampak. Integrasi sendiri bukan merupakan tujuan, melainkan sebuah cara untuk mencapai efektivitas penyediaan layanan kesehatan. Oleh sebab itu, untuk menilai apakah integrasi tersebut efektif atau tidak, diperlukan pengukuran kinerja pelayanan kesehatan. Untuk menjelaskan bagaimana tingkat integrasi berpengaruh pada efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS, dilakukan analisis dengan cara sebagai berikut: 1. Menggunakan tabel analisis tingkat integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di mana subsistem penyediaan layanan terinte- grasi penuh untuk pencegahan dan PDP. 2. Dengan menggunakan kerangka konseptual dan hasil analisis integrasi, maka proxy untuk mengukur efektivitas menggunakan konteks, peran para pemangku kepentingan, dan tingkat integrasi. 3. Kinerja penyediaan layanan yang diukur efektivitasnya ialah output berupa cakupan dan outcome berupa perubahan perilaku berisiko. 4. Data cakupan menggunakan laporan Kemenkes Triwulan III tahun 2014; dan untuk perubahan perilaku populasi kunci di lokasi penelitian digunakan data STBP 2011. 96 • PKMK FK UGM 5. Untuk melihat bagaimana integrasi bisa memprediksi efektivitas maka dilakukan analisis kinerja program di daerah yang subsistemnya banyak terintegrasi. Efektifitas kinerja pelayanan kesehatan yang diukur di sini ada dua. Pertama, dari segi cakupan, yakni apakah layanan-layanan yang tersedia dimanfaatkan oleh kelompok sasaran guna memenuhi kebutuhan penerima manfaat. Persentase cakupan pencegahan tersebut dibandingkan dengan target nasional yang mencapai 80 untuk menilai apakah kegiatan yang dilakukan telah memenuhi target yang diharapkan atau belum. Kedua, dari segi perubahan perilaku, yakni apakah layanan- layanan yang ada mampu membuat populasi kunci memiliki perilaku yang tidak membuat dirinya rentan terhadap penularan HIV dan AIDS, seperti memakai kondom secara konsisten setiap kali berhubungan seks. Selain itu, aspek PDP yang diukur ialah seberapa jauh layanan kesehatan yang ada mampu untuk meningkatkan jumlah ODHA on treatment untuk pengobatan ARV. Data STBP 2011 digunakan dengan pertimbangan bahwa ia menggambarkan kondisi per kotakabupaten paling lengkap, walaupun tidak semua kotakabupaten daerah penelitian tercakup di dalamnya. Data yang tersedia paling lengkap yakni pada populasi WPSL dan WPSTL, sementara di beberapa daerah data untuk LSL dan LBT tidak tersedia. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data WPS sebagai populasi kunci, dengan mengambil rerata cakupan antara WPSL dan WPSTL. Selain itu, terdapat beberapa indikator cakupan yang berbeda-beda di STBP untuk pengukuran cakupan 7 sehingga untuk mengakomodir proses analisis, indikator-indikator ini dibuat reratanya dan disebut sebagai cakupan keterpaparan program. Berdasarkan data STBP 2011 didapat 48,5, Jawa Timur 43,1, Sumatera Utara 33,9, dan Sulawesi Selatan 18,5. Data ini menunjukkan bahwa cakupan penjangkauan WPS belum memenuhi target nasional, di mana hanya Bali yang mendekati target, yakni 72,9 dari 80 target nasional. Berdasarkan penilaian tingkat integrasi per dimensi ditemukan bahwa Deli Serdang, Medan, Surabaya, dan Denpasar memiliki 5 dimensi terintegrasi penuh dari 18 dimensi subsistem kesehatan, sedangkan Jayapura memiliki 7 dimensi terintegrasi penuh untuk program pencegahan. Untuk cakupan keterpaparan program, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Jayapura yang tingkat integrasinya 7, hasil cakupannya lebih tinggi daripada daerah lain yang integrasinya hanya 5. Namun, pada daerah-daerah yang tingkat integrasinya 5 sendiri variasi hasil cakupannya cukup besar, yaitu antara 28 sampai 67,1. Dengan demikian, walaupun ada 7 Indikator ini meliputi data presensi pertemuandiskusi, mengunjungi klinik untuk check up IMS selama sebulan terakhir, frekuensi dikontak PL, dll. Dari indikator yang berbeda-beda ini akan dipilih satu dengan capaian tertinggi yang akan digunakan sebagai indikator keterpaparan program yang dibandingkan dengan penjangkauan pada setiap populasi kunci. INTEGRASI UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS KE DALAM SISTEM KESEHATAN • 97 kecenderungan peningkatan efektivitas sesuai jumlah tingkat integrasi, hubungan tersebut masih belum kuat. Sedangkan untuk perubahan perilaku, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada pola yang linear antara peningkatan efektivitas dengan peningkatan jumlah dimensi yang terintegrasi. Di Medan, pada tingkat integrasi 5, perubahan perilakunya 51,5, lebih tinggi daripada Jayapura yang peru bahan perilakunya 48,8 padahal ada 7 dimensi yang terintegrasi. Diagram 6 mengga- bungkan perbandingan antara tingkat integrasi dengan cakupan program pencegahan keterpaparan program pada WPS dan tingkat perubahan perillaku. Diagram 6. Hubungan Integrasi dengan Efektivitas: Cakupan Keterpaparan Program dan Perubahan Perilaku dibandingkan Tingkat Integrasi Untuk mengukur pengaruh integrasi terhadap layanan PDP, penelitian ini melihat sejauh mana tingkat integrasi memengaruhi efektivitas PDP khususnya terkait dengan jumlah ODHA yang on treatment pengobatan ART. Data Kemenkes 2014 tidak merinci jumlah ODHA on treatment berdasarkan kotakabupaten, sehingga data yang dipakai ialah data cakupan provinsi. Diagram 7 menunjukkan hasil analisis jumlah ODHA on treatment dibandingkan dengan tingkat integrasi. Dari diagram 7 terlihat bahwa persentase ODHA on treatment ART tidak berkorelasi dengan hasil pengukuran tingkat integrasi. Variasi tingkat integrasi dengan jumlah on treatment ini sangat besar dan tidak menunjukkan adanya pola