Sabar Dan Memaafkan Muatan Mushãlih Alaih a. Menjauhi Prasangka buruk, Hinaan, dan Fitnah

eksistensinya dalam fitrah dan tabiat diakui keberadaannya. Namun, pada saat yang sama, manusia dituntut untuk dapat mengalahkan kemarahannya dan supaya memaafkan orang lain. Rasulullah, tidak pernah marah demi dirinya sendiri, tetapi dia marah karena Allah. Manusia hanya dituntut untuk memaafkan di saat marah, membebaskan kesalahan orang tatkala mampu, dan mengatasi keinginan untuk membalas selama persoalannya berada dalam tataran pribadi yang berkaitan dengan masalah individual. 184 Marah merupakan gejolak jiwa yang mengakibatkan darah dalam hati menjadi mendidih. Jika gejolak ini sangat keras, maka ia berkobar menjadi api kemarahan. Kalau mendidihnya darah dalam hati lebih dahsyat lagi, seluruh urat syaraf dan otak terselimuti sehingga suasana menjadi gelap gulita dan tidak ada tempat untuk berpikir. 185 Oleh karena itu, menahan marah saja belum memadai. Karena, adakalanya seseorang itu menahan marah tetapi masih dendam dan benci. Sehingga, berubahlah kemarahannya yang meledak-ledak itu menjadi dendam yang terpendam dan tersembunyi. Padahal, sejatinya kemarahan itu fitrah dan lebih bersih daripada dendam dalam hati. Oleh karena itu, upaya menahan marah ini harus diikuti dan diakhiri dengan memaafkan, berlapang dada, dan toleransi. Kemarahan akan 184 Sayid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Jil. XIX, h. 328-330. Lihat juga Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1996, h. 62. Dengan mengutip Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Ia menyatakan bahwa marah termasuk penyakit jiwa yang serius, walaupun pada situasi tertentu marah itu tidak tercela. Marah yang digolongkan penyakit jiwa yang serius adalah marah yang menyebabkan munculnya banyak sifat buruk dan perbuatan jahat. 185 Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, h. 62-66, Menurutnya, dengan mengutip al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din, ada dua metode yang dapat diterapkan untuk dapat menahan marah, pertama, dengan ilmu, yaitu dengan mengetahui pahalanya atau dosanya bila ia mampu atau tidak mampu menahan marah, mengetahui akibat marah akan memperbanyak musuh, mengetahui jeleknya orang marah yang seperti binatang, menyadari tidak ada gunanya balas dendam, dan menyadari bahwa marah terhadap sesuatu pada hakikatnya marah kepada Tuhan. Kedua, dengan amal perbuatan, yaitu membaca ta’awudz, jika belum reda, maka hendaknya duduk jika sedang berdiri, lalu merebahkan diri jika sedang duduk. Jika masih belum reda juga, maka hapuslah marah dengan berwudhu. menyakitkan hati ketika ditahan dan kobarannya dapat menghanguskan qalbu. Akan tetapi, ketika jiwa memaafkan dan hati mengampuni, maka lepaslah ia dari sakit hati itu. Secara historis, pada dasarnya watak bangsa Arab adalah keras, namun dalam periode pertama dakwah, -karena faktor regional Mekah dan karena adanya tuntutan untuk membina masyarakat muslim generasi pertama- menuntut Nabi mengajarkan kepada para sahabat agar menahan diri, meningkatkan kualitas pribadi dengan mendirikan shalat, dan meningkatkan kualitas jamaah dengan menunaikan zakat. Ada beberapa faktor yang mendorong dipilihnya cara berdamai dan bersabar pada periode Mekah, di antaranya adalah pertama, disakitinya kaum muslimin generasi pertama dan diujinya mereka agar meninggalkan agama disebabkan oleh situasi politik dan sosial di jazirah yang merupakan situasi kekabilahan. Karena itu, kelompok yang menyakiti seorang muslim adalah keluarganya sendiri, jika dia memiliki keluarga. Tidak ada keluarga, suku, dan kabilah lain yang berani menyakiti seseorang dari keluarga, suku, dan kabilah lainnya. Rasulullah tidak ingin terjadi pertengkaran dalam setiap keluarga antara yang muslim dan yang non muslim. Maka, pendekatannya lebih ditujukan pada pelunakan hati daripada mengasarinya. Kedua, lingkungan masyarakat Arab merupakan masyarakat yang satria yang siap membela pelaku kebenaran jika dia disakiti. Sikap kaum muslimin yang tahan uji dalam memikul gangguan dan keteguhan mereka dalam memegang akidahnya sangat menyentuh jiwa satria dan menimbulkan simpati terhadap kaum muslimin. Ketiga, lingkungan masyarakat Arab merupakan lingkungan perang dan cepat menghunus pedang. Suku-suku yang istimewa tidak tunduk kepada sistem. Keseimbangan individual yang ditekankan Islam menuntut pengendalian emosi ini secara berkesinambungan, menaklukkannya kepada tujuan, membiasakannya supaya bersabar, dan mengendalikan suku serta memberinya rasa bangga karena memiliki akidah ini saat meraih kemenangan dan keuntungan. Karena itu, seruan supaya bersabar dalam menghadapi gangguan sangat sejalan dengan manhaj pendidikan yang bertujuan menanamkan keseimbangan pribadi muslim dan mendidiknya bersabar, teguh, dan pantang mundur. Faktor-faktor di atas menuntut diterapkannya kebijakan berdamai dan bersabar di Mekah serta pengokohan watak dasar masyarakat muslim secara berkesinambungan. 186 Khusus berkaitan dengan pelunakan sifat keras bangsa Arab dan pengikisan kebiasaan berperang antar kabilah ini dengan ajaran sabar dan maaf, Quraish Shihab, ketika menafsirkan QS. Ali Imran 3: 134 ...Dan, orang-orang yang menahan marahnya dan memaafkan kesalahan orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan, menyatakan bahwa karena kesudahan peperangan adalah gugurnya sekian banyak muslimin yang tentu saja mengundang penyesalan bahkan kemarahan, maka sifat yang harus ditonjolkan adalah mampu menahan marah, bahkan memaafkan kesalahan atau kejahatan orang. Bahkan akan sangat terpuji bagi mereka yang berbuat kebajikan terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan, karena Allah menyukai dan melimpahkan kebajikan bagi orang yang berbuat kebajikan. 187 Begitu pula ketika Rasulullah mengetahui gugurnya Hamzah Ibn Abd al-Muthalib, apa lagi, setelah gugur, perutnya dibedah dan hatinya dikunyah oleh Hind, Rasulullah bersabda: ”Jika Allah 186 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 331-331 187 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h. 207 menganugerahkan kepadaku kemenangan atas kaum musyrik Quraisy pada salah satu pertempuran, maka pasti akan kubalas dengan kematian tiga puluh musyrik.” Ketika itu, Allah menegur Nabi dengan firman-Nya dalam QS. Al-Nahl 16: 126 ”Jika kamu membalas, maka balaslah dengan balasan yang persis sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” Kiranya ayat tersebut tidak hanya berpesan kepada Rasulullah saja tetapi kepada seluruh umat, mengingat yang sanak keluarganya terbunuh tidak hanya sanak keluarga Rasulullah semata. 188 Lebih lanjut, Quraish Shihab menerangkan bahwa dalam konteks mengahadapi kesalahan orang lain, ayat di atas ali Imran: 134 menunjukkan tiga kelas manusia atas jenjang sikapnya. Pertama, manusia yang mampu menahan amarah. Kata al-Kãzhim ĩn mengandung makna penuh dan menutupnya rapat-rapat, seperti wadah air yang penuh lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikirannya masih ingin menuntut balas, tetapi hati dan pikirannya itu tidak ia perturutkan dengan menahan marah sehingga tidak keluar kata-kata buruk dan perbuatan negatif. Kedua, di atas tingkat menahan marah adalah yang memaafkan. Kata al-‘ãf ĩn terambil dari kata dasar ‘afw yang biasa diterjemahkan dengan maaf, selain dapat juga diterjemahkan dengan menghapus. Seorang yang memaafkan orang lain berarti ia menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Jika pada tingkatan pertama, orang yang bersangkutan mampu menahan 188 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h. 207 marah meskipun hatinya masih sakit karena luka bahkan dendam, maka pada tahap kedua ini, orang tersebut telah mampu menghapus bekas luka itu, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Karena seolah- olah tidak terjadi sesuatu, maka bisa jadi juga tidak lagi terjalin hubungan di antara keduanya. Maka tingkatan tertinggi adalah ketiga, orang yang tidak hanya sekedar menahan marah dan memaafkan, tetapi justru berbuat baik kepada orang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya sehingga terjalin kembali keharmonisan di antaranya. Demikianlah teladan dari Rasulullah. 189 Pada dasarnya, prinsip umum dalam kehidupan adalah Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” Inilah prinsip jinayat, yakni keburukan dibalas dengan keburukan agar kejahatan tidak melanda dan merajalela. Karena, manakala tidak ada pengekang yang mencegah seseorang dari membuat kerusakan di bumi, maka dia dapat melenggang dengan aman dan tenteram. Prinsip itu dibarengi dengan anjuran memaafkan demi meraih pahala Allah, memperbaiki diri dari kebencian, dan memperbarbaiki masyarakat dari kedengkian. Inilah pengecualian dari prinsip di atas. Perlu digarisbawahi, bahwa pemberian maaf hanya terjadi tatkala seseorang mampu membalas keburukan dengan keburukan atau dalam konteks peradilan adalah tatkala terpidana telah dinyatakan terbukti bersalah di muka pengadilan dan tinggal menunggu vonis. Pada saat itu, maaf memiliki bobot dan pengaruh dalam memperbaiki orang yang melampaui batas. Tatkala orang yang melampaui batas mengetahui bahwa maaf berubah menjadi toleransi dan bukan menjadi kelemahan 189 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h. 207 208 yang mempermalukannya, dan dia merasa bahwa lawannya yang memaafkan itu lebih mulia. Maka jiwa orang kuat yang memaafkan menjadi bersih dan mulia dan jiwa yang dimaafkan terlunakkan oleh maaf yang diberikan. Dalam kondisi ini, memberi maaf lebih baik daripada membalas. Namun, tidak demikian jika dia lemah dan tidak berdaya, maka maaf menjadi tidak ada artinya. Maaf justru menjadi keburukan yang membuat pelakunya semakin ganas dan membuat orang yang dizhaliminya semakin terhina, sehingga keburukan justru semakin merebak di muka bumi. 190 Yang penting dalam hal ini adalah sikap proporsional, yaitu pengendalian diri, bersabar, dan toleransi dalam berbagai kondisi ketika mampu membalas. Dengan demikian, bersabar dan toleransi merupakan kemuliaan dan keindahan, bukan kehinaan dan kenistaan, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Syura 42: 43 Tetapi, orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya perbuatan yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.

2. Syarat-Syarat Mediator

Sebagaimana telah disinggung di muka ketika membahas tentang Qs. Al-Hujurat:10-13, bahwa orang beriman dituntut untuk berperan aktif dalam menyelesaikan konflik, khususnya bagi orang beriman yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian, baik pertikaian itu hanya melibatkan dua orang saja apa lagi jika pertikaian itu melibatkan dua kelompok masyarakat. Demikian sebagaimana dinyatakan Quraish Shihab, ketika menafsirkan Qs. al-Hujurat: 10. Dengan demikian mendamaikan pertikaian atau dengan kata lain menjadi mediator antara dua kelompok yang sedang berkonflik, dengan melakukan musyawarah dan tawar 190 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 332-333. Lihat juga bahasan bab III dari tesis ini tentang signifikansi ishlah dan posisi ishlah dalam jinayah. menawar yang jujur dan sehat di antara semua pihak, dalam rangka meredakan konflik adalah kewajiban atas orang beriman. 191 Pada dasarnya, musyawarah adalah sifat khas umat Islam sejak awal agama ini diajarkan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Syura 42: 38...Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka..... Ayat ini merupakan ayat makkiyah yang diturunkan sebelum hijrah yang berarti diturunkan sebelum berdirinya pemerintahan Islam. Dengan demikian, sifat suka bermusyawarah lebih melingkupi entitas seluruh lapisan masyarakat muslim daripada sekadar melingkupi entitas pemerintahan Islam saja. Musyawarah merupakan karakter masyarakat Islam dalam segala kondisinya, sebelum maupun sesudah berdirinya pemerintahan Islam dengan konsepnya yang khas di Madinah. Dan dalam kenyataannya, dalam Islam, pemerintahan itu tiada lain kecuali pemunculan tabiat masyarakat Islam dan karakteristik individunya yang demokratis. Masyarakatlah yang menjamin pemerintah dan mendorongnya dalam merealisasikan ajaran Islam dan melindungi kehidupan individu dan masyarakat secara luas. 192 Karena itu, oleh Nabi, watak musyawarah ditegakkan sejak dini dalam masyarakat sehingga makna musyawarah lebih luas dan dalam dari pada sekedar mencakup pemerintahan dan segala aspek hukumnya. Musyawarah merupakan watak substansial kehidupan Islam dan indikator istimewa masyarakat yang dipilih sebagai teladan bagi umat lain. Dan watak inilah yang mendasari perlunya proses mediasi dalam mendamaikan dan merukunkan kembali dua orang atau kelompok yang berselisih. Dalam QS. Al-Hujurat 49: 9-10, Allah berfirman: 191 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 13, h. 247 192 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jil. XIX, h. 322