BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya berbagai kasus konflik bernuansa SARA yang berujung pada terjadinya
berbagai kerusuhan hebat dalam masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Konflik tersebut telah memakan banyak sekali korban baik dari segi fisik
bahkan mental. Tidak sedikit harta benda bahkan nyawa melayang. Kerugian yang dialami juga mencakup kerugian material maupun spiritual, seperti
hancurnya tatanan dalam masyarakat berupa terputusnya silaturrahmi antar saudara, juga silaturahmi antar tetangga yang tadinya rukun dan damai, belum
lagi beban psikologis yang harus ditanggung oleh masyarakat dari yang sudah tua sampai anak-anak. Bahkan ancaman serius bahaya hilangnya satu generasi
penerus pembangunan di wilayah bersangkutan. Praktis bisa dikatakan, bahwa selama beberapa tahun kerusuhan
berlangsung, anak-anak tidak mendapatkan makanan yang layak, tanpa pendidikan yang memadai, juga kondisi kesehatan yang kurang terawat,
mengingat sebagian besar dari mereka berada dalam pengungsian dengan kondisi serba minim.
1
Pendek kata, konflik tersebut telah menelan kerugian tidak terhitung.
Hal ini menyebabkan keprihatinan mendalam dalam diri kita dan sudah sepantasnya melakukan berbagai upaya untuk mencegah, jangan sampai
kejadian tersebut terulang kembali, dan menyelesaikan masalah yang saat ini
1
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, Jakarta: YAPPIKA, 2003, h. 85-87. Ia menerangkan bahwa kondisi traumatis pasca kerusuhan masih
dialami oleh masyarakat termasuk anak-anak. Suatu ketika diselenggarakan lomba melukis anak- anak. Sebagian anak menggambar gunung berwarna merah. Ketika ditanya kenapa gunungnya
berwarna merah, kan biasanya hijau atau biru. Maka dijawab bahwa gunungnya terbakar. Ada juga anak yang menggambar beberapa rumah, sebagian rumah diwarnai merah dan sebagian diwarnai
putih. Mereka berkata:”Yang merah rumah orang Kristen, yang putih rumah orang Islam, kalau ada perang lagi biar gampang ketahuan.”
1
belum selesai agar tidak timbul dendam di masa yang akan datang yang pada gilirannya akan memunculkan kembali percik api konflik dan permusuhan.
Hal ini tentunya membutuhkan penyelesaian yang tepat, cepat, dan membawa kemashlahatan bagi semua pihak yang bersengketa. Penyelesaian
yang tepat sangat diperlukan mengingat kerugian yang ditimbulkan amat besar menyangkut nyawa dan harta benda. Adapun penyelesaian yang ingin
ditawarkan dalam tesis ini adalah perdamaian atau yang dalam khazanah Islam biasa disebut dengan istilah ishlãh, -baik melalui proses di pengadilan ataupun
tidak- dari pada menyelesaikannya secara hukum, baik pidana maupun perdata melalui mekanisme pengadilan pidana atau perdata saja.
Dalam konteks pidana Islam, ishlãh dibicarakan berkaitan erat dengan qishãsh
, yaitu adanya kebolehan keluarga korban untuk memberi maaf kepada pelaku yang -di muka pengadilan- terbukti melakukan kejahatan. Maaf ini
secara otomatis menggugurkan hukuman qishãsh, terlepas dari keluarga korban menuntut diyat denda atau tidak. Hal ini sebagaimana diterangkan
dalam QS. al- Baqarah 2: 178.
2
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut di atas. Salah satunya adalah riwayat dari Qatadah, bahwa orang-orang jahiliyah
biasa melakukan kezhaliman dan memperturutkan nafsu setan karena kesombongan dan rasa kebanggaan berlebihan terhadap kabilah atau sukunya.
2
Ayat itu berbunyi:
☺ ⌦
⌧ ☺
☺ ☺
⌧ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishãsh berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar
diyat denda kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
Jika dua kabilah saling berperang, kemudian hamba salah satu kabilah membunuh hamba dari kabilah musuhnya, maka kabilah yang hambanya
terbunuh akan mengatakan: “Kami tidak akan membalas melainkan harus membunuh orang merdeka dari mereka”
. Begitu juga bila yang terbunuh perempuan, maka mereka akan menuntut balas dengan membunuh laki-laki
musuh. Maka turunlah ayat “orang-orang merdeka dengan orang-orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.”
3
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari ayat di atas, yaitu bahwa qishãsh
adalah syariat Allah demi kemashlahatan hidup, qishãsh diyakini akan memperkecil frekuensi kejahatan dan menghilangkan rasa dendam antar
individu dalam masyarakat, membawa masyarakat menuju kedamain hidup jasmani dan rohani, sehingga dalam jangka panjang dapat memelihara
kehidupan seluruh umat. Dalam hal ini, jika wali atau keluarga korban memberi maaf, maka
wajib atas pelaku membayar diyat denda tanpa ditunda-tunda. Dengan demikian, diyat denda dalam hal ini adalah sebagai hukuman pengganti
qishãsh yang tidak jadi dilaksanakan karena keluarga korban memberi maaf
kepada pelaku. Meski demikian, hakim masih bisa menetapkan hukuman ta’z
ĩr atas pelaku karena pelanggarannya terhadap hak-hak publik atau hak Allah setelah hak hamba yang dominan memberinya maaf dan menggugurkan
qishãsh .
Perlu digarisbawahi, bahwa di samping mensyariatkan qishãsh, Allah secara bersamaan juga mensyariatkan maaf sebagai ajakan untuk berbuat
kebajikan, bahwa memaafkan adalah lebih baik dan manusiawi dari pada melakukan pembalasan yang destruktif. Dengan demikian, memaafkan adalah
bagian tak terpisahkan dari mekanisme hukum qishãsh. Oleh karena itu, mengingat qishãsh adalah bagian integral dari Hukum Pidana Islam, maka
memaafkan juga bagian integral dari Hukum Pidana Islam.
3
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Terj. Mu’ammal Hamdi dan Imran A. Mannan, Tafsir Ayat Ahkam, Surabaya: Bina Ilmu, 1985, h. 123
Konsep ishlãh muncul sebagai ganti dari qishãsh yang tak jadi dilaksanakan karena adanya maaf dari keluarga korban. Dalam hal ini,
keluarga korban merupakan pihak yang mengedepankan perdamaian dalam menyelesaikan rasa dendam dan permusuhan. Di sinilah posisi strategis ishlãh
dalam menyelesaikan permusuhan antar manusia dan kelompok. Oleh karena itu, sudah sepantasnya konsep ishlãh digali hingga ditemukan sebuah formula
penyelesaian konflik yang cepat, tepat, dan mampu menciptakan mashlahat bagi semua pihak, berdasarkan khazanah hukum dan intelektual Islam.
4
Dalam konteks Indonesia, penyelesaian konflik horisontal agaknya tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum pidana dalam perspektif qishãsh
saja, tetapi harus melibatkan perspektif ishlãh. Karena dalam sebuah kerusuhan yang menelan banyak korban, maka kedua belah pihak merupakan
korban sekaligus pelaku kejahatan. Jika hanya perspektif qishãsh yang diterapkan, maka proses hukum akan melalui jalan panjang dan berliku,
bahkan kemungkinan tidak akan menemui ujung dan pangkalnya. Sementara jika perspektif ishlãh juga diterapkan, maka dengan hati terbuka dan kerelaan
masing-masing pihak memaafkan kesalahan pihak lain akan lebih dapat menjamin kerukunan dan perdamaian dalam masyarakat. Di sinilah urgensi
ishlãh ditemukan. Sehingga, jika ishlãh menjadi suatu yang urgen untuk
kemashlahatan umat, maka menjadi suatu yang perlu untuk segera dilaksanakan.
Mengelaborasi lebih lanjut tentang berbagai kasus konflik horisontal di berbagai daerah di Indonesia dan penyelesaiannya melalui jalan damai, kita
dapati beberapa kasus besar seperti kerusuhan Poso, Ambon dan lain-lain. Sebagai masyarakat yang telah cukup lama dilanda konflik, baru hampir tujuh
tahun belakangan ini kabupaten Poso di Sulawesi Tengah mulai damai kembali. Sejumlah tonggak peristiwa telah dilalui sebelum mencapai ini.
4
Dalam khazanah Hukum Pidana Islam terdapat satu kaidah yaitu Apabila terjadi pelanggaran hukum maka di dalamnya terdapat hak Allah dan hak hamba, sedangkan hak hamba
itu lebih dominan. Berdasarkan kaidah di atas, dominasi hak hamba ini berimplikasi pada
penyelesaian melalui jalan damai yaitu pihak yang dirugikan dapat memaafkan pihak yang merugikan. Hal ini akan secara lebih luas dibahas dalam bab selanjutnya.
Wakil-wakil pihak yang bertikai menandatangani kesepakatan perdamaian berupa Deklarasi Malino pada Desember 2001. Sebagai hasil dari kesepakatan
tersebut dan berbagai upaya yang terus dilakukan kedua belah pihak, propinsi tersebut kini mulai kondusif untuk rekonsiliasi dan pemulihan. Menanggapi
perkembangan positif yang dicapai melalui Deklarasi Malino, UNDP bekerja sama dengan Menko Kesra memulai suatu proyek persiapan pada 2003.
Proyek tersebut bertujuan untuk memberikan dukungan awal terhadap proses pemulihan dan rekonsiliasi, serta melakukan kajian dan perencanaan untuk
merancang program jangka panjang untuk mendukung perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.
5
Begitu pula halnya yang terjadi di Ambon. Kesepakatan damai yang diikuti oleh pembentukan komite bersama Baku Bae yang dipimpin secara
bersama oleh pihak muslim dan pihak Kristen telah memberikan efek positif bagi perkembangan masyarakat maluku dan Ambon khususnya. Salah satu
kegiatan untuk mempertemukan pihak muslim dan kristen adalah kursus komputer. Di sana, selain belajar untuk memperoleh keterampilan, mereka
juga bergaul antara satu sama lain, sehingga mereka dapat saling berinteraksi, saling mengundang, bahkan timbul kembali persahabatan. Selain kegiatan
belajar, juga diadakan konseling.
6
Di samping itu, dalam forum-forum tertentu, masyarakat yang semasa konflik dulu saling menyelamatkan dipersilahkan mengekspos pengalaman
mereka. Yang dimaksud di sini adalah bahwa semasa konflik terjadi, banyak orang Kristen menyelamatkan orang Islam dan begitu juga sebaliknya. Cara
menyelamatkan itu antara lain dengan saling menyelundupkan atau membocorkan rencana penyerangan. Dengan demikian calon korban bisa
menyelamatkan diri. Ini berlaku bagi kedua belah pihak. Media massa yang dulu juga terlibat konflik, media Kristen misalnya, sempat memihak kelompok
5
Tahmidy Lasahido dkk., Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik, dan Resolusi, 160
6
Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang,
Jakarta: LIPI Proyek Pengembangan Riset UnggulanKompetitif LIPIProgram Isu, 2003, h. 131
Kristen dan media Islam memihak Islam, sekarang telah sadar untuk menggunakan media demi menegakkan perdamaian.
7
Menilik kondisi negara ini, maka pada dasarnya ada dua pilihan yang dapat dilakukan oleh Negara kita Indonesia dalam menghadapi berbagai kasus
konflik horisontal. Yaitu melupakan masa lalu dan memberikan pengampunan dan maaf atas segala kesalahan yang terjadi di masa lalu, atau tetap mengusut
tuntas semua tindakan kejahatan yang terjadi dan memberikan hukuman yang setimpal dengan segala konsekuensinya.
8
Dengan kata lain, dapat ditempuh jalur litigasi yaitu melalui jalur hukum yang dalam hal ini melalui mekanisme
peradilan, dan jalur non litigasi yaitu jalur non peradilan. Lebih jauh mengelaborasi jalur non peradilan ini, telah terbit UU. No. 20
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alaternatif Penyelesaian Sengketa. Sebagaimana diterangkan dalam pasal satu bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa.
7
Sri Yanuarti dkk., Konflik di Maluku Tengah: Penyebab, Karakteristik, dan Penyelesaian Jangka Panjang,
h. 131
8
Munir, Transisi Politik dan Masa Depan HAM, ST. Sularto ed., Jakarta: Kompas, 2000, cet. Ke-1, h. 16
Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
9
Menurut hemat penulis, pengusutan kejahatan akibat konflik horisontal melalui jalur pengadilan adalah hal yang amat sulit dilakukan serta
membutuhkan energi dan pengorbanan yang luar biasa sedangkan hasilnya belum tentu memuaskan semua pihak. Pendek kata, banyak yang harus
dikorbankan, sementara kita dituntut untuk juga menatap ke depan membangun bangsa ini menjadi bangsa yang terhormat di mata rakyat sendiri
dan dunia internasional. Oleh karena itu, penyelesaian melalui mekanisme pengadilan meskipun tetap perlu dilakukan namun efektifitasnya sangat minim
dalam kondisi bangsa yang kurang stabil di segala bidang. Oleh karena itu, jalur non pengadilan lebih baik untuk dikedepankan.
Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia lain. Pemerintah akhirnya berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM
dengan berupaya mendamaikan kecenderungan menghukum dan memberi maaf. Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil karena perangkat
hukum yang ada sebagian besar adalah hasil rezim lama yang tak memadai, baik secara administratif maupun substantif.
10
Berdasar kondisi tersebut, pemerintahan biasanya menerapkan sebuah tatanan hukum sementara yang
hanya diterapkan dalam waktu sementara pula. Di sini prinsip hukum yang kaku dilunakkan sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif yang ada.
Dalam konteks inilah wacana pencarian kebenaran dan pengupayaan rekonsiliasi menjadi isu sentral yang realistis demi pembangunan.
Peristiwa menarik berkaitan dengan ishlãh di Indonesia adalah munculnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu melalui
rekonsiliasi dalam pendekatan Islam, seperti Ishlãh kasus Tanjung Priok. Terlepas dari berbagai kontroversi dan kekurangan, hal ini tentu saja
9
UU. No. 20 tahun 1999, Diktat, Tidak diterbitkan, h. 2-6
10
Contoh yang paling tepat untuk negara yang menerapkan pendekatan ini adalah Afrika Selatan dengan konsep rekonsiliasinya.
diharapkan bisa menjadi model penyelesaian terbaik terhadap berbagai kasus di masa lalu, sambil terus berupaya melengkapi kekurangan yang ada.
Kesepakatan damai yang dituangkan dalam sebuah piagam ishlãh ini adalah suatu penyelesaian secara damai terhadap kasus pelanggaran HAM
berat Tanjung Priok. Ishlãh ini terjadi pada tanggal 7 Maret 2001 antara mantan Panglima Kodam Jaya Jend. Purn. Try Sutrisno dan pejabat
keamanan yang menjabat pada waktu tragedi terjadi pada tanggal 1 September 1984, dengan pihak keluarga korban.
11
Peristiwa ini segera menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, khususnya praktisi hukum. Mereka berpendapat bahwa meskipun telah terjadi
ishlãh , namun penyelesaian melalui jalur hukum tetap harus dilakukan melalui
proses peradilan.
12
Di samping itu, ketidaksetujuan ini juga didasarkan pada kekhawatiran mandulnya sistem hukum yang berlaku, karena ishlãh yang
disepakati terkesan menganggap enteng kejahatan berat yang telah dilakukan di masa lalu dengan memutuskannya tanpa melalui proses peradilan terlebih
dahulu. Ketidaksetujuan ini senada dengan adanya kaedah dalam hukum Pidana
Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Satria Effendi M. Zein, bahwa apabila bergabung hak individu dan hak publik, sementara hak individu lebih
dominan, maka meskipun hukum qishãsh bisa dimaafkan oleh keluarga korban, namun pengadilan tetap berkewajiban mengenakan hukuman ta’z
ĩr sebagai hukuman atas pelanggaran hak publik.
13
Terlepas dari berbagai komentar baik yang pro maupun kontra, perlu disadari bersama bahwa untuk merajut masa depan Indonesia baru dan
khususnya masyarakat yang didera konflik berkepanjangan, ishlãh dinilai
11
Al- Chaidar wa Iddatu Ashkhas Amilu Lihisabi Tapol, Mihnatul Islam Fi Indonesia, Terj. Muhammad Thalib, Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000, Yogyakarta: Wihdah
Press, 2000, cet. ke-5, h. 31. Lihat Juga Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau Keadilan?
, Kompas Jakarta: 10 Juni 2001, h. 6. Juga Try Sutrisno dan Korban Tanjung Priok Berdamai
, Kompas Jakarta: 8 Maret 2001, h. 1
12
Hendardi, Menghadapi Masa Lalu, Rekonsiliasi Atau Keadilan?, h. 6
13
Satria Effendy M. Zein, Arbitrase Dalam Masyarakat Islam, dalam Arbitrase Islam di Indonesia,
Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Kerjasama dengan Bank Muamalat, 1994, h. 13-14. Lihat Juga Said Aqil Husin Al- Munawwar, Al- Quran Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki , Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 275
mampu mengobati luka rakyat. Ishlãh dapat mencegah masyarakat membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan
menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
Dengan demikian, ishlãh lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi menjamin agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara
berkelanjutan. Untuk tujuan akhir itu, berarti individu, kelompok, dan negara “harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf
untuk pelaku. ishlãh dengan demikian adalah kesediaan memaafkan atau melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di
masa depan. Singkatnya, ishlãh lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada penuntutan pidana.
B. Rumusan Dan Batasan Masalah Tesis ini ingin mengungkap beberapa masalah sebagaimana penulis