2. Memelihara Jiwa Hifzh al-Nafs
Memelihara jiwa dalam peringkat dhar ũriyyah, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi jiwa manusia. Memelihara jiwa dalam peringkat hãjjiyah, seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal.
Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya. Memelihara jiwa
dalam peringkat tahs ĩniyyah, seperti ditetapkannya tatacara makan dan
minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan atau etiket, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun
mempersulit kehidupan seseorang.
3. Memelihara Akal Hifzh al-Aql
Memelihara akal dalam peringkat dhar ũriyyah, seperti diharamkan
meminum khamr. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal. Memelihara akal dalam peringkat
hajjiyyat, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan
mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Memelihara akal dalam peringkat tahs
ĩniyyah, seperti menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang
tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
4. Memelihara Keturunan Hifzh al-Nasl
Memelihara keturunan dalam peringkat dhar ũriyyah, seperti
disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka akan mengancam eksistensi keturunan. Memelihara keturunan dalam
peringkat hãjjiyah, seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi
suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar
itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar mitsil. Sedangkan dalam kasus
talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis lagi. Memelihara
keturunan dalam peringkat tahs ĩniyyah, seperti disyariatkan khithbah
atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan
mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5. Memelihara Harta Hifzh al-Mãl
Memelihara harta dalam peringkat dhar ũriyyah, seperti di-
syariatkannya tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka
akan berakibat terancamnya eksistensi harta. Memelihara harta dalam peringkat hãjjiyah, seperti disyariatkan jual beli dengan cara salam
inden. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan
modal. Memelihara harta dalam peringkat tahs ĩniyyah, seperti adanya
ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan
berpengaruh kepada kesahan jual beli itu, sebab peringkat ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat kedua dan pertama.
Jelas bahwa tujuan disyariatkan hukum adalah untuk memelihara mashlahah dan sekaligus menghindari mafsadah, baik di dunia maupun di
akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam al-Quran dan Hadis maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik
tolak dari tujuan tersebut. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan
dalam kedua sumber utama fikih itu, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan
tersebut harus dijadikan titik tolak penetapan hukumnya. Dengan demikian menjadi jelas pula bahwa ishlãh yang berperan
sangat penting dalam membina kehidupan yang damai dan beradab bagi individu dan masyarakat baik di dunia –yang meliputi pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta- maupun di akhirat bertitik tolak pada tujuan memelihara ke mashlahahan dan menghindari kemafsadatan sebagaimana
tujuan disyariatkannya hukum itu sendiri. Di samping itu, ishlãh sebagai sebuah produk hukum dalam menyelesaikan konflik dalam berbagai
bentuknya, dapat ditelusuri sumber dan dasar-dasarnya dari ayat al-Quran sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya yang oleh karena itu
dipastikan dapat memelihara al-kulliyat al-khams sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian, keberadaannya adalah sah dan oleh karena itu sah pula
untuk diterapkan sebagai salah satu akad yang dapat mewujudkan perdamaian. Di sinilah posisi strategis ishlãh dalam konteks mashlahah dan dalam
mewujudkan mashlahah itu sendiri. Diterapkannya ishlãh dan tereliminasinya konflik dipastikan akan dapat
memelihara kemuliaan agama. Bahwa Islam sebagai agama perdamaian dan keselamatan mengejawantahkan ajarannya dengan menciptakan kedamaian
antar anggota masyarakat di mana Islam dipeluk dan ditegakkan. Begitu pula ishlãh dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah yang dapat merusak dan
menghilangkan jiwa yang sangat berharga. Ishlãh juga dapat memelihara harta individu dan masyarakat agar termanfaatkan secara maksimal bagi
peningkatan kebajikan individu dan masyarakat, daripada terhamburkan dalam persengketaan yang berlarut-larut dan menghabiskan banyak biaya dan tenaga.
Begitu pula dengan ishlãh akal manusia yang bersih dapat terpelihara, karena pada dasarnya fithrah akal manusia adalah cinta pada Tuhan sedangkan Tuhan
B. Hukum ishlãh