festival seni, budaya, dan ekonomi. Atau juga dengan memanfaatkan momen bulan haram di mana perang dilarang selama masa itu.
Salah satu kasus peperangan antar suku yang dapat didamaikan oleh para mediator handal ini adalah perang antara suku ‘Abs dan suku
Dhubyan yang berhasil dimediasi oleh al-Harits ibn ‘Auf dan Kharija. Begitu juga Rasulullah sebelum kenabian, menjadi mediator dan arbiter
dalam menyelesaikan konflik antar pemimpin Arab dalam hal siapa yang paling berhak meletakkan hajar aswad di tempatnya setelah proses
rehabilitasi Ka’bah selesai.
56
Bagi mereka, meletakkan kembali hajar aswad di tempatnya adalah tugas terakhir dan paling prestisius. Oleh karena itu wajar kalau kemudian
mereka saling berebut untuk menempatkannya kembali. Keberhasilan suatu suku mengembalikan hajar aswad kembali di tempatnya menjadi
kebanggaan tersendiri bagi suku tersebut. Di sinilah letak krusialnya permasalahan peletakan kembali hajar aswad. Dengan kebijaksanaannya,
Muhammad SAW. membentangkan selembar kain dan meletakkan hajar aswad di tengah-tengah kain, kemudian mempersilahkan tiap kepala suku
memegang ujung kain dan mengangkatnya secara bersama-sama.
57
2. Ishlãh Pada Masa Islam
Dalam sejarah Islam, kita mengetahui beberapa peristiwa penting dalam perkembangan Islam yang dilakukan oleh Rasulullah dan para
sahabat, khususnya dalam hal membuat perjanjian damai dengan pihak luar Islam maupun mendamaikan antar pihak tertentu dalam Islam yang
sedang bertikai. Pada tahun kesepuluh dan kesebelas kenabian, tepatnya setelah isra’ miraj, Rasulullah berhasil mendamaikan dua suku Arab
56
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 232-233, lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, h. 17
57
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 18
utama Yatsrib yang selalu bertikai yaitu ’Aus dan Khazraj. Peristiwa ini menjadi titik tolak hijrah Rasulullah dari Mekah ke Yatsrib yang kemudian
berubah nama menjadi Madinah. Kemudian setelah sampai di Madinah, Rasulullah mengadakan perjanjian damai dengan berbagai kabilah di
Madinah dan sekitarnya.
58
Salah satu momen penting pada awal periode Madinah adalah terjadinya arbitrase antara Rasulullah dengan Bani
Quraizhah, salah satu suku Yahudi, di mana kedua belah pihak mewakilkan penyelesaian perselisihan kepada seoarang mediator yang
dipilih dan disepakati kedua belah pihak.
59
Pada tahun keenam Hijrah, Nabi memimpin sekitar seribu jamaah haji dari Madinah untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Penduduk
Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota, hingga akhirnya diadakan sebuah perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiyah, yang isinya
antara lain, pertama, Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun ini, tapi ditangguhkan sampai tahun depan. Kedua, Lama
kunjungan hanya dibatasi tiga hari saja. Ketiga, Kaum muslimin wajib mengembalikan orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah.
Sebaliknya, Quraisy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang kembali ke Mekah. Keempat, Selama sepuluh tahun diadakan gencatan
senjata antara penduduk Mekah dan Madinah. Kelima, Tiap kabilah yang ingin masuk dalam persekutuan baik muslimin maupn Quraisy, bebas
melakukannya tanpa mendapat rintangan.
60
Pada tahun 41 H, yaitu masa akhir Khulafa’ Rasyidun, sepeninggal Ali Ibn Abi Thalib, kekhalifahan dilanjutkan oleh anaknya Hasan. Oleh
karena kedudukannya yang lemah secara politik sementara kondisi
58
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1983, h. 105
59
Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, h. 233-234
60
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Litera Antarnusa, 1990, h. 403
permusuhan antar masyarakat Islam semakin parah dan memburuk, maka diadakan perjanjian damai antara dirinya dengan Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan. Terlepas dari apa isi perjanjian tersebut dan bagaimana sikap para pihak dalam melaksanakan isi perjanjian di masa sesudahnya, perjanjian
ini berhasil mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan yaitu Mu’awiyah. Tahun dilaksanakannya perjanjian ini kemudian disebut
dengan ’am jamã’ah tahun persatuan.
61
Setelah masa sahabat, bahkan jauh pada masa sesudahnya, sejarah juga merekam membaiknya hubungan antara kelompok Sunni dan Syi’ah
pada masa khilafah Umawiyah khususnya pada masa Khalifah Umar ibn Abd al-’Aziz. Syi’ah -yang menjadi oposisi waktu itu- mulai berdekatan
kembali dengan pemerintah dan terjalin hubungan yang baik. Di samping itu, berabad-abad sesudahnya, yaitu pada tanggal 2 November 1192,
dibuat perjanjian antara tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin al- Ayyubi dengan tentara salib yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam
perjanjian damai itu dinyatakan bahwa orang-orang Kristen yang hendak berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
62
Khusus mengenai perdamaian antara suku ’Aus dan Khazraj yang dimediasi oleh Rasulullah, diterangkan bahwa berawal dari pertemuan
Nabi dengan beberapa orang dari suku Khazraj yang sedang mengunjungi Mekah untuk berhaji dan untuk sebuah misi tertentu.
Bahwa setiap musim haji, Rasulullah menggunakannya sebagai kesempatan berdakwah, ia masuk dari satu kemah jama’ah haji ke kemah
jama’ah yang lain untuk berdakwah. Hal ini juga Rasulullah lakukan dalam rangka mencari kemungkinan dukungan baru baginya, mengingat
kedudukannya di Mekah yang semakin terjepit oleh embargo Quraisy
61
Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989, h. 64
62
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 47, 78
sepeninggal Khadijah dan Abu Thalib. Dalam misi dakwahnya itu, Rasulullah bertemu dengan anggota suku Khazraj dari Yatsrib tersebut.
sekelompok orang Yatsrib tersebut berjumlah 6 orang, semuanya dari suku Khazraj, yang membawa misi mencari bantuan kepada suku Quraisy
karena dalam peperangan terakhir dengan ’Aus, mereka mengalami kekalahan.
63
Dari percakapan mereka dengan Rasulullah, terlihat bahwa mereka amat tertarik dengan ajaran agama baru yang disampaikan oleh Rasulullah,
hingga salah satu dari mereka berkata: ”Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan ’Aus. Mereka benar-
benar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran yang engkau bawa. Oleh
karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.”
64
Mereka juga sepakat untuk kembali dan melapor kepada Rasulullah pada musim haji berikutnya.
Dari perkataan mereka di atas dapat disimpulkan bahwa keterpesonaan dan kepercayaan mereka terhadap pribadi dan ajaran
Rasulullah telah membuat keenam orang dari suku khazraj ini berpindah agama, dari agama berhala kepada agama tauhid sesuai ajaran Nabi. Lebih
dari itu, mereka juga berkeinginan kuat untuk menjadikan Rasulullah sebagai penengahmediator dalam menyelesaikan pertikaian antara mereka
dengan suku ’Aus. Mereka yakin kepada kenabian, ajaran, dan pribadi Rasulullah, bahwa orang ini dapat melakukan tugas itu, bahkan lebih dari
itu, ia mampu menjadi pemimpin tertinggi bagi dua suku yang berseteru, bahkan seluruh penduduk Yatsrib.
63
Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, Surabaya: Risalah Gusti, 2001, h. 194
64
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24, Lihat juga Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, terj. oleh Sirikit Syah, h. 195-196
Oleh karena itu, pada musim haji tahun 621 M., enam muslimin baru dari Yatsrib tersebut kembali ke Mekah sesuai rencana, sambil
membawa tujuh orang, dua di antaranya dari suku ’Aus, mereka bertemu dengan Nabi di ’Aqabah, tempat yang sama dengan pertemuan mereka
yang pertama, dan menyatakan sumpah resmi untuk menyembah Allah dan sumpah setia kepada Rasulullah.
Isi dari sumpah setia itu, -selain bersyahadat tentunya- sebagaimana diceritakan salah satu dari mereka adalah bahwa mereka bersumpah setia
kepada sang Rasul bahwa mereka tak akan menyembah selain kepada Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak keturunan mereka,
membantai tetangga, akan patuh kepada Muhammad mengenai apa yang benar. Juga, bahwa Jika mereka memenuhi sumpah ini surga akan menjadi
milik mereka. Jika mereka melakukan dosa-dosa itu maka Tuhan akan menghukum atau memaafkan, sebagaimana Allah kehendaki.”
65
Di sini terlihat kecerdasan Nabi dan juga tentunya orisinalitas ajaran yang dibawanya dari Allah. Bahwa agama yang ia bawa tidak hanya
mensyaratkan ketundukan total kaum muslim kepada Tuhan yang satu dan Rasul-Nya, tetapi juga menanamkan penghargaan pada orang lain sebagai
individu dengan berbagai hak yang melekat padanya. Ajaran yang merupakan moralitas baru ini membuat masyarakat Yatsrib -dan
masyarakat manapun yang menerima dakwah Nabi- menjadi masyarakat baru, masyarakat dengan kesadaran bahwa keberhasilan seseorang atau
suatu golongan tidak selalu berarti kerugian bagi orang atau kelompok lain. Bahwa kemauan untuk secara bersama-sama menggapai keberadaban
dan kemajuan akan dapat menentramkan kehidupan. Sumpah setia sekelompok masyarakat Yatsrib di ’Aqabah itu
kemudian biasa disebut dengan bai’ah al-Aqabah al-ula, dan menjadi
65
Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h. 200
tonggak awal perjuangan Nabi dan para sahabat, karena setelah bai’ah al- ’aqabah kedua akan dilanjutkan dengan hijrah Nabi dan para sahabat ke
Yatsrib.
D. Ruang Lingkup Ishlãh