BAB IV FIKIH ISHLÃH
A. Obyek ishlãh
Sebagaimana telah dijelaskan secara singkat dalam bab II mengenai ruang lingkup obyek ishlãh, maka dalam awal pembahasan bab IV ini akan
diuraikan secara lebih detil tentang obyek ishlãh tersebut. Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa penyelesaian konflik dapat
melalui jalur hukum yaitu melalui proses pengadilan dan dapat juga melalui proses non pengadilan. Dalam konteks penyelesaian konflik melalui jalur
hukum, maka obyek ishlãh dapat dibagi dalam dua lapangan, yaitu pidana jinãyah
dan perdata al-ahwãl al-syakhshiyah. Dalam konteks jinãyah, khususnya qishãsh maka muara penyelesaian konflik oleh hakim jinãyah
dapat meliputi dilaksanakannya qishãsh, ditetapkannya diyat, atau hanya ditetapkan taz
ĩr semata atas diri terpidana. Khusus dalam kasus qatl al-‘amd yang dapat dijatuhi hukuman
maksimal berupa hukuman mati, maka jika pihak keluarga korban memilih mengedepankan ishlãh, maka afw dari keluarga korban dapat merubah
putusan hakim dari sedianya menjatuhkan hukuman maksimal yaitu hukuman mati, menggantinya dengan penjatuhan diyat atau taz
ĩr atas terpidana dan keluarganya. Dengan demikian, pelaksanaan ishlãh dalam kasus pidana ini
memutlakkan adanya maaf dan atau dendaganti rugi. Demikian pula adanya dengan berbagai kasus pidana lain di bawah kasus
pembunuhan sengaja, seperti kasus pelukaan. Jika korban mengedapankan ishlãh
dengan memaafkan pelaku, maka afw dari korban menyebabkan hakim pidana tidak menjatuhkan hukuman maksimal, melainkan diganti dengan
hukuman diyat atau tazir. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan secara cukup panjang lebar dalam pembahasan ishlãh dalam jinãyah.
98
Dalam konteks hukum perdata, sebagaimana konflik baju besi antara Thumah dengan teman Yahudinya yang diselesaikan oleh Rasulullah, dapat
disimpulkan bahwa keduanya didamaikan oleh Rasulullah dengan tambahan denda atas Thumah untuk mengembalikan baju besi milik temannya tersebut.
Konflik individu seperti terjadinya perkelahian juga dapat diselesaikan dengan ishlãh, yaitu dengan perantara seseorang yang dihormati kedua pihak
dan netral dapat mengajak keduanya untuk bersedia saling memahami dan memaafkan, untuk kemudian bersedia saling memberi dan menerima demi
menyelesaikan konflik. Konflik individu dengan Tuhan dapat diselesaikan antara individu tersebut dengan Tuhan melalui jalan taubat.
Dalam konteks keluarga, konflik yang biasa disebut dengan istilah nusy
ũz dan syiqãq dapat terjadi antara suami dengan istri. Nusyũz dapat diselesaikan dengan beberapa langkah yaitu pertama, suami memberikan
nasehat. Kedua, berpisah tempat tidur, dan jika tetap belum ada perbaikan maka dilakukan upaya ketiga, boleh memukul dengan kadar pukulan sebagai
suatu bentuk pengajaran Q.S. al- Nisa 4: 34. Jika ketiga langkah ini tidak berhasil, maka digunakan jasa hakam untuk memediasi keduanya dalam
rangka mencegah terjadinya syiqãq 35. Begitu pula ketika terjadi zhihãr oleh suami terhadap istrinya, maka hukum Islam menentukan, bahwa untuk
memutus konflik antara keduanya yang disebabkan oleh zhihãr tersebut, maka suami harus membayar kaffãrah.
Dalam konteks sosial, konflik dapat terjadi antar kelompok masyarakat baik berupa konflik antar suku dan agama, juga konflik karena masalah
kepentingan ekonomi dan politik. Sebagaimana yang akan penulis bahas dalam sub bab terakhir dari bab ini. Adapun konflik antar negara juga dapat
terjadi sehingga mengakibatkan peperangan antar negara. Hal ini dapat diishlãhkan melalui pembuatan perjanjian damai antara keduanya.
Dengan demikian, obyek ishlãh dapat melingkupi beberapa hal sebagaimana digambarkan secara ringkas dalam bagan sebagai berikut:
ISHLÃH
KONFLIK
INDIVIDU KELUARGA
SOSIAL NEGARA
Kerusuhan sosial Perang Nusyuz Syiqãq
Perkelahian
Dari pembahasan obyek ishlãh di atas dapat diambil kesimpulan lain, yaitu bahwa inti dari pelaksanaan ishlãh dalam tiap obyek ishlãh adalah
adanya kesediaan memaafkan afw oleh pihak yang merasa dirugikan korban kepada pelaku dan kesediaan membayarmemberi ganti rugi atau
denda diyatkaffãrah oleh pihak yang merugikan pelaku kepada pihak yang dirugikan korban. Sebagaimana dapat dilihat di atas bahwa dalam kasus
pidana, terpidana diharuskan membayar diyat sebagai imbalan afw dari korban. Dalam kasus perdata, pelaku harus membayar kaffarat sebagai
imbalan afw dari korban. Begitu pula dalam kasus-kasus lainnya. Singkat kata afw
dan diyatkaffarat adalah inti dari pelaksanaan ishlãh. Perlu dijelaskan bahwa diyatkaffaratdendaganti rugi yang biasanya
berupa materi berfungsi sebagai alat pemutus konflik yang harus ditunaikan oleh pelaku, sementara korban menunaikan pemberian maaf yang sifatnya
immateri. Oleh karena itu pula, sudah semestinya denda atau apapun istilahnya yang harus ditunaikan oleh pelaku, tidak hanya dalam bentuk materi
saja akan tetapi termasuk juga tindakan-tindakan ruhani dan jasmani yang dapat memutus konflik sebagaimana akan diterangkan kemudian.
B. Subyek Ishlãh