Menurut Abi al-Husain Ahmad ibn Fãris ibn Zakaria, kata ﺎ
إ berasal dari kata
. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Shalãh menunjuk pada arti yang berlawanan dengan kerusakan al-fasãd. Ini berarti telah
memperbaiki dengan perbaikan. Dikatakan shalaha yang di-fathah lam- nya sesuai dengan yang dihikayatkan oleh Ibnu al-Sukiyat bahwa shalaha
adalah shalaha-shul ũhan bermakna memperbaiki, sesuatu perbaikan”.
19
2. Secara Istilah
Secara istilah, term ishlãh dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya dengan perilaku manusia.
20
Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum, ishlãh dapat diartikan sebagai suatu
aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan
jelek. ‘Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala urusannya.
21
Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya berpendapat, bahwa kata ishlãh
mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk
dimanfaatkan.
22
18
Ibrãh ĩm Madkũr, al-Mu’jam al-Wajiz, tp., t.th, h. 368. Lihat juga Ahmad
‘Athiyyatullah, al-Qãm ũs al-Islãmi, Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076, Jilid 4,
h. 321
19
Lihat Abi al-Husain Ahmad ibn Fãris ibn Zakaria, Mu’jam Maqãyis al-Lughah, Mesir: Maktabah al-Khabakhiy, 1981, Jil. 3, h. 303
20
E. van Donzel, B. Lewis, dkk ed, Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1990, Jil. IV, h. 141
21
Abd Salam, Mu’jam al-Was ĩth, Teheran: Maktabat al-Ilmiyah, t.th, Jil. I, h. 522
22
Abu ‘Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi, Majma’ al-Bayãn f ĩ tafsĩr al-qur’an, Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 1986, cet I, Jil. I, II, h. 137. Lihat juga Abu al-Qasim Jarullãhi Mahm ũd ibn
Kata ishlãh juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah tajd
ĩd pembaruan dan taghyir perubahan, yang keduanya mengarah pada kemajuan dan perbaikan keadaan.
23
Dengan demikian, ishlãh bertalian erat dengan tugas para Rasul yang terus ditindaklanjuti hingga
sekarang dan seterusnya.
24
Walaupun zaman para Nabi telah berakhir, namun pekerjaan ishlãh yakni perubahan ke arah perbaikan berlanjut terus
sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan ishlãh merupakan bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi.
25
Perubahan ini bukan semata-mata untuk menambah hasil guna atau kemakmuran, akan tetapi lebih merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kebajikan masyarakat. Jhon O.Voll mengemukakan bahwa dua dari pengertian-pengertian
utama dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan adalah kata ishlãh dan tajd
ĩd. Ishlãh biasa diterjemahkan sebagai perubahan dan pembaruan. Secara bersama-sama, kedua kata tersebut mencerminkan satu tradisi
berkelanjutan, yaitu tentang upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya dalam sejarah kamunitas kaum muslimin.
26
Menurut Syafi’i Ma’arif, perkataan tajd ĩd berarti pembaruan,
inovasi, restorasi, medernisasi, penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka bila dihubungkan dengan
Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyãf, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1995, cet. I, Jil. I, h. 70.
23
John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, New York: Oxford University Press, 1983, h. 32-42
24
Nabi Syuaib umpamanya, berkata kepada umatnya: “Saya hanya menginginkan ishlãh pada batas-batas kekuasaan saya” Lihat QS. 11: 88, dan mereka yang mengerjakan ishlãh
Muslihun, sering dipuji dalam al-Qur’an, yang dilukiskan sebagai pelaksana perintah Tuhan dan kepada mereka pasti diberi pahala QS. 33: 31. Lihat Muhammad Imarah, Perang Terminologi,
Islam Versus Barat, terj. Dari Ma’rakat al-Mushthalahat baina al-Gharb wa al-Islam, oleh Mushthalah Maufur, Jakarta: Rabbani Press, 1998, h. 192-194
25
John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, h. 33
26
John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent, h. 22. Pembahasan ishlãh dalam tesis ini tidak terfokus pada
definisi ini.
pemikiran tajd ĩd dalam Islam, tajdĩd adalah usaha dan upaya intelektual
Islami untuk menyegarkan dan memperbaharui pengertian dan penghayatan umat Islam terhadap agamanya berhadapan dengan
perubahan dan perkembangan masyarakat. Menurutnya, kerja tajd ĩd
adalah kerja ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan ajaran- ajaran Islam dalam konteks ruang dan waktu.
27
Sementara menurut ulama fikih, kata ishlãh diartikan sebagai perdamaian, yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan
persengketaan di antara manusia yang bertikai, baik individu maupun kelompok.
28
Sejalan dengan definisi di atas, Hasan Sadily menyatakan bahwa ishlãh merupakan bentuk persoalan di antara para pihak yang
bersangkutan untuk melakukan penyelesaian pertikaian dengan jalan baik- baik dan damai, yang dapat berguna dalam keluarga, pengadilan,
peperangan dan lain-lain.
29
Sayid Sabiq menerangkan bahwa ishlãh merupakan suatu jenis akad untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang bermusuhan.
Selanjutnya ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang mengadakan ishlãh tersebut dengan Mushãlih, adapun hal yang diperselisihkan disebut
dengan Mushãlih anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak terhadap pihak lain untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushãlih
alaih atau badal al- shulh.
30
Dari keterangan di atas dapat diterangkan lebih lanjut bahwa, meskipun kata ishlãh dan kata shulh merupakan sinonim, namun kata
27
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah Sebuah refleksi, Bandung: Penerbit Pustaka, 1985, cet. I, h. 95
28
Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidãyah fi Syarh al-hidãyah, Beirut: Dar al-Fikr, t,th, Jil. 9, h. 3. Definisi ishlãh dalam konteks inilah yang menjadi fokus
pembahasan dalam tesis ini.
29
Hassan Sadyli dkk, Ensikolopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar baru – Van Hoeve, 1982, h. 1496
30
Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, terj., Kamaludin A. Marzuki dengan judul Fiqih Sunnah, Bangdung: PT. Al-Maarif, 1988, jil. Ke-13, h. 189
ishlãh lebih menekankan arti suatu proses perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata shulh lebih menekankan arti hasil dari proses ishlãh
tersebut yaitu berupa shulh perdamaiankedamaian. Dapat juga dinyatakan bahwa ishlãh mengisyaratkan diperlukannya pihak ketiga
sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian konflik tersebut. Sementara dalam shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya mediator.
Selanjutnya perlu dijelaskan pula mengapa Sayyid Sabiq menggunakan istilah mushãlih bagi para pihak yang hendak berishlãh, dan
tidak menggunakan istilah mushlih. Agaknya, penggunaan istilah mushãlih ditujukan untuk menunjukkan adanya keinginan berdamai dari kedua
pihak yang berkonflik, dan demikianlah seharusnya dalam ishlãh, bukan salah satu pihak saja. Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan wazan
fãala mengandung arti musyãrakah atau resiprokal. Hasbi al-Shiddieqy menerangkan lebih lanjut bahwa pengertian
ishlãh atau memperbaiki hubungan manusia yang bersengketa ialah mengeluarkan tali yang kuat dan kokoh di antara sesama manusia yang di
dalamnya telah tumbuh persengketaan, baik mengenai urusan darah, urusan harta dan kehormatan, maupun mengenai urusan politik dan taktik
perjuangan”.
31
Dari pengertian di atas, ia menegaskan bahwa di antara amal usaha yang lazim diwujudkan oleh umat Islam adalah memperbaiki
hubungan antar orang atau antar golongan. Umat Islam tidak membiarkan persengketaan itu berjalan terus, melainkan berusaha menghilangkannya
dan menghidupkan kembali hubungan yang baik antara orang-orang yang bersengketa dan berselisih itu.
Lebih jauh, para ulama fikih mengartikan ishlãh dengan perdamaian antara kaum muslimin dengan ahl al-harb, antara ahl al-adl yang berdiri
di pihak kebenaran hukum dengan ahl baghy penyelewengan yang keluar
31
Hasbi al-Siddieqy, al-Islam II, Jakarta: PT. Mutiara Bulan Bintang, 1952, cet. I, h. 448
dari hukum, juga antara suami dan istri ketika dikhawatirkan terjadi perpecahan.
32
Ibn Qudamah membagi ishlãh berdasarkan pihak-pihak yang bersengketa menjadi empat macam yaitu ishlãh antara ahl al- adl
dengan ahl al- baghy, antara suami dengan istri, antara sesama muslim, dan antara muslim dengan ahl al- harb.
33
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, para ulama ushul fikih juga membahas kata ishlãh dan menjadikannya sebagai salah satu metode
menemukan hukum dalam bentuk istishlãhmashlahah. Al-Ghazali menerangkan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang
mendatangkan manfaat keuntungan dan menjauhkan madhãrat.
34
Tujuan utama dari Syãri legislator adalah mashlahah manusia, demikian diungkapkan oleh al-Syãtibi.
35
Lebih jauh ia mendefinisikan mashlahah sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan,
yaitu mashlahah yang membicarakan substansi kehidupan manusia dan pencapain apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia membagi mashlahah dalam tiga kategori; dhar
ũriyyah, hãjjiyyah, dan tahsĩniyah. Mahslahah kategori dhar
ũriyyah primer yang tidak bisa tidak harus terpenuhi, terdiri dari memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dengan demikian, kekuatan mashlahah sebagai dalil dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan
lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia tersebut, juga dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal di atas.
36
32
Saad Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, terj. K.H.A. Sahal Mahfuzh dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, h. 76 Lihat juga Hasbi al-Shiddieqy,
al-Islam II, h. 448-450.
33
Ibn Qudamah al- Maqdisi, al- Mughni, Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1994, juz ke- 4, h. 339
34
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, Jil. 2, h. 324
35
Al- Syãthibi, al- Muwãfaqãt f ĩ Ushũl al- Ahkãm, juz II, tt., t.th. h. 35-36
36
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 327
Selanjutnya, dalam hubungannya dengan keserasian dan kesejalanannya dengan nash, mashlahah dibagi dalam tiga kategori yang
meliputi: pertama, Mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah yang sesuai dan berdasarkan nash. Sebagai contoh mashlahah bentuk ini adalah
haramnya khamr. Kedua, mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang bertentangan dengan nash, contohnya adalah pembagian waris satu
banding satu 1:1 bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga, mashlahah mursalah, yaitu suatu cara penetapan hukum terhadap masalah
yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijma’, hanya dengan mendasarkan pada pemeliharaan Mashlahah dengan syarat sejalan dengan
kehendak syara’.
37
Apabila ia diterapkan akan dapat memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti pemeliharaan agama, jiwa, keturunan,
akal, dan harta, serta dapat menghilangkan kesulitan.
38
Oleh karena fungsi dan tujuannya untuk memelihara kebutuhan- kebutuhan pokok dan dapat menghindarkan kesulitan, maka Mashlahah
merupakan tujuan syari’at secara umum karena mengarah pada terwujudnya manfaat dan kebaikan bagi umat. Maka setiap yang dapat
memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk nash.
Berbagai variasi makna ishlãh di kalangan para ulama sesuai spesialisasinya masing-masing tersebut pada dasarnya berkisar pada
anjuran kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek. Untuk lebih luas dan dalam mengetahui konsep ishlãh, maka perlu kiranya
dideskripsikan perspektif al-Qur’an dan perspektif sejarah mengenai ishlãh, agar didapatkan pengertian yang lebih komprehensip. Maka
pembahasan berikut akan menjelaskan beberapa ayat yang berkaitan
37
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 329-330
38
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, cet. I. h. 41
dengan term ishlãh disertai penjelasan tentang sebab turun ayat-ayat tersebut, dilanjutkan dengan pembahasan singkat mengenai sejarah ishlãh
dalam rentang sejarah kemanusiaan, khususnya dalam sejarah Islam.
B. Ishlãh dalam al-Qur’an Dan Hadis