Taubat Nashũha Muatan Mushãlih Alaih a. Menjauhi Prasangka buruk, Hinaan, dan Fitnah

kemudian menempatkannya pada sisi yang paling sempurna. Nashh adalah lawan dari ghisysy tipuan. 174 Pengertian ini didasarkan atas riwayat Umar ibn Khathab dan Ubay ibn Kaab yang berkata Taubat Nash ũha ialah bertaubat dari dosa kemudian tidak mengulanginya lagi, seperti tidak kembalinya air susu ke teteknya. Di samping itu, Hasan al-Bashri berkata, Hamba menyesali apa yang telah dilakukannya, dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya lagi. Muhammad ibn Kaab al-Qurazhi berkata, Taubat Nash ũhameliputi empat perkara: beristighfar dengan lisan, menghentikan tindakan dengan badan, bertekad dengan hati untuk tidak mengulanginya, dan menjauhi teman yang buruk. 175 Keinginan kuat untuk bertaubat ini dilukiskan Allah dalam QS. Ali Imran 3: 135 “Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. 174 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, terj. Dari Madarij al-Salikin: Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Jakarta: Robbani Press, 1998, h. 438 175 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 438-439. Menurutnya taubat meliputi tiga perkara: Pertama, keumumannya meliputi dan mencakup semua dosa, dengan tidak ada satu pun dosa yang tidak dicakup oleh taubat itu. Kedua, membulatkan tekad, kemauan, dan kesungguhan secara menyeluruh, dengan tidak ada ragu-ragu lagi, tidak berandai-andai, dan tidak menunda-nunda. Bahkan seluruh kehendak dan kemauannya secara total dilaksanakan dengan serta-merta. Ketiga, memurnikan dan membersihkannya dari kotoran dan cacat yang menodai keikhlasannya, menimbulkan rasa takut kepada Allah, senantiasa mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan adzab-Nya. Tidak seperti orang yang bertaubat demi untuk memelihara pangkat dan kehormatannya, kedudukan dan kepemimpinannya, untuk menjaga keadaannya, untuk menjaga kekuatan dan hartanya, atau untuk menarik perhatian orang lain, atau untuk melepaskan diri dari celaan mereka, atau agar tidak dikuasai oleh orang-orang bodoh, atau untuk meraih keinginan duniawinya, atau karena bangkrut dan lemah, dan lain-lain alasan yang menodai ketulusan. Jadi lingkup yang pertama berhubungan dengan apa yang ditaubati, dan yang kedua berhubungan dengan dzat yang kepada-Nya ia bertaubat, sedang yang ketiga berhubungan dengan pribadi orang yang bertaubat itu sendiri. Lihat juga al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, Jakarta: Dar al-Ulum Press, 1993, h. 55-59. Ia menyatakan bahwa lingkup taubat mencakup tiga segi, yaitu pengetahuan, kondisi kejiwaan, dan perbuatan. Ayat ini menunjukkan toleransi yang diberikan Allah terhadap makhluk. Fãhisyah biasa diartikan sebagai perbuatan keji atau dosa yang sangat buruk dan besar. Akan tetapi, rahmat Allah tidak mengusir orang-orang yang terjatuh ke dalamnya, dan tidak menjadikan mereka berada sebagai kaum marginal dari ummat. Bahkan, mereka masih diangkat ke martabat yang sangat tinggi yaitu taqwa dengan syarat ingat kepada Allah, lalu meminta ampun atas dosa-dosanya, dan tidak meneruskan tindakannya dengan sepenuh kesadaran. Allah selalu membuka kesempatan untuk kembali. 176 Demikianlah Islam membimbing manusia yang lemah ini pada saat-saat ia dalam kelemahannya. Karena, di samping kelemahan ada kekuatan, di samping kelelahan ada semangat, dan di samping nafsu kebinatangan terdapat kerinduan kepada Tuhan. Rahmat Allah membimbing manusia untuk naik ke tempat yang tinggi asalkan ia mau mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya, serta tidak meneruskan perbuatan dosanya setelah ia tahu bahwa itu adalah dosa. Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab menyatakan bahwa kedurhakaan yang dilakukan seseorang –selama ia menyadarinya dan menginsyafi- tidak mencabut identitas ketakwaannya. Allah tidak mengharuskan semua orang putih bersih tanpa cela. Allah menerima hambanya yang berlumur dosa dan memasukkannya dalam kelompok orang bertakwa –tentunya bukan derajat takwa yang tertinggi- selama mereka menyadari kesalahannya. 176 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Jil. h. 245-247, Ia memberikan perumpamaan menarik berkaitan dengan rahmat Allah dalam membimbing hamba yang tersesat ini, bahwa jika anak berbuat salah dan ia melihat di rumahnya hanya ada cemeti, niscaya ia akan lari ketakutan dan tak akan kembali ke rumah lagi. Adapun jika ia mengetahui bahwa di samping cemeti ada tangan halus yang akan membelai dan mengusap kelemahannya ketika ia mengemukakan alasan berbuat dosa, dan menerima permintaan maafnya ketika ia meminta ampun atas dosa-dosanya, niscaya ia akan kembali ke rumah. Firman Allah tentang taubat di atas yang meliputi aktifitas pertama, ingat pada Allah, lalu mohon ampun, kedua, tidak meneruskan perbuatan kejinya, dan ketiga, mereka mengetahui, ketiganya telah mencakup makna taubat. 177 Taubat seorang hamba kepada Allah diapit oleh dua penerimaan taubat dari Allah, yaitu sebelum si hamba bertaubat dan sesudahnya. Sehingga taubat hamba berada di antara dua penerimaan taubat dari Tuhannya. Karena mula-mula Allah memberinya taubat berupa izin, taufiq, hidayah dan ilham yang menarik minat dan kecenderungannya untuk bertaubat, lalu hamba tersebut bertaubat, kemudian Allah menerima taubatnya. Penerimaan taubat-Nya terhadap mereka telah mendahului taubat mereka, dan penerimaan taubat inilah yang menjadikan mereka sebagai orang-orang yang bertaubat, sehingga menjadi sebab bagi taubat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak bertaubat sehingga Allah menerima taubat mereka. Hukum tidak ada apabila tidak ada illat-nya. Hamba mendapatkan petunjuk karena petunjuk-Nya. Petunjuk tersebut mengharuskan petunjuk lain yang dengannya Allah memberinya ganjaran berupa petunjuk di atas petunjuk-Nya, karena di antara ganjaran petunjuk ialah petunjuk lagi sesudahnya, sebagaimana halnya di antara akibat kesesatan ialah kesesatan lagi sesudahnya. 178 Seiring dengan pendapat di atas, Abd al-Qadir al-Jilani, menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk 177 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. 2, h. 209, tiga hal yang merupakan lingkup taubat sebagaimana diungkapkan oleh Quraish Shihab ini seiring dengan pernyataan al-Ghazali dan Ibn al-Qayyim al- Jauziyah. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 55-59, dan Ibn al- Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 438- 439. 178 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 443-444 bertaubat, yaitu pertama, menyesali berbagai kesalahan yang telah dilakukan. Inilah makna sabda Rasulullah Penyesalan adalah taubat. Tanda penyesalan yang benar adalah lembutnya hati dan membanjirnya air mata. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan untuk menjadikan orang-orang yang bertaubat sebagai teman, karena mereka adalah orang yang berhati lembut. Kedua. meninggalkan berbagai kesalahan pada setiap keadaan dan tempat. Ketiga, keinginan keras untuk tidak mengulangi kesalahan dan kejahatan yang telah dikerjakan dengan terus memperbaiki diri. 179 Di samping itu, ada beberapa amalan yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki diri seperti menjaga lidah dari ghibah, menghindari prasangka buruk, menundukkan pandangan, berlaku adil, menyadari dan mensyukuri nikmat Allah agar tidak menyombongkan diri, rajin berinfak, tidak membuat kerusakan, memelihara shalat, dan berpegang teguh kepada sunnah dan jama’ah. 180 Menurutnya, taubat ada dua macam, yaitu taubat dari kesalahan antar sesama manusia dan taubat dari kesalahan serta dosa antara manusia dengan Allah. Taubat yang kedua dilakukan dengan cara bersitighfar secara lisan dan penyesalan dalam hati, serta berniat tidak mengulanginva lagi. Orang yang bertaubat mesti berusaha dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk memperbanyak kebaikan. Selanjutnya memperbaiki serta membina diri agar menjadi Muslim yang sejati dan utuh. Untuk tujuan inilah, ia menetapkan syarat-syarat di atas. 181 179 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, terj. Dari al-Ghunyah li Thalabi al- Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawwuf wa al-Adab al-Islamiyah, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2001, h. 252 180 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 253-254 181 Syaikh Sidi Abd. Al-Qadir al-Jilani, Fikih Tasawuf, h. 252, Di samping itu, al-Ghazali menyatakan bahwa dosa antar sesama adalah dosa yang paling sukar dan berat, sebab hal itu timbul dari lima hal, yaitu menyangkut urusan harta seperti ghasab, memeras, pemalsuan dan lain- Taubat dari kesalahan terhadap sesama manusia mesti dilakukan dengan cara menemui untuk meminta diikhlaskan setelah memberitahukannya, jika hak itu berkaitan dengan harta benda atau berupa kejahatan terhadap dirinya atau diri pewarisnya. Sebagaimana diriwayatkan dari Nabi bahwa ia bersabda: Barangsiapa pernah melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, baik mengenai hartanya maupun kehormatannya, maka hendaklah ia menyesaikannya hari ini juga, sebelum dinar dan dirham tidak diperhitungkan lagi, kecuali kebaikan dan kejelekan. Jika kezhalimannya berupa mencela, mengumpat atau menuduh berbuat zina, apakah di dalam bertaubat penuduh disyaratkan memberitahukan kepada yang dituduh dan harus meminta kerelaannya ataukah tidak perlu. Pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Syafii, Abu Hanifah, dan Malik mensyaratkan memberitahukan dan meminta kerelaannya. Dengan alasan, bahwa di dalam kejahatan terdapat dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia, maka bertaubat darinya ialah dengan meminta pembebasan orang tersebut karena hal itu merupakan haknya, dan menyesali apa yang terjadi antara dirinya dengan Allah, karena ia juga merupakan hak Allah. Oleh karena itu, taubat orang yang membunuh tidak akan sempurna melainkan dengan memberikan wewenang mengambil tindakan terhadap dirinya kepada ahli waris orang yang terbunuh tersebut. Jika suka ia bisa menuntut qishas atau memaafkannya. lain, masalah pribadi seperti membunuh, memfitnah, masalah perasaan seperti mengumpat, menggunjing, menuduh zina dan lain-lain, masalah kehormatan seperti mengkhianati kehormatan istri dan anak, dan masalah agama seperti mengkafirkan, menuduh sesat dan lain-lain. Kesemuanya hanya bisa diselesaikan dengan pengakuan terhadap orang tersebut, mengakui bahwa yang dituduhkan adalah kebohongan, meminta maaf dan mohon diikhlashkan, karena bersangkut paut dengan hak kemanusiaan. Lihat al-Ghazali, Minhaj al-Abidin, terj. Oleh Zakaria Adham, h. 64-66 Golongan kedua berpendapat tidak disyaratkan memberitahukan apa yang dilakukannya itu, baik kezhaliman itu berupa menodai harga dirinya, tuduhan, maupun umpatan, bahkan taubat itu cukup antara dia dan Allah. Tetapi ia harus mencabut tuduhan dan membersihkan nama baiknya di tempat-tempat yang pernah dipakai mengumpat atau menuduh orang tersebut. Ia harus mengganti umpatan dengan pujian dan sanjungan, atau menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Segala tuduhan yang pernah dilontarkannya diralat atau dinyatakannya tidak benar, kemudian meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukannya tersebut. Demikian pendapat Ibn Taimiyah. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa pemberitahuan justru akan menimbulkan mafsadat dan tidak mengandung maslahat sama sekali, karena hanya akan menambah sakit hati, marah, dan sedih. Padahal sebelum mendengar pemberitahuan itu, hati orang tersebut tidak memper-masalahkannya. Tetapi setelah mendengarnya boleh jadi dia tidak sabar menanggungnya, kemudian menimbulkan mafsadat pada jiwa atau fisiknya. Pembuat syariat tidak akan pernah membolehkan hal seperti ini, apalagi mewajibkan dan memerintahkannya, karena bertentangan dengan maksud pembuat syariat untuk saling menjinakkan antar hati manusia, saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling mencintai. 182 Ada perbedaan antara hak yang bersangkut paut dengan kejahatan non fisik seperti mengumpat dan lain-lain itu dengan hak yang menyangkut harta benda dan kejahatan fisik. Memberitahukan hak yang menyangkut harta benda, apabila –kemudian harta itu- dikembalikan, kadang-kadang bisa mendatangkan manfaat. Maka tidak 182 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 411-412, Ia cenderung pada pendapat yang kedua. Lihat juga al-Ghazali, Minhaj al- Abidin , terj. Oleh Zakaria Adham, h. 64-66 boleh disembunyikan, karena ia murni haknya yang wajib dipenuhi. Berbeda dengan mengumpat dan menuduh berbuat zina atau perbuatan jelek lainnya, karena memberitahukan hal itu tidak ada manfaatnya sama sekali, melainkan hanya akan menimbulkan bahaya dan membangkitkan kemarahan saja. Kedua hal tersebut jelas tak bisa disamakan. 183

e. Sabar Dan Memaafkan

Petunjuk yang senantiasa diberikan Allah kepada hambanya yang tersesat, sehingga dengan petunjuk itu betrtaubatlah seorang hamba, dan Allah pun menerima taubat itu, menunjukkan toleransi luar biasa yang diberikan Allah kepada hambanya dan menunjukkan maha pengampunnya Allah terhadap hambanya yang mau kembali. Oleh karena itu, wajar jika kemudian Allah menuntut toleransi hamba terhadap kesalahan hamba yang lain, dengan bersedia memberikan maaf atas kejahatan yang diperbuat terhadap dirinya. Allah berfirman dalam QS. Al-Syura 42: 37, ...Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf.” Menurut Sayid Quthb, ayat ini mendorong manusia bersikap toleran dan pemaaf serta menseyogyakan kepada kaum mukminin agar apabila marah mereka memaafkan. Namun demikian, Allah tidak membebani manusia melebihi kekuatannya. Allah mengetahui bahwa marah merupakan emosi manusia yang bersumber dari fitrahnya. Kemarahan bukan semata- mata sebagai keburukan. Marah karena Allah, agama, kebenaran, dan keadilan merupakan kemarahan yang dikehendaki karena mengandung kebaikan. Karena itu, secara filosofis, esensi kemarahan tidak diharamkan dan tidak dianggap sebagai kesalahan, bahkan 183 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, Jenjang Spiritual Para Penempuh Jalan Ruhani, h. 413, eksistensinya dalam fitrah dan tabiat diakui keberadaannya. Namun, pada saat yang sama, manusia dituntut untuk dapat mengalahkan kemarahannya dan supaya memaafkan orang lain. Rasulullah, tidak pernah marah demi dirinya sendiri, tetapi dia marah karena Allah. Manusia hanya dituntut untuk memaafkan di saat marah, membebaskan kesalahan orang tatkala mampu, dan mengatasi keinginan untuk membalas selama persoalannya berada dalam tataran pribadi yang berkaitan dengan masalah individual. 184 Marah merupakan gejolak jiwa yang mengakibatkan darah dalam hati menjadi mendidih. Jika gejolak ini sangat keras, maka ia berkobar menjadi api kemarahan. Kalau mendidihnya darah dalam hati lebih dahsyat lagi, seluruh urat syaraf dan otak terselimuti sehingga suasana menjadi gelap gulita dan tidak ada tempat untuk berpikir. 185 Oleh karena itu, menahan marah saja belum memadai. Karena, adakalanya seseorang itu menahan marah tetapi masih dendam dan benci. Sehingga, berubahlah kemarahannya yang meledak-ledak itu menjadi dendam yang terpendam dan tersembunyi. Padahal, sejatinya kemarahan itu fitrah dan lebih bersih daripada dendam dalam hati. Oleh karena itu, upaya menahan marah ini harus diikuti dan diakhiri dengan memaafkan, berlapang dada, dan toleransi. Kemarahan akan 184 Sayid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Tim GIP, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Jil. XIX, h. 328-330. Lihat juga Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1996, h. 62. Dengan mengutip Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Ia menyatakan bahwa marah termasuk penyakit jiwa yang serius, walaupun pada situasi tertentu marah itu tidak tercela. Marah yang digolongkan penyakit jiwa yang serius adalah marah yang menyebabkan munculnya banyak sifat buruk dan perbuatan jahat. 185 Suwito dkk. Kuliah Akhlaq, h. 62-66, Menurutnya, dengan mengutip al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din, ada dua metode yang dapat diterapkan untuk dapat menahan marah, pertama, dengan ilmu, yaitu dengan mengetahui pahalanya atau dosanya bila ia mampu atau tidak mampu menahan marah, mengetahui akibat marah akan memperbanyak musuh, mengetahui jeleknya orang marah yang seperti binatang, menyadari tidak ada gunanya balas dendam, dan menyadari bahwa marah terhadap sesuatu pada hakikatnya marah kepada Tuhan. Kedua, dengan amal perbuatan, yaitu membaca ta’awudz, jika belum reda, maka hendaknya duduk jika sedang berdiri, lalu merebahkan diri jika sedang duduk. Jika masih belum reda juga, maka hapuslah marah dengan berwudhu.